Kamis, 21 Juli 2011

Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukuk Nasional
1.      Pengertian Hubungan Hukum Internsional dan Hukum Nasional
          Berdasarkan kajian yuris-historis, perkembangan hukum internasional yang sebagian besar berasal dari Eropa Barat (baca: Yunani dan Romawi) adalah suatu system hukum masyarakat bangsa-bangsa yang konsep, kaedah dn prinsip-prinsip hukumnya berasal dari kaedah-kaedah hukum nasional Romawi yang tumbuh dan berkembang melalui kebiasaan-kebiasaan internasional (internasional customary). pembahasan secara teoretis perlu dikembangkan dan mengemukakan aliran-aliran hukum yang mempersoalkannya.

Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Teori-Teori Mengenai Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional[1].
Dua teori utama yang dikenal adalah monisme dan dualisme, menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya; menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari hukum nasional. Karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik, teori dualisme, kadang-kadang dinamakan teori pluralistik, tetapi sesungguhnya istilah “dualisme” lebih tepat dan tidak membingungkan.
1.      Dualisme
            Barangkali tepat mengatakan bahwa para penulis hukum internasional (misalnya Suarez) tidak akan pernah meragukan bahwa suatu konstruksi monistis dari dua sistem hukum merupakan satu-satunya pendapat yang benar, dengan keyakinan bahwa hukum alam menentukan hukum bangsa-bangsa dan keberadaan negara-negara. Akan tetapi pada abad kesembilan belas dan kedua puluh berkembang tendensi kuat kearah pandangan dualis, hal ini sebagian merupakan akibat doktrin-doktrin filsafat (misalnnya dari Hegel) yang menekankan kedaulatan dari kehendak negara dan sebagian lagi merupakan akibat munculnya pembuat Undang-Undang di negara-negara modern dengan kedaulatan hukum intern yang lengkap.
Eksponen-eksponen utama dari teori dualisme adalah para penulis positivis, Triepel[2] dan Anzilotti[3]. Bagi para positivis itu, dengan konsepsi teori kehendak (consensual) mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap hukum nasional sebagai suatu system yang terpisah. Dengan demikian, menurut Triepel, terdapat dua perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum tersebut, yaitu:
a. Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negara.
b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak Negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak bersama (Gemeinwille) dari negara-negara.
            Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda; ia membedakan hukum internasional dan hukum nasioanal menurut prinsip-prinsip fundamental yang mana masing-masing sistem itu ditentukan. Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian antara negara-negara harus di junjung tinggi. Dengan demikian kedua sistem itu sama sekali terpisah, dan Anzilotti lebih lanjut mengatakan bahwa kedua sistem tersebut terpisah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin akan terjadi pertentangan diantara keduannya; yang mungkin adalah penunjukan-penunjukan (renvois) dari sistem yang satu ke sistem yang lain, selain daripada itu tidak terdapat hubungan apa-apa. Mengenai teori  Anzilotti ini, cukuplah mengatakan bahwa karena alasan-alasan yang telah dikemukakan, tidak benar bahwa Pacta Sunt Servanda harus di anggap sebagai norma yang melandasi hukum internasional; prinsip ini hanya merupakan sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum internasional.
            Disamping penulis-penulis positivis, teori dualisme telah memperoleh dukungan secara implisit dari hakim-hakim pengadilan-pengadilan nasional[4]. Alasan para penganut teori dualisme dalam keompok ini berbeda dari penulis-penulis positivis, karena mereka terutama melihat pada perbadaan-perbedaan empiris dalam sumber-sumber formal dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu, bahwa di satu pihak hukum internasional sebagian besar  terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan, sedangkan hukum nasional, di pihak lain, terutama terdiri dari hukum yang dibuat hakim (judge-made law) dan undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang nasional. Di dalam tulisan mengenai hukum internasional dewasa ini landasan lain yang dipakai untuk mendukung dualisme adalah perbedaan yang tercermin dalam fakta bahwa sejak tahun 1980-an hukum internasional telah berkembang demikian pesatnya di berbagai bidang dan aspek,
sementara hukum nasional domestik masih tetap berkaitan dengan lingkup persoalan yang lebih terbatas.
            Jadi Teori ini menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing-masing merupakan dua system yang berbeda satu sama lain. Lahirnya pandangan dualisme ini karena dua factor penyebab, yaitu karena doktrin-doktrin filosofis yang menandaskan kedaulatan kehendak negara dan tumbuhnya kedaulatan hukum intern yang sempurna. Pandangan dualisme tersebut mempunyai sejumlah akibat yang penting, yaitu:
-          Kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau berdasarkan pada perangkat hukum yang lain.
-          Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang ada hanya penunjukkan saja.
-          Ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional. Dengan kata lain hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum.
            Keberatan terbesar terhadap teori dualisme adalah pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional tidak dapat menerangkan secra memuaskan kenyataan bahwa dalam praktik sering hukum nasional itu tunduk atai sesuai dengan hukum internasional.
2.      Monisme
            Penulis-penulis modern yang mendukung konstruksi monistik sebagian besar berusaha menemukan dasar pandangannya pada analisis yang benar-benar ilmiah mengenai struktur intern dari sistem-sistem hukum tersebut.
            Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualisme, pengikut –pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan, dan point yang menentukan karenanya adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya apa bukan. Jika secara hipotesis diakui hukum internasional merupakan suatu kaidah yang benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen (1881-1973) dan penulis monitis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian suatu konstruksi selain monisme, khususnya dualisme, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monitis tidak akan berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan di dalam suatu struktur hukum.
Namun ada penulis-penulis lain yang mendukung monisme berdasarkan alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara kolektif ataupun individual. Dengan perkataan lain, individu-lah yang sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua hukum tersebut.
            Penganut teori monoisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum
nasional merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan pada satu struktur hukum. Akibat dari pandangan ini adalah bahwa antara keduanya mungkin ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam teori monoisme berkenaan dengan masalah penekanan/pengutamaan. Satu pihak menyatakan monoisme dengan mengutamakan (primat) hukum nasional, dan pihak lain dengan pengutamaan (primat) hukum internasional.
Menurut pandangan monoisme dengan primat hukum nasional, maka hukum nasional tidak lain adalah sebagai kelanjutan dari hukum nasional belaka, atau tidak lain adalah bahwa hukum internasional itu merupakan hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Ini berarti bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional, alasannya adalah:
-          Bahwa tidak ada organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini.
-          Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.
Faham monoisme dengan primat hukum nasional ini mempunyai sejumlah kelemahan, yaitu:
-          Faham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sebagai hukum-hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumber perjanjian internasional, suatu hal yang jelas tidak benar.
-          Bahwa pada hakekatnya faham monoisme denagn primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan atas adanya hukum internasional yang mengikat negara-negara. Sebabnya, jika terikatnya negara-negara pada hukum internasional digantungkan kepada hukum nasional, ini sama saja dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional atas kemauan negara iru sendiri. Keterikatan ini dapat ditiadakan jika negara mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum internasional.
            Menurut faham monoisme dengan primat hukum internasional, maka hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional, yang menurut pandangan ini merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hierarkis lebih tinggi. Menurut faham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
            Faham monoisme dengan primat hukum internasional inipun tidak luput dari kelemahan. Adapun kelemahan faham monoisme dengan primat hukum internasional adalah:
-          Pandangan bahwa hukum nasional itu tergantung dari hukum internasional, yang berarti mendalikan bahwa hukum internasional telah ada terlebih dahulu dari hukum nasional bertentangan dengan kenyataan sejarah. Berdasarkan kenyataan sejarah, hukum nasional telah ada sebelum adanya hukum internasional.
-          Dalil bahwa hukum nasional itu kekuatan mengikatnya diperoleh dari hkum internasional tidak dapat dipertahankan. Menurut kenyataannya, wewenang-wewenang suatu negara nasional misalnya yang bertalian dengan kehidupan antara negara seperti misalnya kompetensi untuk mengadakan perjanjian internasional, sepenuhnya wewenang hukum nasional.

3.      Teori Koordinasi
Hukum Internasional dan Hukum Nasional memiliki lapangan berbeda, sehingga memiliki keutamaan dilapangan masing-masing           
4.         Teori Transformasi
            Menurut teori transformasi, hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip atau kaedah-kaedah hukum nasional. Agar dapat berlaku, maka prinsi-prinsip hukum internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum nasional. Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi dari hukum Lingkungan Internasional, yaitu Deklarasi Stockholm 1972. Demikian pula dengan Undang-Undang pembaharuannya, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi Deklarasi Rio 1992.
            Proses transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap Undang-undang. Perubahan dapat dilakukan dengan melakukan penambahan, pengurangan atau pembaharuan secara keseluruhan terhadap isi Undang-undang dan menggantikannya dengan yang baru. Proses perubahan tunduk dan diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum ketatanegaraan yang mekanisme kerjasamanya dengan pembuatan Undang-undang, yaitu dilakukan dengan melakukan pengajuan oleh DPR/DPRD atau presiden. Sebagaimana yang telah terjadi di Negara-negara lain yang memiliki proses yang sama:
5.      Teori Adopsi
            Teori adopsi, cara berfikirnya sangat sederhana. Hal ini sangat tergantung dari kemauan hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip Hukum Internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus nasional.
a judge is entitle to resort to a rule of international law without requiring that it be consciously promulgate by the sovereign as one municipal law”
(Hakim berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih dahulu diumumkan oleh Negara atau pengadilan dari suatu Negara).
6.      Teori Delegasi
            Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan ke hukum nasional yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah hukum internasional kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional atau dengan menerapkan kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan sengketa nasional.
R.C. Hingorani menjelaskan:
7.      Teori Harmonisasi
            D.P.O. Connell menggambarkan teori ini melalui suatu pernyataan yang berbunyi:
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance conflict between the two system theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional rules”
(teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui adanya konflik antar kedua hukum tersebut).
            Berdasarkan pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah “tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan hukum nasional dengan batas-batas dan kewenangan yang berbeda.
Dari berbeagai penuturan diatas dapat di simpulkan bahwa hukum internasional dan hukum nasional memiliki persamaan dan perbedaan baik dalam cara pandang maupun bagaimana keduanya menjatuhkan sanksi-sanksi kepada setiap pelanggar hukum.
Perbedaan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
1.                  Objek pengaturan
2.                  Model atau bentuk yang berbeda
3.                  Kedudukan Subjek
Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional
1.                  Doktrin Inkorporasi
Hukum Internasional dapat langsung menjadi bagian dari Hukum Nasional
contoh : Negara meratifikasi traktat
2.                  Doktrin Transformasi
Adanya Hukum Internasional dalam Hukum Nasional harus dilakukan transformasi terlebih dahulu
Penerapan Dalam Praktek
1.                  Amerika Serikat
Kebiasaan
-                      Menyerupai praktek di Inggris
-                      Penentuan dilakukan oleh Pengadilan Federal dan mengikat negara bagian
 Traktat
-                      Traktat yang dibuat oleh Pemerintah AS harus menjadi hukum tertinggi
-                      Presiden hanya dapat meratifikasi dalam hal terdapat persetujuan dari 2/3 suara Senat
-                      Membedakan Traktat dalam 2 golongan
a.                                Berlaku dengan sendirinya
b.                              Tidak berlaku dengan sendirinya
Penerapan di Eropa
1.                  Belanda
Hukum Internasional
1.                  Parlemen memiliki hak kontrol yang kuat
2.                  Kedudukan hukum perjanjian internasional lebih utama dari Hukum Nasional
Treaty
1.                  Diperlukan persetujuan dari 2/3 suara
2.                  Memiliki kekuatan di atas hukum lokal
Penerapan di Eropa
Perancis
Traktat
-                      Traktat yang telah diratifikasi dan dipublikasikan dapat berlaku sebagai Hukum Nasional
-                      Jika terdapat pertentangan antara Traktat dan Konstitusi maka untuk meratifikasi hanya dapat dilakukan setelah Konstitusi dilakukan penyesuaian
Penerapan di Eropa
1.                  Jerman
 Hukum Internasional
-                      Posisi Hukum Internasional diatas Hukum Nasional
-                      Menggunakan istilah General Rule
Traktat
-                      Keterlibatan secara langsung parlemen Jerman
-                      Peran sentral Pengadilan dalam pemberlakuan traktat
2.                  Indonesia
a.                  Hukum Kebiasaan Internasional
-                      Belum ada sikap yang tegas
Misalnya saja : Hak lintas damai dan Lebar laut teritorial
Dasar Hukum :
1.                  UUD 1945 Pasal 11
2.                  UU Nomor 37 Tahun 1999=>Hubungan Luar Negeri
3.                  UU Nomor 24 Tahun 2000=>Perjanjian Internasional
Prakteknya : Dilakukan oleh Menteri Luar Negeri
Dasar Hukum : Keppres No. 102/2001 Pasal 6 & 7
Kesimpulan
Hukum internasional mempunyai dua teori jika dilihat dari hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Sehingga hukum internasional mempunyai beberapa fungsi bagi hukum internasional.
1.      Hukum internasional merupakan sumber undang-undang bagi yang melakukan suatu perjanjian internasional.
3.      Hukum internasional dewasa ini cenderung ke arah mencegah supaya tidak terjadi perselisihan atau perang antara negara-negara dan tidak lagi mengatur bagaimana menyelesaikan suatu masalah kalau terjadi konflik.
4.      Hukum internasional sebagai instrumen yang digunakan oleh pemerintahan suatu negara untuk mencapai tujuan nasionalnya (international law as instrument of national policy).
5.      Hukum internasional sebagai instrumen politik memiliki manfaat untuk mengubah atau memperkenalkan suatu ketentuan, asas, kaedah ataupun konsep.
6.      Hukum internasional berfungsi sebagai instrumen politik berangkat dari fakta bahwa dalam interaksi internasional negara saling pengaruh mempengaruhi. Negara menggunakan hukum internasional untuk menekan negara lain agar mengikuti kebijakannya. Sementara hukum internasional juga dimanfaatkan oleh negara yang mendapat tekanan untuk menolak tekanan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
-                      Briely.J.L. Hukum Bangsa-Bangsa(Suatu Penghantar Hukum Internasional). Bathara. Jakarta. 1996.
-                      Kusumaatmadja. Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bina Cipta. Bandung. 1977.
-                      Starke.J.G.Pengantar Hukum Internasional. Sinar Grafika. Jakarta. 1989.




[1] Keiser, Principle Of International Law, hal 553-558
[2] 2Volkerrecht und Landsrecht (1899)
[3] Corso Di Dirrito Internazionale, Edisi ke 3, 1928, vol 1, hal 43

[4] Commercial And Estate Co Of Egypt V Board Of Trade,1925

2 komentar: