Kamis, 21 Juli 2011

Batasan Pengertian Hukum Internasional

            Dalam batasan hukum internasional itu sendiri mempunyai sesuatu yang berbeda dari batasan hukum nasional, oleh sebab itu untuk lebih memahami lagi apa itu batasan hukum internasional, terlebih dahulu mengerti apa yang dimaksud dengan pengertian hukum internasional yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya. Saat ini tinggal memperdalam lagi dan mengenal lebih banyak yang dimaksud batasan hukum internasional itu sendiri. Untuk itulah perlunya membaca dan mencari informasi lebih banyak lagi guna menambah pengetahuan apa itu batasan hukum internasional yang terbagi kedalam sub-sub yaitu batasan hukum intenasional dalam wujudnya, hukum internasional dan hukum dunia, serta sifat dan hakekat hukum internasional.
            Berikut akan dijelaskan dari beberapa buku yang ada dan pernah dipercaya karena memuat pendaapat beberapa ahli yang menjadi pedoman bagi ahli masa kini untuk mengkaji lebih dalam lagi apa yang dimksud dengan hukum internasional itu sendiri.
A.    Batasan Hukum Internasional dalam Wujudnya
            Sebelum membahasan batasan hukum internasional terlebih dahulu sebaiknya kembali mengingat apa itu yang dimaksud dengan hukum Internasional. Dimana memiliki dua cabang yaitu hukum internasional public dan hukum internasional perdata. Dimana kedua memiliki persamaan dan perbedaan yang mendasar yaitu persamaannya dimana keduanya mengatur tentang hubungan atau persoalan ang melitasi batas Negara. Sedangkan perbedaannya di tinjau dari subjeknya dengan menyatakan bahwa subyek hukum Internasional Publik adalah negara sedangkan subyek hukum Internasional Perdata adalah individu. Dalam perkembangannya perbedaan semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab antara keduannya dapat memiliki subyek hukum negara ataupun individu. Oleh karena itu yang paling tepat adalah dengan meninjau urusan yang diatur oleh keduanya, jika mengatur urusan yang bersifat publik maka disebut sebagai Hukum Internasional Publik tetapi jika mengatur urusan yang bersifat perdata disebut sebagai Hukum Internasional Perdata. Perbedaan dari sumber hukumnya, hukum perdata internasional merupakan kebiasaan dan hukum tertulis, hukum internasonal merupakan kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama. Sedangkan Persamaan antara Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata Internasional adalah bahwa urusan yang diatur oleh kedua perangkat hukum ini adalah sama – sama melewati batas wilayah suatu negara.
            terhadapat batasan-batasan yang tertera diatas dikemukannya keberatan bahwa batasan tersebut tidak tegas karena didasarkan pada suatu ukuran yang negative yakni hubungan atau persoalan internasional yang tidak bersifat perdata. Karena hal itu lah membuat ketidak tegas terjadi ditambah lagi ada yang menhyebutkan sebagai hukum antarnegara yang membuat batasan-batasannya sukar ditetapkan, hal ini sebabkan karena terlalu terbatas sifatnya. Hal ini pun dapat terjadi karena kedudukan pejabat badan internasional dan hubungan mereka dengan bada internasional tempat mereka bekerja tidak mencakup didalamnya.
            Karena itulah begitu banyak terjadi pelanggaran dikonvensi Jenewa yang telah disepaki oleh banyak Negara. Dan persoalan antar Negara memang ada kalanya memiliki batasan yang tidak dapat dimasuki oleh hukum internasional, misalnya saja hubungan atau persoalan perdata internasional bias saja suatu saat ddapat menjadi persoalan public yang melibatkan masyarakat dunia atau Negara.
            Berikut ini pendapat beberapa ahli mengenai batasan atau pengertian dari hukum internasional itu sendiri.
a.       Pandangan klasik        :System hukum yang mengatur  hubungan negara-negara.
b.      Prof. Hyde                 :Sekumpulan hukum, yang sebagaian besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara, karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lian.
c.       J.L. Brierly                :Himpunan kaidah-kaidah dan asas-asas tindakan yang mengikat bagi negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama lainnya.
d.      Oppenheim                :International law is the name of the body of customary and treaty rules which are of considered legally binding by states in their intercource which each other.
e.       Max Rosense              :International law is a strict term of art, connoting that system of law whose primary function it is to regulate the relation of stateswhic one another.
f.       G. Schwarzenberger :International law is the body of legal rules binding upon sovereign state and such other en tities as have been granted International personality.
g.      Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,L.L.M.  :Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara antara:
1.      Negara dengan Negara
2.      Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara
3.      Subjek hukum bukan Negara satu dengan yang lain.
            Hal ini menunjukkan tidak adanya batasan yang jelas dalam hukum internasional dan saat ini batasan tersebut seakan memudar dan terliht saat Negara-negara yang berkuasa melanggar keputusan yang telah dibuat dalam konfensi Jenewa, dan tidak memiliki sanksi yang tegas bagi para pelanggar tersebut.
            Memang, adakalanya batas antar persoalan atau hubungan hukum perdata internasional pun sulit ditarik dengan tegas sehingga ada seorang sarjana yang mengusulkan bahwa perbedaan tesebut dihapuskan dan digunakan saja istilah lain[1]. Oleh sebab itu dipakailah istilah hukum internasional public karena tidak termasuk kedalam batasan diatas hubungan atau persoalan internasional yang diatur oleh hukum perdata internasional.
B.     Hukum Internasional dan Hukum Dunia (World Law)
            Dalam usaha menjelaskan pengertian hukum internasional perlu juga kiranya mengemukakan perbedaanya dengan hukum dunia (World Law, Weltstaatsrecht) yang akhir-akhir ini mulai dipergunakan orang[2]. Kedu pengertian tersebut menunjukkan pada konsep mengenai tertib hukum masyarakat dunia yang berlainan pangkal tolaknya. Pengertian hukum internasional didasarkan pada pemikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah Negara yang berdaulat dan mereka (independent) dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah, kekuasaan yang lain.. sedangkan hukum dunia (World Law, Weltstaatsrecht) berpangkal pada dasar pikiran yang lain. Menurut analoginya hukum dunia merupakan semacam Negara dunia yang meliputi semua Negara didunia ini (semacam Negara federasi). Negara dunia secara hierarki berdiri diatas Negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep merupakan suatu tertib hukum subordinasi. Melihat konsep yang ada sat ini sepertinya sangat jauh dari kenyataannya untuk zaman sekarang ini mewujudkan suatu Negara dunia karena setiap Negara memiliki kepentingan dan tujuannya masing-masing yang ingin dicapainya.
            Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi suatuperkumpulan tau organisasi dunia untuk mewujudkannya misalnya saja hukum perdagangan internasional ang bersumber pada Agreement Establizing the World Treed Organization (WTO) pada tahun 1994. Dengan adanya oerjanjian ini menunjukkan bahwa Negara-negara didunia yang termasuk anggota dari organisasi ini telah menyerahkan sebagian kedaulatan ekonominya mengenai [erdangan internasional secara full compliance, kepada kaidah-kaidah hukum internasional yang diatur oleh WTO. 125 negara telah menyetujuinya, sedangkan Indonesia sendiri juga menjadi anggota dan menyetujui perjanjian tersebut pada 4 November 1994 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.
            Hukum internasional dan Hukum dunia, keduanya menunjuk pada konsep mengenai tertib hukum masyarakat dunia, yang berlainan dan bertolak belakang yaitu:
-          Konsep Pembentukkan hukum internasional didasarkan pada:
Adanya suatau masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negaranegara yang berdaulta dan merdeka. Dalam arti masing-masing Negara berdiri sendiri, hal mana yang satu tidak berada di bawah kekeuasaan yang lain.
-          Hukum internasional meruapakan suatu tertib hukum Koordinasi antara anggota-anggota yang sederajat.
-          Konsep pembentukkan hukum dunia adalah hukum dunia merupakan semacam Negara federasi yang meliputi Negara didunia ini.
-          Tertib hukum dunia, dimana hukum dunia merupakan hukum subordinatif (heirarkis), Negara dunia berdiri diatas Negara nasional.
C.    Sifat dan Hakekat Hukum Internasional
            hakekat hukum internasional berarti mengembalikan makna dari hukum internasional itu sendiri yaitu Hukum Internasional dalam arti luas dan Hukum Internasional dalam arti sempit.  Hukum Internasional dan Hukum Publik Internasional. Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan perdata yang di dalamnya terdapat suatu elemen asing serta menyentuh lebih dari satu tata hukum dari negara-negara yang berlainan. Prof. Muchtar Kusumaatmadja mengartikan hukum perdata internasional sebagai keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan (1990:1).
Sedangkan mengenai Hukum Publik Internasional banyak istilah yang digunakan. Ada yang menyebutkan Hukum Internasional (International Law), ada juga yang meyebutkan Hukum Bangsa-Bangsa (Law of Nation).
            Sifat dan hakekat hukum interasional sendiri dapat merupakan:
1.      Tidak mengenal suatu kekuasaan eksekutif yang kuat.
2.      Hukum internasional bersifat koordinatif tidak Sub ordinatif.
3.      Hukum intenasional tidak memiliki badan-badan legeslatif dan yudikatif dan kekuasaan Polisional.
4.      Tidak dapat memaksakan kehendak masyarakat Internasional
5.      Dijadikan sebagai kaidah Hukum Nasional.

            Pengertian secara umum dari hukum Internasional adalah, bahwa istilah “hukum” masih diterjemahkan sebagai aturan, norma atau kaidah. Sedangkan istilah internasional menunjukankan bahwa hubungan hukum yang diatur tersebut adalah subyek hukum yang melewati batas wilayah suatu negara, yaitu hubungan antara negara dengan negara, negara dengan subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya, serta hubungan antara subyek hukum bukan negara satu dengan subyek hukum bukan negara lainnya. Menyikapi konfrontasi pendapat yang berbeda antara para pakar Hukum Internasional mengenai sifat “hukum” dalam hukum Internasional : John Austin  yang mengatakan bahwa “Every law or rule (taken with the largest signification which can be given to the term property) is a command…”menurutnya hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya “properly so called”, “moral saja” dengan alasan yang mendasari bahwa  hukum Internasional tidak memiliki sifat “hukum”, yakni dalam hal:
1.      Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga yang bertugas membuat hukum.
2.       Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga yang melaksanakan hukum.
3.      Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga yang menegakkan hukum.
4.      Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang mengawasi jalanya atau pelaksanaan hukum,
            Dengan demikian menurut Kelsen, jika terdapat negara yang melanggar hukum internasional maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepada negara tersebut. Negara mau mentaati atau tidak terhadap ketentuan internasional itu adalah terserah dari negara yang bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepat dikatakan sebagai hukum melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja.
            Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan lembaga eksekutif, legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum iNternasional telah digantikan oleh peranan beberapa vbadang khusus sejak diber\ntuknya Organisasi Internasional PBB. Keberadaan lembaga pembuat undang-undang atau legeslatif dapat digantikan oleh kesepakatan-kesepatan yang dibuat oleh dan diantara subyek hukum Internasional baik yang bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena kedudukan negara sebagai subyek hukum Internasional adalah koordinatif atau sejajar. Tidak ada negara yang melebihi atau di atas negara yang lain. Lembaga penegak hukum atau yudikatif perannya dapat kita lihat keberadaan Mahkamah  Internasional  maupun Arbitrase Internasional. Lembaga eksekutif tidak lain adalah subyek hukum internasional itu sendiri. Meskipun hukum internasional tidakm memiliki sanksi yang tegas dan memaksa dalam pelaksanaannya, bukan berarti sifat aturan yang demikian tidak dapat dikategorikan sebagai ‘hukum’. Kita dapat melihat “hukum adat’ yang berlaku di Indonesia. Meskipun ‘hukum adat’ tersebut munculnya dari kebiasaan yang dilakukan oleh masyrakat, namun kebiasaan tersebut ditaati dan dilaksanakan meskipun tidak ada sanksi yang tegas. Jadi menurut pendapat penulis, Kelsen telah mencampur adukan antara pengertian efektifitas hukum dengan sifat hukum itu sendiri. Jika dalam perkembangannya atau pelaksaannya ternyata hukum Internasional masih banyak yang melanggar, maka hal yang demikian itu merupakan sisi belum efektifnya hukum Internasional, tetapi bukan berarti “hukum internasional” menjadi bukan hukum. Sebab pada kenyataanya masih banyak aturan-aturan yazng dibuat oleh dan antara subyek hukum Internasional yang masih di taati oleh negara-negara dan dilaksanakan.
            Sifat Hukum dari Hukum Internasional (The Characteristics of International Law/al-Sifat al-Qonuniyah li al-Qonun al-Dauli).
            Semenjak munculnya hukum internasional sebagai pranata hukum yang menertibkan relasi antar bangsa, kekuatan hukum yang dimilikinya telah menjadi kontroversi para pakar. Sebagaian dari mereka berpandangan bahwa hukum internasioan tidak mempunya kekuatan hukum (al-quwah al-mulzimah). Artinya hukum internasional tidak lebih daripada pandangan moril (positieve moraal) dalam pergaulan internasional atau sebatas hanya sopan santun internasional (comitas gentium/al-akhlaq al-dauliah). Pandangan ini dianut antara lain oleh John Austin dalam bukunya lectures on Jurisprudence. Termasuk yang tidak mengakui sifat hukum dalam hukum internasional adalah Hobbes dari Inggris dan Hegel, fisuf kenamaan Jerman. Pendapat pertama yang tidak mengakui hukum internasional sebagai tidak lebih dari tatakrama antar negara melandaskan argumennya pada kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi (al-siyadah al-muthlaqoh) . Bagi mereka, kekuatan hukum akan mengikat jika semata-mata berasal dari hukum tertinggi yang termanifestasikan dalam otoritas dan kedaulatan negara. Berarti, kesepakatan bilateral maupun multilateral apapun tidak akan mampu mencerabut kekuasaan tertinggi ini. Tidak juga mampu merobohkan kedaulatan negara ini norma-norma internasional yang berlaku di dunia internasional. Setiap negara mempunya kedaulatan sendiri di depan negara lain yang tidak boleh terusik oleh kedaukatan negara lainnya.
            Dengan kata lain, kesepakatan yang dihasilkan oleh dua unsur yang sepadan tidak akan memberikan kekuatan hukum yang mengikat. Kekuatan hukum akan dinilai mengikat mana kala hukum tersebut dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi kederajatannya atas subyek lain yang berada di bawahnya. Dengan demikian, kelompok ini berpandangan bahwa kekuatan hukum hanya terdapat pada hukum nasional.atau yang lazim disebut sebagai undang-undang (municipal law) .Di mana dalam hukum domestik ini terdapat pembentuk undang-undang yang terpresentasikan dalam parlemen sebagai otoritas tertinggi yang menjadi pengewajentahan dan perlambang dari kadaulatan negara. Pandangan ini mendapat pertentangan dari kelompok mayoritas pakar hukum yang mengakui kekuatan hukum yang terdapat pada hukum internasional. Bagi kalangan yang mendukung terdapatnya kekuatan hukum yang mengikat dalam hukum internasional, kesalahan kelompok yang tidak mengakui sifat hukum berpangkal pada generalisasi dan penyamaan antara hukum yang berlaku antar negara (the international legal system) dengan hukum yang berlaku dalam negara atau undang-undang ( municipal law). Penilaian yang dangkal dan berat sebelah dengan mengartikan hukum semata sebagai hukum nasional saja telah melalaikan perbedaan prinsipil antara undang-undang dan hukum. Para penyokong pandangan yang mengatakan tidak adanya sifat hukum dalam hukum internasional telah melupakan bahwa di samping undang-undang terdapat pula hukum lain dalam negara. Seperti halnya hukum kebiasaan nasional dimana hampir semua pakar mengakuinya sebagai hukum sah dalam negara di samping undang-undang. Oleh karena itu, undang-undang adalah salah satu hukum dalam suatu negara, namun bukan satu-satunya.
            Di sisi lain, dalam pandangan mazhab kedua, keluarnya undang-undang dari lembaga yang menyuarakan otoritas dan kedaulatan negara bukanlah hukum itu sendiri. Memang benar bahwa peraturan-peraturan yang di keluarkan oleh parleman dan yang diberlakukan oleh para hakim adalah hukum, namun penetapan parlemen dan keputusan hakim bukan merupakan elemen hukum. Sebagai bukti banyak peraturan-peratutran hukum negara yang tidak lahirkan parlemen dan tidak pula dapat diputuskan oleh hakim. Peraturan-peraturan hukum tentang tata cara menjalankan kekuasaan tertinggi adalah sebuah misal bagi yang terakhir disebutkan .

Klaim yang disebutkan pendukung pendapat tidak mengikatnya hukum internasional bahwa dalam hukum internasioanl tidak terdapat pula pembentuk hukum dapat digantikan dengan pengadaan perjanjian (tractaat) antar negara itu sendiri. Sehingga, peraturan-peraturan yang tertuang dalam memo perjanjian itu dapat dikategorikan sebagai hukum yang mengikat, mengingat keyakinan dunia internasianal yang menganggap traktat sebagai sumber hukum positif. Selain itu, undang-undang yang merupakan peraturan berdasarkan perintah dan kehendak satu arah dapat menjadi sebuah hukum yang mengikat, apa lagi traktat yang justru merupakan kehendak bersama antara negara yang menandatanganinya. Dengan pelbagai argumen di atas, jelaslah bahwa hukum internasional dapat dinilai sebagai suatu peraturan-peraturan hukum yang mengikat (al-mulzimah) dan memiliki sifat hukum (al-sifat al-qonuniah) .
DAFTAR PUSTAKA
-                      Briely.J.L. Hukum Bangsa-Bangsa(Suatu Penghantar Hukum Internasional). Bathara. Jakarta. 1996.
-                      Kusumaatmadja. Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bina Cipta. Bandung. 1977.
-                      Starke.J.G.Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika. Jakarta. 1989.



[1] Philip C. Jessup mempopulerkan istilah transnational law dalam bukunya Transnational Law, N. Y. 1968: untuk suatu kupasan mengenai istilah ini baca:tulisan Mochtar Kusumaatmadja dalam majalah Hukum Padjadjaran, Jil.1 (1958), hal. 49. Istilah ini diindonesia mulai dilancarkan penggunaannya oleh Dr.Ny.Sunaryati Hartono dalam bukunya masalah transnational dalam penanaman modal asing di Indonesia, suatu disertasi untuk memperoleh gelar Dr pada ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1972.
[2] Louis B. Sohn, World Peace through World Law, 1964.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar