Tulisan ini merupakan summary dari buku yang berjudul Thai Migrant Sex Workers, From
Modernization to Globalization karangan Kaoru Aoyama. Buku ini pertama kali
diterbitkan oleh Palgrave Macmillan di New York pada tahun 2009 dengan ISBN
978-0-230-52466-8. Tulisan ini khusus membahas chapter kedua dari buku tersebut
yang berjudul Before Becoming Sexworkers.
Dalam bab kedua dari buku Thai Migrant Sex Workers, From Modernization
to Globalization, Kaoru Aoyama membahas mengenai fase “pre-sexworkers”. Kaoru mengungkap apa saja yang terjadi pada fase
tersebut melalui pengalaman-pengalaman dari beberapa orang responden yang
relevan dan menghubungkannya dengan latar belakang kondisi
sosial-ekonomi
masyarakat Thailand. Perspektik penelitian Kaoru lebih
fokus kepada pengalaman pribadi responden. Ia melihat fenomena perdagangan seks
global dari sisi kehidupan personal para pekerja seks, baik hubungan mereka
dengan keluarga bahkan tetangga yang sebenarnya
bisa membuat perempuan muda mudah terjebak dalam bisnis ini..
Pada bahasan selanjutnya Aoyama
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan faktor awal yang paling berpengaruh dalam
perkembangan industri seks. salah satu contoh korban dari kemiskinan adalah
Kaeo, ia berasal dari sebuah
desa pertanian di prefektur Chiangrai. Selanjutnya ia
membahas mengenai sikap Ibu Kaeo tidak
terlalu memperhatikan masalah pendidikan Kaeo karena sudah terbebani dengan
masalah kebutuhan mereka sehari-hari. Kaeo akhirnya memutuskan untuk pergi ke Hat
Yai karena ia tidak bisa lagi meneruskan sekolah. Hat Yai merupakan pusat komersil
di Thailand Selatan dan banyak dikunjungi oleh pendatang dari negara-negara
tetangga sperti Malaysia bahkan Jepang. Kaeo yang saat itu masih berusia 11
tahun tidak tahu apa sebenarnya yang akan ia lakukan di Hat Yai. Ia pergi
kesana atas tawaran dari seseorang yang datang ketika keluarga Kaeo diusir dari
rumah karena tidak mampu membayar sewa rumah.
Aoyama selanjutnya menjelaskan mengenai perhatian dari akademisi dan lembaga
pemerintah Thailand yang menyadari bahwa masalah kaum miskin pedesaan yang dihadapi
saat ini semakin memprihatinkan. Berdasarkan studi yang sudah dilakukan,
menunjukkan secara statistik dan analisis bahwa pada tahun 1970 jurang pemisah ekonomi
antara sektor primer (termasuk pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan,
pertambangan dan penggalian) dan non-primer sudah mulai terlihat. Kasus
kemiskinan di Thailand juga diukur berdasarkan indikator standar World Bank yaitu apabila pendapatan
harian seseorang kurang dari 2$, maka ia berada dibawah garis kemiskinan.
Aoyama juga membahas karakterisktik orang
Thailand yang tinggal di pedesaan dapat dilihat pada kehidupan Kaeo. Pada tahun 1974, ketika Kaeo berhenti sekolah, sekitar
80 persen dari para kerja, yang 70 persen diantaranya bekerja di sektor
pertanian, memiliki pendidikan dasar tetapi hanya sekitar 6 persen yang
mencapai sekolah tingkat menengah. Pemerintah Thailand dan USAID (United States Agency for International
Development) juga telah berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan
terutama bagi anak perempuan di Thailand. Tetapi, selama periode 1979-1981
muncul fakta bahwa 75 persen perempuan pedesaan dan 79 persen dari rekan-rekan
pria mereka yang berpendidikan hanya menjalani pendidikan hingga kelas 4. Pada tahun 1988, persentase orang yang
menyelesaikan sekolah pada tingkat dasar tidak berubah secara dramatis. 28
persen dari anak usia 11–14 tahun, setelah kelas 4 langsung meninggalkan
sekolah dan mulai bekerja. Pada tahun 1994, barulah pendidikan di Thailand mulai menunjukkan
peningkatan. Peningkatan pendidikan diharapkan dapat mengubah pola hidup
penduduk Thailand yang cenderung bekerja di sektor pertanian beralih ke industri
lain yang lebih menjanjikan.
Aoyama
menjelaskan bahwa pada pertengahan tahun 70-an, mulai bermunculan kritik-kritik
sosial yang memaknai dimulainya proses modernisasi masyarakat Thailand.
Thailand mulai membuat perencanaan sistematis dan penetapan anggaran untuk
pembangunan ekonomi dan sosial pada tahun 1958 dengan menyusun First National Economic and Social
Development Plan untuk tahun 1961 hingga 1966. Penyusunan rencana
pembangunan ekonomi dan sosial ini sangatlah penting karena sebelumnya di
Thailand telah terjadi defisit anggaran. Leslie Anne Jeffrey, seorang ahli
dalam bidang politik mendefinisikan prostitusi di Thailand sebagai industri
birokrasi yang dapat meningkatkan perekonomian. Hal ini dianggap telah menjadi faktor utama dari ekspansi
ekonomi dan masuknya modal asing. Bahkan, dalam hal kontruksi, AS ikut membantu
untuk membuka jalan di timur laut. Munculnya kelas
menengah baru Thailand yang terdiri dari mahasiswa dan “white-collar workers” yang memberikan pengaruh sosial dan ekonomi, membuat para pemimpin militer khawatir. Para
masyarakat kelas menengah sangat tidak menyukai kediktatoran serta dominasi
militer dan ekonomi asing di negara mereka. Kelas menengah ini disebut-sebut
sebagai kalangan yang mewakili masyarakat Thailand untuk memprotes
kediktatoran militer dan mempertahankan kedaulatan politik, budaya, dan
ekonomi Thailand sendiri.
Komite Mahasiswa Nasional Thailand mendirikan
organisasi politik nasional untuk memboikot barang-barang
Jepang pada tahun 1972. Hal ini
didukung dengan munculnya UU 1973 tentang Peraturan Pekerja Asing dan pembatasan kegiatan investor asing di
Thailand. Setelah kekalahan dalam perang Asia-Pasifik, Jepang menarik militernya dari Thailand dan terfokus pada keterlibatan ekonomi. Proporsi investasi langsung dari Jepang ke Thailand terus meningkat menjadi 38 persen dari semua investasi asing pada tahun 1970, dimana investasi AS hanya
sebesar 19 persen. Thailand pun
mengalami defisit perdagangan dengan Jepang hingga
mencapai $US300 juta atau sekitar 4 persen
dari GNP Thailand. Dalam ketidakseimbangan ekonomi ini,
mulailah terjadi 'revolusi' pada bulan Oktober
1973.
Periode
demokrasi Thailand hanya berlangsung dalam jangka waktu singkat dan berakhir
dengan kudeta militer pada tahun 1976. Disisi lain, gerakan sosial perempuan
mulai mempengaruhi masyarakat Thailand pada masa itu. Menurut Amara, seorang sarjana feminis Thailand, gerakan
perempuan di Thailand pada 1970-an memiliki dua tahap yaitu tahap awal
pendekatan untuk isu-isu perempuan di daerah pedesaan (hingga tahun 1990-an)
dan tahap masuknya perempuan dalam perencanaan pembangunan secara resmi. Kegiatan gerakan sosial perempuan ini
bertepatan dengan deklarasi PBB mengenai International
Women’s Year pada tahun 1975. Hal tersebut seketika mempengaruhi peran
perempuan dalam National Economic and
Social Development Plans (NESD).
