Kamis, 04 September 2014


Tulisan ini merupakan summary dari buku yang berjudul Thai Migrant Sex Workers, From Modernization to Globalization karangan Kaoru Aoyama. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Palgrave Macmillan di New York pada tahun 2009 dengan ISBN 978-0-230-52466-8. Tulisan ini khusus membahas chapter kedua dari buku tersebut yang berjudul Before Becoming Sexworkers.
Dalam bab kedua dari buku Thai Migrant Sex Workers, From Modernization to Globalization, Kaoru Aoyama membahas mengenai fase “pre-sexworkers”. Kaoru mengungkap apa saja yang terjadi pada fase tersebut melalui pengalaman-pengalaman dari beberapa orang responden yang relevan dan menghubungkannya dengan latar belakang kondisi sosial-ekonomi masyarakat Thailand. Perspektik penelitian Kaoru lebih fokus kepada pengalaman pribadi responden. Ia melihat fenomena perdagangan seks global dari sisi kehidupan personal para pekerja seks, baik hubungan mereka dengan keluarga bahkan tetangga yang sebenarnya bisa membuat perempuan muda mudah terjebak dalam bisnis ini..
Pada bahasan selanjutnya Aoyama menyatakan bahwa kemiskinan merupakan faktor awal yang paling berpengaruh dalam perkembangan industri seks. salah satu contoh korban dari kemiskinan adalah Kaeo, ia berasal dari sebuah desa pertanian di prefektur Chiangrai. Selanjutnya ia membahas  mengenai sikap Ibu Kaeo tidak terlalu memperhatikan masalah pendidikan Kaeo karena sudah terbebani dengan masalah kebutuhan mereka sehari-hari. Kaeo akhirnya memutuskan untuk pergi ke Hat Yai karena ia tidak bisa lagi meneruskan sekolah. Hat Yai merupakan pusat komersil di Thailand Selatan dan banyak dikunjungi oleh pendatang dari negara-negara tetangga sperti Malaysia bahkan Jepang. Kaeo yang saat itu masih berusia 11 tahun tidak tahu apa sebenarnya yang akan ia lakukan di Hat Yai. Ia pergi kesana atas tawaran dari seseorang yang datang ketika keluarga Kaeo diusir dari rumah karena tidak mampu membayar sewa rumah.
Aoyama selanjutnya menjelaskan  mengenai perhatian dari akademisi dan lembaga pemerintah Thailand yang menyadari bahwa masalah kaum miskin pedesaan yang dihadapi saat ini semakin memprihatinkan. Berdasarkan studi yang sudah dilakukan, menunjukkan secara statistik dan analisis bahwa pada tahun 1970 jurang pemisah ekonomi antara sektor primer (termasuk pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan, pertambangan dan penggalian) dan non-primer sudah mulai terlihat. Kasus kemiskinan di Thailand juga diukur berdasarkan indikator standar World Bank yaitu apabila pendapatan harian seseorang kurang dari 2$, maka ia berada dibawah garis kemiskinan.
 Aoyama juga membahas karakterisktik orang Thailand yang tinggal di pedesaan dapat dilihat pada kehidupan Kaeo. Pada tahun 1974, ketika Kaeo berhenti sekolah, sekitar 80 persen dari para kerja, yang 70 persen diantaranya bekerja di sektor pertanian, memiliki pendidikan dasar tetapi hanya sekitar 6 persen yang mencapai sekolah tingkat menengah. Pemerintah Thailand dan USAID (United States Agency for International Development) juga telah berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan terutama bagi anak perempuan di Thailand. Tetapi, selama periode 1979-1981 muncul fakta bahwa 75 persen perempuan pedesaan dan 79 persen dari rekan-rekan pria mereka yang berpendidikan hanya menjalani pendidikan hingga kelas 4.  Pada tahun 1988, persentase orang yang menyelesaikan sekolah pada tingkat dasar tidak berubah secara dramatis. 28 persen dari anak usia 11–14 tahun, setelah kelas 4 langsung meninggalkan sekolah dan mulai bekerja. Pada tahun 1994, barulah pendidikan di Thailand mulai menunjukkan peningkatan. Peningkatan pendidikan diharapkan dapat mengubah pola hidup penduduk Thailand yang cenderung bekerja di sektor pertanian beralih ke industri lain yang lebih menjanjikan.  
            Aoyama menjelaskan bahwa pada pertengahan tahun 70-an, mulai bermunculan kritik-kritik sosial yang memaknai dimulainya proses modernisasi masyarakat Thailand. Thailand mulai membuat perencanaan sistematis dan penetapan anggaran untuk pembangunan ekonomi dan sosial pada tahun 1958 dengan menyusun First National Economic and Social Development Plan untuk tahun 1961 hingga 1966. Penyusunan rencana pembangunan ekonomi dan sosial ini sangatlah penting karena sebelumnya di Thailand telah terjadi defisit anggaran. Leslie Anne Jeffrey, seorang ahli dalam bidang politik mendefinisikan prostitusi di Thailand sebagai industri birokrasi yang dapat meningkatkan perekonomian. Hal ini dianggap telah menjadi faktor utama dari ekspansi ekonomi dan masuknya modal asing. Bahkan, dalam hal kontruksi, AS ikut membantu untuk membuka jalan di timur laut.  Munculnya kelas menengah baru Thailand yang terdiri dari mahasiswa dan “white-collar workers” yang memberikan pengaruh sosial dan ekonomi, membuat para pemimpin militer khawatir. Para masyarakat kelas menengah sangat tidak menyukai kediktatoran serta dominasi militer dan ekonomi asing di negara mereka. Kelas menengah ini disebut-sebut sebagai kalangan yang mewakili masyarakat Thailand untuk memprotes kediktatoran militer dan mempertahankan kedaulatan politik, budaya, dan ekonomi  Thailand sendiri.
Komite Mahasiswa Nasional Thailand mendirikan organisasi politik nasional untuk memboikot barang-barang Jepang pada tahun 1972. Hal ini didukung dengan munculnya UU 1973 tentang Peraturan Pekerja Asing dan pembatasan kegiatan investor asing di Thailand. Setelah kekalahan dalam perang Asia-Pasifik, Jepang menarik militernya dari Thailand dan terfokus pada keterlibatan ekonomi. Proporsi investasi langsung dari Jepang ke Thailand terus meningkat menjadi 38 persen dari semua investasi asing pada tahun 1970, dimana investasi AS hanya sebesar 19 persen. Thailand pun mengalami defisit perdagangan dengan Jepang hingga mencapai $US300 juta atau sekitar 4 persen dari GNP Thailand. Dalam ketidakseimbangan ekonomi ini, mulailah terjadi 'revolusi' pada bulan Oktober 1973.
Periode demokrasi Thailand hanya berlangsung dalam jangka waktu singkat dan berakhir dengan kudeta militer pada tahun 1976. Disisi lain, gerakan sosial perempuan mulai mempengaruhi masyarakat Thailand pada masa itu. Menurut Amara, seorang sarjana feminis Thailand, gerakan perempuan di Thailand pada 1970-an memiliki dua tahap yaitu tahap awal pendekatan untuk isu-isu perempuan di daerah pedesaan (hingga tahun 1990-an) dan tahap masuknya perempuan dalam perencanaan pembangunan secara resmi. Kegiatan gerakan sosial perempuan ini bertepatan dengan deklarasi PBB mengenai International Women’s Year pada tahun 1975. Hal tersebut seketika mempengaruhi peran perempuan dalam National Economic and Social Development Plans (NESD).
Dewan Urusan NESD menunjuk National Commission on Women’s Affairs (NCWA) pada tahun 1978 untuk bertindak sebagai pusat koordinasi operasi pelaksanaan peran perempuan dalam pembangunan. Para NCWA kemudian menyusun Long Term Women’s Development Plan atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Perempuan pertama untuk tahun 1982-2001 yang bertujuan untuk memasukkan perempuan dalam pembangunan ekonomi, perempuan harus memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengisi hidup mereka, pengetahuan dan kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga dengan cara berpikir rasional, untuk mengembangkan rasa tanggung jawab mereka, untuk memiliki peran konstruktif dalam masyarakat dan untuk berkontribusi terhadap perdamaian dan harmoni sosial baik secara internal dan internasional. Selain itu, tujuan lain yang disebutkan adalah perempuan harus mendapatkan hak dalam menentukan nilai dan peran mereka dalam kapasitas mereka sebagai anggota masyarakat. Perempuan juga harus memiliki kebebasan untuk menentukan kehidupan mereka sendiri asalkan tidak bertentangan dengan hukum.
Organisasi lain yang  fokus pada isu-isu perempuan di tingkat negara adalah the National Council of Women of Thailand atau Dewan Nasional Perempuan Thailand (NCWT). Organisasi ini merupakan organisasi perempuan terbesar di Thailand. Meskipun NCWT terus mengklaim sebagai organisasi non-pemerintah, NCWT  selalu dikaitkan dengan pemerintah dan bangsawan dan dianggap sebagai rekayasa sosial dari pembangunan negara. NCWT didirikan pada tahun 1956 sebagai bagian dari proyek pembangunan bangsa pasca perang modern. NCWT memegang peranan penting hanya beberapa bulan setelah rencana pembangunan ekonomi dan sosial disusun. Para pemimpin nasional serta PBB beranggapan bahwa organisasi wanita semacam ini berguna untuk mendorong perempuan kelas atas dengan waktu yang cukup dan pendidikan yang memadai untuk bergabung dengan rekan-rekan pria dalam menjalankan roda modernisasi. Para perempuan perkotaan seharusnya mengajarkan ide-ide baru dan menanamkan nilai-nilai modern dan praktik untuk perempuan pedesaan yang kurang beruntung.
Adanya kesadaran internasional dan idealisasi keterampilan wanita pedesaan telah menciptakan suatu kedaulatan budaya khas nasional yang kemudian melekat pada perempuan pedesaan Thailand. Keterampilan budaya bagi perempuan di daerah pedesaan dapat dijadikan sebagai segel terhadap 'pengaruh asing yang buruk' dari permintaan militer AS untuk prostitusi dan ekspor konsumerisme ke Jepang. Ketidaksetaraan dalam distribusi pendapatan antara sektor primer dan  non-primer, baik antara pedesaan dan perkotaan, antara daerah dan antara strata sosial sudah muncul di Thailand pada masa Rencana Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional Kedua 1967-1971. Sejak periode ini, perencana telah menggambarkan dan menganalisis tentang kemiskinan dan berusaha untuk menyesuaikan kebijakan mereka agar membuat pertumbuhan ekonomi semakin merata. Dari studi yang dilakukan dalam lima tahun rencana pemerintah, menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Thailand dari tahun 1960-an setidaknya telah mengurangi kemiskinan di negara ini.
            Selanjutnya Aoyama menjelaskan mengenai kemiskinan sebagai kendala dalam situasi pengucilan sosial merupakan hal yang menentang konsepsi perencanaan pembangunan, hal itu menunjukkan dalam hubungannya dengan norma-norma sosial, harapan dan hubungan. Dengan demikian memungkinkan  kemiskinan dapat mempengaruhi banyak aspek lain. Ia juga menjelaskan ada banyak perempuan yang pergi ke Bangkok atau ke Jepang, orang tua mereka yangmengirimkan putri atau adik, atau anak perempuan yang mereka miliki. Alasan mengapa banyak wanita dikirim karena adanya perdagangan seks di Bangkok atau Jepang. Chiangrai adalah tempat untuk mengirimkan perempuan muda ke Jepang dari akhir 1980-an ke awal 1990-an. Sebuah studi baru-baru ini migrasi Thailand menunjukkan bahwa Chiangrai 2 persen dari total penduduk Thailand ke jepang pada tahun 2001, terbanyak  kedua setelah wilayah metropolitan Bangkok sebagai tempat asal bagi orang-orang Thailand yang tinggal di Jepang, dengan 15 persen dari total populasi. Dalam studi tersebut, banyak perempuan lebih dari tujuh dalam sepuluh (73 persen) dari wanita ini masuk ke Jepang sebelum 1993, dengan lebih dari satu dalam sepuluh (12 persen) dari Chiangrai. Seperti contoh Kabupaten Z, di mana Kaeo dan Daaw tinggal, juga merupakan kabupaten perbatasan, dengan Laos ke timur dan Burma utara, dan itu memiliki banyak perempuan yang di emigrasi dan imigrasi. Perdagang dan masyarakat setempat menyeberangi perbatasan dari masing-masing pihak harus menunggu di penginapan. Polisi federal Thailand mengintensifkan patroli di lalu lintas akan keluar dari daerah ini ketika ada tip off terkait dengan obat terlarang. Polisi juga secara teratur naik bus lokal dan memeriksa identitas penumpang. Mereka mengadakan ini untuk menghentikan perdagangan sex, perdagangan sex di mulai dari perbatasan ke kota Chiangrai kemudian ke Bangkok metropolitan. Dalam kasus ini, kemiskinan merupakan factor utama perdagangan sex.
            Pada bahasan selanjutnya Aoyama membahas mengenai  korban seksual  yang dialami oleh prempuan Thailand. Menurut Aoyama dari 22 perempuan 19 diantaranya telah  menjadi korban pelecehan seksual yang terjadi karena  pemerkosaan oleh pamannya sendiri, dijual oleh ibunya, perpisahan dari keluarga sehingga tidak ada proteksi dari ayahnya dan akibat dari perceraian yang memaksa mereka melakukan pelacuran.   Ia juga  membahas mengenai tiga orang yang berbeda di Thailand  yang telah menjadi  korban perlakuan seksual. Yang pertama bernama Kaeo, seorang gadis yang telah diperkosa oleh pamannya sendiri pada saat ia berusia 7 tahun. Menurut aoyama  ada juga teman kaeo  yang diperkosa dari kenalan pamannya, bahkan ada juga  perempuan Thailand lainya yang melakukan aborsi dikarenakan laki-lakiyang memperkosanya telah berkeluarga…(Aoyama,75). Aoyama juga memberikan referensi mengenai jumlah kematian sebagai  penyebab utama pada tahun 1995  yang menunjukkan kesenjangan gender yang signifikan disebabkan Kecelakaan dan Keracunan (29.455 pria / wanita 6980) dan angka Bunuh Diri, Pembunuhan dan kasus-kasus lain (6148 / 1712).
            Selanjutnya Aoyama membahas  mengenai perempuan kedua  yang menjadi korban pelecehan seksual, perempuan tersebut  bernama Mai. Ia menjelaskan bahwa Mai menjadi pekerja seks pada saat berusia 11 tahun. Sebelumnya Mai telah menjadi korban perkosaan oleh saudara laki ibunya pada saat  berusia 9 tahun.  Mai  merasa lingkungan sosial membuatnya harus  bekerja sebagai pekerja seks. Hal ini dikarenakan  keadaan keuangan keluarga yang mengalami kemiskinan, selain itu ketika ia hendak pergi ke sekolah ia malah disuruh ibunya untuk menjual dirinya saja. Aoyama juga menjelaskan  bahwa Mai  merasa malu pada  dirinya, karena telah diperkosa oleh pamannya sendiri yang telah berusia 40 tahun. Mai pun mengatakan seandainya ia masih mempunyai ayah tentu ia tidak menjadi korban seksual.  Aoyama menjelaskan bahwasanya kasus perkosaan terhadap wanita yang berumur 9 tahun merupakan pelanggaran  yag serius.
            Aoyama selanjutnya membaha mengenai pernyataan Gail pheterson yang membuat hipotesis  mengenai “stigma pelacur”.  Menurut Pheterson yang dimaksud dengan pelacur adalah tidak suci, zina yang  didefinisikan sebagai hubungan seks terlarang, kenajisan, kekotoran batin, tidak senonoh atau otonomi pada wanita yang member arti bahwa hal itu memberikan seorang gadis atau pengalaman wanita di luar batas-batas suci.   Selanjutnya  Aoyama menjelaskan tentang isu hubungan seks di luar nikah merupakan  yang isu sensitif. Sehingga membuat stigma bagi setiap kalangan gadis yang melakukan hubungan seks diluar nikah  berarti tidak suci atu zinah. Menurut aoyama berdasarkan temuan lapangan dari Pimonpan menemukan bahwa di antara mereka yang tidak memiliki riwayat perkawinan, sekitar 95 persen dari wanita dan pria berusia 20-24 tahun, sekitar 65 persen dari laki-laki dan 60 persen perempuan usia 15-19 tahun melakukan  seks pra-nikah terhadap  wanita . Angka-angka ini berbeda di antara responden menikah (72 persen dari laki-laki dan 85 persen dari perempuan berusia 15 hingga 24). Hal ini disebabkan apabila perempuan menikah belum tentu diterima oleh keluar si perempuan tersebut.
Selanjutnya Aoyama membandingkan dengan temuan Chai Phodisita yang mengungkapkan bahwa  ada hal yang perempuan dan laki-laki ketika akan menikah. Mereka harus mengenalkan kepada anggota mereka satu sama lain. Lalu mereka melakukan hubungan pacaran, dan diam-diam mereka tidur bersama. Setelah itu mereka dipaksa menikah agar tidak kehilangan muka atau malu(Chai 1982: 77).  Kemudian Aoyama menceritakan mengenai perempuan yang menjadi Korban pelecehan seksual  ketiga bernama Yoon. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan tinggal di rumah sampai usia 15 tahun , kemudian pergi ke Bangkok pada tahun 1989 sebagai babysitter yang diusulkan oleh bibinya. Di Bangkok, ia juga mengambil bagian dalam pendidikan non-formal sekunder yang diselenggarakan oleh pemerintah Thailand. Yoon menikah pada usia 18 tahun karena dipaksa menikah oleh ibunya setelah diperkosa oleh pria hidung belang yang berusia 32 tahun. Mereka hidup bersama selam enam  bulan dan kemudian bercerai. Sebenarnya yoon ingin  bersekolah lagi, namun teman, keluarga memandangnya sebelah mata. Akhirnya ia pergi ke Jepang  untuk melacur.  Tapi ia kembali dan bekerja sebagai reseptionis di restoran. Dan ketika ada pelanggan ada yang mau membayar lebih ia menerima tawaran tersebut.
Aoyama juga memberikan pelaranpenting dari seorang gadis yang bernama Banyaa. Banyaa berasal dari pusat Bangkok, anak perempuan seorang pegawai kantor pensiun. Dia mengira pernikahan adalah suatu keharusan dan mendapat menikah pada usia 18 tahun.Ia berusaha keras 'untuk tidak jatuh lebih rendah'​​, begitu katanya, dengan mengambil hidung belang sebagai klien setelah menghadapi 'perselingkuhan' suaminya sendiri dan mereka berikutnya perceraian. Meskipun pendidikan SMA, ia juga harus lakukan kerja seks secara ekonomi mandiri. Menjadi pencari nafkah untuk keluarga menuntutnya  harus mendapatkan penghasilan yang besar. Hal ini yang membuat nekat Yoon menjadi sexworker karena mempunyai gaji sampai 5000 bath.
 Selanjutnya Aoyama membahas rencana pemerintah Thailand tentang  Rencana Pembangunan Ekonomi dan Sosial Kelima Nasional untuk 1982-1986, pemerintah Thailand menerapkan Program Pengentasan Pedesaan untuk daerah tertentu dan kelompok dalam rangka untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, berniat untuk memasukkan orang di daerah yang ditargetkan dalam rencana pembangunan, di samping  juga Wanita. Dimana  pemerintah Thailand akan mengembangkan sektor wisata. Hal ini sebenarnya sama saja dengan menambah korban pelecehan seksual karena wisatawan asing juga akan mencari sexworker.
Aoyama juga menjelaskan setelah Krisis Ekonomi Asia 1997, yang menyebabkan hilangnya pekerjaan besar, terutama di perkotaan Thailand. Selanjutnya, ada perbedaan gender dalam kesempatan kerja. Di sektor pelayanan perkotaan pada tahun 1994, laki-laki mendapatkan sekitar 8.200 baht per bulan, lebih dari dua kali lipat wanita angka diperoleh rata-rata sekitar 4.000 baht - angka sama dengan pendapatan Banyaa sebagai operator telepon restoran (NSO 1997: 77). Aoyama juga menyatakan bahwa pendapatan dari 4.000 baht per bulan sama sekali tidak cukup untuk sebuah keluarga dengan lima, dan alternatif untuk Banyaa adalah pekerjaan bar. baik untuk gaji pekerja bar kelas tinggi biasanya mulai dari 8.000 baht pada pertengahan 1990-an, kira-kira sama dengan rata-rata manusia di sektor jasa. Ini tidak masuk akal  dari perspektif ekonomi. Banyaa akhirnya  memilih untuk melakukan kerja seks.
Pada pembahasan selanjutnya Aoyama membahas mengenai upaya  untuk mengetahui posisi perempuan-perempuan di Thailand didalam keluarganya. Ternyata setelah terjun kelapangan banyak perempuan Thailand yang sudah bekerja untuk mendukung kondisi keluarga  sejak masih kanak-kanak. Hal ini sesuai hasil survei 17  dari 22 perempuan menyatakan bahwa mereka telah bekerja sejak masih kanak-kanak baik kerja secara formal maupun kasar. Pada tahun 1980 hingga1990 keadaan perempuan di Thailand mendapat peringkat yang tinggi level dari UNIFEM, 73 % perempuan di Thailad telah bekerja pada saat usia lewat dari 15 tahun. Pada tahun 2002,  di sektor pertanian menunjukkan bahwa perempuan Thailand berjumlah  42 % buruh dan 58 %  laki-laki, sementara di Jepang angka untuk buruh perempuan adalah 37 % (UNIFEM 2002: 36-7). Dan penulis berkomentar bahwasanya kebanyakan perempuan Thailand, mulai  dari Bangkok hingga Chiangrai, di tahun  2002-2003,perempuan telah  bekerja sebagai tenaga kerja, selain bekerja sebagai supir  tuk-tuk (motortricycle taksi), sepeda motor, taksi dan sopir bus. Perempuan Thailand  merupakan tenaga kerja  yang dapat bekerja di sektor formal, seperti kantor Dewan, sekolah, universitas, department store, hotel dan restoran, dan sektor informal, yang diwakili oleh usaha kecil seperti warung makan, toko-toko pinggir jalan, industri rumahan dan, di atas semua, bar, klub dan tempat hiburan lainnya.
            Posisi perempuan seperti ini merupakan suatu ketimpangan gender dimana perempuan diperlakukan sebagai peran sentral di masyarakat. Ada  dua teori dominan mengenai asal-usul peran sentral perempuan dan praktis dalam ekonomi dan kegiatan sosial di masyarakat: 1) keyakinan Budha yang mendefinisikan karma perempuan sebagai 'duniawi' dibandingkan dengan laki-laki yang 'terlepas dari keinginan ragawi'; 30 2) harapan sosial khususnya signifikan di daerah pedesaan di utara dan timur laut bergulir sekitar para 'wanita-berpusat "sistem garis keturunan di mana perempuan dianggap sebagai struktural penting dalam mengikat wali spiritual, hubungan dan milik anggota keluarga dalam dunia materi melalui ibu-ke-anak warisan (Potter 1977/1979: 20, 99).
            Aoyama juga menjelaskan bahwasanya perempuan di Thailand tidak mendapat akses yang sama di dalam aktivitas sosio ekonomi mereka. Hal ini terjadi ketika  tahun pertumbuhan ekonomi Thailand dari tahun 1987 hingga 1990.  Pada tahun tersebut perempuan mendapat perlakuan yang berbeda dengan laki-laki. Berikut fakta-fakta mengenai pekerja perempuan di Thailand:
  1. Kebanyakan yang pekerja di Thailand adalah perempuan, dikarenakan perempuan di rekrut sebagai tenaga kerja tidak perlu keahlian yang professional dan administrative. Karena keadaan inilah banyak perempuan yang kerjanya sama dengan jam kerja laki-laki namun gajinya berbeda. Perempuan di gaji lebih rendah dari pada laki-laki.
  2. Dibidang pertanian  perempuan menyumbang angka persentase banyak.tingkat partisipasi perempuankurang lebih sama dengan laki-laki tetapi kebanyakan (sembilan dalam sepuluh) perempuan dan laki-laki mendapatkan upah sedikit kurang dari 3.000 baht per bulan per kapita.Namun, jika pembayaran terjadi, pria mendapatkan lebih dari tiga kali lebih kas pendapatan dibandingkan perempuan (NSO 1997:76-83).
  3. Adanya upaya perempuan untuk dihambat untuk memasuki daerah administratif dan kalangan perempuan bangsawan yang bisa memasuki jabatan tersebut.
Selanjutnya Aoyama membahas mengenai posisi perempuan yang tidak diizinkan untuk memiliki lahan atas nama mereka selama masih memiliki suami sebagai kepala rumah tangga(Amara P. 1998: 9, 34-5). Hal ini sesuai dengan hukum tanah tahun 1954  yang menetapkan bahwa tanah dimiliki oleh kepala rumah tangga dan baik wanita maupun pria dengan kewarganegaraan Thailand memiliki hak yang sama dalam memiliki lahan. Namun, kepala kepemilikan tanah secara hukum yang bersifat formal rumah tangga adalah kaum pria(1990 (NSO 1997: 19). Sementara perempuan diberi tangung jawab untuk menghidupi keluarga, hal ini yang membuat perempuan Thailand banyak pergi meninggalkan desa karena telah kehilangan status sosial. Penulis juga menjelaskan mengenai posisi perempuan dalam hal pendidikan, disini mereka hanya diajarkan secara konseptual yakni hanya diwajibkan sampai bisa membaca dan menulis. Hal ini karena  wanita masih mendapat karma dan dilarang pada tradisi Bukhun yakni  tentang wanita yang dilarang untuk menempati posisi rohani yang lebih tinggi. Sedangkan laki-laki diperbolehkan untuk berkarir dibidang politik di luar rumah tangga mereka.
Aoyama  juga memberikan contoh seorang gadis Thailand yang bernama Nok, ia mengatakan bahwa pada tahun 1980 telah terjadi diskriminasi gender. Dimana ayah Nok melarangnya untuk pergi ke sekolah. Dan menyuruhnya untuk berhenti. ayahnya menyuruhnya untuk bekerja di bar  di negara Jepang. Hal ini dilakukan sebagai upaya balas jasa anak terhadap orang tuanya. Karena ayahnya telah berhutang uang dari shinyou (koperasi kredit kumiai)atau noukyou (koperasi pertanian).kakaknya telah berangkat terlebih dahulu sedangkan adiknya berada dirumah untuk merawat keluarga. Kebanyakan mereka di Jepang dijadikan sebagai pelacur karena menurut hasil laporan banyak  pelacur dari perempuan Thailand yang membiayai kehidupan orang tua  dan adik-adiknya, selain itu tagihan medis, dan beberapa, untuk pentahbisan seorang saudara sebagai seorang bhikkhu melalui ibu dan keluarga dapat membuat prestasi Buddhis dan keuntungan dalam status sosial mereka (1992: 897).
 Lebih lanjut Aoyama menjelaskan bahwa banyak laki-laki Thailand yang menjadi biarawan telah menikah dan mereka meninggalkan keluarga mereka. hal ini tentu tampaknya menjadi adegan yang aneh, karena sebagian besar berpendidikan anak laki-laki dan laki-laki muda di puncak mereka membentuk kapasitas kerja seperti kelompok introvert, tidak terlibat dalam produksi setiap
kegiatan maupun kontribusi bakat mereka kepada masyarakat (1991/2002: 162).
praktek pentahbisan laki-laki menegaskan  bahwa laki-laki tidak  'bertanggung jawab 'atau' kekanak-kanakan '. Status laki-laki yang ideal yang melekat pada koordinasi, akses ke rahib - dan ritual  menuju dewasa, untuk memenuhi status rohani yang lebih tinggi agar  laki-laki telah bertanggung jawab anggota masyarakat dengan membayar bunkhun. Sementara perempuan diminta untuk bertanggung jawab untuk rumah tangga mereka dari anak usia dini mereka dan untuk tumbuh cepat dalam hal praktis, manusia bisa tinggal di pra-dewasa selama seperti yang mereka inginkan. Vanlandingham dan Grandjean menggambarkan protokol ini  mengenai peran gender dengan mengacu pada cerita rakyat menunjukkan bahwa "seorang pria Thailand yang khas" pada akhirnya tidak mampu menangani tanggung jawab yang sejalan dengan kekuasaan untuk membuat keputusan penting 'sementara' perempuan Thailand diharapkan dapat bertanggung jawab untuk kelancaran fungsi rumah tangga (1997: 132). Dan pada akhirnya perempuan harus memikul beban yang berat tanpa adanya kenaikan posisi sosial mereka.