I. Pengantar
Terdapat banyak mitologi dan cerita tentang asal-mula kebudayaan China serta tokoh legendarisnya seperti Kaisar Kuning (Huang Ti) yang membuat senjata dari batu Giok, istrinya memperkenalkan cara pemeliharaan ulat sutera, dan Yu terkenal karena berhasil mengatasi banjir- banjir besar. Menurut cerita, Yu mendirikan dinasti China yang pertama, yaitu dinasti Hsia yang berkuasa dari kira-kira abad ke-21 sampai abad ke-17 S.M. Dinasti Hsia ini kemudian diganti oleh dinasti Shang yang berkuasa sampai abad ke-11 S.M., dan dinasti Shang merupakan dinasti China historis yang pertama karena ada tulisan, perunggu dan tulang-tulang ramalan yang secara ilmiah telah ditentukan berasal dari periode ini (Lie Tek Tjeng, 1977: 270-274).
Kemudian menyusul dinasti Chou yang mempunyai dua periode yang terkenal dalam sejarah Cina, yaitu: Periode Catatan Musim Bunga dan Musim Rontok (Period of Spring and Autumn Annals) yang berlangsung dari 722 sampai 481 S.M. dan Periode Peperangan Antar Negara (Period of Warring States) yang berlangsung dari 403 sampai 221 S.M. Dinasti Chou adalah dinasti feodal dan pada masa kejayaannya raja Chou menguasai kerajaan-kerajaan tetangganya atau paling sedikit diakui sebagai primus inter pares (yang pertama diantara yang sama). Akan tetapi Periode Catatan Musim Bunga dan Musim Rontok menyaksikan menurunnya dinasti Chou dan kerajaan-kerajaan tetangganya yang sampai waktu itu mengakui supremasinya. Usaha sedemikian itu memuncak dalam Periode Peperangan Antar Negara, dan berakhir dengan jatuhnya dinasti Chou dan pembentukan Negara Kesatuan untuk pertama kali dalam sejarah China oleh Kaisar Shih Huang dari Negara Ch’in pada tahun 221 S.M.
Perlu diperhatikan bahwa kekacauan dalam bidang politik-militer juga menyebabkan kekacauan di bidang ekonomi-sosial, dan kekacauan total ini yang menggoncangkan masyarakat China dan nilai-nilai yang berlaku pada waktu itu menyebabkan orang untuk memikirkan cara- cara dan ide baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Banyak orang mengusulkan kepada raja-raja yang berkuasa, konsep-konsep dan ide-ide mereka untuk mengatasi kesulitan-kesulitan waktu itu dan cara yang terbaik untuk memerintah negara, sehingga timbul apa yang dikenal sebagai “Seratus Aliran Pemikiran” (the Hundred Schools of Thought).
Lao-tze disebut sebagai Bapak Taoisme, para legalis Shang Yang dan Han Fei-tze yang menganjurkan suatu kerajaan pusat, dan pemerintahan berdasarkan hukum, Meng-tze, dan Hsun-tze yang menulis klasik tentang peperangan yang dipergunakan dengan sukses oleh antara lain Mao Tse-tung dalam memimpin strategi militer Partai Komunis China dalam abad ke-20.
Akan tetapi, meskipun terjadi kekacauan dibidang politik-militer dan ekonomi-sosial, bukan berarti bahwa kebudayaan semula berkembang dilembah sungai Kuning tidak meluas. Daerah di sebelah utara sungai Yang-tze pada abad ke-6 S.M. terbagi dalam beberapa kerajaan yang masing-masing berusaha untuk merebut hegemoni dari raja Chou dan menaklukkan tetangga- tetangganya. Akhirnya kerajaan Ch’in yang terletak di sebelah barat dari kerajaan Chou di lembah sungai Wei keluar sebagai pemenang dan membentuk negara kesatuan China pertama pada tahun 221 S.M.
Negara kesatuan pertama ini meliputi daerah di sebelah utara sungai Yang-tze dan tidak meliputi daerah yang dikenal sebagai Mongolia Dalam. Perluasan daerah negara China diteruskan di bawah dinasti-dinasti berikutnya, terutama dinasti Han dan dinasti T’ang. Di bawah dinasti Han (206 S.M–220) daerah China diperluas disebelah utara sehingga meliputi apa yang dikenal sebagai Mongolia Dalam, di sebelah timur yaitu daerah Korea Utara, dan selatan yang meliputi Vietnam Utara, sedangkan dibawah dinasti T’ang (618-907) daerah Tibet dimasukkan ke wilayahnya.
Biarpun menurut pasang-surut sejarah China terjadi perubahan atau pergeseran perbatasan dalam abad-abad yang berikut, akan tetapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa dengan masuknya Tibet pada abad ke-9 China sudah mempunyai perbatasan seperti dikenal sekarang. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang mulai berkembang dilembah sungai Kuning dapat berkembang di daerah asia Timur yang cukup luas ini.
II. Pembahasan
Taoisme juga dikenal dengan Daoisme, diprakarsai oleh Laozi sejak akhir Zaman Chunqiu. Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berdasarkan Daode Jing. Pengikut Laozi yang terkenal adalah Zhuangzi yang merupakan tokoh penulis kitab yang berjudul Zhuangzi.
Taoisme adalah sebuah aliran filsafat yang berasal dari Cina. Taoisme sudah berumur ribuan tahun, dan akar-akar pemikirannya telah ada sebelum masa Konfusiusme. Hal ini dapat disebut sebagai tahap awal dari Taoisme. Bentuk Taoisme yang lebih sistematis dan berupa aliran filsafat muncul kira-kira 3 abad SM. Selain aliran filsafat, Taoisme juga muncul dalam bentuk agama rakyat, yang mulai berkembang 2 abad setelah perkembangan filsafat Taoisme.
Taoisme sebelum Dinasti Qin
Setelah berakhirnya Zaman Chunqiu, Disaat Zaman Berperangan yang menjadikan Cina terbagi-bagi menjadi beberapa kerajaan yang berbeda-beda, sehingga Shihuangdi menyatukan semua kerajaan tersebut dan membentuk Dinasti Qin. Sebelum Dinasti Qin, Taoisme merupakan filsafat Laozi dan Zhuangzi, tapi bukan sebuah agama. Taoisme yang mementingkan kesehatan, pernah mendiskusikan “hidup abadi” dalam konteks ajarannya, Taoisme dijadikan dasar perkembangan kepercayaan manusia untuk menjadi dewa dalam mencapai keabadian.
Agama Dao dan Daojia
Pada zaman dulu, tidak adanya perbedaan antara agama Dao dengan Daojia. Saat ini, agama Dao tidak dibedakan dengan Daojia, kedua-duanya berarti Taoisme.
Pada era sekarang ini, agama Dao merupakan ajaran-ajaran Laozi-Zhuangzi yang berkembang menjadi agama yang memiliki banyak penganut. Agama Dao memiliki doktrin mistis yang berisikan kepercayaan untuk menjadi dewa, agama ini lebih bersifat kemanusiaan, dan berpotensi memenuhi keperluan rohaniah manusia. Dalam agama Dao, Laozi didewakan sebagai Taishanglaojun; kitab-kitab Daode Jing dan Zhuangzi menjadi kitab suci dalam agama Dao.
Daojia adalah pusat pengkajian filsafat tentang Daode Jing dan Zhuangzi, ajaran ini mengandung unsur mistisme yang tidak mendewakan apa-apa. Daojia digolongkan kepada tiga generasi yaitu “Daojia sebelum Qin”,”Qin-han Daojia”, dan ”Wei-jin Daojia”. Setelah generasi Wei-jin, Daojia tidak lagi berupa agama tersendiri, tetapi digabungkan dalam ajaran agama Dao. Saat ini, ajaran tersebut dikenal sebagai Taoisme.
Tokoh Sentral
Tokoh sentral dari Taoisme adalah Lao Tzu. Mengenai biografinya, terdapat sebuah pertanyaan mengenai kebenaran historis Lao Tzu. Ada berbagai pihak yang memperdebatkan mengenai hal ini. Ada pihak yang menyatakan Lao Tzu hanya tokoh rekaan, karena cerita-cerita mengenai dirinya banyak yang tidak masuk akal. Di pihak lain, ada yang menerima semua cerita dan tradisi mengenai Lao Tzu. Akan tetapi, ada juga pihak yang tidak terlalu memperdebatkan mengenai Lao Tzu. Mereka menerima tokoh Lao Tzu benar-benar ada, namun hal itu tidak terlalu penting untuk dibicarakan. Mereka lebih suka membahas kitabnya dan isi pengajaran Taoisme.
Sumber mengenai kehidupan Lao Tzu dapat dilihat dalam Shih Chi yang merupakan catatan sejarah dari Suma Chien. Meskipun Suma Chien mengetahui ada konflik historis di dalan cerita tersebut, namun ia tetap menulis apa adanya, karena ia tidak mengetahui mana yang benar atau tidak.
Menurut tradisi Lao Tzu lahir kira-kira tahun 640 SM di negara Ch’u (provinsi Honan). Nama Lao Tzu dapat diterjemahkan sebagai “Putra Tua”, “Sahabat Tua”, ataupun “Sang Guru Tua”. Sebutan ini merupakan suatu gelar kecintaan dan penghormatan. Menurut legenda, ia dilahirkan tanpa dosa sama sekali oleh sebuah meteor; dan dikandung oleh ibunya selama delapan puluh dua tahun. Pekerjaannya adalah pemelihara arsip, dan bahwa dengan pekerjaannya itu ia hidup secara sederhana dan tidak banyak tuntutan. Kepribadiannya, hampir seluruhnya didasarkan pada sebuah buku kecil yang dianggap ditulis oleh beliau sendiri.
Sedih karena kecenderungan orang mengambil manfaat dari kebaikan yang diajarkannya, serta berusaha mencari kedamaian pribadi yang lebih besar pada usianya yang semakin lanjut, akhirnya Lao Tzu menunggang seekor kerbau dan pergi ke arah Barat, yaitu yang sekarang disebut Tibet (Lembah Hankao). Sebelum pergi, ada seorang penjaga gerbang yang berusaha menahannya agar tidak pergi. Karena usahanya gagal, ia meminta Lao Tzu untuk meninggalkan suatu catatan mengenai pandangan Lao Tzu. Kemudian Lao Tzu tinggal selama tiga hari, dan setelah itu ia kembali dengan sebuah buku kecil yang berisi ± 5000 huruf Cina berjudul Dao De Ching.
