Kamis, 10 Mei 2012

MODERNISATION, GENDER AND GLOBALISATION: SITUATING THE MIGRATIONS OF THAI SEXWORKERS


Tulisan ini merupakan summary dari Studi Kasus Regionalisme dan Globalisme yang merupakan tulisan dari Kaoru Aoyama yang berjudul Modernisation, Gender and Globalisation : Situating the Migrations of Thai Sexworkers yang merupakan bab 1 dalam bukunya Thai Migrant Sex Workes : from Modernization to Globalization. Buku ini diterbitkan oleh Palgrave Macmillan pada tahun 2009.
Kaoru Aoyama menggunakan pendekatan empiris untuk menganalisa dinamika modernisasi, gender dan globalisasi terhadap kekhususan dan universalitas subjek migran pekerja seks di Thailand. Di awal pembahasan Kaoru Aoyama menjelaskan perdebatan tentang prostitusi yang telah membagi feminis ke dalam dua kubu dalam perkembangan terakhir. Dilanjutkan dengan jalan tengah antara dua kubu feminis, perbudakan seksual, pengenalan konsep social death serta menjelaskan empat isu substantif terhadap dekatnya industri seks global. Aoyama menutup tulisannya dengan merumuskan simpulan atas penelitiannya tersebut.
Di awal pembahasan, Aoyama memperkenalkan perdebatan tentang prostitusi yang telah membagi feminis ke dalam dua kubu dalam perkembangan terakhir. Satu sisi berpendapat bahwa prostitusi perempuan dianggap sebagai bentuk perbudakan; bahwa perempuan  terlibat sebagai hasil dari subordinasi patriarkal mengikat dan eksploitasi kapitalistik yang menjauhkan mereka dari penghasil pendapatan lainnya. Sisi lain berpendapat bahwa prostitusi harus diperlakukan sebagai suatu bentuk pekerjaan yang sah; sexwork  dianggap sebagai pilihan rasional. Dalam perdebatannya, muncullah peningkatan argumen untuk sebuah jalan tengah yang menekankan pada sifat kontingen prostitusi. Namun dalam perumusan jalan tengah juga tidak didapat sebuah kesimpulan kompleks yang disebabkan tidak adanya pertimbangan yang matang dari interaksi kompleks dari semua yang dapat dicapai dalam perdebatan. Oleh sebab itu, Aoyama mengambil jalan tengah dengan menawarkan penelitian ke arah pandangan kontinjensi melalui pengalaman responden sesuai keadaan mansing- masing. Kondisi kerja dan derajat akses terhadap sumber daya sosial, terutama untuk jaringan pribadi maupun sosial adalah faktor yang paling penting bagi responden dalam mendefinisikan bagaimana pendefinisian prostitusi.
Aoyama melanjutkan tulisannya dengan munculnya konsep ‘jalan tengah’ terhadap dua kubu feminis dalam pandangan prostitusi. Perdebatan dua kubu feminis lebih terhadap konsep prostitusi telah memiliki akar dalam konteks Thailand-Jepang secara teoritis maupun tingkat empiris,  ekonomi dan politik perdagangan seks sudah dikenal secara global. Kubu anti-prostitusi berpendapat bahwa prostitusi adalah subordinasi seksual utama wanita di bawah patriarki, beberapa anggota menggabungkan ini dengan fokus yang sama atau lebih besar pada eksploitasi ekonomi di bawah kapitalisme. Wanita memilih jalan prostitusi karena tidak adanya pilihan dari kehidupan lain bagi mereka untuk mendukung diri mereka di bawah dominasi ekonomi dan seksual laki-laki. Oleh karena itu, prostitusi perempuan terhadap laki laki secara struktural dipaksa dan dianggap sebagai bentuk perbudakan seksual. Perlu digarisbawahi bahwa pertimbangan nilai yang menawarkan tindakan seksual kepada orang lain untuk kompensasi moneter tidak lain adalah penundukan diri kepada pihak lain. Tindakan seksual sangat berhubungan erat dengan martabat manusia dan uang.
Kubu kedua berpendapat bahwa prostitusi dapat dimaknai sebagai keterampilan hidup atau bahkan sarana untuk pemberdayaan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki cara lain untuk produktif dalam hidupnya yakni hidup dari menjual tenaga seksual. Jadi pilihan dari perempuan untuk terlibat dalam prostitusi harus dianggap sebagai keputusan yang rasional dan praktis, bukan sebagai kesadaran palsu. Pelacuran dalam situasi ini harus diperlakukan sebagai suatu bentuk pekerjaan, yang berbeda dari perbudakan seksual di mana perempuan kehilangan segala kemampuan untuk bertindak atas kehendak mereka sendiri.
Perdebatan prostitusi memuncak di Jepang selama tahun 1990-an. Diawali ketika publikasi tulisan kontroversial pada tahun 1993 tentang Sexwork yang diedit oleh Delacoste dan Alexander. Dilema kalangan feminis Jepang juga ditampilkan dalam teks ekspositori oleh Yukiko Tsunoda, pengacara feminis terkemuka dalam membela perempuan didakwa sesuai dengan UU Pencegahan Pelacuran. Dia menegaskan bahwa hak asasi manusia mereka harus dijamin secara penuh, untuk mengakui tindakan prostitusi sebagai pekerjaan adalah masalah lain. Pada waktu yang sama, Daizaburo Hashizume, seorang sosiolog agama kontemporer dan pendidikan, memicu kontroversi dengan menyatakan bahwa peserta diskusi terhadap prostitusi mengkritik eksploitasi dan subordinasi perempuan tidak berhasil dalam membangun logika apapun untuk menolak prostitusi. Argumennya muncul sebagai akibat dari bab berjudul "What’s Wrong with Prostitution?" dalam sebuah antologi pertarungan feminis mengenai komersialisasi seks. Hal ini menciptakan perhubungan untuk publikasi tanggapan kritis pekerja seks untuk argumen perbudakan oleh non pekerja seks, dengan antologi I DECIDE to Sell or Not (2000) disunting oleh Goichi Matsuzawa. Dalam buku ini, berbagai opini disajikan spesifik, sangat kritis, analisis argumen kontemporer oleh nom pekerja seks, menunjukkan bahwa telah dikembangkan melalui pihak ketiga pertimbangan nilai dengan tujuan politik dan moral menghapuskan prostitusi sebagai presuposisi. Setelah buku ini, kesenjangan besar antara persepsi menjadi jelas antara pekerja dan non pekerja tentang sexwork di Jepang dan tanggung jawab ditempatkan pada setiap tesis baru untuk membenarkan setiap upaya untuk membujuk pembaca tanpa dasar bukti empiris. Dan terakhir dalam Research on Perceptions of Women Working in Erotic Entertainment (2005), sebuah film dokumenter penelitian kehidupan sosial pekerja seks.
Melalui tren tersebut, perdebatan prostitusi kalangan feminis berkembang menjadi  ekstrim serta menuju kompromi antara kubu anti-prostitusi dan pro-sexwork. Terutama, argumen untuk sexwork menyerukan dekriminalisasi prostitusi, berbeda dari status pidana dalam yurisdiksi atau legalisasi yang membuat pelacuran dan pelacur yang dikendalikan negara. Dekriminalisasi prostitus harus diakui sebagai pekerjaan karena rentan terhadap eksploitasi sehingga diberikan dasar untuk perlindungan hak asasi mereka dalam praktek ekonomi dan hukum. Kedua kubu masing- masing mendapat manfaat dari kejelasan analitis yang lebih besar yang diberikan oleh perbedaan berikut yakni antara pelaksanaan kekuasaan oleh kekuatan eksternal dari sistem sosial dan ekonomi di mana para agen yang terlibat tidak memiliki kontrol dan kemampuan internal agen untuk bertindak di dalam dan melawan sistem.
Dalam perdebatan feminis, Aoyama mencari jalan tengah di mana dengan mengenali kedua kekuatan eksternal dan kemampuan internal dari perempuan sebagai agen yang terlibat dalam prostitusi. Argumen persuasif yang menyatakan bahwa apa prostitusi dan bagaimana hal itu harus diakui tergantung pada konteksnya masing- masing. Aoyama menambah bukti dengan memperkuat pengakuan terhadap kontingensi prostitusi. Argumen Aoyama untuk 'jalan tengah' dalam kasus ini kontras dengan argumen Julia O'Connell Davidson, salah satu pendukung 'jalan tengah' yang meneliti perdagangan Iseks domestik Inggris dan global.
Aoyama melanjutkan dengan terkait perbudakan seks terhadap pekerja seks. Faktor-faktor paling signifikan adalah kondisi kerja dan akses ke sosial sumber daya, terutama jaringan mereka dalam berhubunga. Dalam konteks ini, setiap wanita  tampak dan merasa berbeda tergantung pada sudut pandang dirinya pada saat artikulasi pengalaman tertentu. Umumnya keras pengalaman, lebih detail pengalaman responden semakin lama jarak temporal untuk pengalaman, mereka diartikulasikan sebagai sesuatu yang mirip dengan perbudakan. Di balik cerita-cerita tersebut ada banyak pengalaman traumatis serupa yang tidak bertahan untuk berbicara.
Konsep social death merupakan topik pembahsan Aoyama selanjutnya. Kemampuan pekerja seks dalam memiliki kontrol atas situasinya akan berkurang, persepsi subjektif tentang 'pekerjaan' secara bertahap menjadi negatif, dan beban emosi negatif terhadap orang lain serta dirinya sendiri menjadi lebih berat karena bergerak dari kiri ke kanan sepanjang sumbu dari 'kondisi kerja dan akses ke sumber daya sosial' terhadap tingkat terendah. Pada akhir negatif dari kontinum, ada 'kehilangan jaringan' yang akan  meningkatkan ancaman terhadap kehidupan dan membuat agen merasa bahwa dia tidak dapat melarikan diri dari eksploitasi dan kekerasan dan dengan demikian berada dalam situasi perbudakan maka menjadi salah satu dari social death baik dalam persepsi nya diri maupun terhadap hubungannya dengan orang lain. Social death pada akhirnya berdampak negatif dan identik dengan perbudakan.
Social death merupakan salah satu konsep utama yang digunakan Julia O'Connell Davidson dalam Prostitution, Power and Freedom (1998), di mana Julia meneliti makna dan praktek-praktek dominasi dalam pelacuran meliputi wilayah politik, budaya, moralitas, ekonomi dan yurisdiksi berdasarkan pada pengamatannya terhadap sejumlah varietas transaksi global.  O'Connell Davidson mencari jalan tengah dalam perdebatan feminis dalam prostitusi berteori serta bertujuan untuk membuat perubahan politik untuk kepentingan pekerja seks. Dia berpendapat bahwa prostitusi  lebih dikonseptualisasikan sebagai suatu kontrak daripada sebagai pertukaran uang untuk layanan seksual di mana klien mengambil alih kontrol tubuh pekerja seks. O'Connell Davidson membedakan prostitusi sebagai institusi yang unik diorganisasikan melalui sebuah kompleks yang berbeda dari hubungan kekuasaan. Dengan cara yang sama, Julia tidak setuju dengan feminis radikal lainnya terutama Susan Brownmiller, Catherine Mac Kinnon, Andrea Dworkin dan Kathleen Barry, yang penuh semangat berpendapat bahwa setiap dan segala bentuk prostitusi heteroseksual melalui pihak mendapatkan akses seksual kepada tubuh perempuan yang merupakan dominasi laki-laki atas perempuan dan yang mirip dengan hubungan tuan-budak. Argumen seperti mengabaikan sifat rumit dan kondisi transaksi prostitusi yang menghasilkan beraneka ragam pengalaman subjektif dari pelacur.
Social death terjadi dalam gradasi memburuknya kondisi dan kekurangan sumber daya sosial. Ini adalah ketika hal ini terjadi bahwa sexworker beberapa langkah ke dalam situasi perbudakan. Untuk membuat kondisi yang secara bertahap mengarah pada situasi perbudakan yang lebih mudah terlihat, sangat penting untuk membatasi penggunaan konsep social death untuk situasi dan persepsi yang dipisahkan dari konsep yang lebih umum dalam perspektif subjektif perempuan.
Aoyama melanjutkan terkait beragam pengalaman dari pekerja seks. Aoyama pada satu sisi berada pada kelompok yang mengatakan bahwa yang menjadi fokus adalah pengalaman dan kebutuhan para wanita itu. Sementara itu dia tidak setuju dengan kelompok lain yang mengatakan ‘melihat pelacur sebagai korban dari seksualitas pria.’ Dia juga tidak memakai konsep ‘bebas memilih’ nya O’Neill karena ‘bebas memilih’ menunjukkan kemampuan untuk memilih pilihan yang bebeda.
Narasi dari wanita yang ‘memilih’ untuk bekerja di dalam industri seks memperlihatkan  gambaran yang kompleks mengenai seksualitas, identitas serta pengalaman hidup dari para wanita yang melewati ruang antar gadis baik dan gadis nakal, diantara konformitas gender dan identitas seksual dalam sebuah masyarakat konsumen yg berputar pada kekuatan, hak-hak, kebutuhan dan aspirasi individual. Aoyama lebih memilih kata ‘pekerja seks’ daripada ‘budak seks’ karena kebanyakan berdasarkan dua penilaian; situasional dan futurisktik. Situasional, Aoyama menghormati responden-respondennya yang memiliki persepsi bahwa prostitusi ialah pekerjaan. Futuristik berhubungan dengan harapan bahwa mereka yang tidak berpartisipasi dalam memisahkan antara yang bekerja di dalam industri seks dari mereka yang tidak;  mengubah persepsi dengan mengatakan menyediakan layanan seks adalah salah satu bentuk pekerjaan dan tidak mempengaruhi martabat.
Sementara penilaian moral tentang perdagangan layanan seks untuk uang adalah pelanggaran, penilaian ini membuat pekerja seks terlihat buruk harga dirinya. Mereka juga dilabeli ‘menyimpang.’ Untuk melawan pelabelan itu, Aoyama menggunakan istilah pekerja seks dengan maksud bahwa pekerja seks bisa meningkatkan situasi mereka sendiri jika mereka bekerja dan hak mereka diakui sah dalam masyarakat. Berdasarkan akumulasi pengetahuan yang terletak dalam segmen tertentu dari industri seks lokal, didapat empat isu substantif mengapa mereka dekat dengan  jantung dari industri seks global kontemporer. Isu- isu substantif tersebut yakni : 1) dampak modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional; 2)  Gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan tanggung jawab selaras dengan makna sekualitas wanita; 3) globalisasi budaya dan ekonomi dan 4) globalisasi migrasi.
Pertama, mengenai dampak modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional. Bagi masyarakat pertanian yang miskin di pedesaan, termasuk sebagian besar keluarga responden Aoyama, transformasi industri mengakibatkan perampasan sumber daya sosial yg melekat pada produksi pertanian, terutama sistem hubungan komunal yg berpusat pada wanita dan pewarisan properti di utara dan timur laut. Praktek-praktek politik dan ekonomi dari kebijakan pembangunan Thailand yang tidak terpisahkan dengan tekanan dari berbagai lembaga eksternal; World Bank, IMF, PBB, negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Tekanan datang pada saat yang sama datang dari dalam, yaitu dari masyarakat yg berada di starata sosial yang tinggi ke yang lebih rendah dalam bangsa Thailand, berupa rekayasa sosial. Sebuah bagian integral dari tekanan ini adalah bercita-cita menuju akses ke kekayaan sosial dan material, tidak hanya barang dan uang tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan pertukaran budaya bagi bangsa secara keseluruhan. Namun, ada kesenjangan antara apa yang dianggap perencanaan untuk kemajuan bangsa dan apa yang dibutuhkan bagi mereka yang dirampas oleh kondisi yang dibawa oleh pembangunan ekonomi itu sendiri. Kesenjangan ini ada di bagian utama kesenjangan sosial. Perencanan tidak memadai membahas masalah kehidupan nyata kelompok terget mereka, orang- orang  hidup dalam kemiskinan. Rencana pembangunan tidak bisa memasukan kebutuhan yang diperoleh dari pengalaman, pikiran, perasaan dari orang-orang sampai di rencana, awal pembangunan kedelapan untuk 1997-2001  . Gadis-gadis dan wanita muda yang berasal dari keluarga petani pedesaan yang terletak dalam posisi sosial yang rendah membayar harga yang lebih tinggi untuk bertahan hidup dalam kesenjangan. Rekayasa sosial  memiliki dampak yang besar, terutama pada kehidupan generasi responden Aoyama yang lahir antara tahun 1960- an dan awal 1980-an.
Kedua, terkait gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan tanggung jawab selaras dengan makna sekualitas wanita. Harapan sosial gender, kewajiban dan tanggung jawab, sama dan sebangun dengan makna seksualitas perempuan. Dimulai dengan gender, Aoyama fokus pada peran pusat perempuan dan peran praktek dalam kegiatan perekenomian di Thailand. Aoyama setuju bahwa perempuan Thailand merupakan tenaga kerja yang tangguh dlm perekonomian Thailand secara formil dan informal dan hasilnya mereka punya kehadiran yang kuat, pengaruh dan kekuatan aktual dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan professional dan administratif. Tapi evalusi Aoyama untuk kesetaraan gender secara keseluruhan di Thailand bertentangan dengan PBB sampai tahun 1990an, struktur sosio-ekonomi bangsa ini terjalin dengan bentuk pelengkap yang tidak setara diferensiasi gender budaya daripada egaliter dan hal ini telah membantu mempertahankan kemampuan khusus perenpuan dalam budaya. Aoyama menghubungkan diferensiasi sosial dengan sebagian besar kepercayaan Budha tertentu dan dengan garis keturuanan yang berpusat pada wanita. Kepercayaan dan norma- norma tradisional keturunan perempuan, terutama berakar pada budaya pertanian pedesaan, gender dan link Thailand konsep sigender bagi seksulitas melalui peran ibu, orang tua dan anak.
Ketiga, terkait globalisasi budaya dan ekonomi. Aoyama berpendapat bahwa ‘the unspeakability’ dari seksualitas wanita adalah faktor yanga mencolok dalam bentrokan antara ekspresi budaya yang spesifik dan budaya globalo yg dikomersialisaasikan dalam masyarakat modern Thai. Argumen ini mengubungkan seksualitas terhadap hubungan kekuasaan terkait isu yang tampaknya seksualitas pribadi ke kondisi ekonomi nasional thai selama periode pertumbuhan intensif dari perdagangan bilateral dengan jepang antara akhir 1980an dan awal 1990an. Ini lalu menyediakan latar belakang dari beberapa responden penulis yg beremigrasi ke Jepang menyebabkan perbedaan di pengalaman berdasarkan waktu, kondidsi bekerja dan ketersedian sumberdaya.
Keempat, Migrasi perempuan muda dari daerah pedesaan di utara dan timur laut Thailand, tidak hanya berhenti di Bangkok. Pada awal 1980-an, migrasi dari Thailand ke Jepang mulai meningkat, yang pertama sebagai migrasi 'hukum', seperti Thailand Migrasi Act 1979 dan Undang- Undang Ketenagakerjaan dan Rekrutmen 1983 dimulai perekrutan yang dikendalikan dari luar negeri. Rencana Pembangunan Sosial tahun 1977-1981 menekankan pengembangan infrastruktur untuk distribusi sumber daya dan untuk mempromosikan penyesuaian struktural ekonomi. Tetapi pada tingkat ekonomi bilateral maupun politik hubungan, defisit perdagangan Thailand ke Jepang, tumbuh sejak awal negara mulai merencanaan pembangunan nasional, sudah sebesar 71,5% yang tidak bertahan dari total defisit perdagangan nasional defisit pada tahun 1977. Pertemuan resmi antara Thailand dan Jepang diselenggarakan di tengah-tengah ketidakseimbangan ekonomi dan delegasi Thailand bahwa Jepang diminta bekerja sama dalam pemasaran dan promosi ekspor, khususnya dengan industri kecil dan menengah di Thailand. Saat itu di tahun ini, 1979, bahwa perusahaan multinasional berbasis Jepang memulai pelatihan karyawan Thailand di Jepang. Perekrutan tenaga kerja ilegal di Thailand, termasuk perempuan untuk prostitusi, tampaknya telah menjadi sistematis dan diperbesar secara bertahap dengan jeda waktu hanya beberapa tahun. Beberapa responden Aoyama adalah di antara pencari kerja 'ilegal' dalam periode ini yang bermigrasi melalui dilaporkan sebuah terorganisir rute perdagangan dari Thailand. Namun demikian, itu tidak sampai tahun 1989 bahwa jumlah migran Thailand, khususnya perempuan di Jepang melihat peningkatan yang fenomenal. Pada tahun 1994, perempuan Thailand yang bermigrasi ke Jepang terjadi peningkatan dengan skala besar. Namun, beberapanya kembali lagi ke Thailand. Aoyama berpendapat bahwa  bersifat umum yang dicatat antara migrasi mereka yang berbeda budaya, politik dan ekonomi kondisi, termasuk mantan pekerja seks atau perempuan Thailand di Jepang. Howard Becker memakai biculture sebagai simbol gagasan adaptasi.
Aoyama menutup tulisannya dengan merumuskan simpulan. Perdebatan tentang prostitusi yang telah membagi feminis ke dalam dua kubu dalam perkembangan terakhir. Satu sisi berpendapat bahwa prostitusi perempuan dianggap sebagai bentuk perbudakan; bahwa perempuan  terlibat sebagai hasil dari subordinasi patriarkal mengikat dan eksploitasi kapitalistik yang menjauhkan mereka dari penghasil pendapatan lainnya. Sisi lain berpendapat bahwa prostitusi harus diperlakukan sebagai suatu bentuk pekerjaan yang sah; sexwork  dianggap sebagai pilihan rasional. Dalam perdebatannya, muncullah peningkatan argumen untuk sebuah jalan tengah yang menekankan pada sifat kontingen prostitusi. Namun dalam perumusan jalan tengah juga tidak didapat sebuah kesimpulan kompleks yang disebabkan tidak adanya pertimbangan yang matang dari interaksi kompleks dari semua yang dapat dicapai dalam perdebatan. konsep muncul Social death  dalam gradasi memburuknya kondisi dan kekurangan sumber daya sosial. Ini adalah ketika hal ini terjadi bahwa sexworker beberapa langkah ke dalam situasi perbudakan. Untuk membuat kondisi yang secara bertahap mengarah pada situasi perbudakan yang lebih mudah terlihat, sangat penting untuk membatasi penggunaan konsep social death untuk situasi dan persepsi yang dipisahkan dari konsep yang lebih umum dalam perspektif subjektif perempuan. Berdasarkan akumulasi pengetahuan yang terletak dalam segmen tertentu dari industri seks lokal, didapat empat isu substantif mengapa mereka dekat dengan  jantung dari industri seks global kontemporer. Isu- isu substantif tersebut yakni : 1) dampak modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional; 2)  Gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan tanggung jawab selaras dengan makna sekualitas wanita; 3) globalisasi budaya dan ekonomi dan 4) globalisasi migrasi. Empat isu tersebut diorganisir pada responden Aoyama dari sisi bagaimana tahapan karirnya, bagaimana kehidupannya dan apa efek yang timbul dalam faktor sosial sekitar mereka. Dengan cara ini akan memudahkan dalam membentuk pemahaman alasan hermeneutik dalam hasil studi ini.
***********

Thai Migrant Sexworkers From Modernisation to Globalisation: Kaoru Aoyama


Pengenalan: Dari Masalah Pribadi ke Masalah Publik

Tulisan ini merupakan summary dari buku “Thai Migrant Sexworkers: From Modernisation to Globalisation” yang ditulis oleh Kaoru Aoyama dan diterbitkan oleh Palgrave Macmillan di New York pada tahun 2009, khususnya bab awal yang berjudul Introduction: From Personal Troubles to Public Issues. Tulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas (kelompok) mata kuliah Regionalisme dan Globalisme.
Pada awal tulisannya, Kaoru Aoyama memaparkan mengenai pengalamannya bertemu  dengan seorang gadis Thailand yang berada di sebuah pusat tahanan pada saat musim panas di Tokyo. Selanjutnya Aoyama menjelaskan mengenai sejarah 25 tahun migrasi dan perdagangan pekerjaan seks dari Thailand ke Jepang dan keterlibatan pribadi yang menggiring seseorang untuk terjun dalam industri perdagangan seks yang terstruktur dan dikelola secara konstan, apakah ia memilihnya, atau dipaksa untuk ikut.
Dalam pembahasan selanjutnya, Aoyama menjelaskan metodologi penelitian dan tahapan-tahapan yang dilakukan serta hambatan-hambatan yang dialaminya dalam penelitian mengenai pekerja seks Thailand di Jepang tersebut. Ia juga menjelaskan bagaimana cara mendapatkan data yang akurat untuk penelitian berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap narasumber / objek penelitian. Selanjutnya ia memaparkan tujuan penelitiannya dan garis besar pembahasan bukunya yang terdiri dari 4 bab, yaitu Modernisation, Gender and Globalisation: Situating the Migrations of Thai Sexworkers; Before Becoming Sexworkers; Becoming Sexworkers, Being Sexworkers; dan Becoming Ex-Sexworkers. Di akhir pembahasan, Aoyama memaparkan kesimpulan singkat mengenai penelitiannya.

Migrasi, dan perdagangan pekerjaan seks: 25 tahun dari Thailand ke Jepang
Isu mengenai prostitusi dan wanita Thailand juga laki-laki walaupun dalam porsi yang lebih rendah merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, dan hal ini telah menjadi perhatian dari banyak pihak di kawasan Asia-Pasifik dan Euro-Asia. Protes terhadap Jepang telah dikemukakan oleh para aktivis feminis dan kritikus sosial sejak tahun 1980 mengenai masalah industri seks di Thailand dengan pria Jepang sebagai wisatawan ataupun sebagai karyawan disana (disebut chuzai). Aliran pelanggan dari Jepang ke Thailand sendiri dimulai sejak tahun 1987 dengan adanya Plaza Accord of 1985 dan kampanye peningkatan kunjungan pariwisata ke Thailand pada tahun 1987 yang diselenggarakan oleh Tourism Authority of Thailand (TAT). Tahun 1987 ini merupakan ulang tahun ke-100 dari persetujuan persahabatan yang pertama, perdagangan dan navigasi antara Thailand dengan negara-negara bangsa Jepang. Pada tahun ini pula pemerintah Thailand mengadakan kebijakan ekonomi Thailand untuk meningkatkan masuknya aliran yen (mata uang Jepang) yang mendapatkan nilai penghargaan di moneter internasional dan komoditas pasar. Hal inilah yang kemudian malah memicu timbulnya aliran perempuan Thailand ke Jepang sebagai pekerja seks. Namun hingga sekarang prostitusi masih disangkal sebagai suatu pekerjaan yang sah, sehingga para perempuan Thailand tersebut di Jepang lebih diasumsikan sebagai pekerja migran. Sedangkan asumsi lain yang berkembang para pekerja seks tersebut lebih tepat diasumsikan sebagai korban perdagangan manusia atau kriminal baik oleh sebagian besar logika, yurisdiksi dan mayoritas feminis. Dari tahun 1991 sampai 1993, warga negara Thailand dicatat oleh Jepang polisi sebagai populasi terbesar 'melebihi ilegal'.
Dengan status ilegal wanita Thailand di Jepang sebagai pekerja migran tersebut, keberadaan mereka dalam laporan kepolisian dicatat sebagai suatu kejahatan, bahkan wanita dalam kondisi yang buruk seperti dipaksa untuk melakukan prostitusi atau untuk bekerja tanpa kompensasi juga diakui sebagai pekerjaan yang ilegal. Wanita Thailand dalam hal ini tentu saja berada dalam posisi sosial yang rentan dengan tidak adanya status hukum untuk dapat dilindungi dari pelanggaran HAM di bawah yurisdiksi Jepang. Menurut Aoyama, pekerja seks ini mayoritas terlibat dalam suatu perdagangan yang terorganisir, di mana tidak jarang juga wanita memang setuju untuk bekerja dalam industri seks dan hal ini bisa saja malah awalnya didalangi oleh orang-orang terdekat mereka. Selama beberapa tahun setelah tahun 1994, jumlah perempuan Thailand yang memasuki Jepang menurun, sementara jumlah orang yang tinggal permanen serta jumlah turis  dari Jepang ke Thailand meningkat.
Dalam tahun ini juga kembalinya pekerja di Jepang ke Thailand meningkat drastis menjadi suatu tren yang selanjutnya menjadi tahun pengembangan jaringan dukungan pemerintah dan LSM di Thailand serta masyarakat Jepang dalam usaha menganalisis lintas perdagangan yang kompleks, seperti analisis kualitatif yang menghubungkan perdagangan dan prostitusi  yang disebabkan ketidaksetaraan kapitalis patriarkial oleh globalisasi serta nilai budaya tertentu kedua negara. Penelitian empiris serta aktivitas LSM dalam perdagangan meningkat secara signifikan pada tahun 2000. Adopsi dari protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, merupakan tambahan untuk United Nations Convention against Transnational Organized Crime diadopsi pada tahun 2000 dan hal ini merupakan perubahan yang penting dalam hukum internasional. Sebagai persiapan untuk ratifikasi tambahan konvensi tersebut, Jepang kemudian mengadakan Rencana Aksi untuk Memberantas Perdagangan Manusia pada tahun 2004.
Pemerintah juga merevisi undang-undang yang relevan yang menyatakan bahwa penjualan, pembelian dan perdagangan orang dalam Jepang ataupun ke Jepang merupakan suatu tindak kriminal. Hal ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah hukum Jepang.  Sementara revisi ke Pengendalian Imigrasi dan Hukum Pengakuan Pengungsi berarti menyatakan bahwa warga asing yang melebihi  batas menetap di Jepang tanpa status hukum mungkin dapat diberikan ijin untuk mendarat atau tetap di Jepang, menerima bantuan untuk migrasi balik dan dukungan untuk rehabilitasi di negara asal jika ditemukan bahwa mereka merupakan korban perdagangan. Namun faktanya sejauh ini hal-hal yang ditetapkan Jepang tersebut masih sedikit pencapaiannya, di mana dalam setiap kasus sebagian besar warga asing yang melebihi ijin tinggal di Jepang tidak diakui sebagai korban dan tidak juga memiliki akses hukum dalam hak untuk bekerja.

Keterlibatan Pribadi
Aoyama masih mempertanyakan terdapatnya garis pembeda yang jelas antara ‘memilih’ dan ‘dipaksa’ untuk  prostitusi, yang selanjutnya menggiring wanita dalam suatu situasi yang tidak diinginkan seperti perbudakan dalam industri seks.  Menurutnya,  jika perempuan ‘memilih’ untuk terlibat dalam industri seks maka akan lebih mudah bagi perempuan tersebut untuk terjebak dalam situasi perbudakan. Sementara alternatifnya yaitu prostitusi dapat dianggap sebagai pekerjaan yang terpisah dengan perbudakan  saat pilihan perempuan tersebut dilibatkan sebagai suatu subjektivitas. Aoyama memaparkan bahwa seseorang harus dapat memisahkan prostitusi menjadi suatu pekerjaan yang merupakan pilihan hidup yang sukarela dan realistis; dan sebagai suatu perbudakan seksual di mana terjadi pemaksaan. Namun pilihan yang sukarela tersebut sebaiknya diiringi dengan kewaspadaan.
Adapun keterlibatan pribadi perempuan antara ‘memilih’ atau ‘dipaksa’ dalam perdagangan seks global masih rancu penyebabnya, karena sebagian besar cerita mengenai pekerja seks migran ini kebanyakan ditutupi dan mereka tidak diakui sebagai korban baik secara subjektif ataupun objektif. Padahal bukti empiris mengenai perdagangan seks global ini diperlukan untuk pencerahan masyarakat umum, baik itu dalam hal penyelamatan, perlindungan dan rehabilitasi, penerapan hukum, serta pencegahan perdagangan itu di masa selanjutnya, dan sebagainya. Adapun setiap sistem budaya, politik atau ekonomi hanya dapat berfungsi dalam cakupannya masing-masing terhadap orang yang relevan, situasi, kepentingan, persepsi dan relasi sosial yang menghubungkan kesemua atau beberapa dari hal ini.

Belajar untuk mengetahui masalah, masalah representasi dan masalah refleksivitas
            Selanjutnya Aoyama mengemukakan masalah di mana hidup sejarawan dan etnografer telah berulang kali menemukan: bahwa cerita merupakan ciptaan dihasilkan dari pergeseran dan pemilahan apa yang sebenarnya terjadi melalui pengalaman pendongeng dan ingatannya, dan melalui penafsiran dari pendengar dan catatan. Aoyama bertujuan sebagai peneliti untuk mengenali persepsi agen dalam interaksi dengan kondisi sosialnya. Namun, seorang peneliti hanya mampu dalam kenyataannya untuk melihat kondisi dan tindakan disekitar agen, bukan persepsi agen. Peneliti tidak bisa benar-benar tahu apa yang dia pikirkan dan rasakan.        Untuk seorang yang diwawancarai, ada kemungkinan telah melupakan sesuatu, atau membingkai cerita untuk memenuhi keinginan yang dirasakan dari pewawancara, menyembunyikan informasi nyaman untuk dirinya sendiri atau berbohong secara langsung, tergantung pada kebutuhan. Sangat sulit bagi peneliti untuk mengumpulkan informasi yang dekat dan secara langsung relevan pada situasi dari orang yand diwawancarai. Persepsi agen dapat dirasakan melalui pengamatan peneliti interaksi antara agen dan kondisi sosialnya dapat mencakup interaksi antara agen dan peneliti.
            Adapun kehidupan sosial dan pribadi membiaskan epistemologi penelitian, ontologi epistemologi ini kongruen dengan, analisis penelitian, dan demikian hasilnya. Mengingat seperti latar belakang dalam kaitannya dengan pertanyaan sudut pandang peneliti, terutama teori feminis dan ikuti metodologi yang mengembangkan refleksivitas dan paparan kritis hubungan kekuasaan yang terlibat dalam representasi lain, yaitu garis antara hasil refleksivitas dan proyeksi kebutuhan peneliti. Tetapi refleksivitas pribadi analis perlu terlibat dengan fakta bahwa refleksivitas ini difasilitasi dengan keterlibatan yang sangat dalam proses analisis suatu bagian tertentu dari penelitian dikelilingi oleh perhubungan kondisi sosialnya sendiri.
            Selanjutnya, jika peneliti memiliki kesempatan untuk mengatasi masalah yang sangat sosial yang dihadapi oleh orang yang diwawancarai diteliti, seperti dalam partisipatif penelitian tindakan dijelaskan di bawah ini, ragam manfaatnya. Tidak hanya dapat peneliti melihat masalah dari sudut pandang dekat dengan dari diteliti, tapi dia juga mungkin berguna ke luar diteliti materi atau kesejahteraan yang terkait hasil.Melibatkan diri dalam berbagai peran dalam aksi penelitian memberi kesempatan yang lebih baik untuk memahami sudut pandang beberapa di lapangan. Kemungkinan memandang realitas sebagai fenomena kompleks beberapa dapat direalisasikan, bukan kelanjutan dari mengejar satu dan hanya kebenaran yang tak bisa menilai seperti itu.
            Dalam meneliti mengenai kasus pekerjaan seks ini, Aoyama mengadopsi tiga sudut pandang, yaitu pengamat jauh, pengamat dekat dan pengamat aksi itu. Perspektif pengamat jauh memungkinkan peneliti untuk lebih fokus pada peristiwa di atas yang luas temporal dan geografis rentang yang mungkin mengerahkan diri pada tindakan agen independen dari kesadaran agen mereka. Para peneliti melihat tindakan agen melalui temporal makro dan skala spasial, mendapatkan lanskap yang lebih luas dengan mengorbankan yang rincian, terutama (membaca) dari persepsi subyektif agen. Jarak melarang peneliti dari membuat komentar rinci pada tindakan agen dan situasi.
            Dalam rangka untuk melihat lebih detail dan menawarkan interpretasi yang lebih rinci, pengamat juga harus mengambil perspektif  bergantian presentasi. Pertama, penutupan sudut pandang pengamat dimaksudkan untuk lebih dekat dengan agen dalam ruang dan waktu daripada, dalam konteks penelitian ini, adalah mungkin melalui ruang lingkup makro modernitas Thailand atau operasi perdagangan seks antara Thailand dan Jepang. Lingkup ini pengamat bergeser pada waktu dan lagi untuk melihat perjalanan hidup setiap wanita dan atau hubungan asosiasional, dan di 'menyimpang' pembangunan karir dan  atau mikro-intim hubungan. Tetapi titik dekat pengamat pandang masih sengaja obyektif, peneliti mengamati apa agen tidak pada perjalanan melalui tahapan-tahapan karier atas dasar  kehidupan agen, terlihat externalised, tujuan dari tindakannya.
          Kondisi tersebut dipahami melalui pengamatan ekspresi tidak selalu jauh dari kondisi subjektif tindakan agen, tetapi mereka dapat sangat baik 'terlihat' dan 'merasa' berbeda, seperti perspektif dari mana mereka sedang diperiksa tentu berbeda dari perspektif subjektif agen. Untuk melihat lebih jauh memerlukan tindakan pengamat, berjalan ke TKP dan 'mengubah arah melihat sekitar', sehingga untuk berbicara. Pengamat bertindak juga berdiri dekat dengan agen namun, tidak seperti pengamat dekat, ia akan berdiri di samping, tidak sebaliknya, melihat keluar dalam arah yang sama dan dari (sedekat mungkin perkiraan) perspektif agen. Melalui akting ini, sudut pandang pengamat / peneliti akan melihat kurang lebih sama keadaan bahwa agen melihat, sehingga dapat dilihat dengan siapa dia terlibat, apa yang dibutuhkan atau diharapkan oleh mereka dari dirinya, jika dia membalas, dilanggar dalam arti apapun, puas, dikhianati dan sebagainya. Peneliti selanjutnya menganggap konteks rinci di mana agen bertindak dan bagaimana dan mengapa dia penawaran dengan situasinya melakukan dan tidak melakukan dalam kaitannya dengan pribadi dan subjektif kondisi saat itu di tempat tersebut.

Studi Lapangan, Responden dan Hubungan Peneliti untuk Mereka
Kaoru Aoyama selanjutnya menjelaskan mengenai penelitian yang ia kerjakan untuk memenuhi tessis pasca sarjananya di Kyoto University untuk mendapatkan gelar Doctor, ia ingin meneliti tentang para pekerja seks perempuan Thailand yang bermigrasi ke jepang untuk memenuhi permintaan pelanggan di jepang. Dalam penelitiannya, ia menggunakan metode penelitian aksi partisipatif yang mana metode itu lahir dari metode penelilitian kelompok feminisme. Tokoh yang menginspirasinya adalah Maggie O'Neill, seorang sosiolog dan peneliti di inggris yang meneliti tentang pekerja seks, O’Neill menjelaskan bahwasanya dalam melakukan sebuah penelitian, tidak cukup menggunakan literatur saja dalam mencari suatu kesimpulan, seorang peneliti harus ikut serta di lapangan di mana sekelompok orang berada dalam suatu pokok permasalahan sosial tersebut.
Studi lapangan yang dilakukan oleh Kaoru Aoyama untuk mengambil sampel penelitiannya dilakukan di Bangkok dan di Chiangrai, paling utara Thailand dimana kedua tempat itu banyak menghasilkan para pekerja seks yang bermigrasi ke Jepang pada akhir april 2002 sampai akhir Februari 2003, selain itu ia penelitian yang ia lakukan di daerah luar dan di dalam kota Tokyo-Jepang itu sendiri dari Maret-April 2003 dan September 2003.

Pemberdayaan di Bangkok dan jalan-jalan di Bangkok
Untuk memperlancar proses penelitiannya, Aoyama bekerjasama dengan dua LSM yang khusus menangani mengenai perdagangan seks, yaitu  EMPOWER yang berbasis di Bangkok, merupakan organisasi nirlaba non-pemerintah yang mendukung pekerja seks di daerah tersebut yang mana menggunakan pendidikan sebagai alat perlindungan bagi perempuan (pekerja seks) yang terkait dalam rekreasi industri seks. Didirikan pada tahun 1986 yang dipengaruhi oleh gerakan feminism di seluruh dunia. EMPOWER menyediakan dukungan praktis khusus untuk para pekerja seks, termasuk negosiasi dengan pemilik pusat-pusat hiburan dan kantor-kantor pemerintah terkait, berbagai kampanye advokasi, jaringan domestik dan internasional, seminar gratis tentang kesehatan dan masalah hukum, dan pelajaran bahasa Inggris, Thailand dan Jepang dalam rangka memberikan informasi dan menjangkau para pekerja seks. Tujuan EMPOWER yaitu untuk memberdayakan perempuan yang bekerja di industri seks di Thailand, untuk menyediakan tempat di mana orang saling menggunakan dan menghormati satu sama lain, dan untuk meningkatkan mental yang bagus bagi para pekerja seks itu sendiri. LSM yang kedua yaitu SEPOM yang berbasis di Chiangrai, sebuah organisasi masyarakat yang mendukung para migrant (pekerja seks yang berasal dari Thailand) yang kembali dari industri seks di Jepang.
Dari kedua LSM tersebutlah ia bisa melakukan sebuah wawancara dengan para perkerja seks yang bermigrasi ke jepang. Penelitiannya ini ditujukan untuk memberikan kisah kepada masyarakat luas, terutama bagi mereka yang memang berkecimpung dalam industri seks itu sendiri. Ia meneliti dengan teknik wawancara dengan meminta para responden yaitu wanita Thailand yang menangani para konsumer laki-laki jepang pada jangka panjang (mingguan, bulanan untuk tahunan) atau jangka pendek (per jam untuk setiap hari), dan bukan hanya pekerja aktif, tetapi juga para mantan pekerja seks.
Dalam penelitian yang dilakukannya, banyak kendala yang sedikit menghambat, terutama dalam mencari responden yang bersedia menceritakan kisah hidupnya untuk menjadi sebuah isu publik, karena mereka umumnya manaruh sikap skeptis terhadap peneliti dalam menjaga kerahasiaan narasumber, ketidakpercayaan responden karena alas an yang sederhana yaitu peneliti yang berasal dari Jepang, sampai pada pengartian bahasa, yang umumnya mereka menggunakan bahasa Thailand, hingga ketidakpercayaan kepada rekan kerja yaitu para penerjemah bahasa yang membantu dalam proses penafsiran kalimat karena alasan privasi tersebut. Namun karena dibantu oleh LSM SEPOM yang sudah membina hubungan baik dengan para pekerja seks, kendala tersebut tidak begitu berarti. Kebanyakan para responden yang bersedia untuk menjadi sumber dalam penelitian ini adalah orang-orang yang ingin membagi kepada orang lain tentang pengalamannya sehingga berguna bagi orang lain.
Dalam proses penelitiannya dengan LSM EMPOWER, Aoyama bekerja menjadi relawan yang memberikan pendidikan bagi para pekerja seks, dari kegiatan tersebutlah ia mendapatkan suatu fakta bahwasanya seorang pekerja seks memerlukan sebuah pelatihan terutama bahasa untuk dipergunakan dalam menarik pelanggan-pelanggan yang umumnya wisatawan dari berbagai negara, sehingga dengan mempelajari bahasa mempermudah komunikasi antara penjual dan pembeli seks, hal ini berdampak pada tingkat pendapatan dan keselamatan fisik mereka sebagai penjual seks. Dan dari para siswi-siswi yang belajar di EMPOWER itulah peneliti mendapatkan tempat dimana ada industry-industri seks kelas elit seperti bar kelas tinggi, yang disebut rip-off bar, 'klub karaoke Jepang', 'pub Irlandia', dan sebagainya dimana mereka memiliki standarisasi pekerja seks sendiri, dan para pekerja seks itu sendiri mendapatkan penghidupan yang layak dan istimewa bahkan para pekerja seks yang berkecimpung dalam industriseks kelas tinggi tersebut mendapatkan bayaran yang fantastis sampai ratusan ribu dollar. Hal inilah yang menjadikan tingkat migrasi perempuan Thailand begitu tinggi memenuhi industri seks di Jepang karena pekerja seks dilakukan secara independen dari otoritas organisasi dan perlindungan yang terorganisir.

SEPOM (Self-Empowerment Programme Of Migrant Women) Chiangrai
Chiangrai adalah salah satu daerah yang paling utara di Thailand, daerah ini terletak di timur Laos dan di utara Burma. Chiangrai memiliki populasi 1,3 juta. Chiangrai merupakan daerah yang terkenal setelah Bangkok, dimana disana tinggal wanita Thailand yang hidup di Jepang. Setelah itu penulis pindah  sekitar 800km kearah utara, yaitu daerah metropolis di Chiangrai City, dimana sebagian daerah tersebut adalah daerah pertanian, didaerah tersebut, untuk bekerja di SEPOM sebagian relawan dibayar dan tinggal selama 6minggu dari Oktober-November 2002. SEPOM merupakan singkatan dari Self-Empowerment Programme Of Migrant Women. Ini merupakan organisasi yang membantu  wanita yang bermigrasi dan bekerja di industri seks di Jepang dan kembali lagi ke Thailand, bagi mereka ini merupakan pemecahan masalah berdasarkan inisiatif mereka sendiri.
Dalam buku ini, Aoyama memperkenalkan SEPOM sebagai sebuah kelompok wanita Jepang yang sudah bekerja sejak awal 1990an untuk membantu wanita-wanita Thailand yang terlibat dalam perdagangan manusia. Mereka ditampung di sebuah ruangan dan harus menghadiri kegiatan organisasi selama enam minggu, dimana koodinator Jepang memberikan terjemahan yang pada saat itu penulis sulit memahami bahasa Thailand. Dalam tulisan ini, Aoyama mengungkapkan bahwa mereka juga diajarkan berbahasa Inggris dan Jepang, untuk membantu komunikasi mereka dengan orang-orang Jepang dan komunikasi dengan dunia internasional.
Tujuh dari responden yang masuk dalam kalangan SEPOM, lima dari mereka setuju merekam wawancara yang mereka lakukan, dan dua lainnya tidak menyetujui. Kelompok ini mempunyai karakter yang berbeda dari mantan pekerja seks yang telah ditemui penulis di Jepang dan Bangkok. Bagaimanapun, banyak variasi ataupun macam-macam pengalaman wanita baik yang kembali menjadi pekerja seks maupun tidak. Karir mereka sebagai pekerja seks berakhir kadang-kadang ketika mereka masuk kedalam perbudakan, atau terkadang merupakan keputusan mereka sendiri untuk berhenti sebagai pekerja seks atau pun kembali kedaerah asal mereka.
Dalam wawancara dengan para responden, Aoyama mendengar dan melihat kegiatan disekitar SEPOM bahwa ada pergeseran persepsi tentang “bekerja” untuk sesuatu hal yang lain. Setelah meninggalkan pekerjaan seks, atau untuk melarikan diri dari perbudakan dan bertahun-tahun kemudian mereka kembali dari perjalanan panjang di industri seks. Wanita yang kembali, bosan dengan predikat “menyimpang” yang mereka sandang.  Namun, mereka jelas menyuarakan kerinduan mereka terhadap rumah. Para responden SEPOM juga menunjukkan perubahan status setelah mereka kembali keasal mereka. Mereka tetap bisa kembali membangun hubungan social, yaitu hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat, meskipun mereka masih merasa tidak nyaman dengan predikat mantan pekerja seks. Aoyama mewawancarai para pekerja seks ini untuk mengetahui bagaimana cara mereka untuk mengatur perasaan setelah meninggalkan pekerjaan mereka sebagai pekerja seks.

Orang Asing di Tokyo
Akhir dari penelitian lapangan dilakukan Aoyama di Tokyo, ibukota Jepang dan rumah bagi 12 juta dari 120 juta penduduk bangsa. Dalam Tokyo dan daerah sekitarnya, ia mengunjungi dua restoran Thailand, dua bar, salah satu candi Budha Theravada Thailand dan lain mengumpulkan orang-orang percaya, dan atu toko kelontong di mana orang Thailand migran bekerja atau merakit sporadis. Ini bagian dari penelitian dilakukan selama 12 minggu
antara Maret dan April dan pada bulan September 2003.
Di daerah ini, keterlibatan Aoyama dengan responden tidak berkomitmen, karena ia tidak punya hubungan yang lebih selain wawancara formal. Aoyama memiliki kontak langsung dengan kelompok perempuan yang telah mendukung migran wanita Thailand yang menjadi pekerja seks. Ia menduga ini merupakan akses perempuan Thailand yang bekerja di industri seks Jepang tetapi hal itu tidak terjadi. Tinggal enam minggu di SEPOM tanpa kemahiran dalam berbahasa, telah melengkapinya dengan peran partisipatif tindakan peneliti. Dalam penelitian di Tokyo, ia tidak bisa berdiri disamping responden untuk melihat karir mereka yang menyimpang dalam konteks tertentu.
Namun, Aoyama menemui tiga wanita Thailand yang bersedia berbicara tentang pengalaman dalam pekerja seks, di mana ketiga wanita itu salah satunya masih bekerja sebagai pekerja seks, yang kedua merupakan mantan pekerja seks yang menikah dengan orang Jepang, yang ketiga telah berhenti 15 tahun sebelumnya. Ketiga wanita ini lebih bersemangat dibandingkan dengan mantan ataupun pekerja seks yang ditemuinya saat berada di Bangkok. Mereka menjaga jarak untuk hal-hal seperti kondisi sosial subyektif dan obyektif.
Aoyama melihat dalam karir pekerja seks di Thailand di masa lalu dan apa yang mereka alami di Jepang di masa sekarang. Situasi ini mereka anggap lebih baik dari apa yang telah mereka dapatkan di Thailand, karena mereka tidak ingin kembali menjadi pekerja seks. Pada saat wawancara ini mereka juga mengaku harus menghadapi sidang keras agar mendapatkan kembali status baru dalam masyarakat yang tau masa lalu mereka. Namun tidak akan mengakomodasi perubahan apapun.

Struktur dan Garis Besar Tema
Secara pendeskripsian menyeluruh, penelitian ini bertujuan untuk memahami
dan membahas heteroseksual gender, komersial dan global transaksi dari industri seks transnasional, memberikan perhatian khusus kepada agen dari perempuan yang terlibat, yaitu responden. Buku ini juga men
deskripsikan pekerja seks yang terstruktur dan dikelola secara konstan. Meskipun perempuan dalam fokus 'memilih' untuk menjadi pekerja seks, atau 'setuju untuk' migrasi melalui perdagangan, tindakan ini tidak dilakukan semata-mata sebagai hasil dari keputusan subjektif mereka.
Adapun konsep lembaga tidak mengurangi 'pilihan' agen atau 'persetujuan' untuk kesadaran palsu, menunjukkan misalnya bahwa 'dia tertipu menjadi percaya bahwa dia memilih' atau 'dia diinduksi menjadi persetujuan', tanpa mengakui dirinya subjektivitas dan menilai tindakannya hanya dengan tujuan mereka dan penampilan retrospektif. Sebaliknya, konsep badan menekankan kondisi sosial yang menjadi 'pilihan' seseorang atau 'persetujuan'  untuk memilih hal tersebut sangat tergantung pada posisi sosialnya (lihat Batu 2005: 66-7 dan Bab 3, buku ini). Dengan kata lain, buku ini dijadikan sebagai studi empiris yang mengakui tindakan perempuan dan persepsi yang dibangun oleh kekuatan tersebut meliputi posisi sosial mereka, karir mereka dan kondisi yang ada pada waktu tertentu di tempat-tempat tertentu dalam hubungan sosial yang konkret, serta abstrak.
Pada bab pertama buku ini, yaitu Modernisasi Perkerjaan, dan Globalisasi: Menempatkan Para Migrasi Pekerja Seks Thailand, melibatkan beberapa masalah ontologis epistemologis dan kunci yang terkait dengan pertimbangan dari perdagangan seks global dalam dunia kontemporer. Dibagian pertama, melihat dari sudut pandang feminis, pertanyaan apakah prostitusi adalah perbudakan seksual atau kerjaan semata. Dibagian kedua lebih menyoroti isu spesifik terkait dengan perempuan pekerja seks Thailand dalam migrasi intra dan internasional. Ini berfungsi sebagai peta untuk membiasakan pembaca dengan baik dan khusus. Aoyama pertama kali memperkenalkan perdebatan tentang prostitusi perempuan yang telah, berbicara kasar, telah membagi feminis ke dalam dua kubu selama beberapa dekade.
Aoyama mencoba berpartisipasi dalam perdebatan ini dengan mendukung argumen untuk jalan tengah tetapi menambahkan beberapa contoh konkret terkait prostitusi kontinjensi berdasarkan cerita responden. Kisah-kisah ini diambil dari pengetahuan lokal yang terlibat dalam segmen tertentu dari industri seks pada waktu tertentu. Dapat diambil sebuah hal yang menarik dari intisari bagian pertama sampai bagian empat tentang isu-isu substantif dari perempuan pekerja seks di Thailand diantaranya adalah dampak modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional, pembentukan gender sebagai harapan sosial, kewajiban dan tanggung jawab kongruen dengan makna ditugaskan seksualitas perempuan, dan globalisasi budaya dan ekonomi, serta perubahan migrasi.

Kesimpulan
Perdagangan orang lintas batas telah disebut sebagai 'perbudakan kontemporer' sejak berdirinya Perserikatan Bangsa dengan kebijakan yang relevan pada 1990-an. Sejarah Jepang  mengingatkan untuk berpartisipasi dalam upaya internasional untuk menghapuskan bentuk baru dari perbudakan dengan laporan perdagangan manusia yang terbesar. Ini merupakan ancaman yang efektif kepada pemerintah Jepang karena itu berarti jika bangsa tidak mengambil tindakan lebih untuk mencegah perdagangan dan untuk menyelamatkan para korban itu akan jatuh ke dalam Tier III, memenuhi syarat sehingga menjadi US sanctions. Dalam laporannya, International Organisasi Buruh, yang mengakui perdagangan sebagai bentuk kerja paksa, dimulai dengan premis bahwa industri seks Jepang adalah kekuatan utama untuk menarik orang yang diperdagangkan. Hal ini juga menunjukkan betapa seriusnya kerusakan perdagangan dikombinasikan dengan eksploitasi seksual.Adapun organisasi PBB berada dalam posisi miskin untuk menilai apakah perdagangan seks itu sendiri harus ilegal sebagai penilaian tergantung pada kebijakan yang independen dari masing-masing anggota. 
Kunci untuk menjamin keamanan dan melindungi hak-hak migran di industri seks di bawah yurisdiksi negara, jika itu tujuannya, akan dekriminalisasi keberadaan mereka, bukan untuk menimbulkan lebih ketat pengamanan. Selain itu, di dunia juga penuh dengan hubungan gender yang tidak setara, perempuan tanpa modal sosial dan ekonomi sangat mungkin dijadikan tujuan ekonomi dalam industri seks dan menjadi sasaran eksploitasi atau kekerasan ke tingkat yang luar biasa. Hambatan untuk menghapuskan itu tercipta dengan adanya pengawasan. Kesimpulan dari buku ini berdiskusi tentang potensi untuk mengejar perubahan, menggambarkan dari refleksi responden pembaca. Dengan cara ini, agar lebih terfokus pada satu aspek tertentu dari fenomena, buku ini juga mencoba untuk berurusan dengan industri seks dan perdagangan manusia sebagai fenomena sosial yang sudah mengglobal, bersamaan dalam konteks geografis yang berbeda.