Kamis, 21 Juli 2011

Pengakuan Internasional dan Sengketa Internasional


Latar Belakang
             Sebuah negara dianggap merdeka apabila telah memiliki atau mendapat pengakuan internasional oleh negara lain atau organisasi internasional yang telah diakui kekuatannya oleh dunia. Karena itu untuk membuka kembali wawasan mengenai pengakuan internasional itu sendiri maka resume ini akan mewakili utuk sekedar kembali mengingatkan apa itu pengauan internasional dan juga dalam halnya untuk mendapatkan pengakuan tersebut tentunya memiliki hal-hal yang perlu dan harus diusahakan terlebih dahulu, seperti halnya Indonesia yang harus memperjungkan pengakuan tersebut dengan seluruh tumpah darah Indonesia dan juga segenap jiwa raga pun dikerahkan untuk menjadikan Indonesia merdeka dan juga bebas dari penjajahan.
            Dalam menggapai kemerdekaan tersebut banyak negara yang terlibat persengketaan yang dapat menyebabkan kerugian yang begitu besar bagi rakyat negara tersebut. Oleh karena itulah banyaknya terjadi persengketaan dimana yang satu ingin melepaskan dan yang satu lagi ingin mempertahankan daerah yang selama ini menjadi tempatnya untuk mencari hidup. Persengketaan dpat terjadi karena ketidak puasan yang telah lama memuncak dan juga karena ketidak adilan yang didapat suatu bangsa atau kelompok dalam mereka menjalankan kehidupan dan kegiatannya sehari-hari.


A.   Pengakuan Internasional
            Pegakuan menurut beberapa ahli:
§  J.B. Moore: makna pengakuan sebagai jaminan bahwa negara baru tersebut diterima sebagai anggota masyarakat internasional,
§  Lauterpacht dan Chen: pemberian pengakuan merupakan suatu kewajiban hukum,
§  Ian Brownlie: pengakuan adalah optional dan politis,
§  D.J. Haris : suatu negara tetap negara, meskipun belum atau tidak diakui sama sekali,
§  Podesta Costa: tindakan pengakuan merupakan tindakan fakultatif
            Jadi dpat didefinisikan bahwa pengakuan merupakan tindakan politis suatu negara untuk mengakui negara baru sebagai subjek hukum internasional yang menimbulkan  akibat hukum tertentu. Yang dimana pengakuan memiliki fungsi memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara atau pemerintahan baru sebagai anggota masyarakat internasional.
            Pengakuan merupakan sesuatu unsure yang mutlak atau merupakan salah satu syarat yang harus ada apabila sebuah negara dikatakan ada dan berdiri sendiri serta bebas dari kepemimpinan bangsa lain. Dimana Dalam Konvensi Montevideo, tahun 1993, menyebutkan unsur-unsur berdirinya suatu negara antara lain berupa rakyat, wilayah yang permanen, penguasa yang berdaulat, kesanggupan berhubungan dengan negara-negara lainnya, dan pengakuan (deklaratif). Sedangkan pada pasal 3 Deklarasi Montevideo tahun 1993 menyatakan”keberadaan politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain.” Sedangkan menurut ahli kenegaraan Oppenheimer dan Lauterpacht, syarat berdirinya suatu negara haruslah memenuhi unsur-unsur tertentu, yaitu rakyat yang bersatu, daerah atau wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.
1.     Teori-teori tentang Pengakuan
            Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan (recognition).  Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu negara menurut hukum internasional?  Dalam hubungan itu ada beberapa teori :
-          Teori Deklaratoir
-          Teori Konstitutif
-          Teori Pemisah atau Jalan Tengah.
            Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.
            Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional.  Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu negara.  Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional.
            Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.
2.     Macam atau Jenis Pengakuan
            Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :
-          Pengakuan de Facto; dan
-          Pengakuan de Jure.
            Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu negara itu memang ada.  Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak.  Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya pihak yang diakui itu.  Sebab, bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya.
            Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan.  Oleh karena itu, biasanya suatu negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure.  Namun tidak selalu harus demikian.  Sebab bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure.  Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila :
q  Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya;
q  Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa (baru) itu;
q  Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum internasional.
3.     Cara Pemberian Pengakuan
            Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu :
a.      Secara tegas (expressed recognition); dan
b.      Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition).
            Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu pernyataan resmi.  Sedangkan pengakuan secara diam-diam atau tersirat maksudnya adalah bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui).  Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam adalah :
q  Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu);
q  Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara diam-diam itu);
q  Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu).
4.     Penarikan Kembali Pengakuan
            Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional (Catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan mengenai suksesi negara).
            Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara dapat ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan.
            Terhadap persoalan di atas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan:
(1)   Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu;
(2)   Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang telah diakui tersebut.
            Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu negara akan memberikan pengakuan kepada negara lain jikan negara yang disebut belakangan ini bersedia menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan.
            Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi pengakuan.
            Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam memberikan pengakuan (yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional.  Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif negara yang bersangkutan.
            Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran obejktif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional.  Secara keilmuan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada hukum.  Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, dikarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitanya dengan substansi pembahasan tentang negara sebagai subjek hukum internasional.
5.     Bentuk-bentuk Pengakuan
            Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara):
(1)   Pengakuan negara baru.  Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu negara (entah berupa pengakuan de facto maupun de jure).
(2)   Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa).  Hal ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangaat kontras perbedaannya.
(3)   Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa.  Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.
(4)   Pengakuan beligerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung.  Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll. 
(5)   Pengakuan sebagai bangsa.  Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internasional.  Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi.
(6)   Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”). Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo).  Padahal Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang.  Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa negara-negara penanda tangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanganinya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu.  Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimson’s Doctrine of Non-Recognition.
B.   Sengketa internasional
            Sengketa internasional sering didefenisikan sebagai sengketa senjata internsional beberapa ahli mendefinikan sengketa senjata internsional sebagai berikut:
q  Mansyur Efendi mendefinisikan perang atau sengketa bersenjata sebagai suatu keadaan legal yang memungkinkan dua atau lebih gerombolan manusia yang sederajat menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata.
q  Oppenheim berpendapat “war is contention betwen two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such condition of peace as the victor pleases.”[1]  perang merupakan pertikaian antara dua negara atau lebih melalui angkatan bersenjatanya, yang bertujuan saling mengalahkan dan menciptakan keadaan damai sesuai keinginan pemenangnya. Terdapat beberapa unsur yang sama dalam setiap perselisihan atau persengketaan yang akhirnya terwujud dalam bentuk yang paling ekstrim yaitu perang fisik, di mana masing-masing pihak berusaha untuk memaksakan kehendaknya.
            Dari pendapat diatas Pengertian sengketa bersenjata internasional dapat ditemukan antara lain pada Commentary Konvensi Jenewa 1949, sebagai berikut:
Any difference arising between two States and leading to the intervention of members of the armed forces is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of state of war, It makes no difference how long the conflict lasts, or how much slaughter takes place. Perang atau pertikaian bersenjata internasional adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau pihak Peserta Agung dengan yang bukan Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek.
            Untuk mencegah penggunaan kekerasan oleh negara dalam suatu persengketaan dengan negara lain perlu ditempuh suatu penyelesaian secara damai. Usaha ini mutlak diperlukan sebelum perkara itu mengarah pada suatu pelanggaran terhadap perdamaian. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan kewajiban kepada negara anggotanya bahkan kepada negara-negara lainnya yang bukan anggota PBB untuk menyelesaikan setiap persengketaan internasional secara damai sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan perdamaian keamanan internasional serta keadilan. Penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan melalui:
a.     Penyelesaian sengketa internasional secara politik
1). Negosiasi
            Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.
2). Mediasi dan jasa-jasa baik (Mediation and good offices)
            Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.
            Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.
3). Konsiliasi (Conciliation)
            Menurut the Institute of International Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.
            Menurut Shaw, laporan dari konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.
4). Penyelidikan (Inquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya.
            Tujuan dari penyelidikan, tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan. Pada tanggal 18 Desember 1967, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan pentingnya metode pencarian fakta (fact finding) yang tidak memihak sebagai cara penyelesaian damai dan meminta negara-negara anggota untuk lebih mengefektifkan metode-metode pencarian fakta. Serta meminta Sekertaris Jenderal untuk mempersiapkan suatu daftar para ahli yang jasanya dapat dimanfaatkan melalui perjanjian untuk pencarian fakta dalam hubungannya dengan suatu sengketa.
5). Penyelesaian di bawah naungan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
            Amanat yang disebutkan dalam Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu tujuannya adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan tersebut
sangat terkait erat dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai. Isi Piagam PBB tersebut di antaranya memberikan peran penting kepada International Court of Justice (ICJ) dan upaya penegakannya diserahkan pada Dewan Keamanan. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, DK dapat mengambil tindakan-tindakan yang terkait dengan penjagaan atas perdamaian. Sedangkan Bab VI, Dewan Keamanan juga diberikan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya yang terkait dengan penyelesaian sengketa.
b.      Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.
            Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
            Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui:
1.     Arbitrase Internasional
            Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
(1). Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(2). Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
            Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase.
            Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
            Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:
1. persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
2. metode pemilihan panel arbitrase;
3. waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
4. batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
            Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain:
1. Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919;
2. Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC;
3. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia;
4. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
2.     Pengadilan Internasional
            Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
            Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
            Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikanSecara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1. melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217)
            Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
            Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
            Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
3.     Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa
1.      Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ)
            Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak pembentukannya telah memainkan peranan penting dalam bidang hukum inetrnasional sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dunia. Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, saat ini Perserikatan Bangsa-bangsa juga sedang berupaya untuk menyelesaikan “hukum acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut akan berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara.
            Berbeda dengan Mahkamah Internasional, yurisdiksi (kewenangan hukum) Mahkamah Pidana Internasional ini, adalah di bidang hukum pidana internasional yang akan mengadili individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras), kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.
            Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak secara otomatis terikat dengan yurisdiksi Mahkamah ini, tetapi harus melalui pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Mahkamah Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263) 
2.      Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY)
            Melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827, tanggal 25 Mei 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, yang bertempat di Den Haag, Belanda. Tugas Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia. Semenjak Mahkamah ini dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran berat dan 20 diantaranya telah ditahan.
            Pada tanggal 27 Mei 1999, tuduhan juga dikeluarkan terhadap pemimpin-pemimpin terkenal, seperti Slobodan Milosevic (Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia), yang dituduh telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan melanggar hukum perang. (Mauna, 2003; 264)
3.      Mahkamah Kriminal untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda)
            Mahkamah ini bertempat di Arusha, Tanzania dan didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas Mahkamah ini adalah untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan pembunuhan missal sekitar 800.000 orang Rwanda, terutama dari suku Tutsi. Mahkamah mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan Walikota Taba, dan juga Clement Kayishema dan Obed Ruzindana yang telah dituduh melakukan pemusnahan ras (genosida) . Mahkamah mengungkap bahwa bahwa pembunuhan massal tersebut mempunyai tujuan khusus, yaitu pemusnahan orang-orang Tutsi, sebagai sebuah kelompok suku, pada tahun 1994.
            Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum selesai, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyiapkan pembentukan mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para penjahat perang di zaman pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975 sampai dengan 1979 yang telah membunuh sekitar 1.700.000 orang.
            Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengeluarkan resolusi untuk membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang sebagaimana diketahui memiliki sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265)
Referensi
-          Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung
-          Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty.
-          Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra Abardin
-          Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung
-          Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju, Bandung



[1] Oppenheim, L. International Law, Low of Peace. MacDonald&Evan Ltd, London, 1973, hal.17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar