Tulisan ini akan membahas tentang masalah yang sangat berpengaruh terhadap kepemimpinan pemerintahan suatu negara. Karena pada intinya masalah ini adalah melahirkan seorang pemimpin yang akan memimpin negara selama lima (5) tahun kedepan dan bagaimana negara ini akan berkembang dalam kepemimpinannya.
Dalam paper ini akan dipaparkan tenteng makna atau definisi pemilu, sejarah pemilu, dan juga sistem pemilu. Berikut penjelasannya.
A. Makna atau Definisi Pemilu
Pemilu merupakan salah satu lambang atau tolak ukur sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Begiti juga pada hakekatnya, pemilu dinegara manapun mempunyai esensi yang sama, dimana rakyat melakukan kegiatan pemilihan untuk memilih orang yang dipercayai untuk mepimpin mereka atau suatu negara.. hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan berserikat, serta dianggap dapat menggambarkan dengan agak akurat partisipasi serta inspirasi rakyat.
Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.
Berikut beberapa pernyataan beberapa para ahli mengenai pemilu:
S Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim:”... pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam wakru-waktu tertentu.1)
S Bagir Manan:” Pemilhan umum yang diadakan dalam ssiklus lima (5) tahun sekali merupakan saat atau momentum memperlihatkan secara nyata dan langsung pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum itulah semua calon yang diingin duduk sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan bergantung sepenuhnya pada keinginan atau kehendak rakyat.”2)
Adapun syarat-syarat pemilu adalah:
- Diharuskan adanya hak-hak kemerdekaan umum.
- Partai-partai politik dan pemimpin-pemimpin oposisi benar-benar diharmati
- Tidak ada polisi politik apapun juga dan tidak ada cara-cara paksaan terhadap mereka yang sama sekali tidak menyetujui para pemimpin yang berkuasa.
- Para pemimpin tidak mempergunakan hak-hak apabila memajukan diri di hadapan khalayak yang akan memilih jadi mereka berkedudukan sama rendah dengan lawan-lawan mereka.3)
Selain beberapa persyaratan yang telah disebutkan diatas, ada beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, yaitu:
- Adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara, setiap golongan dalam masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya (aktif dan pasif) dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan tentang pemilu di negara tersebut.
- Adanya kesempatan yang sama dan perlakuan yang sama serta kemandirian yang sama bagi kontestan untuk, memenagkan pemilihan umum, mengajukan calon, berkampanye, mempergunakan sarana komunikasi politik, dan lain sebagainya.
- Adanya kemandirian dari lembaga pemilihan umum yang independen dan terlepas dari pengaruh pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum.4)
Berkaitan dengan bentuk pemilu yang sukses, para kontestan pemilihan umum (partai politik) mempunyai kriteria tersendiri dalam penilaian terhadap suatu pemilu. Pemilu akan dianggap oleh parpol, jika memenuhi persyaratan berikut:
- Adanya kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilihan umum
- Adanya kesempatan yang sama untuk melakukan kampanye
- Adanya kebebasan dan kemandirian partai dalam pencalonan.
- Adanya kesempatan yang sama untuk mempergunakan media komunikasi politik dan fasilitas-fasilitas lainnya.
- Adanya suatu struktur organisasi partai yang mampu meraih pemilihan sampai ditingkat desa.
- Adanya kejujuran dalam perhitungan suara.5)
B. Sejarah Pemilu di Indonesia
Dari tahun 2009 bangsa indonesia sudah sepuluh kali pemilihan umum diselenggarakan, yaitu dari tahun 1955, 1971,1977, 1982, 1992, 1997, 2004 dan terakhir 2009. semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung didalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah dilaksanakan juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh kabinet Baharuddin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
Dalam pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27 partai dan satu perorangan berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada bulan November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10 buah saja. Di zaman Demokrasi Terpimpin tidak diadakan pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, masyarakat menaruh harapan untuk dapat mendirikan suatu sistem politik yang demokrati dan stabil. Usaha yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang masih baru bagi bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.
Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
Jika ditinjau dari perkembangan sistem pemilu di Indonesia, dapat disimpulkan:
- Keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi dalam DPR
- Ketentuan didalam UUUD 1945 bahwa DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak adalagi gejala sering terjadinya pergantian kabinet dan eksekutif memiliki masa jabatan tetp selama lima tahun.
- Tidak ada lagi fragmentasi partai karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Artinya sejumlah kelemahan sistem proporsional telah teratasi.
Beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini yaitu masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan konstituennya tetap ada dengan dibatasinya jumlah partai menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut selera masing-masing apakah terdapat kecenderungan atau memiliki pertimbangan lain yang menjadi pedomannya.
C. Sistem Pemilu
Terdapat komponen-komponen atau bagian-bagian yang merupakan sistem tersendiri dalam melaksanakan pemilihan umum, antara lain:
- Sistem pemilihan.
- Sistem pembgian daerah pemilihan.
- Sistem hak pilih.
- Sistem pencalonan.6)
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum,dengan berbagai variasinya. Akan tetapi, umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
- Sistem Pemilihan Mekanis
Dalam sistem ini, rakyat dipandang sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih dalam masing-masing mengeluarkan satu suara dalam tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.
- Sistem pemilihan Organis
Dalam sistem organis, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan itulah yang diutamakan sebagai pengendali hak pilih.
Sistem pemilihan mekanis dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Sistem Perwakilan Distrik/ single-member constituency.
Dalam system ini, wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik (daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Badan Perwakian Rakyat yang dikehendaki.
Selanjutnya tiap-tiap distrik pemilihan akan diwakili oleh satu orang wakil di Badan Perwakilan Rakyat. Kemudian dalam system distrik, kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal (the first past the post). Hal ini terjadi sekalipun selisih suara dengan partai lain sangatlah kecil. Namun jumlah suara partai yang kalah dalam distrik tersebut, akan dianggap hilang dan tidak dapat dikalkulasikan untuk distrik pemilihan yang berbeda.
b) Sistem Perwakilan Proporsional/ multi-member constituency
Disebut juga dengan multi-member constituency, karena dalam suatu daerah pemilihan dapat dipilih beberapa orang wakil. Dalam system ini, negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan. Namun, negara terlebih dahulu dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan besar (lebih besar dari distrik), demi keperluan tekhnik administratif. Kemudian pembagian jumlah kursi berbanding lurus dengan jumlh suara yang diperoleh para kontestan. Artinya, jumlah kumulatif dari banyaknya suara yang diperoleh suatu partai, kemudian akan dikalkulasikan sesuai dengan persentase kursi yang disediakan.
- Keuntungan dan Kelemahan Kedua Sistem Pemilu
Sistem Distrik
Adapun keuntungan dari sistem distrik adalah sebagai berikut:
- Sistem ini lebih mendorong ke arah integritas partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanyalah satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama, sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accoord.
- Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung, malahan sistem ini bisa mendorong kearah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
- Karena kecilnya distrik, maka wakil yang dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat.
- Bagi partai besar, sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Partai pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen.
- Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain.
- Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.7)
Kelemahan dari sistem distrik adalah sebagai berikut:
- Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
- Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
- Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
- Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik tersebut saja, dari pada kepentingan nasional.8)
Sistem Proporsional
Adapun keuntungan dari sistem proporsional adalah:
- Sistem proporsional dianggap representatif, karena jumlah kursi dalam parlemen sesuai dengan jumlah suatu masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum.
- Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena praktisi tanpa ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nsional dengan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted.9)
Kelemahan dari sistem proporsional adalah sebagai berikut:
- Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerjasama antara satu sama lain dan memafaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan.
- Sistem ini mempermudah fragmentasi partai
- Sistem ini memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui sistem daftar, karena pimpinan partai menetukan daftar calon.
- Wakil yang dipilih kemungkinan renggang dengan konstituennya
- Karena banyaknya partai yang bersaing, maka akan sulit untuk memperoleh suara mayoritas dalam pemilu. Sehingga partai-partai harus mengadakan koalisi dengan sesamanya. Hal ini dikhawatirkan tidak akan mewujudkan stabilitas sosial.10)
Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pemilu merupakan suatu hak dan partisipasi masyarakat, juga sebagai penghubung antara infrastruktur politik atau kehidupan politik dilingkungan masyarakat dengan supra struktur politik atau kehidupan politik dilingkungan pemerintah sehingga memungkinnya tercipta pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat.
Walaupun dalam pelaksanaannya di Indonesia masih terdapat kekurangan tetapi semakin banyak pemilu yang dilaksanakan semakin menambah pengalaman pemerintah dalam penyeleksian sistem pemilihan umum yang mana yang bisa diterapkan di Indonesia.
Referensi
- Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
- Donald, Parulian. 1997. Menggugat Pemilu. Jakarta: Pustaka sinar Harapan
- Mashudi. 1993. Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum di Indonesia Menurut UUD 1945. Bandung: CV Mandar Maju
- Soultou, R.H. 1977. Pengantar Ilmu Politik. Ary Study Club
1) Moh Kusnadi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar HTN Indonesia. Jakarta: CV. Sinar Bakti. 1988. hlm. 329 (pendapat ini dimuat dalam buku: Mashudi. 1993. Pengertian-pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum di Indonesia Menurut Undang-Undang 1945. Bandung: CV. Mandar Maju. Hlm. 2)
2) Bagir Manan. Susunan Badan Perwakilan Rakyat dan Tata Cara Menyusun Keanggotaan Badan Perwakilandi Indonesia (makalah ceramah dihadapan warga dharma wanita unit depkeh, Jakarta, Selasa 30-04-1991, hlm 11) (pendapat ini dimuat dalam buku: Mashudi. Ibid. Hlm 2)
3) Maurice Duverger. Op. Cit. hlm 25
4) Mashudi. Ibid. hlm. 40-41
5) Harmaily Ibrahim. Pemilihan Umum 1983 Suatu Harapan. Jakarta: Ikafah Uki. Hlm. 42.(pendapat ini dimuat dalam buku: Mashudi. Ibid. Hlm 41)
6) Mahudi. Ibid. hlm 24
7) Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm.466-467
8) Miriam budiardjo. Ibid. hlm 467
9) Miriam Budiardjo. Ibid. hlm. 467-468
10) Miriam Budiardjo. Ibid. hlm. 469
Tidak ada komentar:
Posting Komentar