Kamis, 11 Agustus 2011

australia dan pasifik selatan


Tulisan ini merupakan ringkasan dari Roderic Pitty,The unfinished business of Indigenous citizenship in Australia and New Zealand” bab 2 dalam buku Does History Matter? Making and debating citizenship, immigration and refugee policy in Australia and New Zealand. Editor Klaus Neumann, Gwend Tavan edisi 2009 oleh ANU E Press.

            Dalam tulisannya Roderic Pitty membahas tentang belum terselesaikannya usaha kewarganegaraan penduduk asli atau suku asli di Australia dan Selandia Baru. Memiliki banyak kesamaan secara history seorang hakim tinggi Austalia yakni Michel Kirby mengusulkan agar Selandia Baru dimasukkan kedalam federasi Australia, walaupun demikian hal itu tidak mungkin terjadi karena kedua negara memiliki pemeintahannya masing-masing, keduanya hanya bisa bekejasana dalam uusan baik negara maupun perpolitikkan melalui pemerintah dan hubungan dalam ANZAC pada tahun 2015 mendatang. Australia dan Selandia Baru juga memiliki banyak sekali pebedaan diantaranya mengenai penanganan penduduk asli atau suku asli. Pada zaman penjajahan hal ini telah dibahas sebelumnya dimana kebijakkan pemerintah terhadap suku asli hampir tidak pernah dikembangkan dan juga diteliti untuk memperbaiki kesalahan pada masa lalu. Begitu banyak ketidak beruntungan suku asli Aborigin di Australia dibandingkan dengan suku asli Selandia Baru.

            Australia sendiri membatasi perkembangan suku asli dengan kebijakan-kebijakkan yang tidak masuk akal, suku asli tidak diperbolehkan mencapai kesetaraan dengan penduduk Australia baik dipemeintahan maupun dibidang yang lain. Perlakuan ini tentu berbeda dengan Selandia Baru. Australia saat ini sedang membahas hal-hal yang menyangkut pengakuan terhadap hak suku asli di Australia. Hal itu dimulai dengan permintaan maaf kepada The Stolen Generations oleh perdana mentri Kevin Rudd tanggal 13 februari 2008, kemudian PM Jhon Howard pada 27 Mei 2007 dengan referendum suku Aborigin tahun 1967. Kasus diatas akan dibandingkan dengan yang ada di Selandia Baru oleh Don Brash dengan tujuan menunjukkan belum selesainya usaha kewargananegaraan suku asli yang akan meningkatkan kebijakan dikedua negara.

Krisis Menajemen dan Penyimpangan Politik Masa Lalu      
           
            Kemajuan teknologi kumunikasi yang semakin membaik memberikan harapan terhadap pembuatan kebijakan sekjen PBB Kofi Annan mengatakan bahwa para pembuat keputusan hendaknya mengetahui lebih banyak dimana pengambilan keputusan mereka pada hari ini tidak menjadi penghambat bagi negara pada masa yang akan datang. Kunci dari menghindari berbagaimacam masalah yang ada adalah bagaimana seseorang atau negara dapat menggunakan sejarah politik yang ada baik mengaburkannya ataupun memutar balikkan keadaan yang ada. Kasus krisis menajemen yang terjadi menyoroti bagaimana para politisi dapat menyelesaikan krisi yang akan menjadi pengalaman dalam sebuah sejarah. Sejaah juga dapat mereka pakai sebagai senjata dalam perpolitikan persuasi.

Kewarganegaraan Suku Asli sebagai sesuatu yang belum selesai.

            Bentuk dai klaim suku asli baik di Australia dan Selandia baru tentunya berbeda tetapi hal ini menjadi tantangan utama dikedua negara tersebut. Di Australia sendiri masalah ini begitu rumit dan banyak yang menggunakannya sebagai rekonsiliasi, sebagai bukti bahwa perjanjian tersebut legal telah ditekankan oleh Pat Dodson yang menempatkan kursi perama dewan dari suku Aborigin pada rekonsiliasi tahun 1990an. Tentunya hal tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan suku asli dalam sebuah penyelesaian politik. Walaupun sudah ada negara-negara yang mengadopsi contoh penyelesaian tersebut yakni Selandia Baru dan Kanada. Penegasan kembali asimilasi oleh pemerintahan Howard yang menyoroti Krisis Abadi yang melanda bangsa Australia dari kegagalan rekonsialisi hubungan dengan suku asli. Krisis tersebut adalah mengecualikan suku asli dalam partisipasi sebagai warganegara penuh dimana untuk mencapai tidak hanya kesetaraan formal tetapi juga substantif.

            Tidak tercapainya kesepakatan yang diinginkan karena krisis paksa yang dihadapi oleh suku asli dengan hasil tidak adanya kewarganegaraan penuh. Sama halnya yang terjadi di Australia dimana ide dari sebuah bangsa yang homogen tidak terkait dengan partisipasi politik dan melindungi hak asasi manusia. David Pearson mencatat bahwa penggabungan kewarganegaaan akan mencegah penciptaan kewarganegaraan  yang baru, bentuk inklusif dari kewarganegaraan suku asli di Australia dan Selandia Baru. Penggabungan tesebut telah ada dalam masyarakat saat ini dimana lebih mementingkan komunitas apalagi setelah perubahan global yang semakin membuatnya sulit, misalnya berkurangnya kapasitas negara untuk melindungi kesejahteraan warganya banyaknya pengungsi yang berdatangan.

            Bebeapa petinggi dikedua negara telah menegaskan kembali ide-ide tentang kewarganegaraan dengan retorika kesetaraan formal untuk menolak perbedaan kebudayaan dan warisan penjajah. Paulus McHugh mencatat retorika mempromosikan tawaran untuk keseragaman kebudayaan untuk mencapai kesetaraan. Bagaimanapun suku asli memerlukan kewarganegaraan yang substansial bukannya keseragaman budaya. Mereka merampas hak kolektif kelompok-kelompok sosial untuk berbeda, oleh sebab itu mereka memerlukan partisipasi yang banyak untuk mencapai kesetaraan dalam kewarganegaraan.

            Menanggapi janji PM Bob Hawke yakni suku asli menolak ide konyol ini dimana menyangkal bahwa orang-orang Aborigin memiliki hak kewarganegaraan penuh sekarang. Tetapi Howard menolaknya dengan pernyataan bahwa Aborigin telah menjadi warganegara penuh didasakan pada konsep hukum yang sempit sebgai pengertian formal atau administrasi. Maka dari itu suku asli menolak kewarganegaraan dengan alasan yang sempit dimana hak-hak warganegara yang formal tidak memungkin mereka ikut dalam partisipasi politik, dari konteks ketergantungan kesejahteraan dan fakta tersebut menimbulkan pemikiran bahwa kewarganegaraan tidak didasarkan pada basis yang sama.

            Australia Barat bagi Aborigin untuk dapat diakui sebagai warganegara harus berpisah dari masyarakat leluhurnya. Hal ini diperjelas dengan adanya tujuan untuk menghancurkan suku aborigin, sehingga dunia luar akan melupakan bahwa memang ada suku Aborign di Australia. Pada tanggal 13 Februari 2008 pemerintah Australia mengucapkan permohonan maaf kepada The Stolen Generations dan meneima suku aborigin sebagai bangsa pertama di Australia.

Perubahan Lembaran Baru Australia : Permintaan Maaf

            Permintaan maaf yang dilakukan karena kekalahan Howard merupakan lembaran baru dalam sejarah Australia. Mengakui adanya hubungan langsung masa lalu dan penyataan masa depan yang mencakup seluruh Australia satu berdasarkan saling menghormati, saling membantu, dan saling bertanggung jawab. Pernyataan maaf tersebut disampaikan oleh PM Rudd dengan penyataan akan membangunan lembaran baru bagi Australia dengan bangga merangkul semua kebudayaan baik kuno maupun saat ini. Pemimpin Aborigin yakni Sam Watson kata maaf saja tidak dapat memperbaiki noda besar dan kesalahan mereka dimasa lalu dengan menghilangkan generasi muda Aborigin. Permintaan maaf bena-bena membawa sebuah peubahan dengan semua warganegara baik dari bangsa manapun meeka benar-benar dapat bekerjasama dan memiliki hak yang sama juga. Tujuan lainnya adalah untuk mengubah syarat dan makna dai keanggotaan dalam komunitas partai politik, berharap bagaimana Aborigin dan suku asli selat Torres bisa ikut berpartisipasi dalam masyarakat Australia.

            Banyak pertentangannya yang terjadi dimana ada sebagian yang mendukung dan ada juga yang menyayangkan tindakan Rudd. Bagaimanapun masyarakat Australia telah melalukan dosa besar dengan memisahkan anak-anak dari suku aborigin dengan orang tua mereka, sehingga anak-anak tersebut sulit beradaptasi karena setelah dipulangkan mereka tidak mengenal lagi kebudayaan leluhurnya dan apabila diletakkan dalam komunitas Bangsa Eropa mereka akan dikucilkan, sehingga membuat mereka seakan tidak diterima lagi dikedua kebudayaan tersebut. Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan permohon maaf, untuk itu dibutuhkan kepercayaan dan pemahaman yang mendalam kasus ini.

Penghinaan Lembaran Baru Australia : Intervensi

            Kekecewaan yang berlanjut pada pemerintahaan Rudd karena adanya intervensi dari Pemerintahan Howard terhadap intervensi dalam banyak kehidupan masyarakat Aborigin. Tujuan dari referendum 1967  adalah memberikan kewenangan untuk membuat hukum persemakmuran khusus untuk Aborigin, menjamin Aborigin bisa mengakses pemerintah pusat, namun Howard menyatakan tanggung jawab yang utama adalah mengatasi kemiskinan yang terjadi pada suku asli dan kekeasan yang terjadi. Howard menegaskan bahwa intervensi tidak akan ada diskriminasi dan Rudd mengasumsikan kontrol birokrasi yang berlaku bagi Aborigin bisa diklasifikasikan sebagai langkah-langkah positif. Tetapi dapat dipahami bahwa intervensi sebenarnya melahirkan diskriminasi dan tidak ada usaha yang dibuat oleh Howard dan Rudd untuk menjelaskan bagaimana langkah-langkah otonomi agar suku aborigin mendapat keuntungan.

Mitologi Kebangsaan di Selandia Baru

            27 Januari 2004 pemimpin baru Selandia Baru terpilih dari Partai Nasional. Situasinya adalah pemilih terganggu oleh budaya Maori di Selandia Baru dan pengakuan yang terlambat dari hak-hak suku asli yang ditegaskan dalam perjanjian Waitangi. Perjanjian Waitangi sendiri tidak sesuai penerjemahannya dalam bangsa Maori sehingga adanya kecurangan yang dilakukan pemerintah kolonial dalam mengartikan dalam bahasa Maori sehingga apa yang dimaksud berbeda yang dimaksudkan oleh bangsa Maori dan menandatangani dengan pemikiran mereka tidak akan kehilangan apapun. Keengganan yang terlihat dari pemerintahan yang tidak menerima selandia baru sebagai negara yang memiliki dwikebudayaan. Hal ini membuat tingkat kemiskinan pada Maori lebih tinggi dari pada Pakeha.

            Membeikan suara lebih kepada Maori untuk melakukan pemilihan tersendiri dalam suku mereka dan biasanya kursi yang disediakan oleh pemerintahan lebih endah dari kursi pemerintah. Penghapusan akan bangsa Maori sendiri kelak akan menimbulkan prasangka laten. Pengakuan bahwa Maori memiliki sejarah yang panjang dan sah dalam melawan kolonial karena melanggar ketentuan perjanjian. Pakeha memiliki hak yang sama dengan Maori. Substansial otonomi Maori berada dalam pasal 2. Maori sendiri telah memanfaatkan ketika perjanjian diganti dengan salah satu standar kewarganegaraan dimana merupakan asimilasi dari kerangka kebijakan pemerintah sampai 1970an.

            Luasnya kritikan internasional terhadapa kebijakan yang mendiskriminasikan Maori seperti hak bersejarah mereka ketepi pantai dan dasar laut. Pada tahun 2005 badan khusus PBB melaporkan tentang Hak-hak suku asli dan kebebasan dasar, Rodolfo Stavenhagen mengunjungi Selandia Baru pada tahun 2006 dimana dia menolaj berbicaa tentang hak Maori sebagai sebuah omongkosong dan menyerukan pengakuan kewarganegaraan kolektif Maori sebagaimana yang dilaporkan dalam perjanjian Waitangi. Penolakan Selandia Baru tahun 2007 tentang deklari Hak suku asli, maka dikenankan pengenceran signifikan untuk mendapat dukungan dari negara-negara lainnya, Oleh sebab itu belum adanya penyelesain dalam kasus kewarganegaraan suku asli yang terjadi di Australia dan Selandia Baru. 

Kamis, 21 Juli 2011

hubungan Diplomatik Brazil

PENDAHULUAN
Republik Federal Brasil (bahasa Portugis: República Federativa do Brasil) adalah negara paling besar dan paling banyak penduduknya di Amerika Selatan. Negara ini merupakan negara paling timur di Benua Amerika dan berbatasan dengan Pegunungan Andes dan Samudra Atlantik. Nama Brasil diambil dari nama kayu brasil, sejenis kayu lokal. Brasil merupakan tempat pertanian ekstensif dan hutan hujan tropis. Sebagai bekas koloni Portugal, bahasa resmi Brasil adalah bahasa
Brasil meraih kemerdekaannya dari Portugis pada 7 September 1822. Negara yang terletak di bagian tengah dan timur Amerika Selatan ini menjadi wilayah Portugis. Selain itu, Brazil juga sebagai penghasil kopi terbesar di dunia.jajahan Portugis sejak 1494. Pada 1889, sistem pemerintahan Brasil berubah dari monarki menjadi republik.
Konstitusi 1988 memberikan kekuasaan yang besar pada pemerintah federal. Presiden Brasil memegang kekuasaan eksekutif yang besar seperti menunjuk kabinet, dan sebagai kepala negara dan pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih bersamaan dalam pemilihan umum 4 tahun sekali. Kongres Nasionalnya (Congresso Nacional) adalah sebuah badan bikameral yang terdiri dari Senat Federal (Senado Federal) dan Câmara dos Deputados yang masing-masing terdiri dari 81 dan 513 kursi dengan masa jabatan yang berbeda.
A. SEJARAH BRAZIL                            
Brasil adalah sebuah negara berbentukRepublik Federal Brasil dalam bahasa Portugal disebut (Republica Federativa do Brasil) yang adalah sebuah negara paling besar dan paling banyak penduduknya di Amerika Selatan. Negara ini merupakan negara paling timur di Benua  Amerika dan berbatasan dengan Pegunungan Andes dan Samudra Atlantik. Nama Brasil diambil dari nama kayu besi sejenis kayu lokal. Brasil merupakan tempat pertanian ekstensif dan hutan hujan tropis. Sebagai bekas koloni Portugal, Bahasa resmi Brasil adalah bahasa Portugis yang dituturkan oleh hampir seluruh penduduknya, hal ini sangat berbeda dengan negara-negara Amerika Selatan lainnya yang menggunakan bahasa Spanyol. Bahasa Portugis merupakan satu-satunya bahasa yang diajarkan di sekolah dan digunakan dalam pemerintahan serta media. Bahasa lain yang digunakan adalah berbagai bahasa penduduk asli Brasil serta bahasa para imigran seperti bahasa Inggris, Jerman, Italia, Jepang, dan Korea
Tanggal 7 September 1822, Brazil meraih kemerdekaannya dari Portugis dan hari inidijadikan Hari Nasional negara ini. Portugis menjajah Brazil sejak tahun 1494 dan menjadikan rakyat kulit merah negara ini menjadi budak. Portugis bahkan juga mendatangkan jutaan budak kulit hitam dari Afrika untuk dijadikan pekerja di bidang pertanian. Pada awal abad ke 19, setelah Portugis diduduki oleh Napoleon Bonaparte, Kaisar Portugis dan keluarganya melarikan diri ke Brazil dan sejak itu situasi di negara ini semakin tidak tenteram.
Setelah kekalahan Napoleon, Kaisar Portugis kembali ke negerinya namun, anak laki-lakinya tetap tinggal dan menjadi raja pengganti di Brazil. 14 tahun kemudian, raja pengganti ini mengumumkan kemerdekaan Brazil dari tangan Portugis dan menjadikan dirinya sebagai kaisar Brazil.
Pada tahun 1889, sistem pemerintahan Brazil diubah menjadi republik.
Brazil yang memiliki luas wilayah 8,5 juta kilometer persegi ini merupakan kawasan yang luas di bagian tengah dan timur Amerika Selatan. Negara ini terletak di tepi samudera Atlantik dan berbatasan dengan Argentina, Paraguay, dan Uruguay
Brasil juga meraih kemerdekaannya dari Portugis pada tanggal 7 september 1822. Negara ini terletak di bagian tengah dan timur Amerika Selatan dan menjadi wilayah jajahan Portugis sejak tahun 1494 dan pada tahun 1889 sistem pemerintahan Brasil berubah dari monarki menjadi republik..Agamanya adalah 74% penduduk Brasil menganut agama Katolik Roma sedangkan 15,4% menganut Protestan dan terus berkembang. Sekitar 2,3 juta (1,3%) penduduknya menganut Spiritisme terbanyak di dunia.
 Agama-agama lainnya adalah agama-agama tradisional Afrika Yahudi dan berbagai agama Asia seperti Buddhisme dan Shinto. Sekitar 28 ribu orang menganut agama Islam atau sekitar 0,01% dari penduduk Brasil. Negara ini adalah negara dengan penganut Katolik terbanyak di dunia dan penganut agama-agama Asia terbanyak di Barat.
B. LATAR BELAKANG EKONOMI-POLITIK                                                                        Kemunculan rejim transisi demokrasi yang melanda Brazil pasca kediktatoran militer tahun 1985, telah memberi ruang bagi kompetisi antara dua aliran pemikiran mengenai demokrasi tersebut. Rejim baru ini ditandai oleh kemunculan partai politik dari beragam aliran dan ideologi, pengakuan akan hak sipil dan politik warga negara, serta pemilu yang reguler. Perayaan akan kebebasan ini begitu antusias, sehingga untuk sementara waktu rakyat Brazil melupakan kepenatan dan kepengapan hidup yang menimpanya.
Tetapi, setelah masa-masa euphoria itu berlalu, ketika orang-orang kembali pada habitatnya semula, baru terasa bahwa kebebasan yang muncul masih sebatas kebebasan berpesta, bahwa demokrasi yang baru dirayakan baru sebatas prosedur, bahwa kekuasaan rakyat hanya berhenti di kotak-kotak pemungutan suara. Keadaan inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai kondisi “defisit demokrasi.”
Daniel Schugurensky, dari universitas Toronto, Kanada, mengatakan ada dua hal yang menyebabkan kondisi “defisit demokrasi” terjadi: pertama, tidak berlanjutnya (discontinuity) proses demokrasi perwakilan. Tanya Schugurensky, setelah pemilu usai, apa yang dilakukan oleh warga negara di antara dua pemilu? Ia menjawabnya tidak banyak, karena yang dimaksud dengan partisipasi dalam demokrasi dalam setiap lima tahun sekali, adalah ketika kita pergi ke kotak pemungutan suara. Setelah itu, kita kembali ke rumah, menonton televisi, dan kembali menjadi massa penggembira dalam putaran pemilu berikutnya.
Bukan berarti pemilu tidak penting. Tapi, kembali menurut Schugurensky, sejak jaman Aristoteles, demokrasi yang berdasarkan pada pemilu semata selalu berwatak aristokratik ketimbang demokratis. Lebih dari itu, berdasarkan pengalaman kita paham bahwa masalah politik terlalu penting untuk hanyak sekadar didelegasikan kepada para politisi. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi itu hanya bertanggung-jawab kepada dirinya sendiri dan para penyandang dananya.
Kedua, defisit demokrasi terjadi lebih karena sistem pendidikan (sejak dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi) mengabaikan masalah pengembangan kesadaran warga yang aktif, kritis dan terlibat. Pendidikan kita, demikian Schugurensky, lebih memfokuskan pada masalah kompetisi ekonomi, dan mencetak “ahli-ahli” yang hanya peduli pada kepentingan sempit pribadinya. Situasi ini, menurut Schugurensky, bukalah sebuah kecelakaan, ini sesuatu yang disengaja. Mengutip John Stuart Mill, ia mengatakan, demokrasi yang sehat membutuhkan warga yang aktif tapi, pemerintah lebih menghendaki warga yang pasif, yang tidak bisa mengontrol pemerintah dan karena itu, tidak bisa memaksa pemerintah untuk bertanggung jawab kepada mereka. Di Brazil, kondisi defisit demokrasi yang membuahkan warga yang pasif secara politik telah berurat berakar. Ada dua keadaan yang menyebabkan tumbuh suburnya apatisme warga tersebut: pertama, Brazil adalah sebuah masyarakat dengan tradisi otoritarianisme politik yang sangat panjang. Keadaan ini ditunjukkan oleh begitu dominannya sistem politik yang oligarkhis, patrimonial, dan birokratik di satu sisi, dan peminggiran secara sistematis lapisan terbesar rakyat atau mereka diintegrasikan melalui ikatan populisme dan klientalisme.
Hasil penelusuran Leonardo Avritzer menemukan, antara periode 1930-1945, sistem politik Brazil ditandai oleh sistem yang korporatis-otoritarian; antara tahun 1945-1964, sistem politik Brazil mengambil bentuk populisme-demokratik. Presiden populis terakhir, Joao Goulart, jatuh karena kudeta militer, yang menandai fase baru sistem politik kediktatoran-militer. Baru setelah tahun 1985, sistem politik Brazil memasuki era yang disebut redemokratisasi.
Hasil dari sistem politik otoritarian ini, seperti dikatakan Boventura de Sousa Santos,“pembatasan ruang publik dan penguasaannya oleh para elite patrimonialis; dan 'pencangkokan' permainan demokrasi dan ideologi liberal, hanya menghasilkan kesenjangan yang sangat besar antara 'negara legal' dan 'negara nyata.' Singkatnya, masyarakat dan politik Brazil dikarakterisasikan oleh dominasi negara terhadap masyarakat sipil dan aturan-aturan yang sangat kaku yang melawan konstruksi kewargaan, pemenuhan hak-hak warga negara, dan partisipasi warga yang otonom.”
Penyebab kedua, apatisme warga terhadap politik adalah tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat yang sangat parah, sebagai akibat penerapan kebijakan neoliberal. Kondisi hidup yang papa-sengsara ini, menyebabkan demokrasi hanya menjadi barang mewah, saat yang ditunggu untuk berpesta. Demokrasi dalam kondisi seperti ini, tidak lebih sebagai kendaraan bagi elite baru warisan sistem politik otoriterian, untuk mengondolidasikan kembali kekuasasannya.
C. KELEMAHAN EKONOMI BRAZIL
Kelemahan Brasil dalam pembangunan Ekonomi adalah terlalu banyaknya tantangan pasar gelap yang kuat. Hal ini dengan masuknya barang-barang impor ilegal yang terlarang seperi obat-obat terlarang.Padahal ekonomi Brasil termasuk yang urutan keduabelas terbesar di dunia dan mewakili 50%  ekonomi wilayah Amerika Selatan. Brasil kaya akan hasil pertanian, kehutanan, pertambangan dan sumber bahan Baku industri dengan jumlah penduduk sebesar 185 juta jiwa dan merupakan pasar yang sangat besar untuk barang-barang industri dakonsumsi.Potensi Pasar Brasil yang tersedia merupakan peluang bagi eksportir-eksportir Indonésia dan untuk itu para pengusaha Indonesia perlu melakukan upaya promosi yang efektif ke pasar Brasil untuk merebut peluang pasar yang ada.        
Di Brasil juga terdapat banyak kegiatan ekonomi informal yang sangat menghalangi Pemerintah dalam memungut pajak dan mengatasi masalah pembajakan teknologi, barang-barang konsumsi dan produk lainnya. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Brasil sudah berupaya memperbaiki iklim bisnis namun lingkungan bisnis di Brasil masih sepenuhnya belum kondusif.
Padahal banyak negara-negara yang ingin melakukan hubungan kerjasama dengan Brasil mengingat lapangan pasarnya yang masih luas dan tingkat pengganguran yang tinggi mengakibatkan banyak negara-negara yang berlomba-lomba membangun relasi dengan menanamkan modalnya di negara tersebut contohnya Indonesia yang melakukan hubungan kerjasama dalam bidang perdagangan dengan Brasil misalnya tahun 2005 total nilai perdagangan Indonesia. Brasil sebesar US$ 954.329.006 dan meningkat sebesar  26,8% jika dibandingkan dengan nilai perdagangan tahun 2004 yang mengalami penurunan yang amat drastis dan total perdagangan, ini merupakan record yang pernah dicapai selama ini. Jika dibandingkan dengan ekspor Indonesia tahun 2004 maka nilai ekspor tahun 2005 ini naik sebesar US$ 88,295.783 atau sebesar  23,9% yaitu dari $ 370.125.727 pada tahun 2004 menjadi US $ 458.097.727. Kenaikan nilai ekspor ini ditunjang oleh peningkatan ekspor  antara lain : tekstil dan produk tekstil, cocoa, palm oil, sepatu karet  olah raga, alkohol. Berdasarkan  daftar 100 jenis produk  yang diekspor Indonesia  pada tahun 2004 yang nilainya diatas US$ 4 juta tercatat karet alam granulated  merupakan ekspor terbesar yang nilainya US$ 76.794.226 atau 16,84% dari total ekspor, kemudian disusul oleh Cocoa dengan nilai US$ 61.581.033 (13,50%) benang tekstil polyester US$ 53.311.889, benang tekstil fibras US$ 33.623.697, batubara US$ 15.478.457, palm oil  US$ 19.612.255 dan lain sebagainya.
Pasar Indonésia dalam pasar Brasil masih relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Índia, Korea Selatan, Jepang dan China. Share impor Indonésia dalam impor Brasil masih dibawah 1% atau tepatnya 0,6%. Dengan memperhatikan pertumbuhan industri nasional Brasil sebesar 4,7% tahun 2005 dan diperkirakan pada tahun 2006 ini juga pertumbuhan industri nasionalnya sama dengan tahun 2005 maka guna memacu peningkatan ekspor yang ditargetkan US$ 132 milyar pada tahun 2006-2007, Brasil akan mengimpor lebih banyak bahan baku untuk mendukung pertumbuhan industri tersebut seperti benang tekstil dan bahan tesktil untuk mendukung pertumbuhan industri pakaian jadi, karet dan produk karet, cocoa dan cocoa preparations, spareparts elektronik, sepatu karet, produk handicraft dan lain sebagainya melihat banyaknya eksportir-eksportir yang ingin bekerjasama. Dalam tahun 2006-2007 nilai tukar Real terhadap US $ berada  pada kisaran 1 US $ = RS 2,2 – 2,4. Menguatnya nilai tukar Real terhadap US $ akan berdampak baik terhadap impor yaitu akan merangsang peningkatan impor.
Tentunya hal ini akan memberikan peluang yang baik bagi negara-negara yang selama ini memasok bahan baku ke Brasil termasuk Indonesia Untuk beberapa jenis produk Indonésia termasuk pemasok utama bahan baku ke Brasil seperti  bahan tekstil (benang tekstil polyester, bahan tekstil polyester)  Indonésia pemasok ke-empat terbesar ke Brasil,  palm oil pemasok ke-dua terbesar setelah Malaysia, cocoa bean Indonésia pemasok ke-dua terbesar setelah Pantai Gading, karet dan produk karet Indonésia pemasok utama ke Brasil.
Dibawah ini dapat dilihat terdapat produk yang mempunyai peluang pasar baik di Brasil antara lain: karet dan barang karet, cocoa, batubara, tekstil dan produk tekstil, elektronik dan elektrikal, furniture, toy, spare parts kendaraan, perhiasan, barang-barang perlengkapan rumah sakit, dan obat-obatan. Bagi eksportir Indonesia. melakukan bisnis dengan Brasil harus mengetahui dulu secara mendalam tentang lingkungan bisnis di Brasil dan biaya-biaya yang mungkin muncul sebagai akibat bisnis dengan Brasil.
Para eksportir Indonesia biasanya menghadapi hambatan tarif, system custom yang sulit, biaya pajak yang berat dan tinggi, dan aspek hukum yang sering overloaded dan sering berlawanan dengan hukum bisnis atau bertentangan dengan hukum intelectual property rights. Ada alasan lain yang memberikan harapan dan optimis tentang pasar  Brasil di masa yang akan datang adalah dengan apreasiasi Real terhadap US $ yang pada bulan Januari 2006 sudah mencapai 25%, ekspor Brasil meningkat dari tahun sebelumnya. Hal lainnya adalah Pemerintah Brasil telah berhasil menangani inflasi, dan dengan menjadikan ekspor sebagai lokomotif pembangunan ekonomi dan Pemerintah Brasil telah berhasil membangun industrinya melalui peningkatan permintaan dalam negeri dan peningkatan ekspor yang terjadi pada tahun 2004 telah menjadikan current account Brasil positif dalam lima belas tahun ini. Pada tahun 2005 peningkatan ekspor Brasil juga meningkat mencapai 26,6% dari tahun sebelumnya.
Bukan itu saja masalah yang paling menghambat pertumbuhan ekonomi Brasil adalah besarnya jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 185 juta dan merupakan negara kelima terbesar penduduknya di dunia.Hal ini yang membuat banyaknya penggangguran di kota-kota besar dan sebagai akibat banyaknya penduduk miskin dari negara bagian Utara yang pindah ke negara bagian Selatan, Kejahatan,masalah narkotik, pendidikan  yang rendah, lingkungan yang tidak baik dan pendistribusian kesejahteraan yang tidak merata dan merupakan suatu tantangan bagi Pemerintahan Brasil.
 D. HUBUNGAN BILATERAL DENGAN INDONESIA                                              Hubungan bilateral kedua negara terjalin sejak bulan Maret 1953 selama ini berlangsung cukup baik. Pemerintah Brasil tetap mendukung integritas wilayah NKRI dan Pemerintah Indonesia serta menyambut baik keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan reformasi, memajukan demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua Pemerintah memiliki banyak kesamaan persepsi dalam penyelesaian masalah-masalah internasional, yaitu mengutamakan penggunaan mekanisme diplomasi pada tingkat regional dan multilateral.
1. Kunjungan Pejabat Negara atau Pemerintahan selama Tahun 2007                         Selama periode ini telah terjadi beberapa kunjungan pada tingkat Pejabat Negara dan anggota legislatif. Pada tanggal 17-19 November 2007 Utusan Khusus Pemerintah RI, Duta Besar Soemadi Brotodiningrat melakukan kunjungan ke Brasil untuk melakukan pendekatan terhadap Pemerintah Brasil dalam rangka untuk mendapatkan dukungan pelaksanaan Konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali tanggal 3-14 Desember 2007. Selama kunjungan Duta Besar Soemadi telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Brasil, Menteri Lingkungan Hidup ad interim dan beberapa pejabat terkait lainnya. Sementara itu Menteri Luar Negeri RI pada 22-23 Agustus 2007 juga telah mengunjungi Brasil dalam rangka Pertemuan Menteri Luar Negeri Forum for East Asia Latin America Cooperation (FEALAC) dan mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Brasil. Pada kesempatan tersebut, kedua Menteri Luar Negeri menandatangani Nota Kesepahaman pembentukan Komisi Bersama yang dapat dijadikan sebagai media percepatan kerjasama bilateral di berbagai bidang.

2. Perdagangan Antara RI – Brasil                                                                         Hubungan perdagangan kedua negara menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan selama 4 tahun terakhir. Total perdagangan Indonesia - Brasil sampai dengan Oktober 2007 berjumlah US$ 1.326.468.113, yang terdiri dari ekspor sebesar US$ 762.763.940 dan impor sebesar US$ 563.704.173. Dengan demikian surplus bagi Indonesia adalah sebesar US$ 119.059.767. Dibandingkan dengan total perdagangan kedua negara pada tahun 2006 yang sebesar US$ 1.141.154.000, maka total perdagangan hingga Oktober 2007 tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Perkembangan ekspor Indonesia sejak tahun 2003 - 2007 dapat dilihat pada tabel berikut:
Neraca Perdagangan Indonesia-Brasil Tahun 2003 - 2007(dalam US$)
Tahun
Ekspor Indonesia
Impor Indonesia
Saldo
Total
Perdagangan
2003
318.379.569
322.768.972
-4.369.403
641.148.541
2004
370.125.727
382.690.350
-12.564.623
752.491.796
2005
458.097.229
498.231.777
-42.134.548
954.329.006
2006
626.136.000
515.018.000.
+111.118.000
1.141.154.000
2007 (Oktober)
762.763.940
563.704.173
+119.059.767
1.326.468.113
Jika melihat perkembangan perdagangan Indonesia - Brasil terutama perkembangan ekspor Indonesia, dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu 4 tahun terakhir ekspor Indonesia ke Brasil telah berhasil ditingkatkan menjadi lebih dari 100%, yaitu dari US$ 318 juta pada tahun 2003 menjadi di atas US$ 750 juta pada bulan Oktober 2007.

KESIMPULAN
Brasil merupakan republik federal yang terdiri dari 26 negara bagian dan satu wilayah federal dimana Brasília, ibukota negara berada. Setiap negara bagian memiliki pemerintahannya sendiri dengan susunan yang mirip dengan susunan pemerintahan pada tingkat federal, mempunyai kekuasaan masing-masing (yang ditetapkan didalam undang-undang dasar negara bagian tersebut) dan tidak dapat disentuh oleh pemerintahan federal maupun oleh pemerinah kotapraja. Kepala pemerintahan negara bagian adalah seorang gubernur yang dipilih oleh pemungutan suara langsung dibawah undang-undang dasar federal. Lembaga peradilan mengikuti pola federal dan wilayah hukumnya ditentukan sedemikian rupa guna menghindari benturan ataupun penerapan berlebihan dengan sistem peradilan federal.                                Pada tingkat pemerintahan kotapraja terdapat lebih dari 5561 dewan kotapraja yang bersifat otonom dalam kaitan penanganan masalah-masalah setempat. Dewan kotapraja bertindak sesuai ketentuan hukum yang digariskan didalam perundangan pokok kotapraja.
Undang-undang dasar pertama Brasil dibawah suatu bentuk republik pada tahun 1891 menyusun sebuah sistem pemerintahan presidensil dengan tiga kekuatan terpisah: Eksekutif (penyelenggara negara), Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Judikasi (badan peradilan). Bentuk susunan pemerintahan ini dipertahankan hingga 6 masa pemerintahan berikutnya secara berturutan yang merupakan hasil kerja sebuah kongres nasional yang dipilih khusus pada tahun 1984 dan diumumkan secara resmi pada tanggal 5 Oktober 1988.
Undang-undang dasar tahun 1988 memuat banyak konsep-konsep baru yang cemerlang dimulai dari perlindungan terhadap lingkungan sampai kepada pemberian kekuasaan lebih luas kepada badan legislatif di dalam hubungannya dengan badan eksekutif. Sejak tahun 1992 perubahan-perubahan penting telah dilakukan yang terutama berkaitan dengan persoalan di bidang ekonomi. Peningkatan hubungan ekonomi dengan Indonesia menjadi peluang untuk Brasil maupun Indonesia mengembangkan pasar ekspor kedua negara. Perkambangan inilah yang kelak dapat memberikan keuntungan bagi keduanya baik dalam ekonomi maupun politik yang terus berubah secara statis yang tidak bisa diam saja.
DAFTAR PUSTAKA
Boaventura de Souza Santos, “Participatory budgeting in Porto Alegre: Toward a redistributive democracy,” Politics & Society; Stoneham, Volume 26, Dec, 1998.
Daniel Schugurensky, “Participatory Budget: A Tool for Democratizing Democracy,” Toronto Metro Hall, Arpil 29, 2004, http://fcis.oise.utoronto.ca/~daniel_schugurensky/lclp/PB_DS_talk_04-04.pdf
Ian Bruce (ed.), “The Porto Alegre Alternative Direct Democracy in Action,” Pluto Press, London, 2004.
Leonardo Avritzer, “Public deliberation at the local level: participatory budgeting in Brazil”, Paper delivered at the Experiments for Deliberative Democracy Conference, Wisconsin January, 2004.
Marion Gret and Yves Sintomer, “The Porto Alegre Experiment Learning Lesson for Better Democracy,” Zed Books, London, 2005.
Rebecca Abers, “Practicing Radical Democracy Lessons from Brazil,” www.nsl.ethz.ch/index.php/ en/content/download/387/2479/file/
www.abnt.org.br dan www.inmetro.gov.br/rtac       
www.ppk.lipi.go.id/informasi/berita/berita_detil.asp kompas 30 april 2007       

Teori Hubungan Internasional

Tulisan ini merupakan book review dari buku yang berjudul Non-Western International Relation Theory yang diedit oleh Amitav Acharya dan Barry Buzan. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan-tulisan dari akademisi yang berkosentrasi dalam studi hubungan internasional yang mencoba menguak ada atau tidaknya teori hubungan internasional di negara-negara non-barat, khususnya di negara-negara Asia. Dalam buku tersebut, para penulis berusaha mencari teori studi hubungan internasional yang berasal dari negara-negara Asia. Pada umumnya teori-teori hubungan internasional di negara-negara Asia tumbuh dari sejarah, tokoh dan budaya yang berkembang di masing-masing negara. Oleh karena itu, teori hubungan internasional di Asia berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Tentunya hal ini sangat baik dalam memperkaya teori hubungan internasional yang sudah ada. Dalam buku ini juga membahas mengapa teori hubungan internasional di Asia sangat lamban dalam perkembangannya dan bahkan dikalahkan oleh teori-teori yang berasal dari barat seperti keadaan saat ini.
Review ini akan membahas secara singkat isi dari buku yang berjudul Non-Western International Relation Theory tersebut. Dalam buku tersebut membahas mengenai teori non barat yang terdapat di negara-negara Asia seperti China, Jepang, Korea, India, Indonesia, dan pandangan Islam mengenai teori hubungan internasional. Kemudian pada tulisan ini juga akan membahas kendala-kendala yang dihadapi negara-negara tersebut serta kritik-kritik saya dari pembahasan dari buku Non-Western International Relation Theory tersebut.
Dalam bab pertama dalam buku tersebut merupakan pendahuluan yang membahas faktor-faktor yang menyebabkan terlambatnya perkembangan ilmu hubungan internasional di Asia dimana tertutup oleh dominasi teori hubungan internasional barat, dimana teori dari barat cenderung lebih dapat diterima dalam dunia internasional, hal ini disebabkan menangnya negara barat dalam Perang Dunia II, sedangkan keadaan negara-negara di masih jauh dari sejahtera yang membuat para akademisi hubungan internasional tidak dapat mengembangkan teori-teori yang ada di negaranya masing-masing secara intensif, dan keadaan pemerintahan di beberapa negara Asia yang memakai sistem komunis yang mengharuskan adanya satu pemikiran tentang konsep negara dan kurang dukungan dari pemerintah atas perkembangan teori hubungan internasional.
Seperti di negara China, artikel yang ditulis oleh Yaqing Qin, menjelaskan bahwa teori hubungan internasional sebenarnya memang sudah ada di negara ini yang berasal dari pemikiran Confucius dan tokoh-tokoh lainnya namun teori tersebut terpendam. Mustahil rasanya jika China tidak mempunyai pemikiran tentang hubungan internasional mengingat China yang merupakan negara paling maju dalam peradabannya sejak jaman kekaisaran China pada dahulu kala.
Keadaan negara China yang berpaham komunisme berpengaruh pada perkembangan teori hubungan internasional di China. Dengan paham komunis yang berkembang di China mengharuskan China memberlakukan penyeragaman pemikiran tentang negara menurut pemimpin China dan China juga menutup diri dari dunia luar terutama dari negara barat yang merupakan musuh dari China yang berpaham komunis. China mempunyai pandangan tersendiri tentang negara yang menganggap negara sebagai keluarga besar dan tidak ada ruang bagi dunia internasional. Baru pada saat ini saja China berusaha mengejar ketertinggalannya dalam perkembangan studi hubungan  internasional. Di universitas-universitas di China sekarang telah membuka jurusan hubungan internasional dan juga mulai menerima nilai-nilai dari barat serta berusaha mengembangkan teori-teori hubungan internasional yang ada di China. Ada beberapa konsep baru yang bisa jadi membangkitkan teori HI di China yakni, pandangan Tianxia, modernisasi pemikiran dan revolusi di China, reformasi dan integrasi ke dalam sistem internasional.
Hal serupa terjadi pada negara Korea Utara yang juga berpaham komunis. Korea Utara juga menutup diri dari dunia luar dan adanya penyeragaman pemikiran tentang konsep negara. Namun, hingga kini Korea Utara masih enggan membuka dirinya terhadap dunia luar. Keberadaan teori hubungan internasional di negara tersebut pun berdasarkan pemikiran pemimpin Korea Utara. Berbeda dengan saudara dekatnya, Korea Selatan, yang merupakan negara demokrasi, Korea Selatan dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh dunia barat. Dalam tulisannya yang membahas tentang Korea, penulis Chaesung Chun, memaparkan bahwa Korea Selatan tidak mampu dalam mengembangkan teori hubungan internasional karena dilihat dari sejarah Korea Selatan yang selalu diintervensi oleh banyak negara seperti Amerika Serikat, China, dan Jepang. Dengan adanya faktor sejarah inilah para sarjana hubungan internasional Korea Selatan mempunyai pandangan realis dimana penaklukan terhadap suatu negara adalah tindakan yang sah.
Tulisan berikutnya yang terdapat dalam buku tersebut adalah pembahasan mengenai teori hubungan internasional yang berada di Jepang. Tulisan yang ditulis oleh Takashi Inoguchi menyebutkan bahwa Jepang mempunyai cita-cita sebagai negara yang memimpin di Asia, konsep tersebut dideskripsikan dengan formasi angsa terbang dimana Jepang memimpin negara-negara lainnya yang berada di belakangnya. Dalam buku tersebut menyebutkan beberapa sarjana yang merupakan lulusan dari universitas di Jepang dengan pandangan mereka sendiri terhadap teori hubungan internasional. Beberapa tokoh tersebut adalah Nishida Kitaro yang digolongkan sebagai pemikir konstruktivis, Tabata Shigejiro sebagai seorang teoritis hukum internasional dengan mengedepankan kebebasan individu dan sikapnya yang dalam banyak aspek sangat menentang Barat, kemudian ada Hirano Yoshitaro, seorang pakar ekonomi, menempatkan konsep integritas regional lebih tinggi dari kedaulatan negara. Teori hubungan internasional Jepang tetap tidak dapat dikatakan eksis karena bagaimanapun teori-teori positivis barat tetap memberi pengaruh kuat pada tataran praktis dan teori hubungan internasional di Jepang.
Teori hubungan internasional di India dalam buku tersebut yang ditulis oleh Navnita Chadha Behera menjelaskan ketiadaan teori hubungan internasional yang muncul dari India juga disebabkan dominasi teori hubungan internasional dari Barat, termarginalisasinya studi hubungan internasional dibanding studi lain dalam wilayah ilmu-ilmu politik, kurangnya dana seperti dana penelitian untuk pengembangan studi, kurangnya penerbitan bacaan, serta kurangnya sarjana-sarjana yang berkualitas baik dalam tingkat nasional maupun regional. Merupakan suatu tantangan besar bagi akademisi hubungan internasional India dalam mengembangkan studi hubungan internasional dari India agar nantinya dapat melahirkan suatu konsep pemikiran baru dalam studi hubungan internasional.
Di Indonesia sendiri studi mengenai hubungan internasional itu sendiri memang telah ada. Mengingat Indonesia yang merupakan negara heterogen dalam segi budaya, agama, dan ras tentunya Indonesia mempunyai banyak pandangan tentang studi hubungan internasional. Namun, di dalam buku ini khususnya artikel yang membahas tentang studi hubungan internasional di Indonesia yang ditulis oleh Leonard C. Sebastian dan Irman G. Lanti hanya mengupas studi hubungan internasional dari sudut pandang masyarakat Jawa saja.
Dalam tulisannya, penulis membagi dua kategori besar masyarakat Indonesia yaitu, masyarakat Jawa dan masyarakat seberang yaitu masyarakat non Jawa. Pembagian masyarakat ini berkaitan erat dengan sejarah Indonesia yang sejak dari dulu telah didominasi oleh orang Jawa, seperti halnya jabatan presiden di Indonesia yang dijabat oleh orang-orang Jawa yang mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Salah satu tokohnya adalah Sukarno, yang dalam menjalankan pemerintahannya Sukarno sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa. Sangat terlihat jelas kepemimpinannya dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dalam tulisan yang membahas teori hubungan internasional di Indonesia mengatakan bahwa masyarakat Jawa tidak suka perselisihan dan mereka selau memecahkan masalah dengan musyawarah dan apa bila tidak mendapatkan jalan keluar barulah kekerasan dapat dipakai untuk memecahkan permasalahan tersebut. Hal ini telah dituangkan dalan konsep negara yaitu Indonesia mempunyai konsep berdikari, wawasan nusantara dan juga menjadi salah satu negara pelopor pendiri ASEAN. Sama halnya dengan orang-orang Jawa lainnya, Sukarno juga mempunyai benda-benda keramat yang sampai saat ini masih menjadi misteri.
Pada inti tulisan yang membahas teori hubungan internasional di Indinesia adalah penulis berusaha menggambarkan keadaan yang konstruktif dari negara Indonesia dengan keadaan kebudayaan masyarakat Jawa melalui tokoh pemimpin. Namun, keberadaan budaya seberang dalam pengaruh hubungan internasional di Indonesia tidak bisa diabaikan. Budaya-budaya seberang seperti Islam juga sangat berpengaruh di Indonesia tetapi hanya sebatas referensi dan tidak berkembang seperti kebudayaan Jawa.
Kemudian pada tulisan berikutnya yang membahas pengaruh Islam pada teori hubungan internasional yang ditulis oleh Shahrbanou Tadjbakhsh mencoba mencocokkan pandangan Islam mengenai teori hubungan internasional dengan teori dari barat. Penulis mempunyai pandangan bahwa Islam melakukan pendekatan kontruktif terhadap studi hubungan internasional. Sebagaimana diketahui bahwa Islam dapat dipandang sangat kompleks, Islam dapat dipandang sebagai agama, budaya, dan idealisme. Islam yang juga dapat dipandang sebagai kebudayaan mempunyai tokoh dalam dunia perpolitikan. Namun, yang dipermasalahkan oleh para akademisi hubungan internasional adalah sumber teori hubungan internasional Islam yang berasal dari kitab suci. Para akademisi dari barat mempunyai pemikiran bahwa agama merupakan suatu dogma yang mempunyai pandangan sempit dan dunia barat mempunyai pandangan bahwa agama tidak dapat dicampur adukan dengan masalah politik dan kenegaraan. Dalam kenyataannya juga negara-negara Timur Tengah yang notabene adalah negara dimana Islam berasal juga tidak menggunakan pandangan Islam dalam praktek kenegaraan dan hubungan internasionalnya. Keadaan ini terjadi kerena dominasi teori dari barat dan juga adanya perdebatan antara komunitas-komunitas Islam yang terbagi menjadi beberapa golongan.
Buku tersebut berusaha menyampaikan bahwa ada teori hubungan internasional yang berkembang di negara-negara non barat terutama di Asia yang menjadi pokok pembahasan buku yang berjudul Non-Western International Relation Theory. Dalam buku tersebut membahas secara perbab mengenai teori-teori hubungan internasional di negara-negara Asia mulai dari China, Korea, Jepang, India, Indonesia hingga Islam. Buku ini juga berusaha membandingkan teori yang berasal dari non barat tersebut dengan teori yang berasal dari barat yang pada saat ini telah dipakai oleh para akademisi hubungan internasional di dunia yang telah diterangkan sebelumnya. Di dalam buku tersebut juga membahas permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh teori-teori non barat sehingga teori-teori tersebut tidak dapat berkembang dengan pesat sehingga teori-teori dari baratlah yang dapat mendominasi.
Dominasi yang besar dari teori hubungan internasional dari barat ini terjadi karena cepatnya perkembangan teori-teori dari barat ketimbang dari teori-teori dari non barat, hal ini terjadi karena teori dari barat yang sangat mudah diterima pada keadaan dunia internasional. Sebagai perbandingan teori Westphalia dan teori yang berasal dari India kuno yang pada dasarnya kedua teori ini  sama-sama membahas tentang hubungan internasional. Yang membedakan kedua teori ini adalah pada Westphalia jelas mengakatakan perbatasan negara sedangkan teori dari India Kuno tersebut samar menjelaskan tentang batas negara. Hal ini sangat berpengaruh dengan keadaan dunia pada saat Perang Dunia I dimana perspektif realis mencapai masa puncaknya. Disini batas negara jelas diperlukan dan teori Westphalia-lah yang paling cocok dipakai dengan keadaan seperti ini. Keadaan dunia pada saat itulah yang membuat teori Westphalia dipakai hingga saat ini dan mendominasi teori-teori dari non barat seperti teori dari India Kuno tersebut.
Negara-negara Asia merupakan negara jajahan negara-negara barat. Hal ini sedikit banyak sangat mempengaruhi keberadaan teori-teori dari negara non barat tersebut. Dengan adanya pendudukan tersebut, jelas negara barat berusaha menularkan budayanya sedikit demi sedikit kepada negara jajahannya. Bukan hanya dari segi budaya saja yang dimasukan oleh negara barat terhadap negara jajahannya tetapi juga dari segi pola pikir. Hal ini menjadi beberapa faktor bahwa teori dari barat dapat mendominasi teori hubungan internasional dari non barat. Selain itu juga negara-negara di Asia merupakan negara yang berkembang juga mempengaruhi perkembangan teori-teori hubungan internasional di Asia. Dari segi ekonomi ini jelas sangat berpengaruh sekali karena dalam melakukan pengembangan teorinya para akademisi hubungan internasional terkendala dengan biaya dan fasilitas dan juga mereka disibukkan dengan permasalahan pemenuhan kebutuhan primer mereka.
Kalau pun telah sejahtera ketertinggalan teori-teori hubungan internasional dari negara non barat sangatlah sulit untuk dikejar. Selain itu juga banyaknya akademisi hubungan internasional di Asia yang telah tergantung mati oleh teori dari negara barat. Para akademisi hubungan internasional di dunia diharuskan untuk membaca dan mengulang dan mengulang teori yang telah ada yaitu, teori yang berasal dari negara barat, dari pada harus mengembangkan teori yang ada di negaranya tersebut atau pun berusaha berpikir untuk menciptakan suatu teori yang baru. Sudah saatnya para akademisi di negara non barat mulai berusaha untuk mengembangkan dan menyempurnaka teori yang ada di negaranya.
Kebebasan berpikir disini jelas diperlukan oleh para akademisi hubungan internasional di negara-negara Asia guna mengejar ketertinggalannya bahkan jika perlu ditambahkannya satu mata kuliah yang khusus di universitas guna membahas teori-teori hubungan internasional yang ada di negara-negara Asia khususnya di negara akademisi hubungan internasional tersebut berada. Hal ini akan sangat berguna guna memperkaya teori yang telah ada. Selain itu juga seharusnya pemerintah dapat berperan serta dalam mengembangkan teori hubungan internasional dengan memberikan dana dan fasilitas terhadap akademisi hubungan internasional dan hal ini sangat berguna bagi kemajuan negara tersebut demi kemajuan negara tersebut.
Dengan berusaha membahas teori-teori hubungan internasional yang berada di luar barat, jelas buku ini sangat berguna bagi para akademisi hubungan internasional. Para akademisi khususnya yang berada di luar barat diharapkan sadar bahwa ada teori-teori hubungan internasional non barat yang harus mereka kembangkan guna memperkaya teori yang telah ada. Para akademisi setidaknya dapat membandingan okoh-tokoh yang bergerak dalam hubungan internasional dari barat seperti Machiavelli, Hobbes, dan Kant dengan pemikiran dari tokoh-tokoh yang barasal dari negara non barat seperti Sun Tzu dan Confucius. Kontribusi teori hubungan internasional yang berasal dari negara non barat juga dapat dipelajari dari pemikiran pemimpin-pemimpin yang sangat berpengaruh dari Asia seperti Nehru, Sukarno, dan Mao Ze Dong. Sebagai contoh, Sukarno yang sukses menjadikan Indonesia sebagai negara pelopor pendiri ASEAN sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa yang senang memecahkan permasalahan dengan cara bermusyawarah. Dengan adanya buku ini diharapkan para akademisi tidak tergantung dengan teori-teori dari barat dan dapat berusaha untuk menciptakan pemikiran baru tentang teori hubungan internasional.
            Maka dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebenarnya perkembangan teori Hubungan Internasional tidak hanya ada dibarat tetapi juga diluar barat berkembang, walaupun dalam perkembangannya tersebut cenderung ditutupi oleh pihak barat dan dimana terkadang juga terpengaruh oleh oleh budaya yang berkembang dalam negara tersebut. Dari islam sendiri terlihat jelas bahwa banyaknya kemiripan dari teori Hungan internasional barat dengan islam, dimana dalam perkembangan sejarah sebenarnya adalah aristoteles, islam, yunani, dan  romawi tetapi islam sendiri terhapus oleh kepicikan orang-orang dunia barat yang tidak ingin orang tau tentang islam.
            Kelebihan yang terdapat dalam buku ini adalah menyampaikan bahwa teori hubungan internasional diluar barat juga ada tetapi cenderung dibatasi oleh budaya yang heteroen dan suku serta ras. Buku ini secara terbuka membuka wawasan kita tentang kemungkinan adanya teori dari dunia selain barat yang berpeluang dapat dijadikan teori hubungan internasional kelak karena sebuah teori kan terus bermunculan untuk memperbaiki teori sebelumnya.

Teori Hubungan Internasional dan Pandangan Dunia Islam

Ditulis oleh Shahrbanou Tadjbakhsh dalam buku Non-Western International Theory Persfectives on and Beyond Asia editan Amitav Acharya dan Barry Buzan. Pada pertengahan 1980an Holsti (1985:127) membuat pernyataan bahwa teori internasional hampir tidak ada diluar negara Anglophone, pernyataan tersebu memiliki makna yang ambigu, dimana Holsti memamerkan kejayaan bangsa Eropa atas pembentukan negara, kekuasaan, pengaruh dan mengacu kepada kehidupan Anglo-Amerika yang menjadi awal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan juga faktor-faktor yang menyatakan sebab akibat.
Seperti halnya Acharya dan Buzan dalam pandangan dunia islam mengenai teori hubungan internasional, dimana pandangan dunia islam dapat memberikan suatu pendapat atau opini terhadap generalisasi dari sebuah teori hubungan internasional yang saat ini berkembang. Dimana dunia islam memiliki visi tersendiri dalam hubungan internasional dimana dapat berkontribusi pada teori konstruktivis. Jadi dapat dikatakan bahwa terlalu dini menilai bahwa didunia islam tidak adanya pengearuh teori internasional barat.
Beberapa Konfrontasi
Dimana terjadi perdebatan antara para ilmuan muslim untuk menjawab persoalan yang kontemporer, dimana salah satu tantangan tersebut adalah sekularisasi yang ditetapkan sebagai sebuah modernisasi dikalangan bangsa barat. Tantangan kedua, globalisasi dimana adanya zona diluar Liberal-modernis, dimana terjadi perubahan bentuk pemerintahan menjadi demokrasi, dimana hal tersebut dijadikan jalan menuju sekulerisme ‘teologi liberal sekulerisme’ (Pasha 2003:120) untuk mecari pembenaran melalui hubungan antar negara selain domestik.
Hal tersebut menjadikan nilai-nilai islam memudar dan dimana dalam buku ini mengasumsikan perubahan pola berpikir dan keyakinan dimana lebih besar atau sedikitnya pengaruh yang dibawa oleh pihak barat ke dunia islam. Hal ini bukan hanya menjadi tekanan kepada sarjana barat, tetapi juga menjadi tekanan yang luar biasa berat bagi sarjana muslim yang ada untuk menjelaskan pemudaran tersebut. Terjadinya pluralisasi kecenderunga untuk menundukan dunia islam terutama terhadap kebijakan dan kekuasaan negara.
Oleh karena itulah konteks Hegemoni yang ditawarkan Gramscian dapat diterima secara universal ditatanan politik internasional sehingga menimbulkan sebuah wacana perdamaian Wesphalia, namun pengaruh islam terhadap THI  tidak dapat diabaikan begitu saja karena  tidak dapat diberhentikan sama sekali bahkan para sarjana muslim lebih giat lagi untuk membuat sebuah wacana melalui peristiwa pemikiran politik timur, dengan lebih memfokuskan diri pada keadilan, kolektivitas solidaritas, dan emansipasi.
Apa yang Menjadi Sumber untuk THI Islam
Dengan adanya pendapat Mirbagheri (2006) mengatakan islam islam memahami manusia dan memiliki tanggapan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan, dapat bertindak sebagai teori, hampir sama seperti yang berada pada filsafat politik barat mengenai tindakan manusia. Dalam buku ini mereka memberikan tiga sumber yang berbeda dalam dunia islam dan bagaiman seharusnya islam berinteraksi dengan orang lain. Berikut sumber-sumber dan aktor yang di sajikan oleh Acharya dan Buzan :
1.    Landasan dalam pemahaman THI Islam bersumber pada Al Qur’an, Hadist, Sunnah atau Ijtihad
2.    Adanya pemberontakan terhadap ortodoksi yang berlaku dan dipimpin oleh para pemimpin nasional.
3.    Adanya rekonsiliasi sebagai sebuah gerakan islamisasi untuk sebuah rekonseptualisasi ilmu sosial, dan ektensi THI.
Sumber Klasik
Acharya dan Buzan dalam bukunya ini mengingatkan kepada kita bahwa tradisi klasik dan pemikiran agama telah menjadi dasar para tokoh pemikir di Asia untuk menjadi awal berpikir internasional. Begitu pula diperiksanya sumber nyata untuk mencari THI non-barat sebagai alternatif yakni Al Qur’an, Hadist, Sunnah, Syariah sebelum menentukan THI. Pendekatan Yurisprudensi untuk THI Islam dapat diidentifikasi dalam konsep jihad, dimana memiliki konteks yang berbeda dalam definisinya dimana bukan bermakna perang tetapi berjuang untuk mewujudkan sesuatu yang diyakini. Menurut Rajaee(1999) jihad dalam Al Qur’an terbagi dua yakini jihad besar (perjuangan Internal) dan jihad kecil (melibatkan eksternal yakni berusaha untuk menghilangkan hambatan menuju jalan Allah dengan melawan orang-orang kafir. Islam dalam hubungan luar negerinya membagi dunia menjadi dua bidang yakni Dar al Islam (wilayah Islam) dan Dar al Harb (kerajaan perang) (Khadduri 1955)
Dar al Islam mengacu kepada dimana islam berdomisili tunduk kepada tuhan dan menjalan perintahnya sehingga menimbulkan kedamaian didalam wilayah tersebut. Daerah perang mengacu kepada tempat orang-orang kafir berdomisili sehingga dapat mengancam keberlangsungan Dar al Islam yang menimbulkan permusuhan antara keduanya. Perbedaan ini dibuat berdasarkan aturan hukum islam, Syariah yang seharusnya melindungi kehidupan muslim, properti dan iman (Abo-Kazleh 2006:43).
Beberapa pertimbangan dari THI Islam, pertama harus diklarifikasikan bahwa divisi biner adalah pendekatan yudisial dengan Al Qur’an. Kedua dalam hal Dar al Islam dan Dar al Harb sebenarnya tidak dinyatakan secara jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah, tetapi diciptakan oleh para sarjana muslim.
Asumsi yang timbul adanya hubungan  antar negara islam dan non-islam bukan karena teori perang, tetapi kerena adanya lebih dari satu negara islam yang melanggar hukum oleh defisi hukum islam (Bouzenita 2001:36) oleh karena itu hukum islam tidak menetapkan hukum aturan untuk hubungan antara entitas negara islam.
Ketiga, dualisme seharusnya menjadi konsep sentral dari THI islam, tujuan akhir islam menurut pandangan ini yaitu membentuk umat dimana aturan syariah dan mendefinisikan tugas muslim. Milbagheri menganggap konsep kekuasaan pada saat itu telh mendeka reali dan neorealis dimana memperlakukan perdamaian dan perang sebagai instrumen dari kebijakan. Hal terebut tertera pada perjanjian damai Wesphalia tahun 1648 yang mengakhiri perang tiga puluh tahun dieropa, dimana sebagai awal membentuk komunitas negara kristen  yang didominasi oelh kerajaan Ottoman.
Keempat, hukum islam menjadi sebuah yang realis berdasarkan kekuasaan dan perang dimana adanya interpretasi dari ayat-ayat dalam Al Qur’an. Kekerasaan hanya boleh dilakukan untuk membela dir , melindungi properti dan membela iman mereka.
Penolakan sebagai Reaksi Defensif
Pandangan kosmologi yang diartikan sebagai sifat tertib eksistensi manusia (Rajaee 1999) ditantang oleh pandangan dunia sekuler dimana kebenaran dapat digantikan oleh kekuasaan sebagai tujuan akhir politik. Reaksi yang ditunjukkan oleh dunia islam sebagai awal dari medernitas dipicu oleh kekalah imperium Utsmani, namun jantung dari dunia islam sendiri adalah timur-tengah yang dapat menembuh substansi dunia pada saat ini (Brown 1984;7). Pada abad 19 dan 20 hilangnya kepercayaan dalam dunia islam menjadi penyebab dua perbedaan tanggapan baik yang bersikap menerima maupun menolak.
Dalam buku ini Archarya dan Buzan menyarankan persatua Asia dan egionalisme atas nasionalisme. Kontribusi yang diberikan oleh para pemikir dan pemimpin islam menurut mereka belum dapat ditafsirkan sebagai perfektif THI.
Reformasi Islam : Regionalisasi Islam sebagai sebuah Proyek Modernis
Ssalah satu reaksi yang diberika oleh dunia Islam terhadap dunia lain adalah menghidupkan kembali reformasi dan memperkuat islam baik terhadap perambahan dunia barat dan juga menjadi reformasi internal yang dikenal sebagai al Nahda Asr (usia Renaissance). Meningkatkan keberlangsungan hidup umat islam diperlukan untuk menghadapi Eropa. Menurut Afghani, islam otentik mendorong penggunaan alasan terutama saat mengartikan kitab suci untuk membimbing tindakan manusia. ‘Abduh menyatakan bahwa islam tidak memaksakan kondisi atas alasan lain dari pada mempertahankan iman (‘Abduh 1966:176). Al Qur’an menjadi sesuatu menutun sebagai sebuah sarana yang diperlukan untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan, dan sudah terkandung didalamnya sebuah contoh kebenaran tentang dunia sekarang dan kaitannya dengan penemu-penemu ilmiah modern (Nasr 1968). Islam apabila diartikan dengan tepat tidak menentang rasionalitas dan medernitas, karena sebagian besar konstitutif kebenaran modern seperti rasionalitas. Oleh karena itu rasionalitas tidak bisa disamakan dengan modernitas didunia barat yang melayani kepentingan barat.
Reaksi Islam
Penolakan reformasi dalam islam bertepatan dengan kebangkitan agama dan politik di dunia islam. Gerakan pembebasan dari bekas koloni di Afrika dan Asia telah mengembalikan kepercayaan di dunia non-barat, membuat cernas para pemikir islam, dengan menjadikan pengalaman atas kegagalan ideologi sekuler dominan di negara-negara islam. Sehingga terjadi perdebatan yeng memungkin kembali berjayanya negara-negara islam.
Ijtihad adalah pengejaran intelektual bebas yang mengabaikan sejarah akumulasi dan tradisi fiqih ddan membuat kewenangan tersendiri (Zubaida 2005: 438) . dalam hal ini terdapat dua pemahaman yang berbeda dimana salah satu menyatakan keunggulan intuisi manusia dan kebenaran iman sebagai sebuah alasan. Sedangkan modernis dianggap sebagai keberlangsungan hidup dan integritas islam tergantung pada terbebasnya dari para korupsi asing. Semua hal ini hanya bisa diatasi oleh kemaha tahuan Allah dan kesatuan otoritas keagamaan dan politik dalam islam. Dalam hal ini tampaknya islam memiliki pandangan yang lebih jelas mengenai sifat negara dan hubungan internasional dari modernis itu, Khomeini mengemukakan pandangan mengenai  Dualitas THI Islam dalam hal ini bukal\n Realism Islam dan Realm of War, namun dari segi (mustadafun) tertindas dan penindas, kedua istilah yang diambil dari alquran, yang berhubungan langsung dengan bidang moral. \menurut Al Quran Allah telah menjanjikan bumi untuk orang yang tertindas, dalam pandangan Khomeini masyarakat islam bermoral oleh kebajikan yang ada pada setiap diri anggotanya, dan itu diwujudkan dengan kepatuhan setiap hari terhadap hukum-hukum Allah (Euben 2002:37). Sebaliknya sebuah masyarakat dibangun atas otoritas manusia yang merupakan makhluk sempurnadimana mendefinisikan aturan-aturan moral dan hukum. Jadi secara kontemporer untuk menghindari dunia yang kejam adalah tunduk kepada pesan islam sebagaimana yang tersampaikan dalam hukumnya. Fischer (1980:99) berpendapat bahwa retorika Khomeini tidak hanya kata-kata islam tradisional, tetapi mencakup makna kontemporer dan tuntutan dari dalam dan luar negeri, seperti keprihatinan populis dengan kesejahteraan kelas bawah, anti ketergantungan hubungan oerdagangan, nonaligment kebijakan luar negari.
Jalan Kreatif untuk Rekonsiliasi
Perdebatan mengenai modernisasi dalam dunia islam dianggap sebagai respon postmodern terhadap ide globalisasi. Iman tidak hanya diperkenalkan sebagai rasionalitas dan materialisme tetapi juga sebagai perinsip-prinsip pengetahuan. Apabila kedua jaln tersebut tidak dapat memberikan perubahan yang berarti maka dapt dilakukan dengan jaln terkahir yakni menggunakan bahasa dan alat politik barat sebagai pertimbangan terakhir dalam islam. Islamisasi siperkenal oleh Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 diartikan mendefinisikan kembali dan menyusun ulang data untuk memikirkan kembali alasan yang berkaitan dengan data , sehingga dapat dievaluasi dan ditarik kesimpulan kembali untuk reprojek tujuan untuk memperkaya dan melayani kepentingan islam.
Sebuah proyek dimulai dengan asumsi bahwa intelektual multidimensi dan malaise moral yang mengganggu umat muslim berasal dari imperialisme epistimologis (Al-Masseri 1994: 403). Imperialisme ini didasarkan pada etnosentrisme dengan ditandai pengabdian kepada pengetahuan yang abstrak dan memisahkan dari metafisik dan nilai-nilai etika yang memberitahukan hal tersebut (ibid. Abul-Fadl 1993:33). Dikatakan mereka yang mengabaikan penciptaan untuk mendaptkan pemahaman yang murni positivistik mereka yang selalu sibuk dengan berakhirnya sebuah sejarah, peradaban, psikologi dan ekonomi. Pada akhirnya pengetahuan perfektif islamisasi mengundang latihan untuk berinvestasi di paradigma dekonstruksi dominan untuk menggali kontradiksi, kompleksitas, diskontinuitas, dan kesempatan yang hilang dimana dikaburkan oleh bahasa kemajuan, modernisasi, dan rasionalisasi (Abul Fadl 1993:111 dikutip dalam Euben 2002:44). Ragab (1996, 1998) mencoba menggabungkan alasan (rasionalitas), iman (intuisi), dan indra (empirisme) terhadap sebuah paradigma baru dalam ilmu sosial, dia mencoba dasar dari sosiolog Pitrim Sorokin (1985) untuk siapa sistem nilai membentuk sebuah kebenaran pengetahuan mencakup ideasional, sensasi, dan sistem super idealis budaya (Sorokin:226-83). Kebenaran dibangun berdasarkan apa yang dapat dirasakan oleh indra, sehingga empiris dan idealis sebagai mensintesis dari keuanya dibuat sebagai alasan.
Tampak Perubahan pada Dunia
Globalisasi arus dan perbatasan terbuka, gerakan penduduk, kerja paksa atau sukarela telah menyebabkan terjadinya perubahan pada muslim seluruh dunia. Nasib mereka dihubungkan dengan masyarakat tempat mereka tinggal, segingga permasalahan untuk menarik garis pembatas antara islam dan non-islam menjadi pertimbangan disatu-satunya ruang. Tantangannya adalah bagaimana maasyarakat muslim hidup sebagai kaum minoritas diwilayah barat. Jika hubungan antara keduanya berbeda tempat tinggal dalam arti tidak ada lagi ruang yang memadai untuk keduanya sebagai gantinya perlu untuk mengklasifikasi hubungan antara manusia yang memiliki peradaban yang berbeda budaya, etika, agama, dan bagaimana hubungan antara interaksi warga yang berkelanjutan dengan sosial, hukum, ekonomi, atau kerangka politik ruang tempat mereka tinggal. Dengan demikian tujuan THI kontruksi dalam islam adalah keseimbangan untuk tiga kekuatan warisan lokal,  tuntutan modern, dan perintah-perintah islam dengan cara inklusif dan menghargai dialog perbedaan.
Analisis Pilihan dan Perbedaan
 Pencarian THI non-barat menghadapi ketegangan antara ruang dan ide-ide, dunia islam membutuhkan pengawasan bukan sebagai sebuah daerah HI tetapi sebagai sebuah zona budaya dimana terus berfikir tentang apa yang merupakan pengetahuan baik hidup dan tujuan akhir
Sebuah THI Potensi islam pada dasarnya Berbeda dari Pendekatan Barat
Sikap islam dalam THI adalah tegas normatif, dalam arti Aristotelian ilmu tidak hanya sebuah refleksi tentang apa yang ada tetapi juga tentang apa yang harus dilakukan. Konsepsi damai bertentangan dengan diktum realis bahwa perintah harus mendahului keadilan, berdasarkan premis bahwa keadilan tidak dapat dicari atau diterapkan dalam keadaan kacau. Dalam islam menentukan moralitas dan etika serta saling ketergantungan antara manusia, tuhan dan alam seharusnya mengganti alasan untuk mngejar kebahagiaan individu dan negara.
Perdebatan Dinamis dari Sekedar Reaksioner
Acharya dan Buzan berpendapat THI barat mendapatkan Hegemoni Gramscian dimana diatur untuk melawan apriori baik untuk menemukan persamaan dari THI isuatu wilayah tertentu atau penolakan. Baik adopsi maupun penolakan adalah bagian reaksi yang sama jauh dari penciptaan asli dan akhirnya latihan kreatif karena mereka sudah mengalah untuk kekuatan Hegemonik THI barat mereka menegaskan ketidak berdayaan alternatif dalam menyelesaikan masalah internasional.
Jantung Islam Terletak pada Dua Dasar Pendekatan yang Berbeda
Pendekatan yurisprudensi berdasarkan fiqih dan syariah melihat sejarah dan manusia sebagai sesuatu yang mutlak. Pendekatan epistemis melihat kebajikan dalam interaksi dan pertukaran antara manusia dan sejarah.
Teorisasi Terbaik dapat Dipahami Melalui Kontruktivis dan Pendekatan Kritis dalam THI
Realis dan liberal ortodoksi telah datang dalam perkembangan THI barat dengan upaya untuk menempatkan etnis, gender, budaya dan agama. Pengenalan nilai dan norma dalam sudut pandang idealis atau dimensi bersaing dengan negara atau teori power-focused. Dimulai dengan membahas legitimasi keagamaan atau etka dalam hubungan internasional. Adanya tiga variabel yang menarik yakni:
-       Agama, adanya pengabaian agama dimana lebih memilih melakukan pencarian awal dengan mengandalkan penjelasan rasional dan pedomana perilaku manusia.
-       Budaya, menjadi fktor sebagai salah satu sebagai translasi berdasarkan akumulasi, konsumerisme, dan individualisme mengikis nasional mendefinisikan identitas geografis sebuah bangsa, budaya muncul sebagai ideologi, konsepsi dan perlawanan kontra-hegemonik, asli, lokal, dan partikularistik merupakan hambatan potensial untuk mendirikan hegemoni global barat yang terpusat.
-       Identitas, subjektifitas berasal dari gagasan bahwa individu sebagai anggota masyarakat. studi tentang peran identitas dalam HI antara konstruktivisme dan neo-utilitarianisme, pembangunan dan dominasi identitas tertentu merupakan produk yang kompleks faktor interaksi ideasional dan obyektif. Dalam dunia Islam, konstruktivisme dapat memberikan kontribusi untuk analisis dimensi anti-esensialis identitas idealis, seperti Arabisme atau Islamisme baik sebagai penyebab dan kendala atas keputusan kepemimpinan (Teti 2007: 135). Konstruktivis akan mengakui bahwa mengejar kepentingan material yang dapat memotivasi para elite negara, tetapi kebutuhan untuk melegitimasi ini dalam hal norma dan identitas, baik itu Arab atau identitas Islam berbagi dengan populasi mereka, membatasi pilihan-pilihan kebijakan mereka (Barnett 1998). Dalam model Westphalia, legitimasi negara 'berasal dari kongruensi itu antara identitasatau bangsa dan kedaulatan atau negara. Di Timur Tengah, sebaliknya, adanya substansi kuat dan berkuasa suprastates identitas loyalitas tantangan kepada negara (Hinnebusch 2005).
Kesimpulan
Kesimpulannya, tidak ada cara alternatif dari perspektif islam mengenai pengorganisasian hubungan internasional. Hal ini dikarenakan wacana dalam islam secara dinamis terpisah satu sama lainnya, dan fakta bahwa dunia islam tidak memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai pandangan alternatif. Pandangan alternatif itu sendiri lebih didasarkan pada “kekuatan ide-ide seperti iman, keadilan dan berjuang terhadap 'Kehidupan baik' dari moralitas religius, bertentangan dengan mengejar kepentingan material dan kekuasaan sendiri” (hlm 191). Untuk itu dunia Islam ditantang untuk dapat menerapkan teorinya dalam praktek nyata. Berikut lima hipotesis yang dikemukakan oleh Acharya dan Buzan mengenai ketidakmunculan teori HI non-Western.
1.                Pemahaman teori HI Western yang tidak sesuai dengan kenyataan dari perspektif muslim. Hal ini disebabkan oleh “desakan teori HI Western terhadap negara, kekuasaan, dan kedaulatan” (hlm. 191). Penerimaan umum terhadap metode, epistemologis dan ontologis dari teori HI Western sendiri telah memiliki kewenangan pengaruh dalam dunia Islam, yang terbukti dengan terikatnya sarjana-sarjana Islam dalam menjelaskan adopsi, penolakan, dan hibriditas mereka dan bukannya berusaha untuk mencari tahu kemungkinan perspektif lain dengan kembali ke sumber asli Al-Qur'an, Hadis dan Sunnah.
2.                Ketidakmampuan perspektif Islam dalam mengatasi hegemoni Barat saat pemikiran alternatif  sedang dicari-cari dalam dunia Islam itu sendiri. Hal ini berbandig terbalik dengan kasus Cina yang berbeda ideologi dengan Barat—Marxist dan Maois, yaitu jika ideologi Cina diterima dan dianggap sebagai perspektif kompetitor maka teori HI Islam memiliki peluang sebagai perspektif alternatif.
3.                Alternatif non-Western dari perspektif  Islam sebenarnya ada tetapi tertutupi oleh konsep rasionalisme dan kekuasaan negara dari teori HI Barat.  Perspektif alternatif tersebut didasarkan pada keadilan, iman, dan emansipasi, yang terbentuk oleh sejarahnya, dan dari teori Barat itu sendiri.
4.                Adanya diskriminasi kondisi lokal bahwa pemahaman akan dunia Islam dan pemikiran alternatif selalu terkait dengan atau menyertakan perluasan masa lalu dan tanggapan akan tantangan-tantangan yang berasal dari luar dunia Islam tersebut. Misalnya sumber klasik dalam konteks kodifikasi hukum Islam tentang hubungan antara Muslim dan non-Muslim selalu dikaitkan relevansinya dengan teori-teori dalam konteks modernisasi oleh para intelek Muslim.
5.                Dunia Islam memang harus menyusul ketertinggalan startnya dari Barat dan beradaptasi dengan negara-negara bangsa dan sistem internasional, tetapi hal tersebut bukan sebagai tujuan utama, melainkan untuk mencapai tujuan akhir. Perspektif Islam sendiri memiliki tujuan yang besar untuk ‘kehidupan yang baik’.