Kamis, 13 Januari 2022

pertanyaan Seputar AS dan Asia Timur

 

1.    Jelaskan mengenai campur tangan dan arogansi AS di Asia Timur:

Jawab:

9 Oktober 2006, merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Korea Utara (Korut) karena mampu melakukan uji coba bom nuklirnya secara sukses. Tetapi, dibalik kesuksesanya itu, Korut banyak menerima kecaman dari dunia internasional khususnya AS. Sebagai polisi dunia, tentunya AS tidak mau ada satu pun negara di dunia ini yang berani menyainginya, lebih-lebih negara tersebut sangat anti-AS.

Ketidaksenangan AS tersebut, akhirnya diwujudkan dengan mengajak negara-negara anggota tetap DK PBB untuk memberi sanksi terhadap tindakan Korut tersebut. Akhirnya, DK PBB di bawah komando AS memberikan sanksi berupa pembatasan perdagangan senjata, membatasi transaksi teknologi yang terkait senjata, membatasi perjalanan warga Korut yang terkait program nuklir, dan membatasi aset warga Korut yang terkait program transaksi senjata.

Kemudian yang menjadi pertanyaanya adalah mengapa Korut yang hanya sekali melakukan uji coba nuklir mendapatkan sanksi tegas dari DK PBB?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis akan menggunakan dua faktor yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor Internal. Dalam faktor internal ini penulis akan membaginya dalam beberapa sub.

Pertama, ideologi. Secara ideologi Korut sangat bertolak belakang dengan ideologi yang dianut oleh AS yaitu ideologi kapitalis. Korut merupakan salah satu negara di Asia Timur yang menggunakan ideologi komunisme. Sebagai negara komunis, tentunya Korut tidak mau didekte oleh AS yang kapitalis dalam mengelola dan mengatur negaranya.
Bagi Kim Jong-Il, kebutuhan untuk memiliki senjata nuklir adalah sebuah keharusan, mengingat Korut adalah negara yang berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Berbeda dengan AS, yang mengklaim diri sebagai negara adi daya yang terus menyebarkan virus pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, tentunya menganggap Korut yang komunis stalinis itu merupakan sebuah ancaman bagi pengaruh kapitalisme di Asia Timur.
Untuk itu, AS dan sekutu-sekutunya akan dengan sekuat tenaga untuk menundukkan Korut dengan berbagai dalih agar Korut yang komunis itu bisa berpindah ideologi ke kapitalisme. Selama Korut tetap pada pendirianya, sebagai negara anti-AS, maka AS akan selalu mempersoalkan segala bentuk tindakan Korut sebagai bentuk ancaman terhadap keamanan dunia internasional.

Kedua, ancaman di semenanjung korea. Perang saudara Korea Utara dan Korea Selatan pecah pada tahun 1950-1953. Sentimen perselisihan tersebut sampai sekarang masih sangat terasa. Kedua negara, seolah-olah sudah siap perang lagi jika salah satu di antara keduanya mulai melakukan penyerangan. Bom waktu perang antar keduanya kian meletup tatkala Korut berhasil melakukan uji coba bom nuklirnya beberapa hari yang lalu. AS, sebagai big boss bagi Korsel, tentunya tidak mau sekutunya di Asia Timur (Korsel) itu dihajar oleh Korut dengan nuklirnya. Maka untuk melumpuhkan kekuatan nuklir Korut adalah dengan memberikanya sanksi lewat DK PBB. Selain pemberian sanksi tersebut, AS juga telah menyiapkan 29.500 personel militernya yang telah dilengakapi dengan senjata biologi, anti rudal, pesawat tempur, dan kapal induk yang sudah stand by di Korea Selatan.

Ketiga, ancaman Jepang. Jepang adalah negara pertama di dunia yang pernah di bom atom oleh AS pada tahun 1945, sehingga mengakibatkan Jepang menyerah kepada sekutu (AS) tanpa syarat. Sejak saat itulah, Jepang menjadi sekutu terdekat AS di Asia Timur.
Begitu dekatnya hubungan client and patron ini, sehingga untuk persoalan yang paling sakral pun (pembuatan konstitusi) harus dibuat bersama dengan sekutu (AS). Dalam konstitusi tersebut, Jepang tidak boleh mempunyai militer dan cukup militer disuplai oleh pihak Amerika Serikat. Melihat ekskalasi politik dan keamanan di Asia Timur saat ini yang mulai memanas, yang terkait dengan kesuksesan uji coba nuklir Korut maka AS sebagai patron (negara pelindung) bagi Jepang tentunya tak ingin sekutunya tersebut dihancurkan begitu saja oleh Korut. Maka segala bentuk tindakan akan dihalalkan AS baik melalui resolusi PBB maupun dengan perlawanan fisik (perang) untuk melindungi “anak emasnya” tersebut di Asia Timur.

Faktor Eksternal

Paradigma realis berkembang sangat pesat pasca PD II, khususnya pada tahun 1945-1980. Tokoh paradigma realis yang paling terkenal adalah Hans. J. Morghentahu dengan karya besarnya yang berjudul Politics Among Nations : The Struggle For Power and Peace (1947).
Paradigma realis memandang bahwa politik internasional adalah sangat anarki (tanpa aturan). Bagi kaum realis, jika ingin damai maka harus perang. Untuk menjadi negara hegemon maka negara harus mempunyai power (kekuatan).

Untuk menelaah kasus uji coba nuklir Korut, maka bagi penganut pandangan realis yaitu AS tentunya tidak ingin keamanan di Asia Timur terganggu dengan tindakan provokatif Korut. Untuk itu maka, Amerika Serikat akan menggunakan konsep utamanya yaitu struggle for power (perjuangan untuk memperoleh kekuatan). Konsep itu setali tiga uang dengan tiga doktrin Bush yaitu militer Amerika tidak boleh ada yang menandingi, terorisme adalah musuh Amerika, dan negara lain yang mengancam eksistensi Amerika perlu diagresi. Atas dasar konsep dan doktrin-doktrin Bush itulah AS akan menundukkan Korut yang dianggap sebagai "anak nakal" di Asia Timur. Kebringasan AS sudah dibuktikan di Afghanistan dan Irak. Jika Korut tetap merecoki national interest AS di Asia Timur maka tahap pertamanya adalah mengefektifkan sanksi DK PBB dan tahap berikutnya jika sanksi PBB gagal maka sangat terbuka bagi AS untuk menjadikan Korut sebagai killing field di Asia Timur. Jika hal tersebut terjadi maka semakin memperkuat predikat AS sebagai negara yang arogan di panggung politik dunia internasional khususnya di kawasan Asia Timur.[1]

Setelah Google yang asal AS itu “ditendang” dari China, kemudian AS bikin ulah kembali dengan mempersenjatai Taiwan dnegan alasan untuk menghindari ancaman dari China, pada kenyataannya bahwa Negara Taiwan itu masih menjadi wilayah teritorial China dan bahkan dalam beberapa kesempatan Taiwan tidak diperbolehkan memakai nama negaranya dan diharuskan menggunakan nama China Taipei, sontak saja ini membuat China berang, Taiwan yang harusnya “manut” pada China kini menjadi percaya diri dan memiliki arogansi kepada China, justru inilah yang dapat menyebabkan stabilitas keamanan di Asia Timur terganggu, seandainya saja Taiwan tidak diberi logistik seperti itu mungkin masalah antara China dan Taiwan tidak perlu sesengit itu.

Latihan gabungan perang besar-besaran yang dilakukan oleh AS bersama Korsel pun menjadi sorotan kembali menegangnya antara China dengan AS maupun Korsel, AS selalu berdalih bahwa itu dilakukan untuk menjaga Korsel dari ancaman Korut, yang jadi pertanyaan adalah ancaman yang mana?? Korut selama ini tidak melakukan apapun juga, itu kan hanya akal-akalan AS saja untuk melucuti senjata Korut, padahal negara sekutunya AS, yaitu Israel pun memiliki nuklir tapi hanya karena Korut berlawanan haluan dengan AS maka isu nkulir pun digulirkan.

China yang sejak lama memang mendukung Korut tentu mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melindungi Negara sekutunya itu, bahwa latihan gabungan di laut kuning maupun latihan-latihan lainnya yang dilakukan AS dan Korsel hanya akan memperkeruh suasana, masalah yang terjadi antar Korut dan Korsel sebenarnya apabila tidak dibesar-besarkan tentu tidak akan menimbulkan arogansi dari Korsel, namun karena Korsel merasa yang membekingi mereka adalah Negara besar seperti AS maka Korsel pun dengan percaya dirinya membuat sesuatu hal yang sesungguhnya malah hanya akan membahayakan mereka sendiri.[2]

Begitu banyak arogansi yang ditunjukkan AS untuk tidak menghilangkan kekuasaan yang telah diraihnya untuk terus menancapkan kukunya di Asia timur. Jepang yang menjadi partner sejati AS pun tidak luput dari pemanfaatan yang terus menanamkan nilai-nilai liberal dan kapitalisme ke negara-negara disekitarnya.

2.    Jelaskan salah satu transnasional isu yang ada di Cina

Jawab:

Sebuah artikel yang sangat provokatif mengingat isu Laut Cina Selatan sedang panas dibicarakan dan menjadi sebuah isu transnasional yang sangat sensitif. Pada dasarnya isu ini merupakan perebutan batas wilayah di Laut Cina Selatan antara tiga negara, Cina, Vietnam dan Filipina. Tensi ketiga negara, terutama Cina lawan Vietnam sangat tinggi. Insiden konfrontasi senjata yang menewaskan beberapa tentara Vietnam membuat rakyat Vietnam menyerukan kebijakan yang lebih tegas mengenai sengketa Kepualauan Paracel dengan Cina.

Cina sebagai superpower kawasan sudah selayaknya menunjukkan kebijakan yang keras kepada Negara-negara pengklaim yang dianggap paling rewel, yaitu Filipina dan Vietnam. “Bagi Cina, (berperang di Laut Cina Selatan) adalah medan pertempuran yang sangat ideal. Jika menang, kawasan bisa kita kuasai dan sekaligus mengunci mereka yang banyak” tulis Tao. Cina digambarkan sebagai seekor gajah yang diganggu nyamuk-nyamuk (Vietnam dan Filipina). Jika para nyamuk yang mengganggu itu bisa didiamkan begitu saja. Namun jika nyamuk (Filipina) mengundang si elang (Amerika Serikat (AS)) maka persoalannya menjadi serius. Meski AS dianggap hanya menggertak saja mengenai masalah Laut Cina Selatan. Karena tidak mungkin dengan kondisi ekonomi sekarang (apalagi sebagian besar utang pemerintah AS dimiliki Cina) AS mampu membuka front perang baru untuk mencegah ambisi Cina di kawasan.

Meskipun Cina mampu melakukan opsi perang ini, saya rasa terlalu berisiko bagi citra negeri itu di kawasan dan dunia internasional. Kerjasama ekonomi dengan negara-negara Asia Tenggara (ACFTA) yang tengah berlangsung terlalu berharga untuk digugurkan. ASEAN di satu sisi selalu berupaya menjadi penengah konflik, daripada menjadi aliansi melawan agresor (Cina). Sehingga saya bisa katakana jika konflik Laut Cina Selatan hanya akan menjadi ajang saling gertak (meski masih ada kemungkinan jatuhnya korban jiwa) tanpa ada pembicaraan yang serius untuk menyelesaikannya. Cina senantiasa menunjukkan sikap kerasnya mengenai sengketa wilayah di laut, selain dengan Vietnam dan Filipina, juga dengan Jepang. Sehingga peluang masuknya pihak ke tiga sebagai penengah konflik cenderung kecil, meski masih ada potensi untuk penyelesaian yang elegan antarpihak yang bertikai.

Latar Belakang

Berawal pada bulan April tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spratly antara Vietnam dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Angkatan Laut Vietnam dihalang-halangi oleh dua puluh kapal perang RRC yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan antara RRC dan Vietnam ini merupakan bagian dari bentrokan bersenjata yang terjadi sebulan sebelumnya yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Sejak saat itu, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa 14 Maret 1988. 

Sebenarnya Pertikaian di kepulauan Spartly sudah berlangsung sejak lama dan aktor yang berperan di dalamnya pun tidak hanya Vietnam dan RRC, tetapi juga melibatkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina, serta Taiwan. Karena klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan batas. Klaim kepemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan juga memperbesar permasalahan ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau Landas Kontinen.

Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan-perubahan besar dan terjadi dengan sangat cepat dalam sistem internasional. Perubahan yang menciptakan transformasi pada sistem internasional ini menimbulkan harapan dan tantangan sekaligus baru. Salah satu tantangan baru yang mengundang banyak perhatian adalah mengenai konsep keamanan. Pengkajian masalah keamanan yang semula berpusat pada kekuatan militer dan penggunaannya dalam mencapai tujuan-tujuan politis, mendapat tantangan baru dalam mengatasi ancaman perubahan dimensi-dimensi keamanan. Kepentingan ekonomi negara, isu-isu baru seperti lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM), keimigrasiaan, narkotika dan seterusnya, menjadi ancaman baru bagi kajian keamanan.

Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh berakhirnya Perang Dingin juga telah berperan menonjolkan isu dan perkembangan baru di Asia Tenggara yang mempengaruhi perspektif keamanan negara-negara ASEAN. Seperti halnya dengan kebanyakan negara yang sedang berkembang, maka masalah keamanan diantara negara-negara ASEAN selalu menjadi fenomena dengan banyak aspek yang ditandai oleh saling ketergantungan yang kompleks antara hal-hal dalam negeri dan luar negeri. Pada saar era Perang Dingin, ASEAN yang memiliki salah satu tujuan untuk menciptakan tatanan regional yang mandiri, mengartikan kemandiriannya tersebut sebagai upaya untuk tidak terlibat dalam konflik-konflik dengan negara-negara lain terutama negara adikuasa. Namun setelah Perang Dingin berakhir, tatanan regional yang diinginkan ASEAN, dan hubungan ASEAN dengan negara-negara besar dari luar kawasan tentu perlu ditinjau kembali.

Lingkungan strategis yang baru mendorong ASEAN untuk mengambil berbagai kebijakan baru dalam masalah politik dan keamanan. ASEAN tidak dapat lagi hanya memperhatikan masalah dan kerjasama bilateral. Perubahan konstelasi politik yang terjadi di Asia Pasifik dewasa ini telah mendorong negara-negara di kawasan ini, tidak terkecuali para anggota ASEAN, untuk semakin memperhatikan masalah keamanan. Khususnya, meningkatnya persengketaan mengenai kepulauan Spartly yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam). Persengketaan yang ditimbulkan dari konflik laut Cina Selatan ini menimbulkan konflik bilateral (bilateral dispute) dan sengketa antar negara (multilateral dispute) menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan pecahnya konflik militer , dimana beberapa negara anggota ASEAN terlibat diantaranya. Hal inilah yang mendorong negara-negara ASEAN untuk memasukkan masalah keamanan regional kedalam agenda resmi ASEAN.

Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent territory yaitu Makau. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC.

Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama.

Di Laut Cina Selatan sendiri terdapat empat kelompok gugusan kepulauan, dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih terpusat pada Spartly, yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut Cina Selatan, yang diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina, dan Malaysia, sementara Kepulauan Paracel dan juga Pratas, praktis secara efektif masing-masing sudah berada di bawah kendali Cina dan Taiwan.

Tidak mudah untuk mendapatkan batasan geografis dari Kepulauan Spratly yang disepakati bersama, tetapi tampaknya batasan yang digunakan oleh Dieter Heinzig yang menyebutkan kepulauan tersebut sebagai suatu wilayah yang dibatasi 4° LU dan 109° BT ke arah Barat Laut antara 11°31’  LU dan 117°BT, merupakan batasan yang cukup memadai. Kepulauan ini dibatasi oleh wilayah perairan dari beberapa negara, yaitu: Philipina, Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Kepulauan ini terletak kurang lebih 1.100 Km dari pelabuhan Yu Lin (P.Hainan)RRC dan 500 Km dari pantai Kalimantan bagian Utara.° 31’ LU dan 117° BT ke arah Barat Laut antara 11° LU dan 109°. Tidak mudah untuk mendapatkan batasan geografis dari Kepulauan Spratly yang disepakati bersama, tetapi tampaknya batasan yang digunakan oleh Dieter Heinzig yang menyebutkan kepulauan tersebut sebagai suatu wilayah yang dibatasi 4 BT, terletak 277,8Km (di Selatan P. Hainan)RRC. 54°LU dan 112° Kepulauan Paracel terletak disebelah Utara Kep.Spratly yang berada pada posisi 15 derajat 14’dan 17 derajat.

Berdasarkan bukti bukti sejarah Cina, Kep. Paracel yang terletak 300Km sebelah tengggara pantai Cina telah dikuasai oleh Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum Masehi hingga 220 sesudah Masehi. Disebutkan pula oleh Direktur Institut Arkeologi Provinsi Guangdong;Gu Yunguan, 98% benda-benda yang telah ditemukan digugus Paracel merupakan mata dagangan buatan Cina. Sejak itu RRC terus melancarkan berbagai upaya demi membuktikan kedaulatannya atas Kep Paracel termasuk Kep.Spratly dengan berpegang pada dokumen sejarah dan peninggalan Arkeologi. Sementara Vietnam, selain mendasarkan tuntutannya pada aspek Hukum Internasional juga mengkombinasikan dengan aspek Historis. Vietnam menandaskan sudah menguasai kepulauan itu sejak abad 17.Ada catatan sejarah mengungkapkan kepulauan yang juga disebut Hoang Sa dalam bahasa Vietnam (Xisha dalam bahasa Cina) masuk dibawah distrik Binh Son Vietnam. Selain dengan Vietnam,RRC juga terlibat dalam sengketa klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan dengan Malaysia, Brunai Darussalam, Filipina dan Taiwan. Dikawasan ini tersebar sekitar 200 pulau yang sebagian besar tidak didiami karena merupakan pulau-pulau karang dan minim sumber air tawar. Secara garis besar tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh negara-negara tersebut dapat dikelompokan sbb:

1.Terhadap Kep. Paracel :dilakukan oleh RRC dan Taiwan

2.Terhadap Kep. Spratly :melibatkan ke-enam negara tersebut.

Namun yang paling diperebutkan oleh negara-negara yang bersengketa adalah Kep. Spratly, karena dari segi perdagangan dan pertahanan dianggap strategis (Merupakan jalur kapal perdagangan internasioanal) dan memiliki kekayaan sumber daya alam berupa minyak, gas dan tambang lainnya. Ini berarti mendapatkan kepulauan tersebut sudah dapat diperkirakan akan mengurangi ketergantungan minyak dari negara-negara Kawasan Teluk. Perkiraan cadangan minyak di Kep. Spratly 10 milyar ton, kalau RRC tidak dapat menemukan sumber minyak didaratan,maka RRC harus mengimport 100 juta ton minyak pada tahun 2010.(International Herald Tribune tgl. 3 Juni 1995). Kawasan Laut Cina Selatan,bila dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis, sehingga kawasan ini mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama. Kebangkitan Cina akan menjadi salah satu perkembangan yang sangat menarik untuk diamati bagi politik luar negeri Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.Sejak RRC memeperkenalkan kebijaksanaan Empat Modernisasi pada tahun 1978, (Bidang Politik,Ekonomi,Administrasi dan Pasar Keuangan)tampak jelas bahwa RRC akan menjadi “Kekuatan Maritim” dan “Kekuatan Kontinental”.

Meskipun Indonesia bukan merupakan penuntut atas gugus Kep. Spratly,akan tetapi Indonesia memiliki Fakta sengketa bilateral dengan RRC terhadap landas kontinen disepanjang kawasan Laut Cina Selatan.Hal ini tidak mencuat ke permukaan mengingat RRC tetap meyakinkan Indonesia bahwatidak ada masalah perbatasan maritim dengan Indonesia di Laut Cina Selatan.Padahal berdasarkan peta RRC pada tahun 1947 yang menunjukkan 9 (sembilan) garis putus-putus dan berebentuk lidah tersebut meliputi wilayah P. Hainan sampai ke Pantai Kalimantan yang mencakup Teluk Tonkin,Kep. Paracel dan Kep.Spratly. Demikian pula pada tahun 1995 berdasarkan Peta RRC menunjukkan bahwa ladang gas Natuna berada dalam territorialnya,walaupun terletak lebih dari 1.000 mil sebelah selatan RRC. Selain itu RRC pernah menyatakan klaim terhadap sebagian Laut Natuna sampai ke perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan Barat dan sekeliling Vietnam.

Laut Natuna sangat vital baik bagi RRC maupun bagi Indonesia karena merupakan jalur utama menuju kota-kota utama di Asia Timur.Gangguan terhadap komunikasi,pelayaran dan navigasi di kawasan ini dan berbagai ketegangan yang diakibatkannya akan memberi dampak yang merugikan bagi kepentingan Indonesia dan kestabilan regional. Sesuatu yang sangat mengkhawatirkan Indonesia dalam mencermati perkembangan sengketa di Laut Cina Selatan tersebut adalah adanya dugaan penggunaan teknologi baru penambangan dasar laut yang menjangkau HAK KEDAULATAN Indonesia. Sejak tanggal 8 Mei 1992 perusahaan minyak RRC(The Chinese National Offshore Oil Company) dengan Crestone Energy Company dari Amerika Serikat telah melakukan Explorasi dan Exploitasi minyak dan gas bumi di kawasan seluas 25.000 km2 dalam wilayah Nansha di Barat Laut Cina Selatan yang dekat dengan Kep.Natuna.

Identifikasi masalah

Konflik dilaut China selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika inggris mengklaim kepulauan Spartly, diikuti oleh China pada awal abad ke-20 dan prancis sekitar 1930-an. Disaat berkecambuknya Perang Dunia II jepang mengusir Prancis dan menggunaka Kepulauaan Spartly sebagai basis kapal selam. Dengan berakhirnya Perang Dunia,perancis kembali mengklaim kawasan tersebut dan diikuti oleh Philipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sabai sebagian dari kepentingan keamanan Nasional.

Sejak 1970-an klaim terhadap kawasan tersebut meningkat pesat sejalan dengan perkembangan dibidang penemuaan dan hokum internasional. Perkembangan pertama menyangkut ditemukanya ladang minyak yang diperkirakan cukup banyak diwilayah tersebut berdasrkan survey geologi yang dilakukan para peneliti dari perusahaan Amerika dan inggris.penemuaan ini tentu saja membuat harga kepulauan ini meroket. Dalam perkembangan berikutnya telah ditetapkannya Zona Ekonomi Eksklusif (EEZ) sepanjang 200 mil laut bagi setiap Negara berdasarkan ketentuan UNCLOS ( United Nations Confrence on the Law of the Sea). 

Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan laut China selatan dengan sendirinya mendorong Negara-negara yang oantainya bebatasan langsung dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap sebagian pulau , kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya sebagaimana ditentukan oleh hukum laut internasional diatas China, Vietnam, Philipina, dan Malaysia berlomba – lomba mengklaim, mengirim pasukan untuk mengamankan kepulauaan yang mereka klaim, bahkan member konsensi pada perusahaan-perusahaan minyak asing, khususnya Inggris dan Amerika Dan inggris, untuk melakukan ekploirasi minyak dikawasan yang mereka klaim masing-masing. Persaigan dalam proses pernyataan hak ini berkembang menjadi konflik militer, khususnya China dan Vietnam tahun 1974 dan 1988. China bahkan secara terbuka mendirikan bangunan yang disertai dengan sistem komunikasi canggih plus tempat pendaratan helikopter. Perkembangan ini menunjukkan dengan jelas besarnya kepentingan China dikepulauaan Spartly. Perseteruaan antara China dan Vietnam lebih disebabkan oleh masalah isu tambang minyak. Sementara konflik China dan Philipine lebih disebabkan oleh persaingan dan perebutan hasil ikan di kawasan tersebut. Kekuatan militer China ini membuat kerajaan tengah ini selalu berada diatas angin. 

Lingkungan strategis yang baru mendorong ASEAN untuk mengambil berbagai kebijakan baru dalam masalah politik dan keamanan. ASEAN tidak dapat lagi hanya memperhatikan masalah dan kerjasama bilateral. Perubahan konstelasi politik yang terjadi di Asia Pasifik dewasa ini telah mendorong negara-negara di kawasan ini, tidak terkecuali para anggota ASEAN, untuk semakin memperhatikan masalah keamanan. Khususnya, meningkatnya persengketaan mengenai kepulauan Spartly yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam). Persengketaan yang ditimbulkan dari konflik laut Cina Selatan ini menimbulkan konflik bilateral (bilateral dispute) dan sengketa antar negara (multilateral dispute) menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan pecahnya konflik militer , dimana beberapa negara anggota ASEAN terlibat diantaranya. Hal inilah yang mendorong negara-negara ASEAN untuk memasukkan masalah keamanan regional kedalam agenda resmi ASEAN. Makalah berikut ini akan menggambarkan bagaimana konflik Laut Cina Selatan menciptakan dilema keamanan diantara negara-negara di kawasaan Asia Pasifik dan bagaimana peran ASEAN sebagai peace maker tertantang optimalisasinya dalam menangani persolaan keamanan ini, mengingat posisi ASEAN menjadi tidak netral akibat terlibatnya beberapa negara anggota ASEAN dalam persengketaan Laut Cina Selatan. 

Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi konflik yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik. Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan ekses-ekses instabilitas di kawasan.

Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan laut ini di antaranya: Republik Rakyat Cina, Makau, Hongkong, Republik Cina (Taiwan), Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, Muang Thai, Kamboja dan Vietnam. Di laut ini, ada lebih dari 200 pulau dan karang yang diidentifikasi, kebanyakan darinya di daerah Kepulauan Spratly. Kepulauan Spratly tersebar seluas 810 sampai 900 km yang meliputi beberapa 175 fitur insuler yang diidentifikasi, yang terbesarnya menjadi Kepulauan Taiping (Itu Aba) yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian 3,8 m.

Sengketa teritorial di kawasan Laut Cina Selatan khususnya sengketa atas kepemilikan Kep. Spratly dan Kep Paracel mempunyai perjalanan sejarah konflik yang panjang.Sejarah menunjukkan bahwa penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara al.: Inggris, Perancis, Jepang, RRC, Vietnam yang kemudian melibatkan pula Malaysia,Brunai,Filipina dan Taiwan. Sengketa teritorial dikawasan ini bukan hnya terbatas masalah kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi juga bercampur dengan masalah hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE serta menyangkut penggunaan teknologi. Dalam kaitan itu secara Hukum International (UNCLOS 1982),sesungguhnya Indonesia terlibat dalam sengketa mengenai hak atas Landas Kontinen di kawasan Kep. Natuna. Sengketa-sengketa tersebut diatas terdiri dari:

a)       Sengketa Bilateral antara: RRC - Vietnam, Filipina - Malaysia, Filipina - Taiwan, Filipina - RRC, Malaysia - Vietnam, Filipina - Vietnam, Malaysia - Brunai, Taiwan - RRC dan Indonesia - RRC.

b)      Sengketa antar Negara: Masalah sengketa antar negara di kawasan, sangat terkait dengan aspek”NATIONAL INTEREST” masing-masing negara dalam mewujudkan keinginan mempertahankan wilayah pengaruh(hegemoni)serta jaminan akan keamanan pelayaran serta Explorasi sumber daya alam sebagai akibat yang disebabkan posisi strategis dan vital di kawasan Laut Cina Selatan.

Konsep kepentingan nasional sangat penting bagi setiap usaha menerangkan, menjelaskan dan meramalkan atau membuat perskrepsi mengenai perilaku internasional. Para penstudi dan praktisi hubungan internasional dengan suara built sepakat justifikasi utama tindakan Negara adalah kepentingan nasional. Selain menggunakan teori kepentingan nasional penulis juga menggunakan teori Diplomasi Preventif dan teori peran. Pada tahun 1990-an Boutros Boutros Ghali merumuskan bahwa yang dimaksud dengan preventif Diplomacy adalah suatu tindakan untuk menghindari terjadinya persengketaan antar pihak atau antar Negara, dan menghindari persengketaan yang sudah ada meningkat menjadi konflik bersenjata. Pada hakikatnya preventive Diplomacy yang diterapakan di Laut China Selatan untuk mencegah dampak dari eskalasi konflik, misalnya perlombaan bersenjata dan pergeseran perimbagan kekuatan yang dapat mempengaruhi prospek penyelesaian sengketa secara damai. Sedangkan menurut Buun Nagara pereventive Diplomacy cenderung untuk memperkuat multiratelisme, karena proses multiralisme ini cenderung mendorong Negara-negara untuk bersama-sama mengindentifikasikan kepentingan mereka. Multiratelisme merupakan elemen penting dari suatu struktur keamanan dan merupakan bagian integral dari keberhasilan suatu aliansi dan rezim keamanan kolektif. Hal tersebut yang mendorong lahirnya suatu forum menjamin lingkungan di di Asia Pasifik forum tersebut bernama ASEAN Regional Forum (ARF). ARF ini lahir dari perdebatan mengenai pentingnya forum keamanan multiratelisme, dengan demikian maka multilaterisme pada hakikatnya membantu member legitimasi yang kuat bagi usaha-usaha dan keberhasilan diplomasi preventif.

Tinjauan Epistemologi

RRC sangat berambisi dan berkepentingan untuk memasukkan kedua kepulauan tersebut dalam wilayah maritimnya seluas 200 mil laut dalam UU Maritim Cina yang baru.Hal ini terungkap pada sidang AIPO bulan September 1996 dimana Badan Kerja Sama Antar Parlemen(BKSAP)DPR RI memprotes upaya RRC memasukkan Kep. Spratly dan Paracel dalam wilayah maritimnya melalui UU Maritim Cina, karena kedua kepulauan itu masih disengketakan oleh beberapa negara ASEAN. Menurut Prof Wang Gung Wu(seminar di CSIS tgl. 16 Nopember 1997)bahwa Cina memiliki penduduk yang terbesar didunia(2 milyar jiwa),kekayaan alam yang besar dan kebudayaan serta tradisi yang tertua didunia.Setelah Reformasi, Komunis Cina mengalami transformasi dan sedang berkonvergensi kearah Kapitalisme yang melahirkan gagasan “One Country and Two System” yaitu adanya sistem kenegaraan dimana Sosialisme dan Kapitalisme dapat hidup berdampingan secara damai.Konsep Sosialisme yang bercirikan Cina, titik berat menekankan peranan swasta dan memeperkecil peranan negara. Perestroika dan Glasnot yang membawa kehancuran Uni Sovyet kelihatannya menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi RRC untuk tetap mempertahankan “Sosialisme yang bercirikan Cina” berarti:Perekonomian bebas tetapi politik masih dikendalikan melalui Partai Komunis Cina(PKC).Bertahannya RRC sebagai Nation State sama dengan bertahannya PKC,jika PKC hancur seperti Partai Komunis Uni Sovyet(PKUS) maka RRC juga akan hancur berantakan seperti Uni Sovyet.Siapapun yang memimpin RRC,keberadaan PKC akan dianggap sebagai suatu kebutuhan.,denga perkataan lain bahwa:Bukan Cina menjadi Komunis,tetapi Komunis menjadi Cina.Reformasi yang telah terjadi di RRC kelihatannya tidak akan pernah terjadi sama dengan yang terjadi di Uni Sovyet atau dinegara manapun didunia.

Sejak tahun 1978 RRC telah menetapkan sebagai “Negara Maritim’ dan telah menentukan Angkatan Lautnya pada tingkat “BLUE WATER”(setingkat dengan AL dari AS dan Inggris).Angkatan Laut RRC konon berambisi meningkatkan kehadirannya di kawasan Asia Tenggara dan Lautan Hindia. Hal ini terlihat dari strateginya membangun dermaga secara signifikan dipantai Timur dan Selatan yang dapat digunakan untuk kapal swasta maupun kapal Angkatan Laut RRC. Dalam bidang pendidikan RRC telah mengirim ribuan pemuda berbakat ke Eropa Barat,Jepang dan AS guna menyerap Iptek dan mereka harus kembali kedaerah asalnya. Proyeksi kekuatan dan struktur Angkatan Bersenjata RRC menganut sistem”Forward Proyection and Small is beautiful” yang bertumpu pada pengembangan kekuatan ANGKATAN LAUT dan peningkatan teknologi persenjataan melalui R&D.

Dari gambaran tersebut diatas jelas bahwa wujud Geostrategi Cina adalah dengan mempertimbangkan unsur atau kondisi Geopolitik Cina yakni yang bercirikan Negara Maritim. Mencermati anatomi potensi konflik di Laut Cina Selatan,maka tidak terlepas pada upaya negara-negara yang bersangkutan dalam mewujudkan “Politik Teritorial”nya. Kondisi ini sangat menonjol mengenai masalah klaim wilayah teritorial Secara faktual kondisi geografi dari kepulauan yang tersebar di kawasan itu,kebanyakan terdiri atas karang yang tidak berpenduduk dengan tanah tandus yang tidak bisa ditanami dan sebagian kekurangan air tawar. Sebagai gambaran ,pihak yang menguasai Kepulauan Paracel dengan mudah bisa mengawasi navigasi di bagian Utara Laut Cina Selatan sedangkan dengan menguasai Kep. Spratly bisa mengontrol rute maritim yang menghubungkan Pasifik atau Asia Timur dengan Samudera Hindia.Disamping itu secara psikologis bila pulau-pulau itu dikuasai,maka kepulauan itu dapat dijadikan “batu loncatan” untuk menyerang daratan Asia.

Secara politis ketegangan hubungan antara negara-negara pengklaim akibat dari sengketa wilayah di Laut Cina Selatan memiliki kecenderungan yang kuat untuk berkembang menjadi sumber ketidak stabilan kawasan.Ketidak stabilan ini semakin lama semakin mempengaruhi negara-negara yang berdekatan dengan kawasan sengketa. Dan secara proximatis geografi,Indonesia berada dekat sekali dengan kawasan Laut Cina Selatan baik dalam konteksAsia Tenggara maupun Asia Pasifik. Cina akan selalu menjadi lebih besar dan berpotensi untuk menjadi kaya dan kuat.Beberapa pengamat Ekonomi Internasional meramalkan bahwa abad 21 akan menjadi The Chinese Century.Untuk menghadapi RRC sebaiknya negara-negara ASEAN bersatu padu untuk mengadakan hubungan yang baik dengan Cina dalam segala kegiatan. Lebih baik menciptakan suasana dan iklim saling mendukung daripada membiarkan persaingan tidak sehat yang bisa mengarah saling merugikan bagi kedua belah pihak.

Peranan ASEAN

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghindari potensi Konflik Laut Cina Selatan menyusul adanya kemungkinan upaya penyelesaian konflik secara damai oleh semua pihak yang terlibat sengketa. Salah satu upaya menghindari potensi konflik tersebut adalah melalui pendekatan perundingan secara damai baik secara bilateral maupun multilateral dan juga melakukan kerjasama-kerjasama yang lazim digunakan mengelola konflik regional dan internasional.

Pada tingkat kerjasama subregional Asia Tenggara, setidaknya ASEAN telah berfungsi sebagai forum yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial budaya dan banyak masalah keamanan. Keberhasilan ASEAN dicerminkan oleh upaya mengatasi konflik-konflik bersenjata atau tindakan-tindakan provokatif sejak organisasi ini berdiri 1967. Dan hingga saat ini regionalisme ASEAN berfungsi sebagai instrumen untuk menyelesaikan krisis-krisis internal. Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara negara-negara tetangga dan memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk menunjang peningkatan ketahanan Regional secara kolektif.

Oleh karena itu, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Konflik laut Cina selatan menjadi penting karena cakupan regionalisme Asia Pasifik akan meningkatkan kekuatan kawasan dalam menangani bentuk-bentuk konflik regional yang sesungguhnya sangat menentukan bagi kepentingan nasional masing-masing negara anggota.

ASEAN merupakan organisasi kawasan di Asia Tenggara memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas keamanan di Asia Pasifik. Dalam konflik ini terdapat dua negara anggota ASEAN yang terlibat, yaitu Malaysia dan Filipina. Oleh karena itu ASEAN harus ikut terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah yang mengikutsertakan 2 anggotanya. Dalam hal ini ASEAN berupaya menggunakan soft power melalui sebuah diplomasi yang kemudian dikenal dengan istilah diplomasi bersama. Diplomasi ini dalam bentuk mengadakan sebuah forum dialog pada tingkat multilateralisme dengan kebijakannya menggandeng Cina ke dalam forum tersebut. Pelibatan Cina sebagai pihak yang dianggap sebagai ancaman di kawasan adalah salah satu bentuk diplomasi preventif dalam dialog yang digagas ASEAN. Forum internasional itu bertemakan ASEAN Regional Forum (ARF) yang beranggotakan 10 negara anggota ASEAN yang kemudian ditambah Negara Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Rusia, Uni Eropa, Selandia Baru, serta Cina.

Tujuan ASEAN membentuk forum ini yaitu: pertama, adanya peluang konflik antar negara yang disebabkan oleh pergeseran kekuasaan sebagai akibat dari pembentukan ekonomi yang pesat. Kedua, sikap keanekaragaman dalam kawasan menyebabkan perbedaan pendekatan terhadap masalah perdamaian dan keamanan. Serta yang ketiga adalah konflik teritorial dan pertikaian yang menyangkut hal lain antar negara yang belum terselesaikan.

ASEAN juga prakarsa atas adanya sebuah forum khusus yang mengagendakan masalah Kepulauan Spratly sebagai agenda pembahasan yaitu dalam forum ASEAN-Cina Senior Officials Consultation (ACSOC). Forum ini berlangsung pada bulan April 1995 dan berakhir pada tahun 2002. Dalam forum ini ASEAN bermaksud untuk mengatur tindakan Cina sebagai negara pengklaim Kepulauan Spratly terbesar dan terkuat.

Upaya diplomasi ketiga yang ditempuh ASEAN adalah dengan membentuk code of conduct antar pihak yang terlibat persengketaan serius dalam klaim kawasan kepulauan Spartly. Isi dari code of conduct tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Sengketa territorial diantara kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi dalam perkembangan hubungan normal diantara mereka. Sengketa akan diselesaikan dengan cara damai dan bersahabat melalui diplomasi konsultasi yang berdasarkan persamaan dan sikap saling menghormati.

b.      Harus diambil upaya untuk membangun sikap saling percaya diantara kedua belah pihak untuk memperbaiki suasana perdamaian dan stabilitas di kawasan, dan untuk menahan diri dari penggunaan kekuatan atau ancaman untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan sengketa.

c.       Dengan semangat untuk mencari titik persamaan dan mengurangi perbedaan, proses kerjasama bertahap dan progresif akan diambil, dengan mempertimbangkan perundingan untuk menyelesaikan sengketa kawasan tersebut.

d.      Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan pertikaian sesuai dengan UNCLOS 1982.

e.       Kedua belah pihak sepakat untuk bersikap terbuka atas prakarsa dan usulan konstruktif dari negara-negara di kawasan untuk membangun kerjasama multilateral di Laut Cina Selatan pada waktu yang tepat.

f.       Saling mendorong kerjasama di bidang perlindungan kelautan, pencegahan, penanggulangan kecelakaan, operasi SAR (Search and Rescue), meteorology dan penanggulangan potensi konflik.

g.      Kedua belah pihak harus bekerjasama untuk melindungi dan mengkonversi sumber-sumber daya di Laut Cina Selatan.

h.      Perselisihan akan dilaksanakan oleh negara-negara yang terlibat secara langsung tanpa mengganggu kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan.

 

Dengan berakhirnya perang dingin, ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik. Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai berikut:

a)      Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).

b)      Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis dan sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan keamanan regional.

c)      Ketiga, masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi.

Dengan demikian, konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya. regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Eksistensi ASEAN, dalam pembentukkannya dan pencapaian tujuannya, disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan regional. Ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:

a.       Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN).

b.      Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.

c.       Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994.

d.      KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ).

ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka sehingga ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri. ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik dan mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan. Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik.

Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward looking yang telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.

Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan, diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan keamanan bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama, sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing negara kawasan. Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman, tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Cina Selatan sebagai masalah yang sangat penting.

Kesimpulan

Kondisi Ekonomi dan Kebutuhan RRC. Kemajuan dibidang ekonomi yang sangat fantastis kelak akan mendorong Cina untuk meningkatkan sektor industri dan menyusul proses modernisasi Angkatan Bersenjatanya. Untuk mendukung kegiatan tersebutRRC akan membutuhkan Energi Minyak,sehingga mau tidak mau RRC akan berpaling ke Kep. Spratly yang diperkirakan memiliki cadangan minyak sebesar 10 milyar ton. Kemungkinan telah terjadi penambangan dasar laut yang menjangkau hak Kedaulatan Indonesia, karena RRC sejak 8 Mei 1982 telah mengadakan kerjasama dengan Amerika Serikat di bidang exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi di wilayah Nansha di Barat Laut Cina Selatan yang dekat dengan Kepulauan Natuna.

Kondisi perkembangan Angkatan Bersenjata RRC. Kehadiran AL RRC dikawasan Asia Tenggara dan Samudera Hindia menjadi salah satu sumber kekhawatiran utama negara Asia khususnya ASEAN..Pembangunan dermaga-dermaga dipantai Timur dan Selatan Cina kemungkinan bisa menjadi fasilitas Pangkalan terselubung bagi AL RRC.

Potensi konflik dan kerja sama. Terhadap Kep Paracel yang melibatkan Taiwan dan RRC serta Kep. Spratly yang melibatkan enam negara., merupakan faktor kritis yang dapat menggoyahkan keamanan Regional yang terus berkembang secara tak menentu,oleh karena itu Indonesia sebagai negara yang terkemuka di Asean diharapkan dapat memelopori untuk mulai meningkatkan hubungan kerja sama dengan Cina dalam segala kegiatan terutama dibidang Ekonomi dan Militer dengan selalu mempertajam kewaspadaan mengenai apa yang berkembang di Kep.Spratly dan Paracel.

Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan. Persoalannya adalah ASEAN terbentur pada keharusannya untuk terlibat dalam pengelolaan konflik Laut Cina Selatan, dimana beberapa negara anggotanya terlibat disana. Sementara ASEAN juga memiliki prinsip-prinsip kemandirian yang menekankan pada ketidakberpihakkan terhadap hal/kelompok tertentu serta tidak ikut campur dalam persolaan wilayah/kelompok lain. ASEAN harus menjaga keharmonisan hubungan diantara negara-negara anggotanya, disamping harus menjaga setiap potensi konflik dari lingkungan atau kawasan yang dapat mengancam keamanan regionalnya.

Yang terpenting adalah selama ASEAN dapat konsisten terhadap dalam menjaga komitmennya untuk ikut serta menjaga, menciptakan stabilitas keamanan regional dan global, serta mengedepankan strategi keamanan yang kooperatif dengan upaya-upaya damai dalam mengelola pesoalan-persoalan khususnya dalam kasus Laut Cina Selatan, maka eksistensi ASEAN sebagai organisasi internasional di kawasan Asia Tenggara dapat terus dirasakan bahkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan diperhitungkan di kawasan Asia pasifik.

Referensi

Geoffrey Till; Maritime Strategy and the Nuclear Age,First Paperback Edition,New York 1982

Etty R.Agoes;Masalah teritorial dan yurisdiksional di Laut Cina Selatan dan upaya-upaya untuk mengatasinya; Pro Yustisia th XI, No.4, Oktober 1993.

International Herald Tribune 3 June 1995

BKSAP DPR RI protes upaya RRC;Media Indonesia 8 Nopember 1996

Prof. Wang Gung Wu,China’s place in the region:The search for allies and friends, catatan seminar di CSIS pada tgl.16 Nopember 1997

Abdul Rivai Ras; Konflik Laut Cina Selatan,PT Rendino Putra Sejati,cetakan pertama 2001

Ermaya Suradinata dan Alex Dinuth;Geopolitik dan Konsepsi Ketahanan Nasional,cetakan pertama Mei 2001

Peter lewis Young, “The Potential for Conflict in South China Sea”, (The Various Names Given to the Spartly), Asian Defence Journal, 1995.

Asmani Usman, “konflik Batas-batas Teritorial di kawasan Perairan Asia”, dalam Strategi dan Hubungan Internasional, Indonesia di Kawasan Asia Pasifik, 

Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan, http://theglobalpolitics.com/?p=55 diakses pada 7 November 2009

 

 



[1] Fathurrohman. Arogansi AS di Asia Timur. Dinamika pemikiran http://fatkurrohman.blogspot.com/2007/07/arogansi-as-di-asia-timur.html diakses pada tanggal 12 November 2011