Kamis, 21 Juli 2011

Definisi Elit Politik


Setiap orang bisa jadi elit, supaya pembahasannya terfokus, yang dimaksud elit politik disini adalah orang-orang yang tergabung dalam partai politik. Menurut beberapa pakar diantaranya adalah:
-          Roberto Pareto, mengemukakan pandangannya mengenai elit politik yaitu “governing elite (elit yang memerintah). Lebih lanjut Pareto mengemukakan bahwa yang termasuk katagori elit yang memerintah antara lain adalah pimpinan suatu lembaga, organisasi, atau pimpinan institusi Negara” (S.P. Varma ,Modern Political Theory,1967).
Jadi dari penjelasan di atas jelaslah dalam konteks Indonesia, elit politik yang termasuk kategori governing elite-nya Pareto adalah Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati dan Akbar Tanjung. Perilaku merekalah yang selama ini paling dominan mempengaruhi pergolakan politik di tanah air. Jika yang terjadi sampai hari ini bangsa ini sulit keluar dari krisis yang makin multidimensional maka secara struktural dan moral kenegaraan, merekalah yang pertama harus mempertanggungjawabkannya. Tapi dalam pelaksanaannya terjadi krisis multidimensional yang pada awal terpilihnya empat elit politik sebagaimana yang disebutkan diatas, peluang dan modal untuk pulih itu nampak didepan mata. Peluang dan modal tersebut antara lain : menguatnya nilai tukar rupiah, modal legitimasi yang kuat dari rakyat, dan konsentrasi publik yang kuat untuk bersama - sama menyelesaikan masalah bangsa. Peluang dan modal untuk pulih tersebut tidak dikelola secara cerdas dan holistik oleh elit politik di republik ini. Dan pada saat yang sama justru elit politik gemar menciptakan dan mempertajam konflik antar mereka sendiri bahkan kemudian mengorbankan massanya untuk turut serta membawa konflik elit ke tingkat konflik massa. Karenanya kerja bersama - sama untuk keluar dari krisis nampak sulit terjadi,yang kemudian nampak terjadi adalah sebuah kemarahan.


            Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat
 kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Data empiris menunjukkan hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Komentar yang menunjukkan pentingnya hati dan mungkin lebih sedikit puitis, yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang succesful intelligence, menyatakan Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).
Fenomena tingkah laku elit politik yang dijelaskan pada awal tulisan ini yakni ketidakmampuan mengelola peluang dan mengelola modal legitimasi untuk pulih dari krisis, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, sulitnya kerja sama dan meluapnya kemarahan adalah fenomena yang menunjukkan rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Untuk membuktikan analisis tersebut bisa dicermati uraian dibawah ini.
Setidaknya ada empat poin yang bisa menjadi alat ukur rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita. Alat ukur tersebut adalah Kesadaran emosi (emotional literacy), Kebugaran emosi (emotional fitness) , Kedalaman emosi (emotional dept), dan Alkimia emosi (emotional alchemy). Empat alat ukur tersebut diambil dari empat batu penjuru EQ eksekutive-nya Robert K Cooper dan Ayman Sawaf (1997).
Dalam kesadaran emosi (emotional literacy) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang yang memiliki kesadaran emosi yang tinggi. Indikasi tingkah laku tersebut antara lain adalah rasa tanggungjawab dan kejujuran. Dalam kebugaran emosi (emotional fitness) terdapat ukuran tingkah laku yang menjadi indikasi seseorang memiliki kebugaran emosi yang tinggi yakni dapat dipercaya, mau mendengar, mampu mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Dalam kedalaman emosi (emotional dept) ada ketulusan, kerja sama, dan dalam alkimia emosi (emotional alchemy) ada kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang masih tersembunyi.


Tingkah laku elit politik yang mengabaikan peluang dan modal legitimasi untuk pulih dari krisis bisa dikategorikan sebagai tingkah laku yang menunjukkan rendahnya rasa tanggung jawab (kesadaran emosi yang rendah). Gemar menciptakan dan mempertajam konflik menunjukkan rendahnya kebugaran emosi elit politik. Sebab kebugaran emosi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya kemampuan mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. Tidak mau kerja sama yang dikarenakan tiadanya ketulusan untuk duduk berdampingan menunjukkan rendahnya kedalaman emosi elit politik kita. Tiadanya kepekaan akan adanya kemungkinan - kemungkinan solusi yang ditunjukkan dengan sikap frustasi dan marah menunjukkan rendahnya alkimia emosi elit politik kita.
Berkaitan dengan marah ini barangkali kita perlu mengingat George Washington yang berhasil dalam setiap usahanya ternyata karena kemampuannya mengelola energi emosi, khususnya sifat pemarah dan mudah naik darahnya. Kemampuan mengelola energi emosi tersebut George Washington tunjukkan dengan meminta maaf kepada siapa saja yang terkena akibatnya, dan mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuatnya (Lihat Parikh,J.D.et al, Institution: The New Frontier of Management,1994). Ternyata meminta maaf dan mengambil tindakan - tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuat juga tidak nampak pada tingkah laku elit politik kita.
Uraian diatas menunjukkan bahwa tingkah laku elit politik kita memang menunjukkan rendahnya EQ yang dimilikinya.

1.    Elit Politik Era Revolusi Fisik (1945-1949)

Beberapa bulan setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat negara yang mengubah secara signifikan konstelasi elit ketika itu. Maklumat pertama adalah maklumat No X tanggal 16 Oktober 1945 tentang pembentukan Komite Nasional (KNIP) sebagai lembaga legislatif sementara sebelum DPR MPR yang sesuai konstitusi belum terbentuk dan maklumat kedua tertanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai-partai dan kehidupan berdemokrasi.


Para aktivis pro kemerdekaan sebagaimana disebutkan diatas memiliki kesempatan berkarier di sektor sipil pada lembaga yang menjadi konsekuensi logis dikeluarkannya maklumat-maklumat tersebut. Jalur perjuangan mereka adalah melalui partai politik, birokrasi, menteri, kabinet serta Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Mereka mengisi cabang pertama yang pada umumnya berfokus bagaimana berjuang di jalur diplomasi melawan keinginan belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, setelah Jepang menyerah pada sekutu. Medan mereka adalah meja perundingan. Sementara cabang kedua mulai terbentuknya elit baru yaitu kalangan militer. Meskipun mereka elit yang belum pernah ada dalam kancah politik Indonesia sebelumnya, peranan mereka di fase ini begitu signifikan. Sektor karier mereka adalah medan pertempuran.Bagaimana memastikan kekuatan Jepang hengkang dari republik, dan Belanda tidak bisa sedikitpun menjejak kembali ke bumi pertiwi. Jenderal Sudirman, Urip Sumoharjo, Nasution, TB Simatupang, sekedar menyebut nama dari kelompok ini. Mereka berlatar pendidikan militer yang berbeda beda. Ada yang terkader melalui akademi militer Belanda, ada yang melalui PETA pada masa pendudukan Jepang, atau sekedar laskar-laskar perjuangan rakyat. Tapi mereka bersatu dalam satu peperangan melawan penjajah yang ingin kembali.

Pada fase ini nuansa konflik yang lebih luas mulai satu demi satu merasuk dalam aktivitas politik elit Indonesia. Di sektor sipil cara berfikir kepartaian yang cenderung mengedepankan kepentingan kelompok mulai mendominasi. Hanya karena perbebedaan pandangan dalam menyelesaikan masalah politik atau diplomasi dengan pihak Belanda, kabinet bisa bubar, dan mandat harus segera dikembalikan oleh PM kepada Presiden. Tercatat pada fasa ini (1945-1949) terjadi pegantian kabinet sebanyak delapan kali, “hanya” karena hal sepele yaitu ketidaksepakatan partai partai elemen pemerintah. Ini berarti rata rata satu kabinet hanya berusia sepuluh bulan.

Namun meskipun demikian, perpolitikan Indonesia pada fase ini memiliki faktor Sukarno-Hatta yang begitu kuat, sehingga setiap kali gonjang ganjing politik yang mengakibatkan bubarnya kabinet, mandat tetap bisa dikembalikan kepada mereka tanpa kisruh berkepanjangan, dan mandat itu bisa diberikan kembali ke kabinet selanjutnya. Faktor yang tidak

 pernah terulang, setidaknya sampai saat sekarang, adalah wibawa kepala negara, presiden dan wakil presiden begitu melembaga, dan membuat variabel politik lain akan segera ikut dalam determinan kepala negara bila terjadi instabilitas politik. Sejarah kerap timpang kita pelajari. Yang kita tahu, waktu partai partai silih berganti berkuasa hanya karena kekuasaan padahal bukan semata karena hal itu. Memang dinamika sejarah yang membuat itu terjadi sementara nilai etik, betapa kuatnya lembaga presiden dalam menjadi penengah setiap konflik politik, nilai moral mengembalikan mandat ketika pemerintahan tidak lagi diakui oleh partai-partai pendukung tidak pernah kita pelajari dengan baik

Sebagaimana dikemukakan di atas, fasa ini juga mula bertumbuhnya peranan militer sebagai kekuatan tersendiri dalam kawah candradimuka kekuasaan di tingkat elit Indonesia. Diluar dugaan sebelumnya, peranan militer mulai menguat drastis seiring popularitasnya berjuang bersama rakyat. Doktrin militer rakyat muncul pada fase ini. Militer tertrasendesikan sebagai pejuang rakyat. Bahkan, Panglima Sudirman memiliki wibawa pada maqam-nya tersendiri pula. Tidak menerima ajakan presiden untuk ikut bersama-sama ke pengasingan ketika Ibu Kota RI di Yogyakarta diserang dalam Agresi Militer Belanda, padahal kita tahu, presiden adalah panglima tertinggi, dan perintahnya adalah komando.Namun, justru Sudirman mengindahkan komando itu dalam keadaan menderita penyakit tbc kritis. Beliau lebih memilih berjuang bersama rakyat. Ini setidaknya memberikan gambaran bagi militer, khususnya angkatan darat, bahwa pada tubuhnya tertanam kekuasaan tersendiri yang ia bawa sejak kelahirannya sebagai tentara Indonesia.

Namun demikian, tetap saja kepatuhan militer pada supremasi sipil pada fase ini masih terpelihara. Semua aktivitas ketentaraan tetap berada di bawah koordinasi kementrian pertahanan yang selalu dipimpin oleh otoritas sipil.

2.    Elit Politik Orde Lama (1949-1966)
Pada periode ini elit politik kita mulai mengalami fragmentasi secara kepartaian. Pemilu 1955 memberikan argumen sederhana bagamana fragmentasi elit itu terbentuk. PNI, NU, Masyumi, PKI, PSI, muncul sebagai partai besar pemenang pemilu. Konstelasi ini

 berkonsekuensi logis pada “konstelasi perilaku” elit ketika itu. Mulai terjadi perbedaan dalam melihat segala sesuatu. Bila pada periode sebelumnya fragmentasi kepartaian terjadi belum mendapatkan legitimasi rakyat, maka di era ini elit seolah lebih percaya diri dengan hasil pemilu yang mereka raih. Dinamika politik elit begitu hebat. Tercatat sidang sidang maraton dalam merumuskan konstitusi baru menggambarkan konstelasi politik sekaligus cakrawala intelektual yang menangkupi elit politik ketika itu.
Kualitas elit politik kala itu begitu mudah kita lacak dalam risalah sidang Konstituante. Betapa satu sama lain, meskipun mereka berbeda pandang, keyakinan, ide, dan gagasan, tetapi perdebatan mereka tetap sesuatu abstraksi yang bernas. Bagaimana seorang HAMKA menguraikan sejarah umat Islam sebagai argumennya menjadikan Islam sebagai dasar negara di sidang konstituante, dengan rujukan rujukan studi yang bertangungjawab. Namun dengan cekatan pula AA Maramis membantah HAMKA, dengan argumen ilmiah yang lain. Lain pula dengan Natsir (Masyumi) dan IJ Kasimo (Partai Katolik) yang bisa dipastikan selalu bersitegang di setiap sidang parlemen, namun selalu bertukar kirim makalah untuk saling mengkritik ide. Sementara hari ini, perilaku elit kita lihatlah, berkirim pesan singkat, hanya untuk mendengar satu demi satu proyek mana yang bisa mereka calokan lewat tangannya di legislatif maupun eksekutif.
Namun sayang, sejarah memang kerap menyimpan paradoksnya tersendiri, yang kita selalu dibuat tidak mengerti. Nuansa politik sipil yang begitu dinamis dipahami secara berbeda oleh Sukarno di satu sisi –yang sudah sekian lama merasa kekuasaannya dilucuti oleh politisi — dan militer di sisi lain, yang merasa berjasa besar dalam menjaga keutuhan Republik. Militer mencoba masuk sebagai “elit politik” baru dalam pertarungan politik dengan memberikan sokongan penuh pada Sukarno untuk membubarkan parlemen dan Konstituante lewat dekrit 5 Juli 1959. Dinamika politik yang dalam studi Buyung Nasution pada desertasi doktoralnya memiliki kesimpulan bahwa para elit politik ketika itu sudah hampir menuju titik temu yang demokratis antara kalangan Islam dan nasionalis dalam merumuskan dasar negara, justru dibubarkan secara otoriter oleh Sukarno dan Militer ketika DPR dan Konstituante sedang menjalani masa reses menjelang pengesahan bentuk kesepakatan mereka di sidang berikutnya. Namun yang kita terima di bangku bangku sekolah, bahwa periode ini terjadi “pelanggaran sungguh-sungguh” terhadap konstitusi, dan harus segera kembali ke UUD 1945.

Dinamika politik yang hebat, pelajaran berharga dari debat wacana publik ketika itu tidak pernah diajarkan pada kitaanak-anak muda. Bahkan seolah olah, Sukarno menjadi pahlawan yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, meskipun sesungguhnya ia mulai menunjukkan arah kekuasaan otoriter dan bertangan besi, karena terminologi dekrit itu sendiri justru berlawanan dengan UUD 1945.
Munculnya tentara sebagai pemain yang lebih dominan begitu mempengaruhi kesetimbangan politik di republik yang baru seumur jagung, apalagi ia berjalin kelindan dengan hasrat politik Sukarno. Debat Sukarno-Hatta tentang revolusi mengkristal di fase ini. Hatta yang meyakini bahwa revolusi “sudah usai”, dan harus diisi dengan penataan kehidupan bernegara dengan membina aparatur, merapikan tata pemerintahan baik pusat maupun daerah. Pembangunan ekonomi rakyat dinyatakan “kalah” dalam episode sejarah kita oleh Sukarno yang meyakini bahwa revolusi “baru dimulai” dengan Demokrasi Terpimpin dan ide sinkretis NASAKOM. Hatta pun akhirnya memilih mundur. Semakin goyahlah kesetimbangan politik ketika itu. Sukarno tidak memiliki lagi pengimbang kekuasaan secara psikologis yang dimiliki oleh Hatta. Tidak ada lagi debat bernas di level makro melalui para elit kita. Yang ada hanya berlindung, membebek, atau berebut pengaruh sebanyak mungkin dari kekuasaan Sukarno. Personalisasi politiklah yang kemudian terjadi. Berdendanglah Sukarno dengan “Paduka Yang Mulia”, “Panglima Tertinggi”, “Pemimpin Besar Revolusi” dan segala embel-embel lain pada dirinya. Elit tidak lagi bergerak berdasarkan kerakyatan yang dijunjung tinggi. Daulat rakyat telah menjadi daulat tuanku. Feodalisme politik yang ditentang oleh Sukarno ketika sama sama berjuang menentang kolonialiusme dulu, yang dianggap musuh utama bangsa ini, justru dipraktekkan dengan lebih vulgar melalui demokrasi terpimpinnya.

3.    Elit Politik Orde Baru (1966-1998)

Kekuasaan yang ditumpuk oleh Sukarno dengan keyakinan revolusi “baru mulai” nya itu akhirnya mengalami titik patah. PKI dijadikan tumbal semua kebobrokan dan kemerosotan ekonomi dan politik.

Lewat kudeta lunak (soft coupt) Suharto maju ke puncak kekuasaan menjadi Presiden kedua RI sehingga pertarungan segitiga antara Sukarno, PKI, AD berakhir sudah.
Dengan AD sebagai pemenangnya.
George Elson, Peneliti masalah masalah Indonesia, asal Australia, dalam biografi politik tentang Suharto menyatakan sejarah Indonesia kembali berputar mundur ke belakang (back cycling) dengan naiknya Suharto menjadi presiden. Seorang jendral yang “biasa-biasa” saja, yang tidak menonjol diantara rekan-rekannya menjadi Presiden RI. Seorang Jendral yang tidak pernah mendapat tugas luar negeri, kesehariannya menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa utama, dan tak pernah berbahasa asing, tiba tiba harus menggantikan pemimpin besar, proklamator, yang pemikirannya melintas batas para pemikir dunia, yang jangankan bahasa sehari harinya, makiannya pun dalam bahasa bahasa asing.
Dan yang terjadi kemudian adalah di sepanjang kekuasannya selama 32 tahun Suharto kembali meneladani pendahulu-nya,mempersonalisasikan politik negara dalam dirinya. Ia mengandalkan tentara sebagai bodygard politik dan pembangunan. Partai partai politik ia berangus, dan Golkar diciptakan sebagai kendraan utama. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi menjadi sabda.
Maka perlahan namun pasti, perubahan di tingkat elit politik terjadi seiring berjalan waktu. Konstelasi elit politik kita mengalami pergantian input. Tentara di lapis pertama, aktivis-aktivis yang membantu menggulingkan sukarno pada lapis kedua, dan pengusaha di lapis ketiga. Debat debat bernas yang menghiasi politik kita pada fase sebelumnya bak hilang di telan bumi. Kebijakan ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan keagamaan diserahkan kepada kaum teknokrat. Sementara elit politik hanya sebagai stempel karet. Golkar diplot sebagai partai pemerintah pada judul utama, sementara PDI dan PPP sebagai partai pelengkap yang melengkapi laku politik Golkar dan tentara pada catatan kaki narasi politik Indonesia. Apa yang terjadi dengan perilaku elit di fasa ini adalah mereka menjadi sangat jauh dari keluh kesah rakyat. Mereka merasa menciptakan keamanan, tapi sesungguhnya menyemai ketakutan. Mereka merasa menciptakan pertumbuhan ekonomi dramatis, padahal hanya kebijakan yang memperkaya segelintir orang, dan dibangun atas utang. Alih alih merubah keluh kesah rakyat menjadi

 diskursus bernas yang diejawantahkan dalam kebijakan guna mencapai kehidupan lebih baik massa rakyat, mereka justru memahatkan dalam dirinya pemerintah yang gagal memerintah. Dan kekuasaan yang mereka rasa kokoh, selama 32 tahun, runtuh dalam beberapa hari diguncang oleh demontrasi mahasiswa bersama rakyat.

4.    Elit Politik Sekarang

Keadaaan elit politik saat ini sangat memprihatinkan, dimana jikalau ada pada saat ini partai atau politikus yang mengklaim bahwa sangat peduli dengan masyarakat kecil akan tetapi mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi di masyarakat grassrot yang sesungguhnya berarti bukanlah partai yang cocok bagi wong cilik partai tersebut lebih pas dikatakan partainya para petualang politik yang sebenarnya dia mencari sesuatu dengan berpolitik.
Saling serang yang dilakukan para elit politik dalam berkampanye merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam dunia politik, tapi sebenarnya masyarakat tidak butuh itu pada saat ini, yang dbutuhkan masyarakat adalah tipe tokoh pengayom yang bisa memberikan keteduhan dalam suasana sepanas apapun serta butuh sosok Negarawan yang peduli dengan nasib rakyat yang tidak anti kritik bersikap tegas terhadap hal-hal yang akan membawa kesengsaraan rakyat seperti korupsi dan kolusi.

B.  Hubungan Elit Politik dengan Masyarakat
Seperti definisi diatas dimana menjelaskan tentang elit politik yang terdiri dari orang-orang yang tergabung dalam partai politik. Jelas hubungannya dengan masyarakat luas karena dalam duatu elit politik tersebut untuk mewujudkan keinginan mereka, mereka membutuhkan masyarakat untuk naik dam mencapai tujuannya tersebut.
Beberapa mekanisme hubungan elit politik dengan masyarakat antara lain:
·         Dalam pemilu, elit politik membutuhkan suara dari masyarakat
·         Elit politik harus mengetahui dan memperhatikan kebutuhan, keinginan, dan preferensi masyarakat
·         Elit politik seharusnya bisa menawarkan jawaban dari masalah masyarakat

·         Dalam kompetisi antar elit, dibutuhkan responsiveness
·         Elit politik perlu pengelolaan yang responsive dari masyarakat untuk meningkatkan kinerjanya
·         Pengelolaan hubungan dengan masyarakat juga penting bagi survival dan keberlanjutan elit politik
·         Semua organisasi elit politik berusaha untuk mengontrol dan menstabilisasi lingkungan masyaraat yang dihadapinya
·         Yang paling penting bagi elit politik adalah konstituennya
·         Diperlukannya komunikasi dua arah dan konsisten yang merupakan stabilisator antara elit dan masyarakat.

C.  Konflik kalangan Elit Politik dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
            Elit politik biasanya lebih mudah terfokus pada hal-hal yang kecil dalam memperebukan kekuasaan disbanding dengan agenda besar bangsa seperti penyelesaian krisis multi dimensi bangsa. Sebenarnya konflik elit politik tidak selamanya bersisi negative sepanjang ia terlembaga dan disepakati bersama.
            Menurut Jary, konflik dipahami sebagai pertentangan yang jelas diantara individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, atau diantara Negara dan bangsa (Jary and Jary, 1991). Pada masyarakat manapun, konflik mungkin muncul dari dua orang atau lebih, gerakan-gerakan social, partai politik, dan kolektivitas agama, etnik, ataupun ras. Selain itu konflik juga terdapat dalam konteks antara masyarakat dan Negara.
            Dalam kajian sosiologi, konflik elit politik jelas berhubungan dengan masyarakat. Pembagian elit dan massa merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan didalam suatu masyarakat yang kompleks. Kemudian, aspirasi para democrat radikal mengenai rakyat secara keseluruhan yang diyakini dapat berkuasa tidaklah sesuai kenyataannya. Demokrasi modern ditandai dengan kenyataan bahwa nasib massa ditentukan oleh para elit.
            Di Indonesia sendiri, kompetisi antara elit politik saat ini sudah mencapai titik “kurang sehat” . konflik antar elit politik lebih menggambarkan pada penghancuran kehidupan demokrasi modern itu sendiri. Seperti pada perilaku politik legislator yang bertikai diluar koridor demokrasi.
            Melalui upaya pemberdayaan elit politik dan lembaga demokrasi, diharapkan konflik elit politik dapat bersifat produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik elit politik dapat dipandang nantinya sebagai penjelmaan proses dinamis dari demokrasi.
KESIMPULAN
            Dari pembahasan diatas jelas terlihat bahwa kalangan elit politik cenderung lebih memihak kelompok politiknya yang hanya segelintir daripada kepentingan orang banyak. Dan apakah pemilu yang diharapkan dapat memilih para kalangan elit politik yang independen berhasil melahirkan para wakil sesuai dengan tujuan awal diadakannya pemilu.
            Fenomena tingkah laku elit politik yang dijelaskan pada awal tulisan ini yakni ketidakmampuan mengelola peluang dan mengelola modal legitimasi untuk pulih dari krisis, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, sulitnya kerja sama dan meluapnya kemarahan adalah fenomena yang menunjukkan rendahnya kecerdasan emosional elit politik kita.
            Konflik elit politik tidaklah selalu dipandang negative, asalkan terlembaga, berdasar pada norma-norma yang berlaku, dan disepakati bersama. Untuk itu, lembaga-lembaga demokrasi perlu dibangun dan diperkuat.
 Referensi
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik(Jakarta: Gramedia, 1998. )




Tidak ada komentar:

Posting Komentar