1.
Jelaskan
mengenai campur tangan dan arogansi AS di Asia Timur:
Jawab:
9 Oktober 2006,
merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Korea Utara (Korut) karena mampu
melakukan uji coba bom nuklirnya secara sukses. Tetapi, dibalik kesuksesanya
itu, Korut banyak menerima kecaman dari dunia internasional khususnya AS.
Sebagai polisi dunia, tentunya AS tidak mau ada satu pun negara di dunia ini
yang berani menyainginya, lebih-lebih negara tersebut sangat anti-AS.
Ketidaksenangan AS
tersebut, akhirnya diwujudkan dengan mengajak negara-negara anggota tetap DK
PBB untuk memberi sanksi terhadap tindakan Korut tersebut. Akhirnya, DK PBB di
bawah komando AS memberikan sanksi berupa pembatasan perdagangan senjata,
membatasi transaksi teknologi yang terkait senjata, membatasi perjalanan warga
Korut yang terkait program nuklir, dan membatasi aset warga Korut yang terkait
program transaksi senjata.
Kemudian yang menjadi
pertanyaanya adalah mengapa Korut yang hanya sekali melakukan uji coba nuklir
mendapatkan sanksi tegas dari DK PBB?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut
penulis akan menggunakan dua faktor yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor
Internal. Dalam faktor internal ini penulis akan membaginya dalam beberapa sub.
Pertama, ideologi.
Secara ideologi Korut sangat bertolak belakang dengan ideologi yang dianut oleh
AS yaitu ideologi kapitalis. Korut merupakan salah satu negara di Asia Timur
yang menggunakan ideologi komunisme. Sebagai negara komunis, tentunya Korut
tidak mau didekte oleh AS yang kapitalis dalam mengelola dan mengatur
negaranya.
Bagi Kim Jong-Il, kebutuhan untuk memiliki senjata nuklir adalah sebuah
keharusan, mengingat Korut adalah negara yang berhak untuk menentukan nasibnya
sendiri. Berbeda dengan AS, yang mengklaim diri sebagai negara adi daya yang
terus menyebarkan virus pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, tentunya
menganggap Korut yang komunis stalinis itu merupakan sebuah ancaman bagi
pengaruh kapitalisme di Asia Timur.
Untuk itu, AS dan sekutu-sekutunya akan dengan sekuat tenaga untuk menundukkan
Korut dengan berbagai dalih agar Korut yang komunis itu bisa berpindah ideologi
ke kapitalisme. Selama Korut tetap pada pendirianya, sebagai negara anti-AS,
maka AS akan selalu mempersoalkan segala bentuk tindakan Korut sebagai bentuk
ancaman terhadap keamanan dunia internasional.
Kedua, ancaman di
semenanjung korea. Perang saudara Korea Utara dan Korea Selatan pecah pada
tahun 1950-1953. Sentimen perselisihan tersebut sampai sekarang masih sangat
terasa. Kedua negara, seolah-olah sudah siap perang lagi jika salah satu di
antara keduanya mulai melakukan penyerangan. Bom waktu perang antar keduanya
kian meletup tatkala Korut berhasil melakukan uji coba bom nuklirnya beberapa
hari yang lalu. AS, sebagai big boss bagi Korsel, tentunya tidak mau sekutunya
di Asia Timur (Korsel) itu dihajar oleh Korut dengan nuklirnya. Maka untuk
melumpuhkan kekuatan nuklir Korut adalah dengan memberikanya sanksi lewat DK
PBB. Selain pemberian sanksi tersebut, AS juga telah menyiapkan 29.500 personel
militernya yang telah dilengakapi dengan senjata biologi, anti rudal, pesawat
tempur, dan kapal induk yang sudah stand by di Korea Selatan.
Ketiga, ancaman Jepang.
Jepang adalah negara pertama di dunia yang pernah di bom atom oleh AS pada
tahun 1945, sehingga mengakibatkan Jepang menyerah kepada sekutu (AS) tanpa
syarat. Sejak saat itulah, Jepang menjadi sekutu terdekat AS di Asia Timur.
Begitu dekatnya hubungan client and patron ini, sehingga untuk persoalan yang
paling sakral pun (pembuatan konstitusi) harus dibuat bersama dengan sekutu
(AS). Dalam konstitusi tersebut, Jepang tidak boleh mempunyai militer dan cukup
militer disuplai oleh pihak Amerika Serikat. Melihat ekskalasi politik dan
keamanan di Asia Timur saat ini yang mulai memanas, yang terkait dengan
kesuksesan uji coba nuklir Korut maka AS sebagai patron (negara pelindung) bagi
Jepang tentunya tak ingin sekutunya tersebut dihancurkan begitu saja oleh
Korut. Maka segala bentuk tindakan akan dihalalkan AS baik melalui resolusi PBB
maupun dengan perlawanan fisik (perang) untuk melindungi “anak emasnya”
tersebut di Asia Timur.
Faktor Eksternal
Paradigma realis
berkembang sangat pesat pasca PD II, khususnya pada tahun 1945-1980. Tokoh
paradigma realis yang paling terkenal adalah Hans. J. Morghentahu dengan karya
besarnya yang berjudul Politics Among Nations : The Struggle For Power and
Peace (1947).
Paradigma realis memandang bahwa politik internasional adalah sangat anarki
(tanpa aturan). Bagi kaum realis, jika ingin damai maka harus perang. Untuk
menjadi negara hegemon maka negara harus mempunyai power (kekuatan).
Untuk menelaah kasus
uji coba nuklir Korut, maka bagi penganut pandangan realis yaitu AS tentunya
tidak ingin keamanan di Asia Timur terganggu dengan tindakan provokatif Korut.
Untuk itu maka, Amerika Serikat akan menggunakan konsep utamanya yaitu struggle for power (perjuangan untuk
memperoleh kekuatan). Konsep itu setali tiga uang dengan tiga doktrin Bush
yaitu militer Amerika tidak boleh ada yang menandingi, terorisme adalah musuh
Amerika, dan negara lain yang mengancam eksistensi Amerika perlu diagresi. Atas
dasar konsep dan doktrin-doktrin Bush itulah AS akan menundukkan Korut yang
dianggap sebagai "anak nakal" di Asia Timur. Kebringasan AS sudah
dibuktikan di Afghanistan dan Irak. Jika Korut tetap merecoki national interest
AS di Asia Timur maka tahap pertamanya adalah mengefektifkan sanksi DK PBB dan
tahap berikutnya jika sanksi PBB gagal maka sangat terbuka bagi AS untuk
menjadikan Korut sebagai killing field di Asia Timur. Jika hal tersebut terjadi
maka semakin memperkuat predikat AS sebagai negara yang arogan di panggung
politik dunia internasional khususnya di kawasan Asia Timur.[1]
Setelah Google yang
asal AS itu “ditendang” dari China, kemudian AS bikin ulah kembali dengan
mempersenjatai Taiwan dnegan alasan untuk menghindari ancaman dari China, pada
kenyataannya bahwa Negara Taiwan itu masih menjadi wilayah teritorial China dan
bahkan dalam beberapa kesempatan Taiwan tidak diperbolehkan memakai nama
negaranya dan diharuskan menggunakan nama China Taipei, sontak saja ini membuat
China berang, Taiwan yang harusnya “manut” pada China kini menjadi percaya diri
dan memiliki arogansi kepada China, justru inilah yang dapat menyebabkan
stabilitas keamanan di Asia Timur terganggu, seandainya saja Taiwan tidak diberi
logistik seperti itu mungkin masalah antara China dan Taiwan tidak perlu
sesengit itu.
Latihan gabungan perang
besar-besaran yang dilakukan oleh AS bersama Korsel pun menjadi sorotan kembali
menegangnya antara China dengan AS maupun Korsel, AS selalu berdalih bahwa itu
dilakukan untuk menjaga Korsel dari ancaman Korut, yang jadi pertanyaan adalah
ancaman yang mana?? Korut selama ini tidak melakukan apapun juga, itu kan hanya
akal-akalan AS saja untuk melucuti senjata Korut, padahal negara sekutunya AS, yaitu
Israel pun memiliki nuklir tapi hanya karena Korut berlawanan haluan dengan AS
maka isu nkulir pun digulirkan.
China yang sejak lama
memang mendukung Korut tentu mempunyai tanggung jawab yang besar dalam
melindungi Negara sekutunya itu, bahwa latihan gabungan di laut kuning maupun
latihan-latihan lainnya yang dilakukan AS dan Korsel hanya akan memperkeruh
suasana, masalah yang terjadi antar Korut dan Korsel sebenarnya apabila tidak
dibesar-besarkan tentu tidak akan menimbulkan arogansi dari Korsel, namun
karena Korsel merasa yang membekingi mereka adalah Negara besar seperti AS maka
Korsel pun dengan percaya dirinya membuat sesuatu hal yang sesungguhnya malah
hanya akan membahayakan mereka sendiri.[2]
Begitu banyak arogansi
yang ditunjukkan AS untuk tidak menghilangkan kekuasaan yang telah diraihnya
untuk terus menancapkan kukunya di Asia timur. Jepang yang menjadi partner
sejati AS pun tidak luput dari pemanfaatan yang terus menanamkan nilai-nilai
liberal dan kapitalisme ke negara-negara disekitarnya.
2.
Jelaskan
salah satu transnasional isu yang ada di Cina
Jawab:
Sebuah artikel yang
sangat provokatif mengingat isu Laut Cina Selatan sedang panas dibicarakan dan
menjadi sebuah isu transnasional yang sangat sensitif. Pada dasarnya isu ini
merupakan perebutan batas wilayah di Laut Cina Selatan antara tiga negara,
Cina, Vietnam dan Filipina. Tensi ketiga negara, terutama Cina lawan Vietnam
sangat tinggi. Insiden konfrontasi senjata yang menewaskan beberapa tentara
Vietnam membuat rakyat Vietnam menyerukan kebijakan yang lebih tegas mengenai
sengketa Kepualauan Paracel dengan Cina.
Cina sebagai superpower
kawasan sudah selayaknya menunjukkan kebijakan yang keras kepada Negara-negara
pengklaim yang dianggap paling rewel, yaitu Filipina dan Vietnam. “Bagi Cina,
(berperang di Laut Cina Selatan) adalah medan pertempuran yang sangat ideal.
Jika menang, kawasan bisa kita kuasai dan sekaligus mengunci mereka yang
banyak” tulis Tao. Cina digambarkan sebagai seekor gajah yang diganggu
nyamuk-nyamuk (Vietnam dan Filipina). Jika para nyamuk yang mengganggu itu bisa
didiamkan begitu saja. Namun jika nyamuk (Filipina) mengundang si elang
(Amerika Serikat (AS)) maka persoalannya menjadi serius. Meski AS dianggap
hanya menggertak saja mengenai masalah Laut Cina Selatan. Karena tidak mungkin
dengan kondisi ekonomi sekarang (apalagi sebagian besar utang pemerintah AS
dimiliki Cina) AS mampu membuka front perang baru untuk mencegah ambisi Cina di
kawasan.
Meskipun Cina mampu
melakukan opsi perang ini, saya rasa terlalu berisiko bagi citra negeri itu di
kawasan dan dunia internasional. Kerjasama ekonomi dengan negara-negara Asia
Tenggara (ACFTA) yang tengah berlangsung terlalu berharga untuk digugurkan.
ASEAN di satu sisi selalu berupaya menjadi penengah konflik, daripada menjadi
aliansi melawan agresor (Cina). Sehingga saya bisa katakana jika konflik Laut
Cina Selatan hanya akan menjadi ajang saling gertak (meski masih ada
kemungkinan jatuhnya korban jiwa) tanpa ada pembicaraan yang serius untuk
menyelesaikannya. Cina senantiasa menunjukkan sikap kerasnya mengenai sengketa
wilayah di laut, selain dengan Vietnam dan Filipina, juga dengan Jepang.
Sehingga peluang masuknya pihak ke tiga sebagai penengah konflik cenderung
kecil, meski masih ada potensi untuk penyelesaian yang elegan antarpihak yang
bertikai.
Latar Belakang
Berawal pada bulan
April tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spratly antara Vietnam
dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Angkatan Laut Vietnam dihalang-halangi oleh dua puluh kapal
perang RRC yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan sehingga terjadi
bentrokan. Bentrokan antara RRC dan Vietnam ini merupakan bagian dari bentrokan bersenjata yang terjadi sebulan sebelumnya yang mengakibatkan
hilangnya 74 tentara Vietnam. Sejak
saat itu, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa 14 Maret
1988.
Sebenarnya Pertikaian
di kepulauan Spartly sudah berlangsung sejak lama dan aktor yang berperan di
dalamnya pun tidak hanya Vietnam dan RRC, tetapi
juga melibatkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina, serta
Taiwan. Karena klaim-klaim
tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang
beraneka ragam, konsiderasi
ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari
hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling tumpang
tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan batas. Klaim kepemilikan sejumlah pulau-pulau
kecil di Laut Cina Selatan juga memperbesar permasalahan ini sehingga
menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau Landas Kontinen.
Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan-perubahan besar dan terjadi
dengan sangat cepat dalam sistem internasional. Perubahan yang menciptakan
transformasi pada sistem internasional ini menimbulkan harapan dan tantangan
sekaligus baru. Salah satu tantangan baru yang mengundang banyak perhatian
adalah mengenai konsep keamanan. Pengkajian masalah keamanan yang semula
berpusat pada kekuatan militer dan penggunaannya dalam mencapai tujuan-tujuan
politis, mendapat tantangan baru dalam mengatasi ancaman perubahan
dimensi-dimensi keamanan. Kepentingan ekonomi negara, isu-isu baru seperti
lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM), keimigrasiaan, narkotika dan
seterusnya, menjadi ancaman baru bagi kajian keamanan.
Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh berakhirnya Perang Dingin
juga telah berperan menonjolkan isu dan perkembangan baru di Asia Tenggara yang
mempengaruhi perspektif keamanan negara-negara ASEAN. Seperti halnya dengan
kebanyakan negara yang sedang berkembang, maka masalah keamanan diantara
negara-negara ASEAN selalu menjadi fenomena dengan banyak aspek yang ditandai
oleh saling ketergantungan yang kompleks antara hal-hal dalam negeri dan luar
negeri. Pada saar era Perang Dingin, ASEAN yang memiliki salah satu tujuan
untuk menciptakan tatanan regional yang mandiri, mengartikan kemandiriannya
tersebut sebagai upaya untuk tidak terlibat dalam konflik-konflik dengan
negara-negara lain terutama negara adikuasa. Namun setelah Perang Dingin
berakhir, tatanan regional yang diinginkan ASEAN, dan hubungan ASEAN dengan
negara-negara besar dari luar kawasan tentu perlu ditinjau kembali.
Lingkungan strategis yang baru mendorong ASEAN untuk mengambil berbagai
kebijakan baru dalam masalah politik dan keamanan. ASEAN tidak dapat lagi hanya
memperhatikan masalah dan kerjasama bilateral. Perubahan konstelasi politik
yang terjadi di Asia Pasifik dewasa ini telah mendorong negara-negara di
kawasan ini, tidak terkecuali para anggota ASEAN, untuk semakin memperhatikan
masalah keamanan. Khususnya, meningkatnya persengketaan mengenai kepulauan
Spartly yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam,
Malaysia, Filipina, Vietnam). Persengketaan yang ditimbulkan dari konflik laut
Cina Selatan ini menimbulkan konflik bilateral (bilateral dispute) dan sengketa
antar negara (multilateral dispute) menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan
pecahnya konflik militer , dimana beberapa negara anggota ASEAN terlibat
diantaranya. Hal inilah yang mendorong negara-negara ASEAN untuk memasukkan
masalah keamanan regional kedalam agenda resmi ASEAN.
Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara
pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia,
Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan
dependent territory yaitu Makau. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk
Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin
yang dibatasi Vietnam dan RRC.
Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam tata lautan internasional
merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi
sangat penting karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya
alam yang dimilikinya. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran
dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional),
sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi
kerjasama.
Di Laut Cina Selatan sendiri terdapat empat kelompok gugusan kepulauan,
dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield.
Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua
gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya perselisihan mengenai Pulau
Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim
multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya.
Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih terpusat pada Spartly,
yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut Cina Selatan, yang
diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina, dan
Malaysia, sementara Kepulauan Paracel dan juga Pratas, praktis secara efektif
masing-masing sudah berada di bawah kendali Cina dan Taiwan.
Tidak mudah untuk mendapatkan batasan geografis dari Kepulauan Spratly
yang disepakati bersama, tetapi tampaknya batasan yang digunakan oleh Dieter
Heinzig yang menyebutkan kepulauan tersebut sebagai suatu wilayah yang dibatasi
4° LU dan 109° BT ke arah Barat Laut antara 11°31’
LU dan 117°BT, merupakan batasan yang cukup
memadai. Kepulauan ini dibatasi oleh wilayah perairan dari beberapa negara, yaitu: Philipina, Vietnam, Indonesia dan
Malaysia. Kepulauan ini terletak kurang lebih 1.100 Km dari pelabuhan Yu Lin
(P.Hainan)RRC dan 500 Km dari pantai Kalimantan bagian Utara.° 31’ LU dan 117° BT ke arah
Barat Laut antara 11° LU dan 109°. Tidak mudah untuk mendapatkan batasan geografis dari Kepulauan
Spratly yang disepakati bersama, tetapi tampaknya batasan yang digunakan oleh
Dieter Heinzig yang menyebutkan kepulauan tersebut sebagai suatu wilayah yang
dibatasi 4 BT, terletak 277,8Km (di Selatan P. Hainan)RRC. 54°LU dan 112° Kepulauan Paracel terletak disebelah
Utara Kep.Spratly yang berada pada posisi 15 derajat 14’dan 17 derajat.
Berdasarkan bukti bukti
sejarah Cina, Kep. Paracel yang terletak 300Km sebelah tengggara pantai Cina
telah dikuasai oleh Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum Masehi hingga
220 sesudah Masehi. Disebutkan pula oleh Direktur Institut Arkeologi Provinsi
Guangdong;Gu Yunguan, 98% benda-benda yang telah ditemukan digugus Paracel
merupakan mata dagangan buatan Cina. Sejak itu RRC terus melancarkan berbagai
upaya demi membuktikan kedaulatannya atas Kep Paracel termasuk Kep.Spratly
dengan berpegang pada dokumen sejarah dan peninggalan Arkeologi. Sementara
Vietnam, selain mendasarkan tuntutannya pada aspek Hukum Internasional juga
mengkombinasikan dengan aspek Historis. Vietnam menandaskan sudah menguasai
kepulauan itu sejak abad 17.Ada catatan sejarah mengungkapkan kepulauan yang
juga disebut Hoang Sa dalam bahasa Vietnam (Xisha dalam bahasa Cina) masuk
dibawah distrik Binh Son Vietnam. Selain dengan Vietnam,RRC juga terlibat dalam
sengketa klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan dengan Malaysia, Brunai
Darussalam, Filipina dan Taiwan. Dikawasan ini tersebar sekitar 200 pulau yang
sebagian besar tidak didiami karena merupakan pulau-pulau karang dan minim
sumber air tawar. Secara garis besar tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh
negara-negara tersebut dapat dikelompokan sbb:
1.Terhadap Kep. Paracel :dilakukan oleh RRC dan Taiwan
2.Terhadap Kep. Spratly :melibatkan ke-enam negara tersebut.
Namun yang paling
diperebutkan oleh negara-negara yang bersengketa adalah Kep. Spratly, karena
dari segi perdagangan dan pertahanan dianggap strategis (Merupakan jalur kapal
perdagangan internasioanal) dan memiliki kekayaan sumber daya alam berupa
minyak, gas dan tambang lainnya. Ini berarti mendapatkan kepulauan tersebut
sudah dapat diperkirakan akan mengurangi ketergantungan minyak dari
negara-negara Kawasan Teluk. Perkiraan
cadangan minyak di Kep. Spratly 10 milyar ton, kalau RRC tidak dapat menemukan
sumber minyak didaratan,maka RRC harus mengimport 100 juta ton minyak pada
tahun 2010.(International Herald Tribune tgl. 3 Juni 1995). Kawasan Laut Cina
Selatan,bila dilihat dalam tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai
ekonomis, politis dan strategis, sehingga kawasan ini mengandung potensi
konflik sekaligus potensi kerjasama. Kebangkitan Cina akan menjadi salah satu
perkembangan yang sangat menarik untuk diamati bagi politik luar negeri
Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.Sejak RRC memeperkenalkan
kebijaksanaan Empat Modernisasi pada tahun 1978, (Bidang Politik,Ekonomi,Administrasi
dan Pasar Keuangan)tampak jelas bahwa RRC akan menjadi “Kekuatan Maritim” dan
“Kekuatan Kontinental”.
Meskipun Indonesia
bukan merupakan penuntut atas gugus Kep. Spratly,akan tetapi Indonesia memiliki
Fakta sengketa bilateral dengan RRC terhadap landas kontinen disepanjang
kawasan Laut Cina Selatan.Hal ini tidak mencuat ke permukaan mengingat RRC
tetap meyakinkan Indonesia bahwatidak ada masalah perbatasan maritim dengan
Indonesia di Laut Cina Selatan.Padahal berdasarkan peta RRC pada tahun 1947
yang menunjukkan 9 (sembilan) garis putus-putus dan berebentuk lidah tersebut
meliputi wilayah P. Hainan sampai ke Pantai Kalimantan yang mencakup Teluk
Tonkin,Kep. Paracel dan Kep.Spratly. Demikian pula pada tahun 1995 berdasarkan
Peta RRC menunjukkan bahwa ladang gas Natuna berada dalam
territorialnya,walaupun terletak lebih dari 1.000 mil sebelah selatan RRC.
Selain itu RRC pernah menyatakan klaim terhadap sebagian Laut Natuna sampai ke
perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan Barat dan sekeliling Vietnam.
Laut Natuna sangat
vital baik bagi RRC maupun bagi Indonesia karena merupakan jalur utama menuju
kota-kota utama di Asia Timur.Gangguan terhadap komunikasi,pelayaran dan
navigasi di kawasan ini dan berbagai ketegangan yang diakibatkannya akan
memberi dampak yang merugikan bagi kepentingan Indonesia dan kestabilan
regional. Sesuatu yang sangat mengkhawatirkan Indonesia dalam mencermati
perkembangan sengketa di Laut Cina Selatan tersebut adalah adanya dugaan
penggunaan teknologi baru penambangan dasar laut yang menjangkau HAK KEDAULATAN
Indonesia. Sejak tanggal 8 Mei 1992 perusahaan minyak RRC(The Chinese National
Offshore Oil Company) dengan Crestone Energy Company dari Amerika Serikat telah
melakukan Explorasi dan Exploitasi minyak dan gas bumi di kawasan seluas 25.000
km2 dalam wilayah Nansha di Barat Laut Cina Selatan yang dekat dengan
Kep.Natuna.
Identifikasi masalah
Konflik dilaut China selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19
ketika inggris mengklaim kepulauan Spartly, diikuti oleh China pada awal abad
ke-20 dan prancis sekitar 1930-an. Disaat berkecambuknya Perang Dunia II jepang
mengusir Prancis dan menggunaka Kepulauaan Spartly sebagai basis kapal selam.
Dengan berakhirnya Perang Dunia,perancis kembali mengklaim kawasan tersebut dan
diikuti oleh Philipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sabai
sebagian dari kepentingan keamanan Nasional.
Sejak 1970-an klaim terhadap kawasan tersebut meningkat pesat sejalan
dengan perkembangan dibidang penemuaan dan hokum internasional. Perkembangan
pertama menyangkut ditemukanya ladang minyak yang diperkirakan cukup banyak
diwilayah tersebut berdasrkan survey geologi yang dilakukan para peneliti dari
perusahaan Amerika dan inggris.penemuaan ini tentu saja membuat harga kepulauan
ini meroket. Dalam perkembangan berikutnya telah ditetapkannya Zona Ekonomi
Eksklusif (EEZ) sepanjang 200 mil laut bagi setiap Negara berdasarkan ketentuan
UNCLOS ( United Nations Confrence on the Law of the Sea).
Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan laut
China selatan dengan sendirinya mendorong Negara-negara yang oantainya
bebatasan langsung dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap
sebagian pulau , kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya
sebagaimana ditentukan oleh hukum laut internasional diatas China, Vietnam, Philipina,
dan Malaysia berlomba – lomba mengklaim, mengirim pasukan untuk mengamankan
kepulauaan yang mereka klaim, bahkan member konsensi pada perusahaan-perusahaan
minyak asing, khususnya Inggris dan Amerika Dan inggris, untuk melakukan
ekploirasi minyak dikawasan yang mereka klaim masing-masing. Persaigan dalam
proses pernyataan hak ini berkembang menjadi konflik militer, khususnya China
dan Vietnam tahun 1974 dan 1988. China bahkan secara terbuka mendirikan
bangunan yang disertai dengan sistem komunikasi canggih plus tempat pendaratan
helikopter. Perkembangan ini menunjukkan dengan jelas besarnya kepentingan
China dikepulauaan Spartly. Perseteruaan antara China dan Vietnam lebih
disebabkan oleh masalah isu tambang minyak. Sementara konflik China dan
Philipine lebih disebabkan oleh persaingan dan perebutan hasil ikan di kawasan
tersebut. Kekuatan militer China ini membuat kerajaan tengah ini selalu berada
diatas angin.
Lingkungan strategis yang baru mendorong ASEAN untuk mengambil berbagai
kebijakan baru dalam masalah politik dan keamanan. ASEAN tidak dapat lagi hanya
memperhatikan masalah dan kerjasama bilateral. Perubahan konstelasi politik
yang terjadi di Asia Pasifik dewasa ini telah mendorong negara-negara di
kawasan ini, tidak terkecuali para anggota ASEAN, untuk semakin memperhatikan
masalah keamanan. Khususnya, meningkatnya persengketaan mengenai kepulauan
Spartly yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam,
Malaysia, Filipina, Vietnam). Persengketaan yang ditimbulkan dari konflik laut
Cina Selatan ini menimbulkan konflik bilateral (bilateral dispute) dan sengketa
antar negara (multilateral dispute) menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan
pecahnya konflik militer , dimana beberapa negara anggota ASEAN terlibat
diantaranya. Hal inilah yang mendorong negara-negara ASEAN untuk memasukkan
masalah keamanan regional kedalam agenda resmi ASEAN. Makalah berikut ini akan
menggambarkan bagaimana konflik Laut Cina Selatan menciptakan dilema keamanan
diantara negara-negara di kawasaan Asia Pasifik dan bagaimana peran ASEAN
sebagai peace maker tertantang optimalisasinya dalam menangani persolaan
keamanan ini, mengingat posisi ASEAN menjadi tidak netral akibat terlibatnya
beberapa negara anggota ASEAN dalam persengketaan Laut Cina Selatan.
Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi konflik
yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik. Dengan kondisi seperti
ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya
semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati
agar tidak menimbulkan ekses-ekses instabilitas di kawasan.
Negara-negara dan
wilayah yang berbatasan dengan laut ini di antaranya: Republik Rakyat Cina,
Makau, Hongkong, Republik Cina (Taiwan), Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia,
Singapura, Muang Thai, Kamboja dan Vietnam. Di laut ini, ada lebih dari 200 pulau dan karang yang diidentifikasi,
kebanyakan darinya di daerah Kepulauan
Spratly. Kepulauan Spratly tersebar
seluas 810 sampai 900 km yang meliputi beberapa 175 fitur insuler yang
diidentifikasi, yang terbesarnya menjadi Kepulauan Taiping (Itu Aba) yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian
3,8 m.
Sengketa teritorial di
kawasan Laut Cina Selatan khususnya sengketa atas kepemilikan Kep. Spratly dan
Kep Paracel mempunyai perjalanan sejarah konflik yang panjang.Sejarah
menunjukkan bahwa penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara al.:
Inggris, Perancis, Jepang, RRC, Vietnam yang kemudian melibatkan pula
Malaysia,Brunai,Filipina dan Taiwan. Sengketa teritorial dikawasan ini bukan
hnya terbatas masalah kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi juga
bercampur dengan masalah hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE serta menyangkut
penggunaan teknologi. Dalam kaitan itu
secara Hukum International (UNCLOS 1982),sesungguhnya Indonesia terlibat dalam
sengketa mengenai hak atas Landas Kontinen di kawasan Kep. Natuna. Sengketa-sengketa
tersebut diatas terdiri dari:
a)
Sengketa Bilateral antara: RRC - Vietnam, Filipina - Malaysia, Filipina - Taiwan, Filipina - RRC, Malaysia - Vietnam, Filipina - Vietnam, Malaysia - Brunai, Taiwan - RRC dan Indonesia - RRC.
b)
Sengketa antar Negara: Masalah
sengketa antar negara di kawasan, sangat terkait dengan aspek”NATIONAL
INTEREST” masing-masing negara dalam mewujudkan keinginan mempertahankan
wilayah pengaruh(hegemoni)serta jaminan akan keamanan pelayaran serta Explorasi
sumber daya alam sebagai akibat yang disebabkan posisi strategis dan vital di
kawasan Laut Cina Selatan.
Konsep kepentingan nasional sangat penting bagi setiap usaha
menerangkan, menjelaskan dan meramalkan atau membuat perskrepsi mengenai
perilaku internasional. Para penstudi dan praktisi hubungan internasional
dengan suara built sepakat justifikasi utama tindakan Negara adalah kepentingan
nasional. Selain menggunakan teori kepentingan nasional penulis juga
menggunakan teori Diplomasi Preventif dan teori peran. Pada tahun 1990-an
Boutros Boutros Ghali merumuskan bahwa yang dimaksud dengan preventif Diplomacy
adalah suatu tindakan untuk menghindari terjadinya persengketaan antar pihak
atau antar Negara, dan menghindari persengketaan yang sudah ada meningkat
menjadi konflik bersenjata. Pada hakikatnya preventive Diplomacy yang
diterapakan di Laut China Selatan untuk mencegah dampak dari eskalasi konflik,
misalnya perlombaan bersenjata dan pergeseran perimbagan kekuatan yang dapat
mempengaruhi prospek penyelesaian sengketa secara damai. Sedangkan menurut Buun
Nagara pereventive Diplomacy cenderung untuk memperkuat multiratelisme, karena
proses multiralisme ini cenderung mendorong Negara-negara untuk bersama-sama
mengindentifikasikan kepentingan mereka. Multiratelisme merupakan elemen
penting dari suatu struktur keamanan dan merupakan bagian integral dari
keberhasilan suatu aliansi dan rezim keamanan kolektif. Hal tersebut yang
mendorong lahirnya suatu forum menjamin lingkungan di di Asia Pasifik forum
tersebut bernama ASEAN Regional Forum (ARF). ARF ini lahir dari perdebatan
mengenai pentingnya forum keamanan multiratelisme, dengan demikian maka
multilaterisme pada hakikatnya membantu member legitimasi yang kuat bagi
usaha-usaha dan keberhasilan diplomasi preventif.
Tinjauan Epistemologi
RRC sangat berambisi
dan berkepentingan untuk memasukkan kedua kepulauan tersebut dalam wilayah
maritimnya seluas 200 mil laut dalam UU Maritim Cina yang baru.Hal ini
terungkap pada sidang AIPO bulan September 1996 dimana Badan Kerja Sama Antar
Parlemen(BKSAP)DPR RI memprotes upaya RRC memasukkan Kep. Spratly dan Paracel
dalam wilayah maritimnya melalui UU Maritim Cina, karena kedua kepulauan itu
masih disengketakan oleh beberapa negara ASEAN. Menurut Prof Wang Gung
Wu(seminar di CSIS tgl. 16 Nopember 1997)bahwa Cina memiliki penduduk yang
terbesar didunia(2 milyar jiwa),kekayaan alam yang besar dan kebudayaan serta
tradisi yang tertua didunia.Setelah Reformasi, Komunis Cina mengalami
transformasi dan sedang berkonvergensi kearah Kapitalisme yang melahirkan
gagasan “One Country and Two System” yaitu adanya sistem kenegaraan dimana
Sosialisme dan Kapitalisme dapat hidup berdampingan secara damai.Konsep
Sosialisme yang bercirikan Cina, titik berat menekankan peranan swasta dan
memeperkecil peranan negara. Perestroika dan Glasnot yang membawa kehancuran
Uni Sovyet kelihatannya menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi RRC untuk
tetap mempertahankan “Sosialisme yang bercirikan Cina” berarti:Perekonomian
bebas tetapi politik masih dikendalikan melalui Partai Komunis Cina(PKC).Bertahannya
RRC sebagai Nation State sama dengan bertahannya PKC,jika PKC hancur seperti
Partai Komunis Uni Sovyet(PKUS) maka RRC juga akan hancur berantakan seperti
Uni Sovyet.Siapapun yang memimpin RRC,keberadaan PKC akan dianggap sebagai
suatu kebutuhan.,denga perkataan lain bahwa:Bukan Cina menjadi Komunis,tetapi
Komunis menjadi Cina.Reformasi yang telah terjadi di RRC kelihatannya tidak
akan pernah terjadi sama dengan yang terjadi di Uni Sovyet atau dinegara
manapun didunia.
Sejak tahun 1978 RRC
telah menetapkan sebagai “Negara Maritim’ dan telah menentukan Angkatan Lautnya
pada tingkat “BLUE WATER”(setingkat dengan AL dari AS dan Inggris).Angkatan
Laut RRC konon berambisi meningkatkan kehadirannya di kawasan Asia Tenggara dan
Lautan Hindia. Hal ini terlihat dari strateginya membangun dermaga secara
signifikan dipantai Timur dan Selatan yang dapat digunakan untuk kapal swasta
maupun kapal Angkatan Laut RRC. Dalam bidang pendidikan RRC telah mengirim
ribuan pemuda berbakat ke Eropa Barat,Jepang dan AS guna menyerap Iptek dan
mereka harus kembali kedaerah asalnya. Proyeksi kekuatan dan struktur Angkatan
Bersenjata RRC menganut sistem”Forward Proyection and Small is beautiful” yang
bertumpu pada pengembangan kekuatan ANGKATAN LAUT dan peningkatan teknologi
persenjataan melalui R&D.
Dari gambaran tersebut
diatas jelas bahwa wujud Geostrategi Cina adalah dengan mempertimbangkan unsur
atau kondisi Geopolitik Cina yakni yang bercirikan Negara Maritim. Mencermati anatomi potensi konflik di Laut
Cina Selatan,maka tidak terlepas pada upaya negara-negara yang bersangkutan
dalam mewujudkan “Politik Teritorial”nya. Kondisi ini sangat menonjol mengenai
masalah klaim wilayah teritorial Secara faktual kondisi geografi dari kepulauan
yang tersebar di kawasan itu,kebanyakan terdiri atas karang yang tidak
berpenduduk dengan tanah tandus yang tidak bisa ditanami dan sebagian
kekurangan air tawar. Sebagai gambaran ,pihak yang menguasai Kepulauan Paracel
dengan mudah bisa mengawasi navigasi di bagian Utara Laut Cina Selatan
sedangkan dengan menguasai Kep. Spratly bisa mengontrol rute maritim yang
menghubungkan Pasifik atau Asia Timur dengan Samudera Hindia.Disamping itu
secara psikologis bila pulau-pulau itu dikuasai,maka kepulauan itu dapat
dijadikan “batu loncatan” untuk menyerang daratan Asia.
Secara politis
ketegangan hubungan antara negara-negara pengklaim akibat dari sengketa wilayah
di Laut Cina Selatan memiliki kecenderungan yang kuat untuk berkembang menjadi
sumber ketidak stabilan kawasan.Ketidak stabilan ini semakin lama semakin
mempengaruhi negara-negara yang berdekatan dengan kawasan sengketa. Dan secara
proximatis geografi,Indonesia berada dekat sekali dengan kawasan Laut Cina
Selatan baik dalam konteksAsia Tenggara maupun Asia Pasifik. Cina akan
selalu menjadi lebih besar dan berpotensi untuk menjadi kaya dan kuat.Beberapa
pengamat Ekonomi Internasional meramalkan bahwa abad 21 akan menjadi The
Chinese Century.Untuk menghadapi RRC sebaiknya negara-negara ASEAN bersatu padu
untuk mengadakan hubungan yang baik dengan Cina dalam segala kegiatan. Lebih
baik menciptakan suasana dan iklim saling mendukung daripada membiarkan
persaingan tidak sehat yang bisa mengarah saling merugikan bagi kedua belah
pihak.
Peranan ASEAN
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghindari potensi Konflik
Laut Cina Selatan menyusul adanya kemungkinan upaya penyelesaian konflik secara
damai oleh semua pihak yang terlibat sengketa. Salah satu upaya menghindari
potensi konflik tersebut adalah melalui pendekatan perundingan secara damai
baik secara bilateral maupun multilateral dan juga melakukan
kerjasama-kerjasama yang lazim digunakan mengelola konflik regional dan
internasional.
Pada tingkat kerjasama subregional Asia Tenggara, setidaknya ASEAN
telah berfungsi sebagai forum yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah
ekonomi, politik, sosial budaya dan banyak masalah keamanan. Keberhasilan ASEAN
dicerminkan oleh upaya mengatasi konflik-konflik bersenjata atau
tindakan-tindakan provokatif sejak organisasi ini berdiri 1967. Dan hingga saat
ini regionalisme ASEAN berfungsi sebagai instrumen untuk menyelesaikan
krisis-krisis internal. Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu, mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara negara-negara tetangga
dan memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk menunjang peningkatan
ketahanan Regional secara kolektif.
Oleh karena itu, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi
satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah
regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan
negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan
dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Konflik laut Cina
selatan menjadi penting karena cakupan regionalisme Asia Pasifik akan
meningkatkan kekuatan kawasan dalam menangani bentuk-bentuk konflik regional
yang sesungguhnya sangat menentukan bagi kepentingan nasional masing-masing
negara anggota.
ASEAN merupakan
organisasi kawasan di Asia Tenggara memegang peranan penting dalam menjaga
stabilitas keamanan di Asia Pasifik. Dalam konflik ini terdapat dua negara
anggota ASEAN yang terlibat, yaitu Malaysia dan Filipina. Oleh karena itu ASEAN
harus ikut terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah yang mengikutsertakan 2
anggotanya. Dalam hal ini ASEAN berupaya menggunakan soft power melalui sebuah diplomasi yang kemudian
dikenal dengan istilah diplomasi bersama. Diplomasi ini dalam bentuk mengadakan
sebuah forum dialog pada tingkat multilateralisme dengan kebijakannya
menggandeng Cina ke dalam forum tersebut. Pelibatan Cina sebagai pihak yang
dianggap sebagai ancaman di kawasan adalah salah satu bentuk diplomasi
preventif dalam dialog yang digagas ASEAN. Forum internasional itu bertemakan ASEAN Regional Forum (ARF) yang beranggotakan 10 negara
anggota ASEAN yang kemudian ditambah Negara Amerika Serikat, Australia, Jepang,
Kanada, Korea Selatan, Rusia, Uni Eropa, Selandia Baru, serta Cina.
Tujuan ASEAN membentuk
forum ini yaitu: pertama, adanya peluang konflik antar negara yang disebabkan
oleh pergeseran kekuasaan sebagai akibat dari pembentukan ekonomi yang pesat.
Kedua, sikap keanekaragaman dalam kawasan menyebabkan perbedaan pendekatan
terhadap masalah perdamaian dan keamanan. Serta yang ketiga adalah konflik
teritorial dan pertikaian yang menyangkut hal lain antar negara yang belum
terselesaikan.
ASEAN juga prakarsa
atas adanya sebuah forum khusus yang mengagendakan masalah Kepulauan Spratly
sebagai agenda pembahasan yaitu dalam forum ASEAN-Cina
Senior Officials Consultation (ACSOC).
Forum ini berlangsung pada bulan April 1995 dan berakhir pada tahun 2002. Dalam
forum ini ASEAN bermaksud untuk mengatur tindakan Cina sebagai negara pengklaim
Kepulauan Spratly terbesar dan terkuat.
Upaya diplomasi ketiga
yang ditempuh ASEAN adalah dengan membentuk code
of conduct antar
pihak yang terlibat persengketaan serius dalam klaim kawasan kepulauan Spartly. Isi dari code of conduct tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Sengketa territorial diantara
kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi dalam perkembangan hubungan normal
diantara mereka. Sengketa akan diselesaikan dengan cara damai dan bersahabat
melalui diplomasi konsultasi yang berdasarkan persamaan dan sikap saling
menghormati.
b.
Harus diambil upaya untuk membangun
sikap saling percaya diantara kedua belah pihak untuk memperbaiki suasana
perdamaian dan stabilitas di kawasan, dan untuk menahan diri dari penggunaan
kekuatan atau ancaman untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan
sengketa.
c.
Dengan semangat untuk mencari
titik persamaan dan mengurangi perbedaan, proses kerjasama bertahap dan
progresif akan diambil, dengan mempertimbangkan perundingan untuk menyelesaikan
sengketa kawasan tersebut.
d.
Kedua belah pihak sepakat untuk
menyelesaikan pertikaian sesuai dengan UNCLOS 1982.
e.
Kedua belah pihak sepakat untuk
bersikap terbuka atas prakarsa dan usulan konstruktif dari negara-negara di
kawasan untuk membangun kerjasama multilateral di Laut Cina Selatan pada waktu
yang tepat.
f.
Saling mendorong kerjasama di bidang
perlindungan kelautan, pencegahan, penanggulangan kecelakaan, operasi SAR (Search
and Rescue), meteorology
dan penanggulangan potensi konflik.
g.
Kedua belah pihak harus
bekerjasama untuk melindungi dan mengkonversi sumber-sumber daya di Laut Cina
Selatan.
h.
Perselisihan akan dilaksanakan
oleh negara-negara yang terlibat secara langsung tanpa mengganggu kebebasan
navigasi di Laut Cina Selatan.
Dengan berakhirnya perang dingin,
ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan
dan ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap
segala keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari
kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik. Perubahan sistem internasional
yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN
untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan,
disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya.
Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat
duraikan sebagai berikut:
a)
Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas
hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam
konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).
b)
Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang
strategis dan sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari
negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kemungkinan
tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan
keamanan regional.
c) Ketiga,
masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber
daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas bumi.
Dengan demikian, konflik Laut Cina
Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai
organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya.
regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih
luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti
sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan
tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya
yang tidak terlibat langsung. Eksistensi ASEAN, dalam pembentukkannya dan
pencapaian tujuannya, disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan
regional. Ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan landasan dan
instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Cina Selatan. Keempat
keputusan organisasional tersebut yaitu:
a. Deklarasi
Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan Netral (ZOPFAN).
b. Traktat
Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang dihasilkan oleh KTT
ASEAN I 1976.
c. Pembentukan
ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan pertamanya di bangkok tahun 1994.
d. KTT
ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas Senjata Nuklir di
Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear Free Zone – SEANWFZ).
ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan
forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun
saling percaya di kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan
masalah-masalah keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka sehingga
ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri. ARF lahir sebagai implikasi
logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik dan mengharuskan
negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan baru atas
masalah-masalah keamanan di kawasan. Pada saat yang sama dinamika kawasan di
Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya
berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina
Selatan. Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama
di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini
merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti
sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah
satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan
kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang
masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut merupakan upaya penting
untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang terlibat sengketa perbatasan
di kawasan Asia pasifik.
Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya
dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara
negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional
menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward looking yang
telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian dalam usaha
mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan semangat
konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan baik itu
dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah mendahulukan
konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada menangkal, transparansi
daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada penanggulangan dan interdepedensi
daripada unilateralisme.
Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan,
diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan
keamanan bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk
menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama,
sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki
rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di
samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena
pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan
dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional masing-masing negara kawasan. Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak
dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman,
tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran
Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Cina
Selatan sebagai masalah yang sangat penting.
Kesimpulan
Kondisi Ekonomi dan
Kebutuhan RRC. Kemajuan dibidang ekonomi yang sangat fantastis kelak akan
mendorong Cina untuk meningkatkan sektor industri dan menyusul proses
modernisasi Angkatan Bersenjatanya. Untuk mendukung kegiatan tersebutRRC akan
membutuhkan Energi Minyak,sehingga mau tidak mau RRC akan berpaling ke Kep.
Spratly yang diperkirakan memiliki cadangan minyak sebesar 10 milyar ton. Kemungkinan
telah terjadi penambangan dasar laut yang menjangkau hak Kedaulatan Indonesia,
karena RRC sejak 8 Mei 1982 telah mengadakan kerjasama dengan Amerika Serikat
di bidang exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi di wilayah Nansha di
Barat Laut Cina Selatan yang dekat dengan Kepulauan Natuna.
Kondisi perkembangan
Angkatan Bersenjata RRC. Kehadiran AL RRC dikawasan Asia Tenggara dan Samudera
Hindia menjadi salah satu sumber kekhawatiran utama negara Asia khususnya
ASEAN..Pembangunan dermaga-dermaga dipantai Timur dan Selatan Cina kemungkinan
bisa menjadi fasilitas Pangkalan terselubung bagi AL RRC.
Potensi konflik dan
kerja sama. Terhadap Kep Paracel yang melibatkan Taiwan dan RRC serta Kep. Spratly
yang melibatkan enam negara., merupakan faktor kritis yang dapat menggoyahkan
keamanan Regional yang terus berkembang secara tak menentu,oleh karena itu
Indonesia sebagai negara yang terkemuka di Asean diharapkan dapat memelopori
untuk mulai meningkatkan hubungan kerja sama dengan Cina dalam segala kegiatan
terutama dibidang Ekonomi dan Militer dengan selalu mempertajam kewaspadaan
mengenai apa yang berkembang di Kep.Spratly dan Paracel.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF
memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan
sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai
satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di
kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai
program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan. Persoalannya adalah ASEAN terbentur pada keharusannya untuk terlibat dalam
pengelolaan konflik Laut Cina Selatan, dimana beberapa negara anggotanya
terlibat disana. Sementara ASEAN juga memiliki prinsip-prinsip kemandirian yang
menekankan pada ketidakberpihakkan terhadap hal/kelompok tertentu serta tidak
ikut campur dalam persolaan wilayah/kelompok lain. ASEAN harus menjaga
keharmonisan hubungan diantara negara-negara anggotanya, disamping harus
menjaga setiap potensi konflik dari lingkungan atau kawasan yang dapat
mengancam keamanan regionalnya.
Yang terpenting adalah selama ASEAN dapat konsisten terhadap dalam
menjaga komitmennya untuk ikut serta menjaga, menciptakan stabilitas keamanan
regional dan global, serta mengedepankan strategi keamanan yang kooperatif
dengan upaya-upaya damai dalam mengelola pesoalan-persoalan khususnya dalam
kasus Laut Cina Selatan, maka eksistensi ASEAN sebagai organisasi internasional
di kawasan Asia Tenggara dapat terus dirasakan bahkan menjadi sebuah institusi
yang efektif dan diperhitungkan di kawasan Asia pasifik.
Referensi
Geoffrey Till; Maritime Strategy and the Nuclear Age,First Paperback Edition,New
York 1982
Etty R.Agoes;Masalah teritorial dan yurisdiksional di Laut Cina Selatan dan
upaya-upaya untuk mengatasinya; Pro Yustisia th XI, No.4, Oktober 1993.
International Herald Tribune 3 June 1995
BKSAP DPR RI protes upaya RRC;Media
Indonesia 8 Nopember 1996
Prof. Wang Gung Wu,China’s place in the region:The search for allies and friends,
catatan seminar di CSIS pada tgl.16 Nopember 1997
Abdul Rivai Ras; Konflik Laut Cina Selatan,PT Rendino Putra Sejati,cetakan pertama
2001
Ermaya Suradinata dan Alex Dinuth;Geopolitik dan Konsepsi Ketahanan Nasional,cetakan
pertama Mei 2001
Peter lewis Young, “The Potential for Conflict in South China Sea”, (The Various Names
Given to the Spartly), Asian Defence Journal, 1995.
Asmani Usman, “konflik Batas-batas Teritorial di kawasan Perairan Asia”, dalam
Strategi dan Hubungan Internasional, Indonesia di Kawasan Asia Pasifik,
Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan,
http://theglobalpolitics.com/?p=55 diakses pada 7 November 2009
[1] Fathurrohman. Arogansi AS di
Asia Timur. Dinamika pemikiran http://fatkurrohman.blogspot.com/2007/07/arogansi-as-di-asia-timur.html
diakses pada tanggal 12 November 2011
[2] http://departemenperang.blogspot.com/2010/11/as-mengancam-stabilitas-asia-timur.html
diakses pada tanggal 12 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar