Kamis, 21 Juli 2011

TEORI-TEORI KENEGARAAN DALAM ISLAM

            Nabi Muhammad SAW mendirikan dan memimpin kota madinah karena beliau menyadari begitu penting sebuah negara dalam islam. Apabila sebuah negara ada maka penyebaran islam dan penyampaian wahyu-wahyu Allah-pun akan lebih mudah lagi, karena negara menjaddi pusat penyebaran dan juga terdapat pusat kegiatan penyebaran, sehingga akan tercipta keamanan, kesejahteraan, dan ketentraman dalam penyebaran dan hidup beragama. Tetapi Beliau tidak pernah mengajarkan islam menjadi agama negara dalam konstitusi madinah. Konstitusi ini bahkan tidak menyinggung sama sekali tentang agama negara[1].
            Jadi dapat dimengerti dari penjelasan diatas bahwa nabi Muhammad tidak pernah memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan mutlak yang harus diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggaris besarkan prinsip-prinsip dasar yang harus dikerjakan dan dilakukan oleh umatnya, sedangkan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada umatnya. Makanya beliau tidak pernah menunjuk siapa yang kelak menggantikan beliau, karena apabila hal tersebut beliau lakukan kelak umatnya akan melakukan hal tersebut secara turun menurun.
            Tapi kenyataannya setelah Beliau wafat, terjadi masalah tentang siapa yang akan mengagantikan beliau, sehingga jasad Beeliau belum dikebumikan selama 2 hari, sampai permasalahan yang akan menjadi pemimpin selanjutnya diputuskan. Dalam pembicaraan suksesi di Saqifah Bani Sa’idah terpilihlah Abu Bakar. Terpilihnya Abu Bakar tidak berjalan dengan mukus, tetapi juga memilki kendala dengan adanya kelompok atau kaum oposisi.
            Penolakkan tersebut menunjuk kepada bahwa Ali lah yang paling berhak menganti nabi Muhammad SAW menjadi Khalifah. Dari penunjukkan tersebut pertama kalinya menjadi cikal bakal lahirnya Syi’ah dibelakang hari dalam politik islam. Dalam perjalanan kepemimpinan Ali juga terjadi perpecahayn 2 kelompok, pertama yaitu keelompok mayoritas yang disebut dengan Sunni dan kelompok kedua kelompok minoritas atau Syi’i.
            Kelompok Mu’awiyah yang menentang kekhalifahan Ali dianggap merupakan siasat untuk menghancurkan kepemimpinan Ali pada saat itu. Adapun kubu yang tidak memihak keduanya mengasingkan diri dan tidak ingin terlibat dalam pemerintahan, mereka lebih memilih untuk lebih banyak beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah diantaranya yang memilih posisi netral adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit dan Sa’d bin Abi Waqqash.
            Sejarah diataslah yang menjadi awal terbentuknya pemikiran-pemikiran negara dalam islam diantaranya adalah pemikiran Sunni, Pemikiran Syiah, Pemikiran Khawarij, dan Pemikiran Mu’tazilah. Berikut penjelasan masing-masing dari pemikiran tersebut.
A.   PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
            Kelompok mayoritas memiliki pola pikiran yang cenderung pro kepada pemerintah yang berkuasa (status quo). Dari pemikiran diatas membuat negara cenderung menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintah. Seorang pemikiran Sunni yaitu Ibn Taimiyah pernah mengatakan lebih baik dipimpin oleh seorang pemimpin yang zalim selama enam puluh tahun dari pada hidup sehari tanpa adanya pemimpin[2]. Para pemikir Sunni menganggap bahwa kekuasaan kepala negara berasal dari Tuhan adapun yang pertama kali mengatakan dirinya sebagai khalifah Tuhan dibumi-Nya adalah Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari Bani ’Abbas. Dari pernyataan tersbut menunjukkan bahwa khalifah memerintah berdasarkan mandat Tuhan. Kekuasaan adalah suci dan mutlak harus dipatuhi. Khalifah adalah bayang-bayang Allah di dunia (The Shadowof God on the Earth)[3]
            Pembenaran dari pemikiran ini dibenarkan Ibn Abi Rabi’, pemikiran sunni hidup pada abad ke-3 h/9 M dimasa pemerintahan al-Mu’tashim Khalifah Bai ’Abbas kedelapan. Ibn Abi Rabi’ berusaha mencari kebenaran legitimasi keistimewaan Khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama yaitu surat al-An’am,6:165 dan al-Nisa, 4:59.

            dialah (Allah) yang telah menjadikan kamu sebagai penguasa-penguasa dibumi ini dan Dia pula yang meninggikan sebagian kalian atas sebagian lainnya bberapa derajat”. (QS. Al-An’am,6:165)

            Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasu-Nya serta para pemimpin diantara kalian.” (QS: al-Nisa, 4:59)
            Dari penafsiran ayat diatas jelaslah bahwa Allah memang memberikan keistimewaan dimana Allah juga mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan ddan mentaatinya[4]. Hal senada juga dilontarkan oleh al-Ghazali (1058-1111 M). Menurutnya sumber kekuasaan adalah Tuhan, setelah itu sebagian dai kekuasaan itu dilimpahkan kapada sebagian kecil hamba-Nya. Oleh sebab itu kedudukan kepala negara bersifat sakral (muqaddas) dan umat harus mengikuti kepala negara. Ia juga melarang umatnya melakukan pemberontakan kepada kepala negara, lebih jauh lagi ia mengungkapkan pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah Syar’i. Al-Ghazali juga mengatakan agama adalah landasan atau basis bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Politik tanpa agama akan hancur, sebaliknya agama tanpa politik dapat hilang dalam kehidupan manusia. Jadi dapat dikatakan kekuasaan politik atau penguasa merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama[5]. Berabad-abad sebelum kedatangan rosulullah telah banyak negara-negara di romawi mengungkap pandangannya bahwa raja atau kepala negara sebagai bayang-bayang tuhan di muka bumi atau juga ada yang menyebutkan sebagai tangan-tangan tuhan dimuka bumi dan ada juga yang menyebutkan sebagai wakil tuhan. Maka dari itu AbuBakar dan generasi awal tidak ingin mengikuti pola pikiran seperti itu. Ia juga mengatakan bahwa dirinya sama seperti rakyatnya, hanya saja perbedaannya terdapat pada ia didahulukan selangkah ditinggikan seranting dari rakyatnya yang lain.
            Para pemikir Sunni mengganti konsep khalifah menjadi zillallah (bayang-bayang Tuhan). Karena adanya pengaruh-pengaruh budaya asing yang berkembang pasaat itu terutama Persia yang menempatkan penguasa sebagai wakil Tuhan, sedikit banyak juga membarikan pengaruhnya kepada dunia islam Sunni. Karena memiliki kekuasaan yang sakral Ibn Bin Rabi’, Ibn Taimiyah maupun al-Ghazali mengatakan bahwa kepala negara tidak dapat diturunkan dari jabatannya,Bahkan Ibn Taimiyah mengharamkan rakyat melakukan pemberontakan kepa kepala negara meskipun kafir, selama dia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
            Berbeda dengan Ibn bin Rabi’, Ibn Taimiyah dan al-Ghazali, al-Mawardi (975-1059 M) berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian kepala negara dengan rakyatnya (kntrak sosial). Dari perjanjian tersebut maka lahirlah yang dinamakan hak dan kewajiban ,aupun timbal balik yang di dapat rakyat dari penguasa. Oleh karena itu, Rakat yang telah memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada penguasa negara berhak menurunkan kepala negara apabila Ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan sesuai yang ada diperjanjian yang telah disepakati bersama. Jadi sesuai dengan teorinya ini, al-Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai sesuatu yang suci. Namun demikian sebagaimana pemikiran ketiga pemikir Sunni yang lain al-Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap kepala negara yang telah terpilih. Kepatuhan tersebut tidak hanya diberikan kepada kepala negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir). Al-Mawardi mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:[6]



”akan ada kelak pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Diantara mereka ada yang baik dan memimpinmu dengan kebaikkannya. Tpi ada juga yang jahat dan memimpin kamu dengan kejahatannya. Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai denga kebenaran. Jika mereka berbuat baik mak kebaikkannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi kalua mereka berbuat jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatnnya kembali kepada mereka”
            Ciri lain dari pemikiran politik golongan sunni adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai syarat kepala negara. Pandangan mereka dilandasi hadits nabi yang menyatakan bahwa imam-imam (pemimpin) umat islam harus berasal dari suku Quraisy. Al-Ghazali, al-Juwini, al-Baqillani, dan al-Mawardi menyatakan syarat ini dengan tegas, sedangkan Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggung sama sekali tentang syarat suku Quraisy. Tetapi Rasyid Ridha yang hidup pada abad modern masih menekankan supremasi suku Quraisy ini dalam pemikiran politiknya[7]. Berbeda dari pemikiran para ahli diatas, Ibn Khaldun (1332-1406 H) berpendapat bahwa syarat Quraisy tersebut bukanlah ”harga mati” yang harus dilaksanakan sepanjang masa. Nabi menjelaskan persyaratan suku Quraisy untuk menjadi kepala negara adalah karena pada masa itu suku Quraisy memiliki wibawa dan kekuatan yang disegani diJazirah arab. Suku Quraisy mempunyai ’ashabiyah atau solidaritas kelompok yang kuat.
            Ibn Khaldun melakukan lompotan penafsiran hadits yang yang tentang keharusan suku Quraisy sebagai kepala negara. Hadits tersebut dipahami Ibn Khuldun bahwa ”imam itu berasal dari suku Quraisy, atau suku lain  yang memiliki kecakapan dan kemampuan sebagaimana yang dimiliki suku Quraisy”[8].
            Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemikiran politik sunni yaitu teori politik pemikiran sunni adalah luputnya atau tidak ada pembahasan Syura (musyawarah) dari kamus politik mereka. Dimana konsep syura yang mengajarkan sikap demokratis dan secara tegas disebutkan didalam Alquran surat Ali Imran, 4; 59 dan Al-Syura 42;38 telah terkubur dalam pencaturan politik sejak naiknya Mua’wiyah bin Abi Sufyan sebagai pendiri Dinati Bani Umaiyah. Dialah orang pertama dalam islam yamh mengubah sistem pemerintahan islam yang berbasis syura kepada Monarkhi atau kerajaan yang absolut. Ironisnya langkah Bani Umaiyah ini juga diikuti oleh bani Abbas yang berhasil menjatuhkan kerajaan Bani Umaiyah.
            Pada masa Bani Abbas, pada umumnya pemikir politik sunni adalah orang-orang yang berkecimpung didalam sistem pemerintahan. Oleh karenanya teori politik mereka tidak dapat dilepaskan dari realitas politik yang mereka hadapi. Dengan demikian membut konsep syur pun menjadi semakin jauh dari teori politik sunni dengan berkembangnya doktrin khalifah sebagai bayangan Allah sehingga tidak dapat diturunkan dari jabatannya.
            Memang al-Mawardi menegaskan kemungkinan pembebasan kepala negara dari jabatannya apabila ia menyimpang dari keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan lagi tugasnya. Tapi pandangan al-Maward itu menempat penguasa sebagai posisi yang kuat dan rakyat diposisi yang lemah. Kurangnya pembahasan para pemikir tentang syura membuat pengambilan keputusan hanya berada disebagian kecil elit politik saja. Hal inilah yang kemudian menjadikan penguasa memiliki sikap otoriter .   
B.   PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
            Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok sunni yang mendominasi pemerintahan dan kekuasaan sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena ada beberapa golongan syi’ah yang menyatakan siapa yang berhak menggantikan rasullah setelah ia wafat. Hal in menyebabkan perpecahan yang terjadi dalam golongn syi’ah. Selain disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang sifat imam. Dari sekian banyak sekte-sekte syi’ah dapat dikelompokkan kedalam aliran moderat, ekstrem dan diantara kedua tersebut[9]. Moderat pada umunya memandang Ali sebagai Manusia biasa mereka juga bisa menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Ummar. Sedang Ekstrem memperlakukan Ali sebagai seperman , mereka menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari nabi Muhammad sendiri. Bahkan diantara kelompok ini ada yang menganggap Ali sebagai penjelmaan Tuhan[10]. Tiga sekte besar yng berpengaruh kepada Mazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu Zaidiyah, Na’iliyah (Sab’iyah), dan Imamiyah (Isna ’Asyariyah).
            Semua sekte ini mengakui Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali dan Ali Zain ’Abidin. Namun setelah Ali bin al-’Abidin mereka mengalami perbedaan pendapat siapa yang akan melanjutkan estafet pemerintahan. Ada yang memilih Zaid bin Ali sebagi imam yang kemudian dikenal dengan Zaidiyah. Kemudian kelompok lain yang memilih anak Ali al-’Abidin sebagai imam, yang bernama Muhammad al-Baqir kemudian sekte ini dikenal dengan nama Isma ’iliyah. Ada yang mengangkat Muhammada al-Mahdi sebagai imam yang kemudian sekte ini dinamakan Imamiyah.
SILSILAH IMAM-IMAM SYI’AH[11]
                1.Ali                                    Fatimah

 

                          2.Hasan                          3.Husein
Muhammad
Ibn Hanafiah                                   4.’Ali Zain al-’Abidin
Sekte Kaisaniyah
                     Idris ibn
                   ’Abdullah                           
                  (berhasil mendirikan   Ma’rashi  5.Mohd.al-Baqir      Zaid (sekte Zaidiyah)
                  Dinasti Idrisi di
                   Moroko pada 788                      6.Ja’far al-Shadiq

                          
                                            
                                      7.Musa al-Kazhim                  Ismail (sekte
                                                                                     Isma’iliyah)
                                        
                                           8.’Ali al-Ridha
                                                                                                         Sekte Zaidiyah

                                       9.’Ali al-Hadi                        Mendirikan dinasti
                                                                                 Fathimiah di Mesir pada
                                                                                     Abad ke 10 M                       

                   10.Hasan al-Askari             Ja’far
 


            11.Muhammad al-Mahdi
                   (sekte Imamiyah)
           
            Dalam menentukan sifat imam masing-masing sekte memiliki pandangan yang berbeda, diantaranya sekte Zaidiyah berpendapat bahwa imam tidak bersifat ma’shum (terbebas dari dosa dan kesalahan. Imam seperti halnya manusia biasa yang memiliki kelemahan dan juga terkadang tidak luput dari kesalahan dan lainnya, jadi bisa saja mereka berbuat dosa. Isma’iliyah dan Imamiyah memiliki pandangan dan pemahaman yang berbeda tentang ma’shum. Menurut Isma’iliyah imam bersifat ma’shum bahwa semua perbuatannya tidak mungkin salah, jadi tidak jarang banyak imam melakukan penakwilan ayat yang jauh dari maksud yang sebenarnya. Bagi Imamiyah kema’shuman imam berarti terpeliharanya imam dari perbuatan dosa atau kesalahan. Menurut Imamiyah sebagai pengganti nabi seorang imam tidak hanya mengatur masyarakat dengan adil tetapi juga harus menafsirkan syari’at dengan pengertiannya. Sekte-sekte ini juga meyakini kegaiban para kepala negara.
            Secara sosio-politik perkembangan doktrin ini dipengaruh beberapa faktor: Pertama imam-imam syi’ah selain Ali bin Abi Thalib tidak pernah memegang kekuasaan politik, mereka lebih memperlihatkan sosoknya sebagai tokoh yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi. Kedua kenyataan bahwa sebagian pengikut syi’ah berasal dari pengikut pembentuk paradigma dalam corak pemikiran syi’ah. Ketiga pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut syi’ah dalam caturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al-mahdi muntazhar yang akan lepaskan mereka dari penderitaan. Sementara konsep imamiyah dalam syi’ah dijembatani oleh Ayatullah Khomeini.
PERBANDINGAN PAHAM DALAM MAZHAB SYI’AH
Sekte

Kualifikasi Imam


Doktrin


Jumlah Imam
Dasar Pengangkatan
Harus ’Ali
’Ishmah
Ghaibah
Intizhar
Zaidiyah




Isma’iliyah




Imamiyah 
5 orang




7 orang




12 orang
Isyarat sifat- sifat imam oleh nabi saw


Wasiat nabi secara tegas melalui hadis Ghabir Khum

Wasiat nabi secara tegas melalui hadis Ghabir Khum
Tidak (’Ali afdhal selainnya mafdhul

Ya




Ya 
Tidak




Ya (tidak pernah salah)


Ya (tak boleh salah)
Tidak




Ya




Ya 
Tidak




Ya 




Ya

C.   PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
Khawarij adalah kelompok sempalan yang mmisahkan diri dari barisan ’Ali setelah arbitrase (tahkim) yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata aantara ’Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Mereka menbenci ’Ali karena mau berdamai dengan pemberontak Mu’awiyah, tetapi lebih membenci lagi Mu’awiyah yang telah mencurangi ’Ali. Pengikut Khawarij terdiri dari suku arab badui yang masih sederhana cara berfikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang atau kelompok yang berada diluar kelompok mereka adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstream inipula yang membuat mereka terpecah menjadi beberapa sekte[12].
            Hal yang menarik yang perlu dicatat oleh aliran pemikiran Khawarij adalah meskipun mereka cenderung ekstrem dan sulit menerima perbedaan adalah pandangan mereka yang lebih maju daripada sunni maupun syi’ah. Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman pada 6 tahun pertama.
            Berbeda dari kelompok sunni, mereka tidak megakui hak-hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifa. Khalifah atau imam dipilih secara bebas oleh umat islam. Karena itu, kelompok khawarij tidak mempertimbangkan ’ashabiyah atau keluarga untuk mengangkat pemimpin mereka. Dari pemikiran ini, pengikut khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah kewajiban yang berdasarkan syar’i (agama), sebagaimana pandangan al-Ghazali dan al-Mawardi serta Syi’ah. Pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja.
            Berbeda dengan sunni dan syi’ah, mereka tidak menganggap kepala negara sebagai seorang yang sempurna. Ia adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, makanya mereka menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata kepala negara menyimpang dari semestinya dia dapat diberhentikan atau dibunuh.
            Pandangan khawarij lebih demokratis hal ini dapat dipahami dari sosiologis masyarakat arab yang mengutamakan syura yang mendapat justifikasi dalam islam, setelah terkubur oleh ambisi politik Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pertentangan ’Ali dan Mu’awiyah mereka anggap penyebab krisisasi yang terjadi dalam islam atau terjadinyam chaos dalam tubuh islam. Tidak berkembangnya tradisi syura dan menonjolnya ambisi pribadi atau golongan untuk menduduki jabatan khalifah juga menjadikan mereka sebagai kelompok yang berusaha kembali ke prinsip demokrasi dengan mengabaikan ambisi-ambisi tersebut.
D.   PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
            Mu’tazilah pertamanya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang ”gerah”  terhadap kehidupan politik umat islam pada pemerintahan ’Ali. Sebagai reaksi atas ini, mereka sengaja menghindar (i’tizala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah. Dalam penamaannya sebagai Mu’tazilah terjadi perbedaanpendapt antara Washil bin Atha’ dan gurunya Hasan al-Bisri tentang orang yang berdosa besar apakah masih layak dikatakan mukmin atau tidak. Perbedaan pendapat inilah yamg menjadi awal lahirnya kelompok Mu’tazilah dalam islam[13].
            Sikap politik Mu’tazilah terdapat kondisi yang berklembang sejak masa ’Ali. Mereka memandang tokoh-tokoh yang terlibat perselisihan dan pertentangan pada pemerintahan ’Ali adalah sahabat-sahabat Nabi yang saleh. Kemudian kelompok ini berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional. Pemikiran mereka kemudian merambah kelapangan siyasah. Mu’tazilah beranggapan bahwa akallah yang menjadi ukuran untuk menentukan pembentukan lembaga khalifah, walaupun pemikiran ini sama dengan khawarij tetapi Mu’tazilah memberikan argumentasi atau alasan secara filosofis dan teologis.
