bintang bercahaya bukan berarti awan tak datang
bulan hilang bukan berarti akan hujan
hatiku tenang memberikan harapan
meberikan angin segar bagi kehidupan
bintang bagaikan penunjuk arah bagi nelayan
bulan penerang dalam kegelapan bagi pejalan
angin memberikan kesegaran dalam panasnya siang
maaf ternyata semua salah mengira
bintang bagaikan dewi dalam gelapnya malam
bulan penuh dengan ketidak jelasan akan awan
angin mengombang-ambingkan sang hujan
membuat semua terpesona dalam buaiannya
bintang memberikan cahya yg terlalu terang
bulan ternyata sebuah kepalsuan
angin memberikan penyakit bagi manusia
semua hanya tipuan alam yang menyengsarakan..
(pembohongan)
Jumat, 01 Juni 2012
mawar hitam
malam penuh bintang memberikan sejuta harapan
mawar malam mulai bermekaran menjadikannya tumpuan
membawa banyak kenangan dalam kehidupan
mencari masa depan yang akan diharapankan
hilang bukan berartu tidak ada
mengharap ditemukan sang tuan
menunggu jemputan majikan
menunggu pelukan menenangkan
pulang buka juga berarti ada
menanti ratusan kerinduan
menahan ribuan kasih sayang
memendam jutaan cinta untuk yang tersayang
dapatkah memeluk bintang
menjadikan melati putih untuk harapan
memberikan tinta warna dalam perjalanan
mengharapkan ridho yang esa
(mawar hitam)
mawar malam mulai bermekaran menjadikannya tumpuan
membawa banyak kenangan dalam kehidupan
mencari masa depan yang akan diharapankan
hilang bukan berartu tidak ada
mengharap ditemukan sang tuan
menunggu jemputan majikan
menunggu pelukan menenangkan
pulang buka juga berarti ada
menanti ratusan kerinduan
menahan ribuan kasih sayang
memendam jutaan cinta untuk yang tersayang
dapatkah memeluk bintang
menjadikan melati putih untuk harapan
memberikan tinta warna dalam perjalanan
mengharapkan ridho yang esa
(mawar hitam)
hembusan angin malam
malam datang seiring dengan terangnya bulan,
malam datang seiring dengan hembusan angin malam,
malam gelap selalu ada sinar bulan memberikan harapan
bulan hilang ada bintang dengan jutaan kilauan berlian
semakin malam membuatku tenang
semakin malam terasa sangat nyaman
tapi malam juga memberikan beribu penderitaan
malam juga membawa ribuan kerinduan
catatan untuk angin malam
goresan untuk pelita hati
tangisan untuk kegelisahan
teriakan untuk kemunafikan
bawa aq keluar dari ketidak jelasan
dari godaan yg menyiksa
jeratan iblis penghuni neraka
dari jeratan dunia fana.
(hembusan angin malam)
malam datang seiring dengan hembusan angin malam,
malam gelap selalu ada sinar bulan memberikan harapan
bulan hilang ada bintang dengan jutaan kilauan berlian
semakin malam membuatku tenang
semakin malam terasa sangat nyaman
tapi malam juga memberikan beribu penderitaan
malam juga membawa ribuan kerinduan
catatan untuk angin malam
goresan untuk pelita hati
tangisan untuk kegelisahan
teriakan untuk kemunafikan
bawa aq keluar dari ketidak jelasan
dari godaan yg menyiksa
jeratan iblis penghuni neraka
dari jeratan dunia fana.
(hembusan angin malam)
Kamis, 10 Mei 2012
MODERNISATION, GENDER AND GLOBALISATION: SITUATING THE MIGRATIONS OF THAI SEXWORKERS
Tulisan ini merupakan summary dari Studi Kasus Regionalisme dan Globalisme yang merupakan
tulisan dari Kaoru Aoyama yang berjudul Modernisation,
Gender and Globalisation : Situating the Migrations of Thai Sexworkers yang
merupakan bab 1 dalam bukunya Thai Migrant
Sex Workes : from Modernization to Globalization. Buku ini diterbitkan oleh
Palgrave Macmillan pada tahun 2009.
Kaoru Aoyama menggunakan pendekatan empiris untuk
menganalisa dinamika modernisasi, gender dan globalisasi terhadap kekhususan
dan universalitas subjek migran pekerja seks di Thailand. Di awal pembahasan
Kaoru Aoyama menjelaskan perdebatan tentang prostitusi yang telah membagi
feminis ke dalam dua kubu dalam perkembangan terakhir. Dilanjutkan dengan jalan
tengah antara dua kubu feminis, perbudakan seksual, pengenalan konsep social death serta menjelaskan empat isu
substantif terhadap dekatnya industri seks global. Aoyama menutup tulisannya
dengan merumuskan simpulan atas penelitiannya tersebut.
Di awal pembahasan, Aoyama memperkenalkan perdebatan
tentang prostitusi yang telah membagi feminis ke dalam dua kubu dalam
perkembangan terakhir. Satu sisi berpendapat bahwa prostitusi perempuan
dianggap sebagai bentuk perbudakan; bahwa perempuan terlibat sebagai hasil dari subordinasi
patriarkal mengikat dan eksploitasi kapitalistik yang menjauhkan mereka dari
penghasil pendapatan lainnya. Sisi lain berpendapat bahwa prostitusi harus
diperlakukan sebagai suatu bentuk pekerjaan yang sah; sexwork dianggap sebagai
pilihan rasional. Dalam perdebatannya, muncullah peningkatan argumen untuk
sebuah jalan tengah yang menekankan pada sifat kontingen prostitusi. Namun
dalam perumusan jalan tengah juga tidak didapat sebuah kesimpulan kompleks yang
disebabkan tidak adanya pertimbangan yang matang dari interaksi kompleks dari
semua yang dapat dicapai dalam perdebatan. Oleh sebab itu, Aoyama mengambil
jalan tengah dengan menawarkan penelitian ke arah pandangan kontinjensi melalui
pengalaman responden sesuai keadaan mansing- masing. Kondisi kerja dan derajat
akses terhadap sumber daya sosial, terutama untuk jaringan pribadi maupun
sosial adalah faktor yang paling penting bagi responden dalam mendefinisikan
bagaimana pendefinisian prostitusi.
Aoyama melanjutkan tulisannya dengan munculnya
konsep ‘jalan tengah’ terhadap dua kubu
feminis dalam pandangan prostitusi. Perdebatan dua kubu feminis lebih
terhadap konsep prostitusi telah memiliki akar dalam konteks Thailand-Jepang
secara teoritis maupun tingkat empiris, ekonomi dan politik perdagangan seks sudah
dikenal secara global. Kubu anti-prostitusi berpendapat bahwa prostitusi adalah
subordinasi seksual utama wanita di bawah patriarki, beberapa anggota
menggabungkan ini dengan fokus yang sama atau lebih besar pada eksploitasi
ekonomi di bawah kapitalisme. Wanita memilih jalan prostitusi karena tidak
adanya pilihan dari kehidupan lain bagi mereka untuk mendukung diri mereka di
bawah dominasi ekonomi dan seksual laki-laki. Oleh karena itu, prostitusi
perempuan terhadap laki laki secara struktural dipaksa dan dianggap sebagai
bentuk perbudakan seksual. Perlu digarisbawahi bahwa pertimbangan nilai yang
menawarkan tindakan seksual kepada orang lain untuk kompensasi moneter tidak
lain adalah penundukan diri kepada pihak lain. Tindakan seksual sangat
berhubungan erat dengan martabat manusia dan uang.
Kubu kedua berpendapat bahwa prostitusi dapat
dimaknai sebagai keterampilan hidup atau bahkan sarana untuk pemberdayaan,
terutama bagi mereka yang tidak memiliki cara lain untuk produktif dalam
hidupnya yakni hidup dari menjual tenaga seksual. Jadi pilihan dari perempuan
untuk terlibat dalam prostitusi harus dianggap sebagai keputusan yang rasional
dan praktis, bukan sebagai kesadaran palsu. Pelacuran dalam situasi ini harus diperlakukan
sebagai suatu bentuk pekerjaan, yang berbeda dari perbudakan seksual di mana
perempuan kehilangan segala kemampuan untuk bertindak atas kehendak mereka
sendiri.
Perdebatan prostitusi memuncak di Jepang selama
tahun 1990-an. Diawali ketika publikasi tulisan kontroversial pada tahun 1993
tentang Sexwork yang
diedit oleh Delacoste dan Alexander. Dilema kalangan feminis Jepang juga
ditampilkan dalam teks ekspositori oleh Yukiko Tsunoda, pengacara feminis
terkemuka dalam membela perempuan didakwa sesuai dengan UU Pencegahan
Pelacuran. Dia menegaskan bahwa hak asasi manusia mereka harus dijamin secara
penuh, untuk mengakui tindakan prostitusi sebagai pekerjaan adalah masalah
lain. Pada waktu yang sama, Daizaburo Hashizume, seorang sosiolog agama kontemporer
dan pendidikan, memicu kontroversi dengan menyatakan bahwa peserta diskusi
terhadap prostitusi mengkritik eksploitasi dan subordinasi perempuan tidak
berhasil dalam membangun logika apapun untuk menolak prostitusi.
Argumennya muncul sebagai akibat dari bab berjudul "What’s Wrong with Prostitution?" dalam sebuah antologi
pertarungan feminis mengenai komersialisasi seks. Hal ini menciptakan
perhubungan untuk publikasi tanggapan kritis pekerja seks untuk argumen
perbudakan oleh non pekerja seks, dengan antologi I DECIDE to Sell or Not (2000) disunting oleh Goichi
Matsuzawa. Dalam buku ini, berbagai opini disajikan spesifik, sangat kritis,
analisis argumen kontemporer oleh nom pekerja seks, menunjukkan bahwa telah
dikembangkan melalui pihak ketiga pertimbangan nilai dengan tujuan politik dan
moral menghapuskan prostitusi sebagai presuposisi. Setelah buku ini,
kesenjangan besar antara persepsi menjadi jelas antara pekerja dan non pekerja
tentang sexwork di Jepang dan
tanggung jawab ditempatkan pada setiap tesis baru untuk membenarkan setiap
upaya untuk membujuk pembaca tanpa dasar bukti empiris. Dan terakhir dalam Research
on Perceptions of Women Working in Erotic Entertainment (2005), sebuah film
dokumenter penelitian kehidupan sosial pekerja seks.
Melalui tren tersebut, perdebatan prostitusi
kalangan feminis berkembang menjadi ekstrim serta menuju kompromi antara kubu
anti-prostitusi dan pro-sexwork. Terutama,
argumen untuk sexwork menyerukan
dekriminalisasi prostitusi, berbeda dari status pidana dalam yurisdiksi atau
legalisasi yang membuat pelacuran dan pelacur yang dikendalikan negara.
Dekriminalisasi prostitus harus diakui sebagai pekerjaan karena rentan terhadap
eksploitasi sehingga diberikan dasar untuk perlindungan hak asasi mereka dalam
praktek ekonomi dan hukum. Kedua kubu masing- masing mendapat manfaat dari
kejelasan analitis yang lebih besar yang diberikan oleh perbedaan berikut yakni
antara pelaksanaan kekuasaan oleh kekuatan eksternal dari sistem sosial dan
ekonomi di mana para agen yang terlibat tidak memiliki kontrol dan kemampuan
internal agen untuk bertindak di dalam
dan melawan sistem.
Dalam perdebatan feminis, Aoyama mencari jalan
tengah di mana dengan mengenali kedua kekuatan eksternal dan kemampuan internal
dari perempuan sebagai agen yang terlibat dalam prostitusi. Argumen persuasif
yang menyatakan bahwa apa prostitusi dan bagaimana hal itu harus diakui
tergantung pada konteksnya masing- masing. Aoyama menambah bukti dengan
memperkuat pengakuan terhadap kontingensi prostitusi. Argumen Aoyama untuk
'jalan tengah' dalam kasus ini kontras dengan argumen Julia O'Connell Davidson,
salah satu pendukung 'jalan tengah' yang meneliti perdagangan Iseks domestik
Inggris dan global.
Aoyama melanjutkan dengan terkait perbudakan seks
terhadap pekerja seks. Faktor-faktor paling signifikan adalah kondisi kerja dan
akses ke sosial sumber daya, terutama jaringan mereka dalam berhubunga. Dalam konteks
ini, setiap wanita tampak dan merasa
berbeda tergantung pada sudut pandang dirinya pada saat artikulasi pengalaman
tertentu. Umumnya keras pengalaman, lebih detail pengalaman responden semakin
lama jarak temporal untuk pengalaman, mereka diartikulasikan sebagai sesuatu
yang mirip dengan perbudakan. Di balik cerita-cerita tersebut ada banyak
pengalaman traumatis serupa yang tidak bertahan untuk berbicara.
Konsep social
death merupakan topik pembahsan Aoyama selanjutnya. Kemampuan pekerja seks
dalam memiliki kontrol atas situasinya akan berkurang, persepsi subjektif
tentang 'pekerjaan' secara bertahap menjadi negatif, dan beban emosi negatif
terhadap orang lain serta dirinya sendiri menjadi lebih berat karena bergerak
dari kiri ke kanan sepanjang sumbu dari 'kondisi kerja dan akses ke sumber daya
sosial' terhadap tingkat terendah. Pada akhir negatif dari kontinum, ada
'kehilangan jaringan' yang akan
meningkatkan ancaman terhadap kehidupan dan membuat agen merasa bahwa
dia tidak dapat melarikan diri dari eksploitasi dan kekerasan dan dengan
demikian berada dalam situasi perbudakan maka menjadi salah satu dari social death baik dalam persepsi nya
diri maupun terhadap hubungannya dengan orang lain. Social death pada akhirnya berdampak negatif dan identik dengan
perbudakan.
Social
death merupakan salah satu konsep utama yang digunakan
Julia O'Connell Davidson dalam Prostitution,
Power and Freedom (1998), di mana Julia meneliti makna dan praktek-praktek
dominasi dalam pelacuran meliputi wilayah politik, budaya, moralitas, ekonomi
dan yurisdiksi berdasarkan pada pengamatannya terhadap sejumlah varietas
transaksi global. O'Connell Davidson
mencari jalan tengah dalam perdebatan feminis dalam prostitusi berteori serta
bertujuan untuk membuat perubahan politik untuk kepentingan pekerja seks. Dia
berpendapat bahwa prostitusi lebih
dikonseptualisasikan sebagai suatu kontrak daripada sebagai pertukaran uang
untuk layanan seksual di mana klien mengambil alih kontrol tubuh pekerja seks.
O'Connell Davidson membedakan prostitusi sebagai institusi yang unik
diorganisasikan melalui sebuah kompleks yang berbeda dari hubungan kekuasaan.
Dengan cara yang sama, Julia tidak setuju dengan feminis radikal lainnya
terutama Susan Brownmiller, Catherine Mac Kinnon, Andrea Dworkin dan Kathleen
Barry, yang penuh semangat berpendapat bahwa setiap dan segala bentuk
prostitusi heteroseksual melalui pihak mendapatkan akses seksual kepada tubuh
perempuan yang merupakan dominasi laki-laki atas perempuan dan yang mirip
dengan hubungan tuan-budak. Argumen seperti mengabaikan sifat rumit dan kondisi
transaksi prostitusi yang menghasilkan beraneka ragam pengalaman subjektif dari
pelacur.
Social
death terjadi dalam gradasi memburuknya kondisi dan
kekurangan sumber daya sosial. Ini adalah ketika hal ini terjadi bahwa
sexworker beberapa langkah ke dalam situasi perbudakan. Untuk membuat kondisi
yang secara bertahap mengarah pada situasi perbudakan yang lebih mudah
terlihat, sangat penting untuk membatasi penggunaan konsep social death untuk situasi dan persepsi yang dipisahkan dari konsep
yang lebih umum dalam perspektif subjektif perempuan.
Aoyama melanjutkan terkait beragam pengalaman dari
pekerja seks. Aoyama pada
satu sisi berada pada kelompok yang mengatakan bahwa yang menjadi fokus adalah
pengalaman dan kebutuhan para wanita itu. Sementara itu dia tidak setuju dengan
kelompok lain yang mengatakan ‘melihat pelacur sebagai korban dari seksualitas
pria.’ Dia juga tidak memakai konsep ‘bebas memilih’
nya O’Neill karena ‘bebas
memilih’ menunjukkan kemampuan untuk memilih pilihan yang bebeda.
Narasi
dari wanita yang ‘memilih’ untuk bekerja di dalam industri seks memperlihatkan gambaran yang kompleks mengenai seksualitas,
identitas serta pengalaman hidup dari para wanita yang melewati ruang antar
gadis baik dan gadis nakal, diantara konformitas gender dan identitas seksual
dalam sebuah masyarakat konsumen yg berputar pada kekuatan, hak-hak, kebutuhan
dan aspirasi individual. Aoyama lebih
memilih kata ‘pekerja seks’ daripada ‘budak seks’ karena kebanyakan berdasarkan
dua penilaian; situasional dan futurisktik. Situasional, Aoyama menghormati responden-respondennya yang memiliki
persepsi bahwa prostitusi ialah pekerjaan. Futuristik berhubungan dengan
harapan bahwa mereka yang tidak berpartisipasi dalam memisahkan antara yang bekerja di dalam industri seks dari mereka yang tidak; mengubah
persepsi dengan
mengatakan menyediakan layanan seks adalah salah satu bentuk pekerjaan dan
tidak mempengaruhi martabat.
Sementara penilaian moral
tentang perdagangan layanan seks untuk uang adalah pelanggaran, penilaian ini
membuat pekerja seks terlihat buruk harga dirinya. Mereka juga dilabeli ‘menyimpang.’ Untuk melawan pelabelan itu,
Aoyama menggunakan
istilah pekerja seks dengan maksud bahwa pekerja seks bisa meningkatkan situasi
mereka sendiri jika mereka bekerja dan hak mereka diakui sah dalam masyarakat.
Berdasarkan
akumulasi pengetahuan yang terletak dalam segmen tertentu dari industri seks
lokal, didapat empat isu substantif mengapa mereka dekat dengan jantung dari industri seks global
kontemporer. Isu- isu substantif tersebut yakni : 1) dampak modernisasi
terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional; 2) Gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan tanggung jawab
selaras dengan makna sekualitas wanita; 3) globalisasi budaya
dan ekonomi dan 4) globalisasi migrasi.
Pertama, mengenai dampak
modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional. Bagi masyarakat pertanian yang miskin di pedesaan, termasuk
sebagian besar keluarga responden Aoyama, transformasi industri mengakibatkan
perampasan sumber daya sosial yg melekat pada produksi pertanian, terutama
sistem hubungan komunal yg berpusat pada wanita dan pewarisan properti di utara
dan timur laut. Praktek-praktek politik dan ekonomi dari kebijakan pembangunan
Thailand yang tidak terpisahkan dengan tekanan dari berbagai lembaga eksternal;
World Bank, IMF, PBB, negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Tekanan
datang pada saat yang sama datang dari dalam, yaitu dari masyarakat yg berada
di starata sosial yang tinggi ke yang lebih rendah dalam bangsa Thailand,
berupa rekayasa sosial. Sebuah bagian integral dari tekanan ini adalah
bercita-cita menuju akses ke kekayaan sosial dan material, tidak hanya barang
dan uang tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan pertukaran budaya bagi bangsa
secara keseluruhan. Namun, ada kesenjangan antara apa yang dianggap perencanaan
untuk kemajuan bangsa dan apa yang dibutuhkan bagi mereka yang dirampas oleh
kondisi yang dibawa oleh pembangunan ekonomi itu sendiri. Kesenjangan ini ada
di bagian utama kesenjangan sosial. Perencanan tidak memadai membahas masalah
kehidupan nyata kelompok terget mereka, orang- orang hidup dalam kemiskinan. Rencana pembangunan
tidak bisa memasukan kebutuhan yang diperoleh dari pengalaman, pikiran,
perasaan dari orang-orang sampai di rencana, awal pembangunan kedelapan untuk
1997-2001 . Gadis-gadis dan wanita
muda yang berasal dari keluarga petani pedesaan yang terletak dalam
posisi sosial yang rendah membayar harga yang lebih
tinggi untuk bertahan hidup dalam kesenjangan. Rekayasa
sosial memiliki dampak yang besar, terutama pada kehidupan
generasi responden Aoyama yang lahir antara tahun 1960- an dan awal
1980-an.
Kedua,
terkait gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan
tanggung jawab selaras dengan makna sekualitas wanita.
Harapan sosial gender,
kewajiban dan tanggung jawab, sama dan sebangun dengan makna seksualitas
perempuan. Dimulai dengan gender, Aoyama fokus pada peran pusat perempuan dan peran praktek dalam kegiatan perekenomian di Thailand. Aoyama setuju bahwa perempuan Thailand merupakan tenaga
kerja yang tangguh dlm perekonomian Thailand secara formil dan
informal dan hasilnya mereka punya kehadiran yang kuat, pengaruh dan kekuatan aktual dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan professional dan administratif. Tapi
evalusi Aoyama untuk kesetaraan gender secara keseluruhan di
Thailand bertentangan dengan PBB sampai tahun 1990an, struktur sosio-ekonomi bangsa
ini terjalin dengan bentuk pelengkap yang tidak setara diferensiasi gender budaya daripada egaliter
dan
hal ini telah membantu
mempertahankan kemampuan khusus perenpuan dalam budaya. Aoyama menghubungkan diferensiasi sosial dengan sebagian besar kepercayaan Budha tertentu dan dengan garis keturuanan yang berpusat pada wanita. Kepercayaan dan norma-
norma tradisional
keturunan perempuan, terutama berakar pada budaya pertanian pedesaan, gender
dan link Thailand konsep sigender bagi seksulitas melalui peran ibu, orang
tua dan anak.
Ketiga,
terkait globalisasi
budaya dan ekonomi. Aoyama berpendapat bahwa ‘the unspeakability’ dari seksualitas
wanita adalah faktor yanga mencolok dalam bentrokan antara ekspresi budaya yang
spesifik dan budaya globalo yg dikomersialisaasikan dalam masyarakat modern
Thai. Argumen ini mengubungkan seksualitas terhadap hubungan kekuasaan terkait
isu yang tampaknya seksualitas pribadi ke kondisi ekonomi nasional thai selama
periode pertumbuhan intensif dari perdagangan bilateral dengan jepang antara
akhir 1980an dan awal 1990an. Ini lalu menyediakan latar belakang dari beberapa
responden penulis yg beremigrasi ke Jepang menyebabkan perbedaan di pengalaman
berdasarkan waktu, kondidsi bekerja dan ketersedian sumberdaya.
Keempat,
Migrasi perempuan muda dari daerah pedesaan di utara dan timur
laut Thailand, tidak hanya berhenti di Bangkok. Pada awal 1980-an,
migrasi dari Thailand ke Jepang mulai meningkat, yang pertama
sebagai migrasi 'hukum', seperti Thailand Migrasi Act
1979 dan Undang- Undang Ketenagakerjaan dan
Rekrutmen 1983 dimulai perekrutan yang dikendalikan dari luar
negeri. Rencana Pembangunan Sosial tahun 1977-1981 menekankan pengembangan
infrastruktur untuk distribusi sumber daya dan untuk mempromosikan
penyesuaian struktural ekonomi. Tetapi
pada tingkat ekonomi bilateral maupun politik hubungan, defisit
perdagangan Thailand ke Jepang, tumbuh sejak awal negara mulai
merencanaan pembangunan nasional, sudah sebesar 71,5% yang tidak bertahan dari total
defisit perdagangan nasional defisit pada tahun
1977. Pertemuan resmi antara Thailand dan Jepang diselenggarakan
di tengah-tengah ketidakseimbangan ekonomi dan delegasi Thailand
bahwa Jepang diminta bekerja sama dalam pemasaran dan promosi ekspor,
khususnya dengan industri kecil dan menengah di Thailand. Saat itu
di tahun ini, 1979, bahwa perusahaan multinasional berbasis
Jepang memulai pelatihan karyawan Thailand di Jepang. Perekrutan tenaga
kerja ilegal di Thailand, termasuk perempuan untuk prostitusi, tampaknya
telah menjadi sistematis dan diperbesar secara
bertahap dengan jeda waktu hanya beberapa tahun. Beberapa responden
Aoyama adalah di antara pencari kerja 'ilegal' dalam
periode ini yang bermigrasi melalui dilaporkan sebuah terorganisir rute perdagangan dari
Thailand. Namun demikian, itu tidak sampai tahun 1989 bahwa
jumlah migran Thailand, khususnya perempuan di Jepang melihat
peningkatan yang fenomenal. Pada tahun 1994, perempuan Thailand yang
bermigrasi ke Jepang terjadi peningkatan dengan skala besar. Namun, beberapanya
kembali lagi ke Thailand. Aoyama berpendapat bahwa bersifat umum yang dicatat antara migrasi mereka
yang berbeda budaya, politik dan ekonomi kondisi, termasuk mantan pekerja seks
atau perempuan Thailand di Jepang. Howard Becker memakai biculture sebagai simbol gagasan adaptasi.
Aoyama
menutup tulisannya dengan merumuskan simpulan. Perdebatan tentang prostitusi
yang telah membagi feminis ke dalam dua kubu dalam perkembangan terakhir. Satu
sisi berpendapat bahwa prostitusi perempuan dianggap sebagai bentuk perbudakan;
bahwa perempuan terlibat sebagai hasil
dari subordinasi patriarkal mengikat dan eksploitasi kapitalistik yang
menjauhkan mereka dari penghasil pendapatan lainnya. Sisi lain berpendapat
bahwa prostitusi harus diperlakukan sebagai suatu bentuk pekerjaan yang sah; sexwork
dianggap sebagai pilihan rasional. Dalam perdebatannya, muncullah
peningkatan argumen untuk sebuah jalan tengah yang menekankan pada sifat
kontingen prostitusi. Namun dalam perumusan jalan tengah juga tidak didapat
sebuah kesimpulan kompleks yang disebabkan tidak adanya pertimbangan yang
matang dari interaksi kompleks dari semua yang dapat dicapai dalam perdebatan. konsep
muncul Social death dalam gradasi memburuknya kondisi dan
kekurangan sumber daya sosial. Ini adalah ketika hal ini terjadi bahwa sexworker
beberapa langkah ke dalam situasi perbudakan. Untuk membuat kondisi yang secara
bertahap mengarah pada situasi perbudakan yang lebih mudah terlihat, sangat
penting untuk membatasi penggunaan konsep social
death untuk situasi dan persepsi yang dipisahkan dari konsep yang lebih
umum dalam perspektif subjektif perempuan. Berdasarkan akumulasi pengetahuan
yang terletak dalam segmen tertentu dari industri seks lokal, didapat empat isu
substantif mengapa mereka dekat dengan
jantung dari industri seks global kontemporer. Isu- isu substantif
tersebut yakni : 1) dampak modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah
rekayasa sosial nasional; 2) Gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan
tanggung jawab selaras dengan makna sekualitas wanita;
3) globalisasi budaya dan ekonomi dan 4) globalisasi migrasi. Empat isu
tersebut diorganisir pada responden Aoyama dari sisi bagaimana tahapan
karirnya, bagaimana kehidupannya dan apa efek yang timbul dalam faktor sosial
sekitar mereka. Dengan cara ini akan memudahkan dalam membentuk pemahaman
alasan hermeneutik dalam hasil studi ini.
***********
Thai Migrant Sexworkers From Modernisation to Globalisation: Kaoru Aoyama
Pengenalan: Dari Masalah
Pribadi ke Masalah Publik
Tulisan ini
merupakan summary dari buku “Thai Migrant Sexworkers: From Modernisation
to Globalisation” yang ditulis oleh Kaoru Aoyama dan diterbitkan oleh
Palgrave Macmillan di New York pada tahun 2009, khususnya bab awal yang berjudul
Introduction:
From Personal Troubles to Public Issues. Tulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas (kelompok) mata kuliah
Regionalisme dan Globalisme.
Pada awal tulisannya, Kaoru Aoyama memaparkan mengenai pengalamannya
bertemu dengan
seorang gadis Thailand yang berada di sebuah pusat tahanan pada saat musim panas di Tokyo. Selanjutnya
Aoyama menjelaskan mengenai sejarah 25 tahun migrasi dan perdagangan pekerjaan
seks dari Thailand ke Jepang dan keterlibatan pribadi yang menggiring seseorang
untuk terjun dalam industri perdagangan seks yang terstruktur dan dikelola secara konstan,
apakah ia memilihnya, atau dipaksa untuk ikut.
Dalam pembahasan
selanjutnya, Aoyama menjelaskan metodologi penelitian dan tahapan-tahapan yang
dilakukan serta hambatan-hambatan yang dialaminya dalam penelitian mengenai
pekerja seks Thailand di Jepang tersebut. Ia juga menjelaskan bagaimana cara
mendapatkan data yang akurat untuk penelitian berdasarkan pengamatan dan
wawancara yang dilakukan terhadap narasumber / objek penelitian. Selanjutnya ia
memaparkan tujuan penelitiannya dan garis besar pembahasan bukunya yang terdiri
dari 4 bab, yaitu Modernisation, Gender
and Globalisation: Situating the Migrations of Thai Sexworkers; Before Becoming
Sexworkers; Becoming Sexworkers, Being Sexworkers; dan Becoming Ex-Sexworkers. Di akhir pembahasan, Aoyama memaparkan
kesimpulan singkat mengenai penelitiannya.
Migrasi, dan perdagangan pekerjaan seks: 25 tahun dari
Thailand ke Jepang
Isu mengenai prostitusi dan wanita Thailand juga
laki-laki walaupun dalam porsi yang lebih rendah merupakan masalah yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, dan hal ini telah menjadi perhatian
dari banyak pihak di kawasan Asia-Pasifik dan Euro-Asia. Protes terhadap Jepang
telah dikemukakan oleh para aktivis feminis dan kritikus sosial sejak tahun
1980 mengenai masalah industri seks di Thailand dengan pria Jepang sebagai
wisatawan ataupun sebagai karyawan disana (disebut chuzai). Aliran pelanggan
dari Jepang ke Thailand sendiri dimulai sejak tahun 1987 dengan adanya Plaza Accord of 1985 dan kampanye
peningkatan kunjungan pariwisata ke Thailand pada tahun 1987 yang
diselenggarakan oleh Tourism Authority of
Thailand (TAT). Tahun 1987 ini merupakan ulang tahun ke-100 dari
persetujuan persahabatan yang pertama, perdagangan dan navigasi antara Thailand
dengan negara-negara bangsa Jepang. Pada tahun ini pula pemerintah Thailand
mengadakan kebijakan ekonomi Thailand untuk meningkatkan masuknya aliran yen
(mata uang Jepang) yang mendapatkan nilai penghargaan di moneter internasional
dan komoditas pasar. Hal inilah yang kemudian malah memicu timbulnya aliran
perempuan Thailand ke Jepang sebagai pekerja seks. Namun hingga sekarang
prostitusi masih disangkal sebagai suatu pekerjaan yang sah, sehingga para
perempuan Thailand tersebut di Jepang lebih diasumsikan sebagai pekerja migran.
Sedangkan asumsi lain yang berkembang para pekerja seks tersebut lebih tepat
diasumsikan sebagai korban perdagangan manusia atau kriminal baik oleh sebagian
besar logika, yurisdiksi dan mayoritas feminis. Dari tahun 1991 sampai 1993,
warga negara Thailand dicatat oleh Jepang polisi
sebagai populasi terbesar 'melebihi ilegal'.
Dengan status ilegal wanita Thailand di Jepang
sebagai pekerja migran tersebut, keberadaan mereka dalam laporan kepolisian
dicatat sebagai suatu kejahatan, bahkan wanita dalam kondisi yang buruk seperti
dipaksa untuk melakukan prostitusi atau untuk bekerja tanpa kompensasi juga
diakui sebagai pekerjaan yang ilegal. Wanita Thailand dalam hal ini tentu saja
berada dalam posisi sosial yang rentan dengan tidak adanya status hukum untuk
dapat dilindungi dari pelanggaran HAM di bawah yurisdiksi Jepang. Menurut Aoyama,
pekerja seks ini mayoritas terlibat dalam suatu perdagangan yang terorganisir,
di mana tidak jarang juga wanita memang setuju untuk bekerja dalam industri
seks dan hal ini bisa saja malah awalnya didalangi oleh orang-orang terdekat
mereka. Selama beberapa tahun setelah tahun 1994, jumlah
perempuan Thailand yang memasuki Jepang menurun, sementara jumlah orang yang
tinggal permanen serta jumlah turis dari
Jepang ke Thailand meningkat.
Dalam tahun ini juga
kembalinya pekerja di Jepang ke Thailand meningkat drastis menjadi suatu tren
yang selanjutnya menjadi tahun pengembangan jaringan dukungan pemerintah dan LSM di Thailand serta masyarakat Jepang dalam
usaha menganalisis lintas perdagangan yang kompleks, seperti
analisis kualitatif yang menghubungkan perdagangan dan
prostitusi yang
disebabkan ketidaksetaraan kapitalis patriarkial oleh globalisasi serta nilai budaya tertentu kedua negara. Penelitian empiris serta
aktivitas LSM dalam perdagangan meningkat secara signifikan pada tahun 2000. Adopsi dari protokol untuk mencegah, menekan dan
menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, merupakan tambahan untuk United Nations Convention against
Transnational Organized Crime diadopsi
pada tahun 2000 dan hal ini merupakan perubahan yang penting dalam hukum
internasional. Sebagai persiapan untuk ratifikasi tambahan konvensi tersebut,
Jepang kemudian mengadakan Rencana Aksi untuk Memberantas Perdagangan Manusia
pada tahun 2004.
Pemerintah juga
merevisi undang-undang yang relevan yang menyatakan bahwa penjualan, pembelian
dan perdagangan orang dalam Jepang ataupun ke Jepang merupakan suatu tindak
kriminal. Hal ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah hukum Jepang. Sementara revisi ke Pengendalian Imigrasi dan
Hukum Pengakuan Pengungsi berarti menyatakan bahwa warga asing yang
melebihi batas menetap di Jepang tanpa
status hukum mungkin dapat diberikan ijin untuk mendarat atau tetap di Jepang,
menerima bantuan untuk migrasi balik dan dukungan untuk rehabilitasi di negara
asal jika ditemukan bahwa mereka merupakan
korban perdagangan. Namun faktanya sejauh ini hal-hal yang ditetapkan Jepang
tersebut masih sedikit pencapaiannya, di mana dalam setiap kasus sebagian besar
warga asing yang melebihi ijin tinggal di Jepang tidak diakui sebagai korban
dan tidak juga memiliki akses hukum dalam hak untuk bekerja.
Keterlibatan
Pribadi
Aoyama
masih mempertanyakan terdapatnya garis pembeda yang jelas antara ‘memilih’ dan
‘dipaksa’ untuk prostitusi,
yang selanjutnya menggiring wanita dalam suatu situasi yang tidak diinginkan
seperti perbudakan dalam industri seks.
Menurutnya, jika perempuan ‘memilih’ untuk terlibat dalam
industri seks maka akan lebih mudah bagi perempuan tersebut untuk terjebak
dalam situasi perbudakan. Sementara alternatifnya yaitu prostitusi dapat
dianggap sebagai pekerjaan yang terpisah dengan perbudakan saat pilihan perempuan tersebut dilibatkan
sebagai suatu subjektivitas. Aoyama memaparkan bahwa seseorang harus dapat
memisahkan prostitusi menjadi suatu pekerjaan yang merupakan pilihan hidup yang
sukarela dan realistis; dan sebagai suatu perbudakan seksual di mana terjadi
pemaksaan. Namun pilihan yang sukarela tersebut sebaiknya diiringi dengan
kewaspadaan.
Adapun
keterlibatan pribadi perempuan antara ‘memilih’ atau ‘dipaksa’ dalam
perdagangan seks global masih rancu penyebabnya, karena sebagian besar cerita
mengenai pekerja seks migran ini kebanyakan ditutupi dan mereka tidak diakui
sebagai korban baik secara subjektif ataupun objektif. Padahal bukti empiris
mengenai perdagangan seks global ini diperlukan untuk pencerahan masyarakat
umum, baik itu dalam hal penyelamatan, perlindungan dan rehabilitasi, penerapan
hukum, serta pencegahan perdagangan itu di masa selanjutnya, dan sebagainya.
Adapun setiap sistem budaya, politik atau ekonomi hanya dapat berfungsi dalam
cakupannya masing-masing terhadap orang yang relevan, situasi, kepentingan,
persepsi dan relasi sosial yang menghubungkan kesemua atau beberapa dari hal
ini.
Belajar
untuk mengetahui masalah, masalah representasi dan masalah
refleksivitas
Selanjutnya Aoyama mengemukakan
masalah di mana hidup sejarawan dan etnografer telah
berulang kali menemukan: bahwa cerita merupakan ciptaan dihasilkan dari pergeseran dan pemilahan apa yang sebenarnya
terjadi melalui pengalaman pendongeng dan
ingatannya, dan melalui penafsiran dari pendengar
dan catatan. Aoyama
bertujuan sebagai peneliti untuk mengenali persepsi agen dalam interaksi dengan kondisi sosialnya. Namun, seorang peneliti hanya mampu dalam kenyataannya untuk
melihat kondisi dan tindakan disekitar agen, bukan
persepsi agen. Peneliti tidak
bisa benar-benar tahu apa yang dia pikirkan dan rasakan. Untuk seorang yang
diwawancarai, ada kemungkinan telah melupakan sesuatu, atau membingkai cerita untuk memenuhi keinginan yang dirasakan
dari pewawancara, menyembunyikan informasi nyaman
untuk dirinya sendiri atau berbohong secara langsung, tergantung pada kebutuhan. Sangat sulit bagi peneliti untuk
mengumpulkan informasi yang dekat dan secara langsung relevan pada situasi dari
orang yand diwawancarai. Persepsi agen dapat dirasakan
melalui pengamatan peneliti interaksi
antara agen dan kondisi sosialnya dapat mencakup interaksi
antara agen dan peneliti.
Adapun
kehidupan sosial dan pribadi membiaskan epistemologi penelitian, ontologi epistemologi ini kongruen
dengan, analisis penelitian, dan demikian hasilnya.
Mengingat seperti latar belakang dalam kaitannya dengan pertanyaan sudut pandang peneliti, terutama teori feminis dan ikuti metodologi yang mengembangkan refleksivitas dan paparan kritis
hubungan kekuasaan yang terlibat dalam representasi lain, yaitu garis
antara hasil
refleksivitas dan proyeksi kebutuhan
peneliti. Tetapi refleksivitas pribadi analis perlu terlibat dengan fakta bahwa refleksivitas ini difasilitasi dengan keterlibatan
yang sangat dalam proses analisis suatu bagian
tertentu dari penelitian dikelilingi oleh perhubungan
kondisi
sosialnya sendiri.
Selanjutnya,
jika peneliti memiliki kesempatan untuk mengatasi
masalah yang sangat sosial yang dihadapi oleh orang yang
diwawancarai diteliti, seperti dalam partisipatif penelitian
tindakan dijelaskan di bawah ini, ragam manfaatnya. Tidak hanya dapat peneliti melihat masalah dari sudut pandang dekat
dengan dari diteliti, tapi dia juga mungkin berguna
ke luar diteliti materi atau kesejahteraan yang
terkait hasil.Melibatkan diri dalam berbagai peran dalam aksi penelitian memberi
kesempatan yang lebih baik untuk memahami sudut pandang
beberapa di lapangan. Kemungkinan memandang
realitas sebagai fenomena kompleks beberapa dapat
direalisasikan, bukan kelanjutan dari mengejar satu dan hanya kebenaran yang tak bisa menilai seperti itu.
Dalam meneliti mengenai kasus pekerjaan seks ini, Aoyama mengadopsi
tiga sudut pandang, yaitu
pengamat jauh, pengamat dekat dan
pengamat aksi itu. Perspektif pengamat
jauh memungkinkan peneliti untuk lebih fokus pada peristiwa di atas yang luas
temporal dan geografis rentang yang mungkin mengerahkan
diri pada tindakan agen independen dari kesadaran
agen mereka. Para peneliti melihat tindakan agen
melalui temporal makro dan skala spasial,
mendapatkan lanskap yang lebih luas dengan mengorbankan yang rincian, terutama
(membaca) dari persepsi subyektif agen. Jarak melarang peneliti dari membuat komentar rinci pada tindakan agen dan situasi.
Dalam
rangka untuk melihat lebih detail dan menawarkan interpretasi yang lebih rinci,
pengamat juga harus mengambil perspektif bergantian
presentasi. Pertama, penutupan sudut
pandang pengamat dimaksudkan untuk lebih dekat dengan agen dalam ruang dan
waktu daripada, dalam konteks penelitian ini,
adalah mungkin melalui ruang lingkup makro modernitas
Thailand atau operasi perdagangan seks antara Thailand
dan Jepang. Lingkup ini pengamat bergeser pada waktu dan lagi untuk melihat perjalanan hidup setiap wanita dan atau hubungan
asosiasional, dan di 'menyimpang' pembangunan karir
dan atau mikro-intim hubungan. Tetapi titik dekat pengamat pandang masih sengaja obyektif,
peneliti
mengamati apa agen tidak pada perjalanan melalui tahapan-tahapan karier
atas dasar
kehidupan agen, terlihat externalised,
tujuan dari tindakannya.
Kondisi
tersebut dipahami melalui pengamatan ekspresi
tidak selalu jauh dari kondisi subjektif tindakan
agen, tetapi mereka dapat sangat baik 'terlihat' dan 'merasa' berbeda, seperti
perspektif dari mana mereka sedang diperiksa tentu berbeda
dari perspektif subjektif agen. Untuk melihat lebih jauh
memerlukan tindakan pengamat, berjalan ke TKP dan 'mengubah arah melihat sekitar', sehingga untuk berbicara. Pengamat bertindak
juga berdiri dekat dengan agen namun, tidak seperti
pengamat dekat, ia akan berdiri di samping, tidak sebaliknya,
melihat keluar dalam arah yang sama dan dari (sedekat mungkin perkiraan) perspektif agen. Melalui akting ini, sudut pandang pengamat / peneliti akan melihat kurang lebih sama
keadaan bahwa agen melihat, sehingga dapat dilihat dengan
siapa dia terlibat, apa yang dibutuhkan atau
diharapkan oleh mereka dari dirinya, jika dia membalas, dilanggar dalam arti apapun, puas, dikhianati dan sebagainya. Peneliti
selanjutnya menganggap
konteks rinci di mana agen bertindak dan bagaimana dan
mengapa dia penawaran dengan situasinya melakukan
dan tidak melakukan dalam kaitannya dengan pribadi dan subjektif kondisi saat itu di tempat tersebut.
Studi
Lapangan, Responden dan Hubungan Peneliti untuk Mereka
Kaoru
Aoyama selanjutnya
menjelaskan mengenai penelitian yang ia kerjakan untuk memenuhi tessis pasca sarjananya di
Kyoto University untuk mendapatkan gelar Doctor, ia ingin meneliti tentang para
pekerja seks
perempuan
Thailand yang bermigrasi ke jepang untuk
memenuhi permintaan pelanggan di jepang. Dalam penelitiannya,
ia menggunakan metode penelitian
aksi partisipatif yang mana metode itu lahir dari metode penelilitian kelompok
feminisme.
Tokoh yang menginspirasinya adalah Maggie O'Neill, seorang sosiolog dan
peneliti di inggris yang meneliti tentang pekerja seks, O’Neill menjelaskan
bahwasanya dalam melakukan sebuah penelitian, tidak cukup menggunakan literatur
saja dalam mencari suatu kesimpulan, seorang peneliti harus ikut serta di
lapangan di mana sekelompok orang berada dalam suatu pokok permasalahan sosial
tersebut.
Studi lapangan yang dilakukan oleh Kaoru Aoyama untuk
mengambil sampel penelitiannya dilakukan di Bangkok
dan di
Chiangrai, paling utara Thailand dimana
kedua tempat itu banyak menghasilkan para pekerja seks yang bermigrasi ke
Jepang pada akhir april 2002 sampai akhir Februari 2003, selain itu ia
penelitian yang ia lakukan di daerah luar dan di dalam kota Tokyo-Jepang itu
sendiri dari Maret-April 2003 dan September 2003.
Pemberdayaan di
Bangkok dan
jalan-jalan di Bangkok
Untuk
memperlancar proses penelitiannya, Aoyama
bekerjasama dengan dua LSM yang khusus menangani mengenai perdagangan seks,
yaitu EMPOWER
yang berbasis di Bangkok, merupakan organisasi nirlaba non-pemerintah yang
mendukung pekerja seks
di daerah tersebut yang mana menggunakan pendidikan sebagai alat perlindungan
bagi perempuan (pekerja seks)
yang terkait dalam rekreasi industri seks.
Didirikan pada tahun 1986 yang dipengaruhi oleh gerakan feminism di seluruh
dunia. EMPOWER
menyediakan dukungan praktis khusus untuk para pekerja seks, termasuk negosiasi dengan pemilik
pusat-pusat hiburan dan kantor-kantor pemerintah terkait, berbagai kampanye
advokasi, jaringan domestik dan internasional, seminar gratis tentang kesehatan
dan masalah hukum, dan pelajaran bahasa Inggris, Thailand dan Jepang dalam
rangka memberikan informasi dan menjangkau para pekerja seks. Tujuan EMPOWER yaitu untuk
memberdayakan perempuan yang bekerja di industri seks di Thailand, untuk
menyediakan tempat di mana orang saling menggunakan dan menghormati satu sama
lain, dan untuk meningkatkan mental yang bagus bagi para pekerja seks itu sendiri. LSM yang kedua yaitu
SEPOM yang berbasis di Chiangrai, sebuah organisasi masyarakat yang mendukung
para migrant (pekerja seks
yang berasal dari Thailand) yang kembali dari industri seks
di Jepang.
Dari
kedua LSM tersebutlah ia bisa melakukan
sebuah wawancara dengan para perkerja seks
yang bermigrasi ke jepang. Penelitiannya ini ditujukan untuk memberikan kisah
kepada masyarakat luas, terutama bagi mereka yang memang berkecimpung dalam
industri
seks
itu sendiri. Ia meneliti dengan teknik wawancara dengan meminta para responden
yaitu wanita Thailand yang menangani para konsumer laki-laki jepang pada
jangka panjang
(mingguan,
bulanan untuk
tahunan)
atau
jangka pendek (per
jam untuk setiap hari), dan bukan
hanya pekerja aktif, tetapi juga para mantan pekerja seks.
Dalam
penelitian yang dilakukannya, banyak kendala yang sedikit menghambat, terutama
dalam mencari responden yang bersedia menceritakan kisah hidupnya untuk menjadi
sebuah isu publik, karena mereka umumnya manaruh sikap skeptis terhadap
peneliti dalam menjaga kerahasiaan narasumber, ketidakpercayaan responden
karena alas an yang sederhana yaitu peneliti yang berasal dari Jepang, sampai
pada pengartian bahasa, yang umumnya mereka menggunakan bahasa Thailand, hingga
ketidakpercayaan kepada rekan kerja yaitu para penerjemah bahasa yang membantu
dalam proses penafsiran kalimat karena alasan privasi tersebut. Namun karena
dibantu oleh LSM SEPOM yang sudah membina hubungan baik dengan para pekerja seks,
kendala tersebut tidak begitu berarti. Kebanyakan para responden yang bersedia
untuk menjadi sumber dalam penelitian ini adalah orang-orang yang ingin membagi
kepada orang lain tentang pengalamannya sehingga berguna bagi orang lain.
Dalam
proses penelitiannya dengan LSM EMPOWER, Aoyama bekerja menjadi relawan yang
memberikan pendidikan bagi para pekerja seks, dari kegiatan tersebutlah ia
mendapatkan suatu fakta bahwasanya seorang pekerja seks memerlukan sebuah
pelatihan terutama bahasa untuk dipergunakan dalam menarik pelanggan-pelanggan
yang umumnya wisatawan dari berbagai negara, sehingga dengan mempelajari bahasa
mempermudah komunikasi antara penjual dan pembeli seks, hal ini berdampak pada
tingkat pendapatan dan keselamatan fisik mereka sebagai penjual seks. Dan dari
para siswi-siswi yang belajar di EMPOWER itulah peneliti mendapatkan tempat
dimana ada industry-industri seks
kelas elit seperti bar
kelas tinggi,
yang disebut
rip-off bar,
'klub karaoke
Jepang',
'pub
Irlandia', dan sebagainya dimana mereka memiliki standarisasi pekerja seks sendiri,
dan para pekerja seks
itu sendiri mendapatkan penghidupan yang layak dan istimewa bahkan para pekerja
seks
yang berkecimpung dalam industriseks
kelas tinggi tersebut mendapatkan bayaran yang fantastis sampai ratusan ribu
dollar. Hal inilah yang menjadikan tingkat migrasi perempuan Thailand begitu
tinggi memenuhi industri
seks
di Jepang karena pekerja
seks dilakukan
secara independen dari otoritas organisasi dan perlindungan yang terorganisir.
SEPOM
(Self-Empowerment Programme Of Migrant Women) Chiangrai
Chiangrai adalah salah
satu daerah yang paling utara di Thailand, daerah ini terletak di timur Laos
dan di utara Burma. Chiangrai memiliki populasi 1,3 juta. Chiangrai merupakan
daerah yang terkenal setelah Bangkok, dimana disana tinggal wanita Thailand
yang hidup di Jepang. Setelah itu penulis pindah sekitar 800km kearah utara, yaitu daerah
metropolis di Chiangrai City, dimana sebagian daerah tersebut adalah daerah
pertanian, didaerah tersebut, untuk bekerja di SEPOM sebagian relawan dibayar
dan tinggal selama 6minggu dari Oktober-November 2002. SEPOM merupakan
singkatan dari Self-Empowerment Programme
Of Migrant Women. Ini merupakan organisasi yang membantu wanita yang bermigrasi dan bekerja di
industri seks
di Jepang dan kembali lagi ke Thailand, bagi mereka ini merupakan pemecahan
masalah berdasarkan inisiatif mereka sendiri.
Dalam buku ini, Aoyama memperkenalkan SEPOM sebagai
sebuah kelompok wanita Jepang yang sudah bekerja sejak awal 1990an untuk
membantu wanita-wanita Thailand
yang terlibat dalam perdagangan manusia. Mereka ditampung di sebuah ruangan dan harus menghadiri
kegiatan organisasi selama enam minggu, dimana koodinator Jepang memberikan
terjemahan yang pada saat itu penulis sulit memahami bahasa Thailand. Dalam
tulisan ini, Aoyama mengungkapkan bahwa mereka juga diajarkan berbahasa Inggris
dan Jepang, untuk membantu komunikasi mereka dengan orang-orang Jepang dan
komunikasi dengan dunia internasional.
Tujuh dari responden
yang masuk dalam kalangan SEPOM, lima dari mereka setuju merekam wawancara yang
mereka lakukan, dan dua lainnya tidak menyetujui. Kelompok ini mempunyai karakter yang
berbeda dari mantan pekerja seks yang telah ditemui penulis di Jepang dan
Bangkok. Bagaimanapun, banyak variasi ataupun macam-macam pengalaman wanita
baik yang kembali menjadi pekerja seks maupun tidak. Karir mereka sebagai
pekerja seks berakhir kadang-kadang ketika mereka masuk kedalam perbudakan,
atau terkadang merupakan keputusan mereka sendiri untuk berhenti sebagai
pekerja seks atau pun kembali kedaerah asal mereka.
Dalam wawancara dengan
para responden, Aoyama
mendengar dan melihat kegiatan disekitar SEPOM bahwa ada pergeseran persepsi
tentang “bekerja” untuk sesuatu hal yang lain. Setelah meninggalkan pekerjaan
seks, atau untuk melarikan diri dari perbudakan dan bertahun-tahun kemudian
mereka kembali dari perjalanan panjang di industri seks. Wanita yang kembali,
bosan dengan predikat “menyimpang” yang mereka sandang. Namun,
mereka jelas menyuarakan kerinduan mereka terhadap rumah. Para responden SEPOM
juga menunjukkan perubahan status setelah mereka kembali keasal mereka. Mereka
tetap bisa kembali membangun hubungan social, yaitu hubungan yang lebih dekat
dengan masyarakat, meskipun mereka masih merasa tidak nyaman dengan predikat
mantan pekerja seks. Aoyama mewawancarai para pekerja seks ini untuk mengetahui
bagaimana cara mereka untuk mengatur perasaan setelah meninggalkan pekerjaan
mereka sebagai pekerja seks.
Orang
Asing di Tokyo
Akhir
dari penelitian lapangan
dilakukan Aoyama
di Tokyo,
ibukota Jepang
dan rumah bagi 12
juta dari 120 juta penduduk
bangsa. Dalam Tokyo dan
daerah sekitarnya,
ia mengunjungi
dua restoran Thailand,
dua bar, salah
satu candi Budha Theravada
Thailand dan lain mengumpulkan orang-orang percaya, dan atu toko kelontong di
mana orang Thailand migran
bekerja atau merakit sporadis. Ini bagian dari
penelitian dilakukan selama 12 minggu
antara Maret dan April dan pada bulan September 2003.
antara Maret dan April dan pada bulan September 2003.
Di daerah ini,
keterlibatan Aoyama dengan responden tidak
berkomitmen, karena ia
tidak punya hubungan yang lebih selain wawancara formal. Aoyama memiliki
kontak langsung dengan kelompok perempuan yang telah mendukung migran wanita
Thailand yang menjadi pekerja seks. Ia menduga
ini merupakan akses perempuan Thailand yang bekerja di industri seks Jepang
tetapi hal itu tidak terjadi. Tinggal enam minggu di SEPOM tanpa kemahiran
dalam berbahasa, telah melengkapinya
dengan peran partisipatif tindakan peneliti. Dalam penelitian di Tokyo, ia
tidak bisa berdiri disamping responden untuk melihat karir mereka yang
menyimpang dalam konteks tertentu.
Namun,
Aoyama menemui tiga wanita Thailand yang bersedia berbicara tentang pengalaman
dalam pekerja seks, di mana ketiga wanita itu salah satunya masih bekerja
sebagai pekerja seks, yang kedua merupakan mantan pekerja seks yang menikah
dengan orang Jepang, yang ketiga telah berhenti 15 tahun sebelumnya. Ketiga
wanita ini lebih bersemangat dibandingkan dengan mantan ataupun pekerja seks
yang ditemuinya saat berada di Bangkok.
Mereka menjaga jarak untuk hal-hal seperti kondisi sosial
subyektif dan obyektif.
Aoyama
melihat dalam karir pekerja seks di Thailand di masa lalu dan
apa yang mereka alami di Jepang di masa sekarang.
Situasi ini mereka anggap lebih baik dari apa yang telah mereka dapatkan di
Thailand, karena mereka tidak ingin kembali menjadi pekerja seks. Pada saat
wawancara ini mereka juga mengaku harus menghadapi sidang
keras agar mendapatkan kembali status baru dalam masyarakat yang tau masa lalu
mereka. Namun tidak akan mengakomodasi perubahan apapun.
Struktur dan Garis Besar Tema
Secara pendeskripsian menyeluruh, penelitian ini bertujuan
untuk memahami
dan membahas heteroseksual gender, komersial dan global transaksi dari industri seks transnasional, memberikan perhatian khusus kepada agen dari perempuan yang terlibat, yaitu responden. Buku ini juga mendeskripsikan pekerja seks yang terstruktur dan dikelola secara konstan. Meskipun perempuan dalam fokus 'memilih' untuk menjadi pekerja seks, atau 'setuju untuk' migrasi melalui perdagangan, tindakan ini tidak dilakukan semata-mata sebagai hasil dari keputusan subjektif mereka.
dan membahas heteroseksual gender, komersial dan global transaksi dari industri seks transnasional, memberikan perhatian khusus kepada agen dari perempuan yang terlibat, yaitu responden. Buku ini juga mendeskripsikan pekerja seks yang terstruktur dan dikelola secara konstan. Meskipun perempuan dalam fokus 'memilih' untuk menjadi pekerja seks, atau 'setuju untuk' migrasi melalui perdagangan, tindakan ini tidak dilakukan semata-mata sebagai hasil dari keputusan subjektif mereka.
Adapun konsep lembaga tidak mengurangi
'pilihan' agen atau 'persetujuan' untuk kesadaran palsu, menunjukkan misalnya
bahwa 'dia tertipu menjadi percaya bahwa dia memilih' atau 'dia diinduksi
menjadi persetujuan', tanpa mengakui dirinya subjektivitas dan menilai tindakannya
hanya dengan tujuan mereka dan penampilan retrospektif. Sebaliknya, konsep
badan menekankan kondisi sosial yang menjadi 'pilihan' seseorang atau
'persetujuan' untuk memilih hal tersebut
sangat tergantung pada posisi sosialnya (lihat Batu 2005: 66-7 dan Bab 3, buku
ini). Dengan kata lain, buku ini dijadikan sebagai studi empiris yang mengakui
tindakan perempuan dan persepsi yang dibangun oleh kekuatan tersebut meliputi
posisi sosial mereka, karir mereka dan kondisi yang ada pada waktu tertentu di tempat-tempat tertentu dalam hubungan
sosial yang konkret, serta abstrak.
Pada bab pertama buku ini, yaitu Modernisasi Perkerjaan, dan
Globalisasi: Menempatkan Para Migrasi Pekerja Seks Thailand, melibatkan
beberapa masalah ontologis epistemologis dan kunci yang terkait dengan
pertimbangan dari perdagangan seks global dalam dunia kontemporer. Dibagian
pertama, melihat dari sudut pandang feminis, pertanyaan apakah prostitusi
adalah perbudakan seksual atau kerjaan semata. Dibagian kedua lebih menyoroti
isu spesifik terkait dengan perempuan pekerja seks Thailand dalam migrasi intra
dan internasional. Ini berfungsi sebagai peta untuk membiasakan pembaca dengan
baik dan khusus. Aoyama
pertama kali memperkenalkan perdebatan tentang prostitusi perempuan yang telah,
berbicara kasar, telah membagi feminis ke dalam dua kubu selama beberapa
dekade.
Aoyama mencoba berpartisipasi dalam perdebatan ini dengan mendukung
argumen untuk jalan tengah tetapi menambahkan beberapa contoh konkret terkait
prostitusi kontinjensi berdasarkan cerita responden. Kisah-kisah ini diambil
dari pengetahuan lokal yang terlibat dalam segmen tertentu dari industri seks
pada waktu tertentu. Dapat diambil sebuah hal yang menarik dari intisari bagian
pertama sampai bagian empat tentang isu-isu substantif dari perempuan pekerja
seks di Thailand diantaranya adalah dampak modernisasi terhadap kehidupan
individu di bawah rekayasa sosial nasional, pembentukan gender sebagai harapan
sosial, kewajiban dan tanggung jawab kongruen dengan makna ditugaskan seksualitas
perempuan, dan globalisasi budaya dan ekonomi, serta perubahan migrasi.
Kesimpulan
Perdagangan orang lintas batas telah disebut sebagai
'perbudakan kontemporer' sejak berdirinya Perserikatan Bangsa dengan kebijakan
yang relevan pada 1990-an. Sejarah Jepang mengingatkan
untuk berpartisipasi dalam upaya internasional untuk menghapuskan bentuk baru
dari perbudakan dengan laporan perdagangan manusia yang terbesar.
Ini merupakan ancaman yang efektif kepada
pemerintah Jepang karena itu berarti jika bangsa tidak mengambil tindakan lebih
untuk mencegah perdagangan dan untuk menyelamatkan para korban itu akan jatuh
ke dalam Tier III, memenuhi syarat sehingga menjadi US sanctions. Dalam laporannya, International Organisasi Buruh,
yang mengakui perdagangan sebagai bentuk kerja paksa, dimulai dengan premis
bahwa industri seks Jepang adalah kekuatan utama untuk menarik orang yang
diperdagangkan. Hal ini juga menunjukkan betapa seriusnya kerusakan perdagangan
dikombinasikan dengan eksploitasi seksual.Adapun organisasi PBB berada dalam
posisi miskin untuk menilai apakah perdagangan seks itu sendiri harus ilegal
sebagai penilaian tergantung pada kebijakan yang independen dari masing-masing
anggota.
Kunci untuk menjamin keamanan dan melindungi hak-hak migran
di industri seks di bawah yurisdiksi negara, jika itu tujuannya, akan
dekriminalisasi keberadaan mereka, bukan untuk menimbulkan lebih ketat
pengamanan. Selain itu, di dunia juga penuh dengan hubungan gender yang tidak
setara, perempuan tanpa modal sosial dan ekonomi sangat mungkin dijadikan
tujuan ekonomi dalam industri seks dan menjadi sasaran eksploitasi atau
kekerasan ke tingkat yang luar biasa. Hambatan untuk menghapuskan itu tercipta
dengan adanya pengawasan. Kesimpulan dari buku ini berdiskusi tentang potensi untuk
mengejar perubahan, menggambarkan dari refleksi responden pembaca. Dengan cara
ini, agar lebih terfokus pada satu aspek tertentu dari fenomena, buku ini juga
mencoba untuk berurusan dengan industri seks dan perdagangan manusia sebagai
fenomena sosial yang sudah mengglobal, bersamaan dalam konteks geografis yang
berbeda.
Langganan:
Postingan (Atom)