Dewan Urusan NESD menunjuk National Commission on Women’s Affairs (NCWA) pada tahun 1978 untuk
bertindak sebagai pusat koordinasi operasi pelaksanaan peran perempuan dalam
pembangunan. Para NCWA kemudian menyusun Long
Term Women’s Development Plan atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Perempuan pertama untuk tahun 1982-2001 yang bertujuan untuk memasukkan
perempuan dalam pembangunan ekonomi, perempuan harus memiliki kesempatan
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengisi hidup mereka, pengetahuan
dan kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga dengan cara
berpikir rasional, untuk mengembangkan rasa tanggung jawab mereka, untuk
memiliki peran konstruktif dalam masyarakat dan untuk berkontribusi terhadap
perdamaian dan harmoni sosial baik secara internal dan internasional. Selain
itu, tujuan lain yang disebutkan adalah perempuan harus mendapatkan hak dalam
menentukan nilai dan peran mereka dalam kapasitas mereka sebagai anggota
masyarakat. Perempuan juga harus memiliki kebebasan untuk menentukan kehidupan
mereka sendiri asalkan tidak bertentangan dengan hukum.
Organisasi lain yang
fokus pada isu-isu perempuan di tingkat negara adalah the National Council of Women of Thailand atau Dewan Nasional Perempuan Thailand
(NCWT). Organisasi ini merupakan organisasi perempuan terbesar di Thailand.
Meskipun NCWT terus mengklaim sebagai organisasi non-pemerintah, NCWT selalu dikaitkan dengan pemerintah dan
bangsawan dan dianggap sebagai rekayasa sosial dari pembangunan negara. NCWT didirikan pada tahun 1956 sebagai bagian dari proyek pembangunan bangsa pasca “perang modern”.
NCWT memegang peranan
penting hanya beberapa bulan setelah rencana pembangunan ekonomi dan sosial disusun. Para pemimpin nasional serta PBB beranggapan
bahwa organisasi wanita semacam ini berguna
untuk mendorong perempuan kelas
atas dengan waktu yang
cukup dan pendidikan yang
memadai untuk bergabung
dengan rekan-rekan pria dalam menjalankan
roda modernisasi. Para perempuan perkotaan seharusnya mengajarkan ide-ide baru dan menanamkan nilai-nilai modern dan praktik untuk perempuan pedesaan yang kurang beruntung.
Adanya kesadaran internasional dan idealisasi keterampilan
wanita pedesaan telah menciptakan suatu kedaulatan budaya khas nasional yang
kemudian melekat pada perempuan pedesaan Thailand. Keterampilan budaya bagi
perempuan di daerah pedesaan dapat dijadikan sebagai segel terhadap 'pengaruh
asing yang buruk' dari permintaan militer AS untuk prostitusi dan ekspor
konsumerisme ke Jepang. Ketidaksetaraan dalam distribusi pendapatan antara
sektor primer dan non-primer, baik antara pedesaan dan perkotaan, antara daerah
dan antara strata sosial sudah muncul di Thailand pada masa Rencana Pembangunan
Ekonomi dan Sosial Nasional Kedua 1967-1971. Sejak
periode ini, perencana telah menggambarkan dan
menganalisis tentang kemiskinan dan berusaha untuk menyesuaikan kebijakan
mereka agar membuat pertumbuhan ekonomi semakin merata. Dari studi yang
dilakukan dalam lima tahun rencana pemerintah, menunjukkan bahwa pembangunan
ekonomi Thailand dari tahun 1960-an setidaknya telah mengurangi kemiskinan di
negara ini.
Selanjutnya
Aoyama menjelaskan mengenai kemiskinan sebagai kendala dalam situasi pengucilan
sosial merupakan hal yang menentang konsepsi perencanaan pembangunan, hal itu
menunjukkan dalam hubungannya dengan norma-norma sosial, harapan dan hubungan. Dengan
demikian memungkinkan kemiskinan dapat
mempengaruhi banyak aspek lain. Ia juga menjelaskan ada banyak perempuan yang
pergi ke Bangkok atau ke Jepang, orang tua mereka yangmengirimkan putri atau
adik, atau anak perempuan yang mereka miliki. Alasan mengapa banyak wanita
dikirim karena adanya perdagangan seks di Bangkok atau Jepang. Chiangrai adalah
tempat untuk mengirimkan perempuan muda ke Jepang dari akhir 1980-an ke awal
1990-an. Sebuah studi baru-baru ini migrasi Thailand menunjukkan bahwa
Chiangrai 2 persen dari total penduduk Thailand ke jepang pada tahun 2001,
terbanyak kedua setelah wilayah
metropolitan Bangkok sebagai tempat asal bagi orang-orang Thailand yang tinggal
di Jepang, dengan 15 persen dari total populasi. Dalam studi tersebut, banyak
perempuan lebih dari tujuh dalam sepuluh (73 persen) dari wanita ini masuk ke
Jepang sebelum 1993, dengan lebih dari satu dalam sepuluh (12 persen) dari
Chiangrai. Seperti contoh Kabupaten Z, di mana Kaeo dan Daaw tinggal, juga
merupakan kabupaten perbatasan, dengan Laos ke timur dan Burma utara, dan itu
memiliki banyak perempuan yang di emigrasi dan imigrasi. Perdagang dan
masyarakat setempat menyeberangi perbatasan dari masing-masing pihak harus
menunggu di penginapan. Polisi federal Thailand mengintensifkan patroli di lalu
lintas akan keluar dari daerah ini ketika ada tip off terkait dengan obat
terlarang. Polisi juga secara teratur naik bus lokal dan memeriksa identitas
penumpang. Mereka mengadakan ini untuk menghentikan perdagangan sex,
perdagangan sex di mulai dari perbatasan ke kota Chiangrai kemudian ke Bangkok
metropolitan. Dalam kasus ini, kemiskinan merupakan factor utama perdagangan
sex.
Pada
bahasan selanjutnya Aoyama membahas mengenai
korban seksual yang dialami oleh
prempuan Thailand. Menurut Aoyama dari 22 perempuan 19 diantaranya telah menjadi korban pelecehan seksual yang terjadi
karena pemerkosaan oleh pamannya
sendiri, dijual oleh ibunya, perpisahan dari keluarga sehingga tidak ada
proteksi dari ayahnya dan akibat dari perceraian yang memaksa mereka melakukan
pelacuran. Ia juga membahas mengenai tiga orang yang berbeda di
Thailand yang telah menjadi korban perlakuan seksual. Yang pertama
bernama Kaeo, seorang gadis yang
telah diperkosa oleh pamannya sendiri pada saat ia berusia 7 tahun. Menurut
aoyama ada juga teman kaeo yang diperkosa dari kenalan pamannya, bahkan
ada juga perempuan Thailand lainya yang
melakukan aborsi dikarenakan laki-lakiyang memperkosanya telah
berkeluarga…(Aoyama,75). Aoyama juga memberikan referensi mengenai jumlah kematian sebagai penyebab utama pada tahun 1995 yang menunjukkan kesenjangan gender yang
signifikan
disebabkan Kecelakaan dan Keracunan (29.455 pria / wanita 6980) dan angka Bunuh Diri, Pembunuhan dan kasus-kasus lain (6148 /
1712).
Selanjutnya
Aoyama membahas mengenai perempuan
kedua yang menjadi korban pelecehan
seksual, perempuan tersebut bernama Mai. Ia menjelaskan bahwa Mai menjadi
pekerja seks pada saat berusia 11 tahun. Sebelumnya Mai telah menjadi korban
perkosaan oleh saudara laki ibunya pada saat
berusia 9 tahun. Mai merasa lingkungan sosial membuatnya
harus bekerja sebagai pekerja seks. Hal
ini dikarenakan keadaan keuangan
keluarga yang mengalami kemiskinan, selain itu ketika ia hendak pergi ke
sekolah ia malah disuruh ibunya untuk menjual dirinya saja. Aoyama juga menjelaskan bahwa Mai
merasa malu pada dirinya, karena
telah diperkosa oleh pamannya sendiri yang telah berusia 40 tahun. Mai pun
mengatakan seandainya ia masih mempunyai ayah tentu ia tidak menjadi korban
seksual. Aoyama menjelaskan bahwasanya
kasus perkosaan terhadap wanita yang berumur 9 tahun merupakan pelanggaran yag serius.
Aoyama
selanjutnya membaha mengenai pernyataan Gail pheterson yang membuat
hipotesis mengenai “stigma
pelacur”. Menurut Pheterson yang
dimaksud dengan pelacur adalah tidak suci, zina yang didefinisikan sebagai hubungan seks
terlarang, kenajisan, kekotoran batin, tidak senonoh atau otonomi pada wanita yang member arti bahwa hal itu
memberikan seorang gadis atau pengalaman wanita di luar batas-batas suci. Selanjutnya
Aoyama menjelaskan tentang isu hubungan seks di luar nikah
merupakan yang isu sensitif. Sehingga
membuat stigma bagi setiap kalangan gadis yang melakukan hubungan seks diluar
nikah berarti tidak suci atu zinah.
Menurut aoyama berdasarkan temuan lapangan dari Pimonpan menemukan bahwa di
antara mereka yang tidak memiliki riwayat perkawinan, sekitar 95 persen dari
wanita dan pria berusia 20-24 tahun, sekitar 65 persen dari laki-laki dan 60 persen perempuan
usia 15-19 tahun melakukan
seks pra-nikah terhadap wanita . Angka-angka ini berbeda di antara
responden menikah (72 persen dari laki-laki dan 85 persen dari perempuan
berusia 15 hingga 24). Hal ini disebabkan apabila perempuan menikah belum tentu
diterima oleh keluar si perempuan tersebut.
Selanjutnya Aoyama membandingkan dengan
temuan Chai Phodisita yang mengungkapkan bahwa
ada hal yang perempuan dan laki-laki ketika akan menikah. Mereka harus
mengenalkan kepada anggota mereka satu sama lain. Lalu mereka melakukan hubungan
pacaran, dan diam-diam mereka tidur bersama. Setelah itu mereka dipaksa menikah
agar tidak kehilangan muka atau malu(Chai 1982: 77).
Kemudian Aoyama menceritakan mengenai perempuan yang menjadi Korban
pelecehan seksual ketiga bernama Yoon. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan
tinggal di rumah sampai usia 15 tahun , kemudian pergi ke Bangkok pada tahun 1989 sebagai babysitter yang diusulkan oleh bibinya. Di Bangkok, ia juga mengambil
bagian dalam pendidikan non-formal sekunder yang diselenggarakan oleh
pemerintah Thailand.
Yoon menikah pada usia 18 tahun karena dipaksa menikah oleh ibunya setelah
diperkosa oleh pria hidung belang yang berusia 32 tahun. Mereka hidup bersama
selam enam bulan dan kemudian bercerai.
Sebenarnya yoon ingin bersekolah lagi,
namun teman, keluarga memandangnya sebelah mata. Akhirnya ia pergi ke
Jepang untuk melacur. Tapi ia kembali dan bekerja sebagai
reseptionis di restoran. Dan ketika ada pelanggan ada yang mau membayar lebih
ia menerima tawaran tersebut.
Aoyama juga memberikan pelaranpenting
dari seorang gadis yang bernama Banyaa. Banyaa berasal
dari pusat Bangkok, anak perempuan seorang pegawai kantor pensiun. Dia mengira pernikahan
adalah suatu keharusan dan mendapat menikah pada usia 18 tahun.Ia berusaha
keras 'untuk tidak jatuh lebih rendah', begitu katanya,
dengan mengambil hidung belang sebagai klien setelah menghadapi 'perselingkuhan'
suaminya sendiri dan mereka berikutnya perceraian. Meskipun pendidikan SMA, ia
juga harus lakukan kerja seks secara ekonomi
mandiri. Menjadi pencari nafkah
untuk keluarga menuntutnya harus mendapatkan penghasilan yang besar. Hal ini yang membuat nekat Yoon
menjadi sexworker karena mempunyai gaji sampai 5000 bath.
Selanjutnya Aoyama membahas rencana pemerintah
Thailand tentang Rencana
Pembangunan Ekonomi dan Sosial Kelima Nasional untuk 1982-1986, pemerintah
Thailand menerapkan Program Pengentasan Pedesaan untuk daerah tertentu dan
kelompok dalam rangka untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, berniat untuk
memasukkan orang di daerah yang ditargetkan dalam rencana pembangunan, di
samping juga Wanita. Dimana
pemerintah Thailand akan mengembangkan sektor wisata. Hal ini sebenarnya
sama saja dengan menambah korban pelecehan seksual karena wisatawan asing juga
akan mencari sexworker.
Aoyama juga menjelaskan setelah Krisis
Ekonomi Asia 1997, yang menyebabkan hilangnya pekerjaan besar, terutama di
perkotaan Thailand. Selanjutnya, ada perbedaan gender dalam kesempatan kerja.
Di sektor pelayanan perkotaan pada tahun 1994, laki-laki mendapatkan sekitar
8.200 baht per bulan, lebih dari dua kali lipat wanita angka diperoleh
rata-rata sekitar 4.000 baht - angka sama dengan pendapatan Banyaa sebagai
operator telepon restoran (NSO 1997: 77). Aoyama juga menyatakan bahwa
pendapatan dari 4.000 baht per bulan sama sekali tidak cukup untuk sebuah
keluarga dengan lima, dan alternatif untuk Banyaa adalah pekerjaan bar. baik
untuk gaji pekerja bar kelas tinggi biasanya mulai dari 8.000 baht pada
pertengahan 1990-an, kira-kira sama dengan rata-rata manusia di sektor jasa.
Ini tidak masuk akal dari perspektif
ekonomi. Banyaa akhirnya memilih untuk
melakukan kerja seks.
Pada pembahasan selanjutnya Aoyama
membahas mengenai upaya untuk mengetahui
posisi perempuan-perempuan di Thailand didalam keluarganya. Ternyata setelah
terjun kelapangan banyak perempuan Thailand yang sudah bekerja untuk mendukung
kondisi keluarga sejak masih
kanak-kanak. Hal ini sesuai hasil survei 17
dari 22 perempuan menyatakan bahwa mereka telah bekerja sejak masih
kanak-kanak baik kerja secara formal maupun kasar. Pada tahun 1980 hingga1990
keadaan perempuan di Thailand mendapat peringkat yang tinggi level dari UNIFEM,
73 % perempuan di Thailad telah bekerja pada saat usia lewat dari 15 tahun.
Pada tahun 2002, di sektor pertanian menunjukkan bahwa perempuan Thailand berjumlah 42 % buruh dan 58 % laki-laki,
sementara di Jepang angka untuk buruh perempuan adalah 37 % (UNIFEM 2002: 36-7). Dan penulis berkomentar bahwasanya
kebanyakan perempuan Thailand, mulai dari Bangkok hingga Chiangrai, di tahun 2002-2003,perempuan telah bekerja sebagai tenaga kerja, selain bekerja sebagai supir tuk-tuk (motortricycle taksi), sepeda motor, taksi dan sopir
bus. Perempuan Thailand
merupakan tenaga kerja
yang dapat bekerja di sektor formal,
seperti kantor Dewan, sekolah, universitas, department
store, hotel dan
restoran, dan
sektor informal, yang diwakili oleh usaha kecil seperti warung makan, toko-toko pinggir jalan, industri
rumahan dan, di atas semua,
bar, klub dan
tempat hiburan lainnya.
Posisi
perempuan seperti ini merupakan suatu ketimpangan gender dimana perempuan
diperlakukan sebagai peran sentral di masyarakat. Ada dua teori dominan mengenai asal-usul peran sentral
perempuan dan praktis dalam
ekonomi dan
kegiatan sosial di masyarakat: 1) keyakinan Budha yang mendefinisikan karma perempuan sebagai 'duniawi'
dibandingkan dengan laki-laki
yang 'terlepas
dari keinginan ragawi'; 30 2) harapan sosial khususnya signifikan di daerah pedesaan di utara
dan timur laut bergulir sekitar
para
'wanita-berpusat "sistem garis keturunan di mana perempuan dianggap
sebagai struktural
penting dalam
mengikat wali spiritual, hubungan dan milik anggota keluarga dalam dunia materi melalui ibu-ke-anak warisan (Potter 1977/1979:
20, 99).
Aoyama
juga menjelaskan bahwasanya perempuan di Thailand tidak mendapat akses yang
sama di dalam aktivitas sosio ekonomi mereka. Hal ini terjadi ketika tahun pertumbuhan ekonomi Thailand dari tahun
1987 hingga 1990. Pada tahun tersebut
perempuan mendapat perlakuan yang berbeda dengan laki-laki. Berikut fakta-fakta
mengenai pekerja perempuan di Thailand:
- Kebanyakan yang pekerja di Thailand adalah perempuan, dikarenakan perempuan di rekrut sebagai tenaga kerja tidak perlu keahlian yang professional dan administrative. Karena keadaan inilah banyak perempuan yang kerjanya sama dengan jam kerja laki-laki namun gajinya berbeda. Perempuan di gaji lebih rendah dari pada laki-laki.
- Dibidang pertanian perempuan menyumbang angka persentase banyak.tingkat partisipasi perempuankurang lebih sama dengan laki-laki tetapi kebanyakan (sembilan dalam sepuluh) perempuan dan laki-laki mendapatkan upah sedikit kurang dari 3.000 baht per bulan per kapita.Namun, jika pembayaran terjadi, pria mendapatkan lebih dari tiga kali lebih kas pendapatan dibandingkan perempuan (NSO 1997:76-83).
- Adanya upaya perempuan untuk dihambat untuk memasuki daerah administratif dan kalangan perempuan bangsawan yang bisa memasuki jabatan tersebut.
Selanjutnya Aoyama membahas mengenai
posisi perempuan yang tidak diizinkan untuk memiliki lahan atas nama mereka
selama masih memiliki suami sebagai kepala rumah tangga(Amara P. 1998: 9,
34-5).
Hal ini sesuai dengan hukum tanah tahun 1954
yang menetapkan bahwa tanah dimiliki oleh kepala rumah tangga dan baik wanita maupun pria dengan
kewarganegaraan Thailand memiliki hak yang sama dalam memiliki lahan. Namun, kepala kepemilikan tanah secara hukum yang bersifat formal rumah tangga
adalah
kaum pria(1990 (NSO 1997: 19). Sementara perempuan diberi tangung jawab untuk menghidupi
keluarga, hal ini yang membuat perempuan Thailand banyak pergi meninggalkan
desa karena telah kehilangan status sosial. Penulis juga menjelaskan mengenai
posisi perempuan dalam hal pendidikan, disini mereka hanya diajarkan secara
konseptual yakni hanya diwajibkan sampai bisa membaca dan menulis. Hal ini
karena wanita masih mendapat karma dan
dilarang pada tradisi Bukhun yakni
tentang wanita yang dilarang untuk menempati posisi rohani yang lebih
tinggi. Sedangkan laki-laki diperbolehkan untuk berkarir dibidang politik di
luar rumah tangga mereka.
Aoyama
juga memberikan contoh seorang gadis Thailand yang bernama Nok, ia
mengatakan bahwa pada tahun 1980 telah terjadi diskriminasi gender. Dimana ayah
Nok melarangnya untuk pergi ke sekolah. Dan menyuruhnya untuk berhenti. ayahnya
menyuruhnya untuk bekerja di bar di
negara Jepang. Hal ini dilakukan sebagai upaya balas jasa anak terhadap orang
tuanya. Karena ayahnya telah berhutang uang dari shinyou (koperasi kredit kumiai)atau noukyou (koperasi pertanian).kakaknya telah berangkat terlebih dahulu
sedangkan adiknya berada dirumah untuk merawat keluarga. Kebanyakan mereka di
Jepang dijadikan sebagai pelacur karena menurut hasil laporan banyak pelacur dari perempuan Thailand yang
membiayai kehidupan orang tua dan
adik-adiknya, selain itu tagihan medis, dan beberapa, untuk pentahbisan seorang
saudara sebagai seorang bhikkhu melalui ibu dan keluarga dapat membuat prestasi Buddhis dan
keuntungan dalam
status sosial mereka (1992: 897).
Lebih lanjut Aoyama menjelaskan bahwa banyak
laki-laki Thailand yang menjadi biarawan telah menikah dan mereka meninggalkan
keluarga mereka. hal ini tentu tampaknya menjadi adegan yang aneh, karena sebagian besar berpendidikan anak laki-laki dan laki-laki muda di puncak mereka
membentuk kapasitas kerja
seperti kelompok
introvert, tidak terlibat dalam produksi setiap
kegiatan maupun kontribusi bakat mereka kepada masyarakat (1991/2002: 162). praktek pentahbisan laki-laki menegaskan bahwa laki-laki tidak 'bertanggung jawab 'atau' kekanak-kanakan '. Status laki-laki yang ideal yang melekat pada koordinasi, akses ke rahib - dan ritual menuju dewasa, untuk memenuhi status rohani yang lebih tinggi agar laki-laki telah bertanggung jawab anggota masyarakat dengan membayar bunkhun. Sementara perempuan diminta untuk bertanggung jawab untuk rumah tangga mereka dari anak usia dini mereka dan untuk tumbuh cepat dalam hal praktis, manusia bisa tinggal di pra-dewasa selama seperti yang mereka inginkan. Vanlandingham dan Grandjean menggambarkan protokol ini mengenai peran gender dengan mengacu pada cerita rakyat menunjukkan bahwa "seorang pria Thailand yang khas" pada akhirnya tidak mampu menangani tanggung jawab yang sejalan dengan kekuasaan untuk membuat keputusan penting 'sementara' perempuan Thailand diharapkan dapat bertanggung jawab untuk kelancaran fungsi rumah tangga (1997: 132). Dan pada akhirnya perempuan harus memikul beban yang berat tanpa adanya kenaikan posisi sosial mereka.
kegiatan maupun kontribusi bakat mereka kepada masyarakat (1991/2002: 162). praktek pentahbisan laki-laki menegaskan bahwa laki-laki tidak 'bertanggung jawab 'atau' kekanak-kanakan '. Status laki-laki yang ideal yang melekat pada koordinasi, akses ke rahib - dan ritual menuju dewasa, untuk memenuhi status rohani yang lebih tinggi agar laki-laki telah bertanggung jawab anggota masyarakat dengan membayar bunkhun. Sementara perempuan diminta untuk bertanggung jawab untuk rumah tangga mereka dari anak usia dini mereka dan untuk tumbuh cepat dalam hal praktis, manusia bisa tinggal di pra-dewasa selama seperti yang mereka inginkan. Vanlandingham dan Grandjean menggambarkan protokol ini mengenai peran gender dengan mengacu pada cerita rakyat menunjukkan bahwa "seorang pria Thailand yang khas" pada akhirnya tidak mampu menangani tanggung jawab yang sejalan dengan kekuasaan untuk membuat keputusan penting 'sementara' perempuan Thailand diharapkan dapat bertanggung jawab untuk kelancaran fungsi rumah tangga (1997: 132). Dan pada akhirnya perempuan harus memikul beban yang berat tanpa adanya kenaikan posisi sosial mereka.
Halo,
BalasHapusPerkenalkan, Nama saya Wenny
Saya adalah development dari ForexMart, Kami melihat website anda dan kami ingin mendiskusikan kerjasama kemitraan dengan Anda.
Boleh saya minta kontaknya untuk menjelaskan lebih lanjut atau anda bisa langsung menghubungi saya ke wenny@forexmart.com, terimakasih