Lao Tzu juga dikatakan hidup satu zaman dengan Konfusius. Akan tetapi dengan menyelidiki kitab Daode Ching, dapat disimpulkan bahwa hal tersebut tidak mungkin, karena ada beberapa gagasan yang tidak mungkin dikenal umum pada masa Konfusius. Kebanyakan ahli masa kini menyatakan Lao Tzu hidup ± 2 abad setelah Konfusius.
Ajaran Taoisme
Dao
Inti pengajaran Taoisme adalah "Dao" yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses kejadian dari semua benda hidup dan segala benda-benda yang ada di alam semesta. Dao yang berwujud dalam bentuk benda hidup dan kebendaan lainnya adalah De. Gabungan Dao dengan De dikenal sebagai Taoisme yang merupakan landasan kealamian. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan bersifat abadi. Keabadian manusia terwujud disaat seseorang mencapai kesadaran Dao, dan orang tersebut akan menjadi dewa. Penganut-penganut Taoisme mempraktekkan Dao untuk mencapai kesadaran Dao, dan menjadi seorang dewa.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang, dalam Daode Jing Bab 42:
“道生一,一生二,二生三,三生万物。万物负阴而抱阳,冲气以为和"
Berarti: Dao melahirkan sesuatu, yang dilahirkan itu melahirkan Yin dan Yang, Yinyang saling melengkapi untuk menghasilkan tenaga atau kekuatan. Kekuatan tersebut bersumber dari jutaan benda di dunia. Setiap benda di alam semesta yang berupa benda hidup ataupun benda mati mengandung Yinyang yang saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan.
Secara terminologi, Yin dan Yang diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap benda bersifat dualisme yang terdiri dari unsur positif dan unsur negatif. Benda yang tidak memiliki unsur negatif dan positif, itu bermakna kosong dan hampa. Seperti halnya magnet, magnet mempunyai unsur positif dan negatif, kedua-duanya bersifat saling melengkapi. Magnet tanpa unsur positif, maka tidak terwujudnya unsur negatif. Itu bermakna bahwa magnet tidak akan terwujud jika tidak memiliki kedua unsur tersebut.
Kemudian Taoisme memiliki penekanan kuat terhadap keselarasan manusia dengan Dao dan alam semesta. Dao dipandang mengatasi segala hal, baik manusia maupun alam, dan sekaligus juga tersebar di dalam alam ini. Dalam Taoisme dikatakan bahwa manusia harus hidup menurut tata cara alam (Dao), memahami hakikatnya, dan hidup selaras dengannya.
Dao sebenarnya tidak dapat diberi nama, dan ia juga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Dao yang sesungguhnya hanya dapat dipahami dengan melalui kesadaran rohani manusia. Akan tetapi, untuk dapat memudahkan orang mengerti akan Dao ini, maka Dao harus dijelaskan dengan kata-kata. Dao secara harafiah dapat dikatakan sebagai "jalan setapak" atau "jalan". Untuk dapat lebih memahami "jalan" ini, maka ada tiga makna yang dapat dipelajari:
1. Tao adalah Jalan dari Kenyataan Terakhir Dao tidak dapat ditangkap karena melampaui jangkauan panca indera. Dao melampaui segala pikiran dan khayalan. Oleh sebab itu, kata-kata tidak akan dapat menjelaskan Dao yang sesungguhnya. Dao adalah yang maha besar dan merupakan azas totalitas segala benda dan kehidupan. Dao adalah substansi yang mewujudkan segala benda, termasuk makhluk hidup, juga merupakan sumber asal dari setiap awal dan setiap akhir. Makna Dao yang pertama dan terdasar ini dapat diketahui, hanya melalui kesadaran mistik yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
2. Tao adalah Jalan Alam Semesta Dao memiliki sifat transenden tetapi juga imanen. Dao menjadi penggerak dari alam semesta ini, yaitu sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong seluruh alam, dan juga sebagai asas penata yang berada di belakang semua yang ada. Dao adalah roh yang mendiami seluruh alam, sehingga ia menjadi “benda” dan bersifat imanen.
3. Tao adalah Jalan Manusia Menata Hidupnya Dao juga memberikan petunjuk kepada manusia mengenai kehidupan yang seharusnya dijalani oleh manusia supaya selaras dengan cara bekerja alam semesta ini. Hal ini berkaitan dengan ajaran-ajaran dan etika Taoisme lainnya.
Pandangan tentang Wu Wei
Wu-wei dapat secara harafiah diterjemahkan dengan ‘tidak mempunyai kegiatan’ atau ‘tidak berbuat’. Istilah ini sesungguhnya tidak berarti sama sekali tidak ada kegiatan, atau sama sekali tidak berbuat apapun, melainkan berarti berbuat tanpa dibuat-buat dan tidak semau-maunya. Karena wu-wei adalah sifat dasar kehidupan yang selaras dengan alam semesta. Bersikap dibuat-buat dan semau-maunya berlawanan dengan sikap kodrati atau sikap yang wajar. Menurut teori Wu-wei, seseorang hendaknya membatasi kegiatan-kegiatannya pada apa yang diperlukan dan apa yang kodrati atau wajar. Seperti dalam mencapai tujuan tertentu, jangan sampai berbuat berlebihan atau melakukan upaya semau-maunya. Dalam melakukan perbuatan ini, hendaknya orang mengambil kesederhanaan sebagai prinsip hidup yang membimbingnya, sebab umat manusia mempunyai terlampau banyak keinginan dan terlalu banyak pengetahuan. Mereka mencari kebahagiaan dengan cara memenuhi keinginan mereka. Akan tetapi, ketika mereka berusaha memenuhi terlampau banyak keinginan, mereka memperoleh hasil yang sebaliknya.
Wu-wei adalah hidup yang dijalani tanpa ketegangan. Wu-wei merupakan perwujudan yang murni dari kelemah-lembutan, kesederhanaan, dan kebebasan; suatu kemampuan yang efektif, yang murni di mana tidak ada gerak yang dihambur-hambur sekedar untuk dipamerkan ke luar. Jika Wu-wei dilihat dari luar, terlihatlah ia tanpa daya, karena tidak pernah memaksa dan tidak pernah terlihat tegang. Rahasianya terletak pada cara mencari ruang kosong dalam hidup dan alam, dan bergerak melaluinya. Chuang Tzu menjelaskan hal ini dengan ceritanya tentang seorang pejagal yang pisaunya tidak pernah tumpul selama dua puluh tahun. Sewaktu didesak untuk menjelaskan rahasianya, pejagal itu menjawab, “Dari antara tulang-tulang pada setiap persendian selalu ada suatu ruang. Jika tidak demikian, tentu tidak akan ada gerakan. Dengan mencari ruang ini dan meingisinya di situ, maka pisau saya dapat melalui tulang-tulang itu tanpa menyentuhnya.”
Gejala alam yang paling mirip dengan Tao dalam pandangan para penganut Taoisme adalah air. Mereka kagum dengan cara air yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya dan mencari tempat-tempat yang terletak paling rendah. Air juga mempunyai kekuatan yang mampu meluluhkan batu karang dan menghanyutkan bukit-bukit. Sifat luwes tak berhingga namun kokoh tanpa bandingan. Itulah kebajikan air dan demikian juga kebajikan dari Wu-wei. Ciri yang terakhir adalah kejernihannya di saat ia tenang. Namun, kejernihan hanya dapat tertangkap oleh mata batin jika kehidupan manusia itu mencapai ketenangan yang diam dari suatu telaga yang dalam dan hening.
Pandangan tentang Manusia
Menurut pandangan Taoisme, hidup manusia sudah digariskan oleh ‘langit’. Manusia sudah memiliki jalannya masing-masing. Yang harus dilakukan manusia hanya meneliti jalan itu dan mengikuti jejak itu tanpa coba memaksakan pandangannya yang sempit, serta tanpa kehendak ingin menyelewangkan diri dari yang alamiah demi keuntungan pribadi. Sikap semacam itulah yang disebut dengan Wu Wei, yang artinya tidak mencampuri. Wu-wei dapat juga diartikan ‘tidak berkeinginan’, Manusia dalam pandangan Taoisme, harus menghilangkan keinginannya, dan mengikuti jalannya proses alam tanpa mencampuri proses itu.
Menurut Taoisme, apabila manusia menjadi sombong dan melakukan hal di luar kemampuannya, maka suatu saat dia akan mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau menderita. Karena itu, seorang bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan memilih mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak menonjolkan dirinya. Meskipun demikian, Taoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus menyingkirkan seluruh harta benda yang dimiliki untuk mencapai ketentraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa kemelekatan terhadap harta tersebut. Apabila harta dibuang namun masih ada kemelekatan terhadapa harta tersebut, maka sia-sia saja. Karena itu buanglah kemelekatan terhadap harta dari diri manusia, dan harta benda harus digunakan untuk kepentingan social. Dengan demikian manusia tidak akan merasakan penderitaan akibat kehilangan harta. Seperti tertulis dalam Daode Ching Bab 2 ayat 11b: “…Oleh karena tidak mempunyai apa-apa, maka dia tidak pernah kehilangan apa-apa.”
Manusia yang mengikuti Dao tidak mencampuri hidup orang lain, dalam arti ia tidak memaksakan orang lain membutuhkan, ia menolong mereka menjadi bebas dengan mengikuti Dao. Manusia yang baik adalah yang mampu mengikuti jalannya alam semesta sesuai dengan Dao.
Jika manusia telah berhasil mengikuti jalan Dao, maka ia tidak perlu takut akan kematian. Kematian adalah sebuah proses alam dan manusia tidak dapat melawan alam, oleh karena itu manusia tidak perlu taku atau cemas terhadap kematian. Kematian hanya mengembalikan manusia kepada Dao.
Etika Taoisme
Dalam menjalani kehidupan yang ada, manusia mengarah pada kehidupan yang alamiah tanpa adanya proses ikut campur. Kehidupan yang alami inilah yang menjadi suatu kebajikan dasar yang memicu munculnya tiga buah kebajikan lain yang menuntun manusia dalam kehidupannya, yaitu lemah lembut, rendah hati, dan menyangkal diri. Kelemah-lembutan merupakan teman dari kehidupan, sebaliknya, kekerasan dan kekakuan adalah teman dari kematian. Rendah hati adalah sikap mampu membatasi diri dengan berbuat seperlunya saja. Di dalam kitab Daode Ching dikatakan, “Tidak ada kutuk yang lebih besar daripada merasa kurang puas. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada selalu ingin memiliki.” Kemudian menyangkal diri adalah sikap menganggap diri dan hidup manusia hanyalah sebagai pinjaman dari alam semesta kepada manusia. Oleh karena itu, manusia yang bijaksana dan menginginkan hidup tenang dan tenteram akan mempercayakan seluruh hidupnya kepada Dao atau alam semesta.
Perkembangan ajaran yang berdasarkan paham Taoisme
Bidang-bidang yang berkembang berdasarkan paham Taoisme, antara lain: Taiji, Qigong, bidang kesehatan, Kimia, musik, dsb. Salah satu perkumpulan Taoisme di Cina memiliki kumpulan kitab-kitab hasil kajian Taoisme. Kitab-kitab tersebut berisikan rangkuman tentang ajaran asli Taoisme, peraturan Taoisme, Qigong, kajian-kajian tentang kesehatan, Kimia, musik dsb.
Perkembangan Taoisme selama 2000 tahun ini, telah berkembang menjadi beberapa aliran Taoisme. Aliran-aliran tersebut adalah:
- Wudoumi Dao
- Qingshui Dao
- Tianxing Pai
- Fulu Pai
- Qingwei Pai
- Lijia Dao
- Shangqing Pai
- Zhongxuanxie Pai
- Jingming Dao
- Taiyi Jiao
- Xuan Jiao
- Wudang Pai
- Zhong Pai
- Xi Pai
- Danding Pai
- Yujun Dao
- Bojia Dao
- Lingbao Pai
- Donghua Pai
- Louguan Dao
- Lushan Pai
- Shengxiao Pai
- Dadao Jiao
- Yuxian Pai
- Quanzheng Dao
- Nanwu Pai
- Longmen Pai
- Pidong Zhong
- Dong Pai
Diskursus seputar manusia selalu memancarkan daya tarik bagi kebanyakan orang khususnya para filosof. Sesungguhnya diskursus seputar manusia adalah sebuah persoalan yang bisa kita jawab sekaligus jawaban yang kita berikan itu belum tuntas untuk melukiskan siapakah manusia itu sesungguhnya. Dalam dirinya tersimpan sebuah sebuah teka-teki yang sulit ditebak. Salah satu persoalan yang didiskusikan dalam diskursus tersebut adalah tentang kodrat manusia. Ada yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu baik, ada yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu buruk, ada pula yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu bukan baik dan bukan buruk (netral), dan sebagainya. Terlepas dari “kemisteriusan” diskursus seputar manusia, dalam paper ini penulis memfokuskan diri pada pendapat Mensius tentang kodrat manusia. Menurutnya, kodrat manusia adalah baik. Paper ini akan menampilkan mengenai riwayat hidup Mensius, konsep Mensius tentang kodrat manusia, kritik Hsun Tzu terhadap Mensius, kebaikan kodrat manusia versus masalah kejahatan, dan kesimpulan.
1. Kehidupan Mensius
Mensius (Men Chi) dilahirkan sekitar tahun 372 SM di kota Zou (sekarang berada di provinsi Shantung-Cina Timur). Ia dilahirkan menjelang akhir masa kekuasaan dinasti Chou. Saat itu negara Cina dilanda oleh perang saudara yang disebut dengan nama masa perang antar-negeri. Selain itu, masyarakat Cina zaman Mensius juga dilanda oleh dekadensi moral dan pergolakan politik dalam negeri. Para penguasa bertindak sewenang-wenang dalam mengatur negara sehingga masyarakat jatuh miskin. Nama aslinya adalah Meng Zi yang berarti Guru Meng. Nama Mensius dilatinkan oleh para filosof barat. Ketika Mensius berusia tiga tahun ayahnya meninggal dunia. Kemudian ia dididik dan diajar tentang pendidikan moral oleh ibunya yang dikenal sebagai guru dan teladan kehidupan moral dalam masyarakat. Pendidikan moral yang diajarkan oleh ibunya membawanya menjadi seorang pribadi yang memiliki watak yang tegas dan bijaksana. Selain mendapat pendidikan dari ibunya, Mensius juga adalah murid Tzu Ssu. Tzu Ssu adalah murid sekaligus cucu dari Konfusius. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Mensius adalah murid dari Konfusius, karena pemikiran Tzu Ssu dipengaruhi/dilatarbelakangi oleh pemikiran Konfusius. Dibawah bimbingan Tzu Ssu Mensius dididik dan diajar dalam bidang moral dan intelektual. Melalui Tzu Ssu inilah Mensius berkenalan dengan pemikiran Konfusius yang merupakan figur sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat Cina zaman itu. Setelah Mensius memperoleh ilmu pengetahuan yang cukup luas ia pergi ke negeri Ch’i. Di sana ia menjadi pengajar sekaligus penasihat raja Hsuan. Raja Hsuan adalah figur pemimpin yang serakah karena ia sering menipu rakyatnya dan tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan ia menilai Mensius sebagai orang yang tidak bersentuhan langsung dengan realitas nyata. Artinya orang yang hanya pandai berteori atau pandai berbicara tetapi tidak sesuai dengan tindakan dan perilaku konkret dalam hidup hariannya. Dari negeri Ch’i lalu pergi ke negeri Liang yang diperintah oleh raja Hui.
Tidak hanya pergi ke kedua negeri ini (Ch’i dan Liang), Mensius juga menghabiskan waktu kurang lebih 20 tahun untuk melakukan perjalanan ke berbagai negeri sambil mengajar orang-orang yang dijumpainya secara khusus para penguasa. Kepada para penguasa ia mengatakan, “…..Seorang penguasa tentu menjadi penguasa yang benar, di mana yang tua-tua dari rakyatnya berpakaian sutra dan makan daging, serta rakyat pada umumnya tidak ada yang menderita kelaparan dan kedinginan karena memiliki makanan dan pakaian yang secukupnya”.
Setelah selama 20 tahun mengembara hampir di seluruh wilayah Cina Mensius kemudian kembali ke negeri asalnya (Zou). Tahun-tahun menjelang akhir hidupnya, Mensius dan para muridnya menafsir dan mememberi komentar dua kitab klasik (Kitab Sejarah dan Kitab Syair) yang sangat berpengaruh pada saat itu. Tidak hanya itu, Mensius juga menafsir ulang ajaran Konfusius dan dipadukan dengan kedua kitab klasik di atas (Kitab Sejarah dan Kitab Syair) kemudian menjadi bahan untuk penyusunan bukunya yang berjudul Mencius. Buku ini berisi tentang percakapan-percakapan Mensius dengan para penguasa yang ia jumpai dalam perjalanannya. Jadi, Mensius adalah nama seorang filosof sekaligus nama buku karangan filosof yang bersangkutan. Mensius meninggal dunia di kota kelahirannya (Zou) pada tahun 289 SM.
Setelah selama 20 tahun mengembara hampir di seluruh wilayah Cina Mensius kemudian kembali ke negeri asalnya (Zou). Tahun-tahun menjelang akhir hidupnya, Mensius dan para muridnya menafsir dan mememberi komentar dua kitab klasik (Kitab Sejarah dan Kitab Syair) yang sangat berpengaruh pada saat itu. Tidak hanya itu, Mensius juga menafsir ulang ajaran Konfusius dan dipadukan dengan kedua kitab klasik di atas (Kitab Sejarah dan Kitab Syair) kemudian menjadi bahan untuk penyusunan bukunya yang berjudul Mencius. Buku ini berisi tentang percakapan-percakapan Mensius dengan para penguasa yang ia jumpai dalam perjalanannya. Jadi, Mensius adalah nama seorang filosof sekaligus nama buku karangan filosof yang bersangkutan. Mensius meninggal dunia di kota kelahirannya (Zou) pada tahun 289 SM.
Di atas telah dikatakan bahwa Mensius adalah murid tidak langsung dari Konfusius. Akan tetapi, pemikiran Konfusius tidak serta merta diambil alih oleh Mensius. Konfusius tidak secara eksplisit berbicara tentang kodrat manusia: apakah baik atau buruk. Sementara Mensius dengan jelas mengatakan bahwa kodrat manusia itu adalah baik. Walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya juga memiliki persamaan yakni berbicara tentang moralitas manusia.
2. Kebaikan adalah Kodrat Manusia: Konsep Mensius
Apa itu kodrat manusia? Kodrat manusia adalah sifat dasar/asali manusia yang dibawa sejak lahir hingga kematiannya. Sifat dasar inilah yang menentukan sikap dan perbuatan manusia. Sifat dasar ini juga harus dikembangkan secara optimal agar mampu menjadi manusia unggul/ideal. Jika sifat dasar ini tidak dikembangkan secara baik dan benar maka manusia akan jatuh dalam tindakan brutal dan jahat.
Dalam kehidupan masyarakat Cina zaman Mensius terdapat tiga konsep tentang kodrat manusia. Pertama, kodrat manusia itu netral, artinya tidak baik ataupun tidak buruk/jahat. Kedua, kodrat manusia itu bisa baik ataupun bisa buruk. Artinya bahwa kebaikan dan keburukan ada pada manusia. Ketiga, sebagian melihat kodrat manusia adalah baik dan sebagian lagi melihat bahwa kodrat manusia itu buruk. Lalu, bagaimana konsep Mensius tentang kodrat manusia?
Menurut Mensius, kodrat manusia pada dasarnya adalah baik. Untuk membuktikan konsepnya, Mensius membuat satu contoh menarik. Misalnya: Jika seseorang tiba-tiba melihat seorang anak kecil hampir jatuh ke dalam sumur yang dalam, maka tanpa berpikir panjang orang tersebut akan segera merasa iba dan sedapat mungkin berusaha untuk membantu Si anak kecil tersebut agar tidak terperosok ke dalam sumur. Rasa iba dan usaha untuk membantu Si kecil bukan untuk dilihat dan dipuji oleh orang tua atau orang yang melihat tindakan orang tersebut, tetapi semata-mata merupakan rasa iba yang bersumber pada kodratnya untuk membantu sesama. Rasa iba ini yang memancarkan rasa kemanusiaan dalam diri orang tersebut.
Untuk memperkuat tesisnya tentang kebaikan kodrat manusia Mensius menunjukkan empat unsur fundamental dan khas yang ada hanya pada manusia. Keempat unsur itu antara lain: Pertama, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan simpati. Menurutnya, rasa simpati merupakan dasar dari rasa kemanusiaan (ren). Kedua, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan malu dan segan. Perasaan malu dan segan merupakan dasar dari kebenaran dan keadilan (yi). Ketiga, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan rendah hati dan kerelaan. Perasaan rendah hati dan kerelaan merupakan dasar dari kesusilaan atau kesopanan (li). Keempat, setiap manusia mampu memahami dan membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Memahami apa yang benar dan apa yang salah merupakan dasar kebijaksanaan atau kearifan (zhi). Apabila keempat unsur fundamental ini (ren, yi, li dan zhi) tidak ada dalam diri manusia, maka orang tersebut bukanlah manusia normal. Keempat unsur ini juga-lah yang membedakan manusia dari binatang karena binatang tidak memiliki keempat unsur ini.
Menurut Mensius, keempat unsur ini melekat dengan kuat dalam Hati (Hsin) manusia. Dengan kata lain, kebaikan dari kodrat manusia itu bersumber pada Hati. Orang yang bertindak menurut hatinya berarti bertindak menurut kodratnya. Tentang hal ini Mensius mengatakan, ”Kalau manusia dibiarkan bertindak mengikuti rasa hatinya yang terdalam, kodratnya akan berbuat yang baik. Inilah yang dimaksudkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Kalau dia menjadi jahat itu bukan salahnya keadaan kodrati yang dimilikinya. Rasa kasih kepada sesama (jen), rasa malu untuk berbuat jahat (yi), hormat dan menghargai sesama (li), dan tahu tahu baik dan buruk (zhi). Semuanya itu tidak dimasukkan diri kita dari luar, mereka itu ada bersama dalam kodrat manusia kita”.
Hati dalam pandangan Mensius mempunyai dua fungsi, yaitu hati yang peka dan hati yang menalar. Pertama, hati yang peka. Hati yang peka membuat manusia mempunyai rasa simpati dan belarasa terhadap penderitaan orang lain. Dan hati yang bersimpati bukanlah hak patten dari individu, tetapi juga menjadi landasan fundamental bagi pengembangan masyarakat. Artinya bahwa masyarakat yang beradab tidak hanya bergantung pada sistem politik dan hukum, tetapi juga pada kualitas hati manusia.
Kedua, hati yang menalar. Selain hati yang peka, hati juga mempunyai fungsi untuk menalar. Menalar yang dimaksudkan oleh Mensius tidaklah identik dengan berpikir secara matematis dan logis dengan menggunakan rumus-rumus tertentu, tetapi menalar dalam arti reflektif. Jadi, hati yang menalar berarti hati yang reflektif. Hati yang reflektif mampu mengantar orang untuk menyadari dan masuk ke dalam kodratnya sebagai manusia. Refleksi itu membuat manusia mampu memilah dan memilih yang baik dari yang jahat. Karena itu, kehancuran seseorang atau suatu masyarakat bisa terjadi karena kurangnya merefleksi diri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia yang mencintai sesamanya dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bersama merupakan tindakan yang didasarkan pada kodratnya yang baik. Dan kebaikan kodrat manusia itu bersumber pada Hati (Hsin). Hati adalah pusat kemanusiaan, yang memberi warna khusus pada manusia dan membedakannya dari binatang yang tak berakal budi. Dari hati lahirlah kesadaran diri sebagai manusia (jen), kehendak untuk bersikap patut (li), berlaku benar dan adil (yi), mengetahui yang baik dan yang buruk (zhi). Karena kodrat manusia itu baik, maka berbuat amal kepada sesama manusia merupakan sebuah keniscayaan pada manusia.
Mensius juga menyadari bahwa dalam kodrat manusia terdapat unsur lain yang dalam hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai unsur yang jahat atau yang baik, tetapi jika tidak dikontrol dengan baik dan benar dapat menimbulkan kejahatan. Unsur-unsur ini adalah nafsu naluriah untuk memiliki harta kekayaan berlimpah, nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk memiliki prestise dan prestasi, dan sebagainya. Menurut Mensius, unsur-unsur ini bukanlah kekhasan manusia karena hal ini juga terdapat pada binatang. Unsur-unsur ini menunjukkan aspek “kebinatangan” dalam kehidupan manusia, dan karenanya bila ditinjau secara ketat, tidak akan dipertimbangkan sebagai bagian dari sifat dasar manusia.
3. Kritik Hsun Tzu Terhadap Mensius
Hsun Tzu atau Xun Zi (298-238 SM) adalah salah seorang filosof yang menentang pendapat Mensius tentang kebaikan kodrat manusia. Menurutnya, kodrat manusia itu adalah jahat/buruk. Hsun Tzu mengatakan, “Kodrat manusia adalah buruk, apapun yang baik yang terdapat dalam dirinya merupakan akibat latihan yang diperolehnya. Manusia lahir dengan kesukaan akan keuntungan, jika ini diikuti maka mereka akan gemar bertengkar serta rakus, sama sekali tidak mengenal basa-basi dan tidak memperhatikan orang lain. Sejak lahir dipenuhi dengan sifat iri hati serta benci terhadap orang lain. Jika dikekang, mereka akan menjadi ganas dan keji, sama sekali tidak memiliki ketulusan dan itikad baik. Sejak lahir, mereka membawa serta kesenangan melalui mata dan telinga, kesukaan akan bunyi dan warna, jika ia mengikuti hal-hal tersebut maka ia menjadi resah dan tidak memperhatikan keadilan lagi”.
Pernyataan Hsun Tzu di atas secara jelas memperlihatkan bahwa kodrat manusia itu jahat. Supaya manusia menjadi baik harus dilatih dan diajar terus menerus oleh para guru yang bijaksana. Akan tetapi, kritik Hsun Tzu ini tidak bisa diterima. Jika jalan untuk mencapai manusia unggul/ideal diperoleh melalui latihan dan ajaran sang guru, lalu kepada siapa sang guru berguru dalam mencapai kesempurnaan hidupnya tersebut? Dari mana ia mendapat ajaran kebaikan itu? Yang jelas pengetahuan tentang kebaikan itu bersumber pada kebaikan kodrat manusia. Jika kodrat manusia itu jahat, maka sang guru tidak akan memperoleh kesempurnaan dalam hidupnya. Meskipun kodrat manusia itu baik, akan tetapi kodrat tersebut terus menerus diolah secara optimal agar mencapai manusia yang unggul. Karena kodrat yang baik itu bisa berubah menjadi jahat jika tidak diolah dengan baik dan benar.
4. Kebaikan Kodrat Manusia Versus Masalah Kejahatan
Dalam kehidupan kita setiap hari hampir pasti kita sering menyaksikan atau mengalami tindakan/perbuatan jahat yang dilakukan oleh sesama kita atau bahkan kita sendiri pernah menjadi aktor tindakan kejahatan tersebut. Misalnya saja: pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, teroris, penipuan, dan sederetan tindakan kejahatan lainnya. Pertanyaan mendasar untuk kita eksplorasi lebih dalam berdasarkan konsep Mensius tentang kebaikan kodrat manusia adalah, “Jika kodrat manusia itu baik, mengapa tindakan kejahatan itu terjadi dan dilakukan oleh manusia?”
Menurut Mensius, kejahatan dalam dunia bukan berasal dari kodrat manusia tetapi dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, kejahatan terjadi karena pengaruh lingkungan sosial. Setiap orang membawa kebaikan kodrati dalam hatinya, tetapi masyarakat yang jahat dapat memustahilkan seorang individu untuk hidup sesuai dengan kebaikan kodratinya. Dalam arti ini masyarakat sebenarnya turut bertanggungjawab atas tindakan jahat yang dilakukan oleh warganya. Kedua, kejahatan terjadi karena orang menyangkal atau menolak kebaikan kodrati yang ada dalam dirinya. Mereka yang memandang diri terlalu negatif dan tanpa berharga, tak akan peduli dengan kebaikan. Perbuatannya cenderung melawan kebaikan kodrati. Ketiga, kurang merefleksi diri. Semakin seseorang kurang merefleksi diri, semakin ia tidak mengenal kebaikan yang ada dalam dirinya. Karena ia jarang berefleksi, maka dirinya sendiri dan masyarakat akan hancur berantakan. Mensius mengatakan bahwa jika manusia membiarkan dirinya mengikuti kodratnya, maka manusia itu akan berbuat baik. Jika manusia berbuat jahat, maka hal itu bukanlah berasal dari kodratnya.
6. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Mensius, kodrat manusia itu adalah baik. Kebaikan kodrat manusia bersumber pada hati (Hsin). Orang yang bertindak berdasarkan kodratnya tidak akan melakukan tindakan sesat/jahat. Karena hati adalah sumber dari kodrat manusia, maka fokus pendidikan terletak pada mencerdaskan hati. Pelaksanaan pendidikan hendaknya membawa orang tidak hanya pada kecerdasan intelektual, tetapi lebih pada kecerdasan hati. Selain itu, Mensius yakin bahwa kejahatan terjadi bukan karena kodrat manusia itu jahat tetapi karena pengaruh lingkungan sosial, orang menyangkal atau menolak kebaikan kodrati yang ada dalam dirinya, dan kurangnya refleksi diri setiap manusia. Untuk itu, manusia hendaknya mengolah diri sebaik-baiknya agar kodratnya yang baik mampu dipancarkan kepada sesama kita. Pendidikan yang mencerdaskan hati mampu menghilangkan kejahatan yang disebabkan oleh tindakan manusiA.
Referensi
- Creel, H. G., Alam Pikiran Cina Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, Yogyakarta: Tiarawacana, 1990.
- Reksosusilo, Stanislaus, Sejarah Awal Filsafat Timur, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008.
- Yu-Lan, Fung, Sejarah Filsafat Cina, terj. John Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
- www.wikipwdia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar