Tulisan ini merupakan ringkasan dari Roderic Pitty, “The unfinished business of Indigenous citizenship in Australia and New Zealand” bab 2 dalam buku Does History Matter? Making and debating citizenship, immigration and refugee policy in Australia and New Zealand. Editor Klaus Neumann, Gwend Tavan edisi 2009 oleh ANU E Press.
Dalam tulisannya Roderic Pitty membahas tentang belum terselesaikannya usaha kewarganegaraan penduduk asli atau suku asli di Australia dan Selandia Baru. Memiliki banyak kesamaan secara history seorang hakim tinggi Austalia yakni Michel Kirby mengusulkan agar Selandia Baru dimasukkan kedalam federasi Australia, walaupun demikian hal itu tidak mungkin terjadi karena kedua negara memiliki pemeintahannya masing-masing, keduanya hanya bisa bekejasana dalam uusan baik negara maupun perpolitikkan melalui pemerintah dan hubungan dalam ANZAC pada tahun 2015 mendatang. Australia dan Selandia Baru juga memiliki banyak sekali pebedaan diantaranya mengenai penanganan penduduk asli atau suku asli. Pada zaman penjajahan hal ini telah dibahas sebelumnya dimana kebijakkan pemerintah terhadap suku asli hampir tidak pernah dikembangkan dan juga diteliti untuk memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Begitu banyak ketidak beruntungan suku asli Aborigin di Australia dibandingkan dengan suku asli Selandia Baru.
Australia sendiri membatasi perkembangan suku asli dengan kebijakan-kebijakkan yang tidak masuk akal, suku asli tidak diperbolehkan mencapai kesetaraan dengan penduduk Australia baik dipemeintahan maupun dibidang yang lain. Perlakuan ini tentu berbeda dengan Selandia Baru. Australia saat ini sedang membahas hal-hal yang menyangkut pengakuan terhadap hak suku asli di Australia. Hal itu dimulai dengan permintaan maaf kepada The Stolen Generations oleh perdana mentri Kevin Rudd tanggal 13 februari 2008, kemudian PM Jhon Howard pada 27 Mei 2007 dengan referendum suku Aborigin tahun 1967. Kasus diatas akan dibandingkan dengan yang ada di Selandia Baru oleh Don Brash dengan tujuan menunjukkan belum selesainya usaha kewargananegaraan suku asli yang akan meningkatkan kebijakan dikedua negara.
Krisis Menajemen dan Penyimpangan Politik Masa Lalu
Kemajuan teknologi kumunikasi yang semakin membaik memberikan harapan terhadap pembuatan kebijakan sekjen PBB Kofi Annan mengatakan bahwa para pembuat keputusan hendaknya mengetahui lebih banyak dimana pengambilan keputusan mereka pada hari ini tidak menjadi penghambat bagi negara pada masa yang akan datang. Kunci dari menghindari berbagaimacam masalah yang ada adalah bagaimana seseorang atau negara dapat menggunakan sejarah politik yang ada baik mengaburkannya ataupun memutar balikkan keadaan yang ada. Kasus krisis menajemen yang terjadi menyoroti bagaimana para politisi dapat menyelesaikan krisi yang akan menjadi pengalaman dalam sebuah sejarah. Sejaah juga dapat mereka pakai sebagai senjata dalam perpolitikan persuasi.
Kewarganegaraan Suku Asli sebagai sesuatu yang belum selesai.
Bentuk dai klaim suku asli baik di Australia dan Selandia baru tentunya berbeda tetapi hal ini menjadi tantangan utama dikedua negara tersebut. Di Australia sendiri masalah ini begitu rumit dan banyak yang menggunakannya sebagai rekonsiliasi, sebagai bukti bahwa perjanjian tersebut legal telah ditekankan oleh Pat Dodson yang menempatkan kursi perama dewan dari suku Aborigin pada rekonsiliasi tahun 1990an. Tentunya hal tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan suku asli dalam sebuah penyelesaian politik. Walaupun sudah ada negara-negara yang mengadopsi contoh penyelesaian tersebut yakni Selandia Baru dan Kanada. Penegasan kembali asimilasi oleh pemerintahan Howard yang menyoroti Krisis Abadi yang melanda bangsa Australia dari kegagalan rekonsialisi hubungan dengan suku asli. Krisis tersebut adalah mengecualikan suku asli dalam partisipasi sebagai warganegara penuh dimana untuk mencapai tidak hanya kesetaraan formal tetapi juga substantif.
Tidak tercapainya kesepakatan yang diinginkan karena krisis paksa yang dihadapi oleh suku asli dengan hasil tidak adanya kewarganegaraan penuh. Sama halnya yang terjadi di Australia dimana ide dari sebuah bangsa yang homogen tidak terkait dengan partisipasi politik dan melindungi hak asasi manusia. David Pearson mencatat bahwa penggabungan kewarganegaaan akan mencegah penciptaan kewarganegaraan yang baru, bentuk inklusif dari kewarganegaraan suku asli di Australia dan Selandia Baru. Penggabungan tesebut telah ada dalam masyarakat saat ini dimana lebih mementingkan komunitas apalagi setelah perubahan global yang semakin membuatnya sulit, misalnya berkurangnya kapasitas negara untuk melindungi kesejahteraan warganya banyaknya pengungsi yang berdatangan.
Bebeapa petinggi dikedua negara telah menegaskan kembali ide-ide tentang kewarganegaraan dengan retorika kesetaraan formal untuk menolak perbedaan kebudayaan dan warisan penjajah. Paulus McHugh mencatat retorika mempromosikan tawaran untuk keseragaman kebudayaan untuk mencapai kesetaraan. Bagaimanapun suku asli memerlukan kewarganegaraan yang substansial bukannya keseragaman budaya. Mereka merampas hak kolektif kelompok-kelompok sosial untuk berbeda, oleh sebab itu mereka memerlukan partisipasi yang banyak untuk mencapai kesetaraan dalam kewarganegaraan.
Menanggapi janji PM Bob Hawke yakni suku asli menolak ide konyol ini dimana menyangkal bahwa orang-orang Aborigin memiliki hak kewarganegaraan penuh sekarang. Tetapi Howard menolaknya dengan pernyataan bahwa Aborigin telah menjadi warganegara penuh didasakan pada konsep hukum yang sempit sebgai pengertian formal atau administrasi. Maka dari itu suku asli menolak kewarganegaraan dengan alasan yang sempit dimana hak-hak warganegara yang formal tidak memungkin mereka ikut dalam partisipasi politik, dari konteks ketergantungan kesejahteraan dan fakta tersebut menimbulkan pemikiran bahwa kewarganegaraan tidak didasarkan pada basis yang sama.
Australia Barat bagi Aborigin untuk dapat diakui sebagai warganegara harus berpisah dari masyarakat leluhurnya. Hal ini diperjelas dengan adanya tujuan untuk menghancurkan suku aborigin, sehingga dunia luar akan melupakan bahwa memang ada suku Aborign di Australia. Pada tanggal 13 Februari 2008 pemerintah Australia mengucapkan permohonan maaf kepada The Stolen Generations dan meneima suku aborigin sebagai bangsa pertama di Australia.
Perubahan Lembaran Baru Australia : Permintaan Maaf
Permintaan maaf yang dilakukan karena kekalahan Howard merupakan lembaran baru dalam sejarah Australia. Mengakui adanya hubungan langsung masa lalu dan penyataan masa depan yang mencakup seluruh Australia satu berdasarkan saling menghormati, saling membantu, dan saling bertanggung jawab. Pernyataan maaf tersebut disampaikan oleh PM Rudd dengan penyataan akan membangunan lembaran baru bagi Australia dengan bangga merangkul semua kebudayaan baik kuno maupun saat ini. Pemimpin Aborigin yakni Sam Watson kata maaf saja tidak dapat memperbaiki noda besar dan kesalahan mereka dimasa lalu dengan menghilangkan generasi muda Aborigin. Permintaan maaf bena-bena membawa sebuah peubahan dengan semua warganegara baik dari bangsa manapun meeka benar-benar dapat bekerjasama dan memiliki hak yang sama juga. Tujuan lainnya adalah untuk mengubah syarat dan makna dai keanggotaan dalam komunitas partai politik, berharap bagaimana Aborigin dan suku asli selat Torres bisa ikut berpartisipasi dalam masyarakat Australia.
Banyak pertentangannya yang terjadi dimana ada sebagian yang mendukung dan ada juga yang menyayangkan tindakan Rudd. Bagaimanapun masyarakat Australia telah melalukan dosa besar dengan memisahkan anak-anak dari suku aborigin dengan orang tua mereka, sehingga anak-anak tersebut sulit beradaptasi karena setelah dipulangkan mereka tidak mengenal lagi kebudayaan leluhurnya dan apabila diletakkan dalam komunitas Bangsa Eropa mereka akan dikucilkan, sehingga membuat mereka seakan tidak diterima lagi dikedua kebudayaan tersebut. Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan permohon maaf, untuk itu dibutuhkan kepercayaan dan pemahaman yang mendalam kasus ini.
Penghinaan Lembaran Baru Australia : Intervensi
Kekecewaan yang berlanjut pada pemerintahaan Rudd karena adanya intervensi dari Pemerintahan Howard terhadap intervensi dalam banyak kehidupan masyarakat Aborigin. Tujuan dari referendum 1967 adalah memberikan kewenangan untuk membuat hukum persemakmuran khusus untuk Aborigin, menjamin Aborigin bisa mengakses pemerintah pusat, namun Howard menyatakan tanggung jawab yang utama adalah mengatasi kemiskinan yang terjadi pada suku asli dan kekeasan yang terjadi. Howard menegaskan bahwa intervensi tidak akan ada diskriminasi dan Rudd mengasumsikan kontrol birokrasi yang berlaku bagi Aborigin bisa diklasifikasikan sebagai langkah-langkah positif. Tetapi dapat dipahami bahwa intervensi sebenarnya melahirkan diskriminasi dan tidak ada usaha yang dibuat oleh Howard dan Rudd untuk menjelaskan bagaimana langkah-langkah otonomi agar suku aborigin mendapat keuntungan.
Mitologi Kebangsaan di Selandia Baru
27 Januari 2004 pemimpin baru Selandia Baru terpilih dari Partai Nasional. Situasinya adalah pemilih terganggu oleh budaya Maori di Selandia Baru dan pengakuan yang terlambat dari hak-hak suku asli yang ditegaskan dalam perjanjian Waitangi. Perjanjian Waitangi sendiri tidak sesuai penerjemahannya dalam bangsa Maori sehingga adanya kecurangan yang dilakukan pemerintah kolonial dalam mengartikan dalam bahasa Maori sehingga apa yang dimaksud berbeda yang dimaksudkan oleh bangsa Maori dan menandatangani dengan pemikiran mereka tidak akan kehilangan apapun. Keengganan yang terlihat dari pemerintahan yang tidak menerima selandia baru sebagai negara yang memiliki dwikebudayaan. Hal ini membuat tingkat kemiskinan pada Maori lebih tinggi dari pada Pakeha.
Membeikan suara lebih kepada Maori untuk melakukan pemilihan tersendiri dalam suku mereka dan biasanya kursi yang disediakan oleh pemerintahan lebih endah dari kursi pemerintah. Penghapusan akan bangsa Maori sendiri kelak akan menimbulkan prasangka laten. Pengakuan bahwa Maori memiliki sejarah yang panjang dan sah dalam melawan kolonial karena melanggar ketentuan perjanjian. Pakeha memiliki hak yang sama dengan Maori. Substansial otonomi Maori berada dalam pasal 2. Maori sendiri telah memanfaatkan ketika perjanjian diganti dengan salah satu standar kewarganegaraan dimana merupakan asimilasi dari kerangka kebijakan pemerintah sampai 1970an.