            Mu’tazilah berpendapat bahwa dengan kemampuan akalnya manusia dapat mengetahu empat hal yaitu, Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, kebaikan dan kejahatan, serta kewajiban menjalakan kebaikan dan meninggalkan kejahatan[14]. Hal ini bermakna bahwa kewajiban mendirikan negara pemerintahan tidak didasarkan pada perintah syar’i perundingan akal. Al-Jabbar menyatakan syarat-syarat terpilihnya kepala negara, yaitu:
1.      Merdeka. Karena pada saat tersebut perbudakan belum hilang.
2.      Mempunyai kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari yang lain.
3.      Menganut doktrin al-adl wa al-tawhid, sebagaimana ajaran Mu’tazilah
4.      Bersifat wara’. Tidak bertindak menyalahi wewenang.
            Sudirman M. Johan  mengemukan beberapa cara dalam pandangan Mu’tazilah memilih kepala negara:
-          Pertama, pengangkatan jumlah orang yang diakui oleh masyarakat
-          Kedua, dengan jalan musyawarah yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan wawasan politik yang luas.
            Apabila telah disetujui secara aklamasi maka kandidat tersebut langsung diangkat sebagai kepala negara, tetapi apabila cara ii tidak tercapai maka diajukan beberapa calon nama kepala negara dan dipilih oleh anggota musyawarah. Kandidat yang memiliki suara terbanyak akan dipilih sebagai kepala negara. Maka dari itu kita perlu memberikan catatan terhadap pemikiran Mu’tazilah yang mengangungkan akal. Tetapi ketika berbicara tentang pertanggungjawaban kepala negara kepada rakyatnya, Mu’tazilah mundur kebelakang dengan mengabaikan akal 
SIMPULAN
            Dapat ditarik simpulan bahwa keempat pemikiran politik dalam islam diatas memiliki satu persamaan yang patut dicatat dan diingat yaitu, tidak ada satupun aliran yang membicarakan tentang berapa lama masa jabatan suatu kepala negara atau pemimpin, karena kekhalifahan selalu berakhir pada kematian atau wafatnya kepala negara. Aliran Syi’ah dengan konsep Imam ma’shumnya jelas berpandangan bahwa imam yang berkuasa memiliki jabatan seumur hidup. Aliran Sunni dan Mu’tazilah juga memandang kepala negara memiliki masa jabatan yang tidak terbatas waktunya. Sedang Khawarij sendiri berpandangan membatasi masa jabatan kepala negara walaupun tidak dinyatakan secara tegas.
            Dari pemikiran diatas pemikiran politik kenegaraan dalam islam ada tiga yaitu, yang Pertama aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni dimana kepala negara dipimpin oleh khalifah yang beryindak sebagai raja dan segala tindakan atau perbuatannya tidak dapat diganggu gugat. Dan menyatakan bahwa kepala negara sebagai bayang-bayang Tuhan atau wakil Tuhan dibumi. Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah (kecuali Syi’ah zaidiyah)  mereka menganggap kepala negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam agama dan politik berdasarkan penunjukkan Allah. Kedua aliran ini menempatkan kepala negara memegang otoritas yang sangat kuat. Ketiga, aliran demokratis yang dianut oleh Khawarij merupakan reaksi atas pemikiran politik sunni dan Syi’ah yang mengutamakan kelompok atau kepentingan pribadi tertentu dalam kepemimpinn umat islam.
            Simpulan dari pemikiran para pemikir tersebut terlihat jelas bahwa adanya pengaruh dari bangsa romawi yang menyatakan sejak berabad-abad lalu bahwa kepala negara mereka sebagai wakil Tuhan dimuka bumi dan semua perintah atau perkataan raja wajib dilaksanakan dan dijalankan oleh rakyatnya tanpa terkecuali dan bagi siapa saja penentang akan mendapatkan hukuman hingga ada ang menerima hukuman mati. Keadilan tertinggipun ada ditangan kepala negara dan secara tidak langsung kepala negara menjabat sebagi badan legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang memegang tempuk kekuasaan.
            Tapi seiring dengan berkembangnya zaman pemikir poltik kenegeraan dalam islampun mulai menyadari bahwa kepala negara bukan orang yang istimewa mereka hanya sebagian kecil orang yang dipercaya oleh Tuhan untuk memimpin manusia yang lain dengan ditinggikan sederajat dari menusia yang dipimpinnya. Oleh sebab itu kepala negara juga dapat melakukan dosa dan kesalahan serta juga dapat lengah dalam mengambil kebijakkan atau memperhatikan rakyatnya. Perkembangan pemikiran tersebut yang melahirkan apa itu kelak yang din amakan demokrasi yang dimana kepala negara akan dipilih langsung oleh rakyatnya.












DAFTAR PUSTAKA
-          Iqbal, Muhammad. Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta. Gaya Media Pratama. 2001.


[1] Munawir, Sjadzali. Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press,1990) hal. 16.
[2] Ibn Taimiah, Al-Siyasah aal-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyah, (Beirut Dar al-afaq, 1983) hal.162
[3] G.E. Grunebaum,Clasical Islam a History600-11258 (Chicago: Aldine Publishing  Co, 1970) hal 80
[4] Munawir Sjadzali, op. cit.,hal 47-48
[5] Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972) hal.198-199
[6] Al-Mawardi,al-Ahkam al-Sulthaniyah , (Beirut: Dar al-Fikr,t.tp)hal.  5
[7] Muhammada asyid Ridha, Al-Khalifah aw al-Mamah al-‘Uzhma, (Kairo: Mathaba’ah al-Manar, 1341 H) hal. 20-21
[8] Ibn Khuldun, Al-Muqaddinah, (Mesir: Musthafa Muhammad, t.td) halm 193-196
[9] Penjelasan rinci tentang sekte-sekte Syi’ah dapat diliht pada Moojan Momen, op, cit hal 23-60 dan Muhammaad Abu  Zahrah, Tarikhal-Mazahib al Islamiyah.  
[10] ibid
[11] Diadaptasi dari Moojan Momen,op,cit, hal 34
[12] Tentang sekte-sekte khawarij dan ajaran-ajarannya ini diterangkan oleh Harun Nasution dalam bukunya, Teologi Islam Alitran-aliran Sejarah Analaisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1986) hal. 11-21; dan abu Bark Ahmad al-Syahrastani, al- Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp) hal 114-117.
[13] Tentang perbincangan tentang asal-usul Mu’tazilah diuraikan oleh Harun Nasution dalam bukunya, Teologi Islam,op,cit, hal 38-41.
[14] Harun Nasution,op.cit, hal. 86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar