Tulisan ini merupakan summary dari Studi Kasus Regionalisme dan Globalisme yang merupakan
tulisan dari Kaoru Aoyama yang berjudul Modernisation,
Gender and Globalisation : Situating the Migrations of Thai Sexworkers yang
merupakan bab 1 dalam bukunya Thai Migrant
Sex Workes : from Modernization to Globalization. Buku ini diterbitkan oleh
Palgrave Macmillan pada tahun 2009.
Kaoru Aoyama menggunakan pendekatan empiris untuk
menganalisa dinamika modernisasi, gender dan globalisasi terhadap kekhususan
dan universalitas subjek migran pekerja seks di Thailand. Di awal pembahasan
Kaoru Aoyama menjelaskan perdebatan tentang prostitusi yang telah membagi
feminis ke dalam dua kubu dalam perkembangan terakhir. Dilanjutkan dengan jalan
tengah antara dua kubu feminis, perbudakan seksual, pengenalan konsep social death serta menjelaskan empat isu
substantif terhadap dekatnya industri seks global. Aoyama menutup tulisannya
dengan merumuskan simpulan atas penelitiannya tersebut.
Di awal pembahasan, Aoyama memperkenalkan perdebatan
tentang prostitusi yang telah membagi feminis ke dalam dua kubu dalam
perkembangan terakhir. Satu sisi berpendapat bahwa prostitusi perempuan
dianggap sebagai bentuk perbudakan; bahwa perempuan terlibat sebagai hasil dari subordinasi
patriarkal mengikat dan eksploitasi kapitalistik yang menjauhkan mereka dari
penghasil pendapatan lainnya. Sisi lain berpendapat bahwa prostitusi harus
diperlakukan sebagai suatu bentuk pekerjaan yang sah; sexwork dianggap sebagai
pilihan rasional. Dalam perdebatannya, muncullah peningkatan argumen untuk
sebuah jalan tengah yang menekankan pada sifat kontingen prostitusi. Namun
dalam perumusan jalan tengah juga tidak didapat sebuah kesimpulan kompleks yang
disebabkan tidak adanya pertimbangan yang matang dari interaksi kompleks dari
semua yang dapat dicapai dalam perdebatan. Oleh sebab itu, Aoyama mengambil
jalan tengah dengan menawarkan penelitian ke arah pandangan kontinjensi melalui
pengalaman responden sesuai keadaan mansing- masing. Kondisi kerja dan derajat
akses terhadap sumber daya sosial, terutama untuk jaringan pribadi maupun
sosial adalah faktor yang paling penting bagi responden dalam mendefinisikan
bagaimana pendefinisian prostitusi.
Aoyama melanjutkan tulisannya dengan munculnya
konsep ‘jalan tengah’ terhadap dua kubu
feminis dalam pandangan prostitusi. Perdebatan dua kubu feminis lebih
terhadap konsep prostitusi telah memiliki akar dalam konteks Thailand-Jepang
secara teoritis maupun tingkat empiris, ekonomi dan politik perdagangan seks sudah
dikenal secara global. Kubu anti-prostitusi berpendapat bahwa prostitusi adalah
subordinasi seksual utama wanita di bawah patriarki, beberapa anggota
menggabungkan ini dengan fokus yang sama atau lebih besar pada eksploitasi
ekonomi di bawah kapitalisme. Wanita memilih jalan prostitusi karena tidak
adanya pilihan dari kehidupan lain bagi mereka untuk mendukung diri mereka di
bawah dominasi ekonomi dan seksual laki-laki. Oleh karena itu, prostitusi
perempuan terhadap laki laki secara struktural dipaksa dan dianggap sebagai
bentuk perbudakan seksual. Perlu digarisbawahi bahwa pertimbangan nilai yang
menawarkan tindakan seksual kepada orang lain untuk kompensasi moneter tidak
lain adalah penundukan diri kepada pihak lain. Tindakan seksual sangat
berhubungan erat dengan martabat manusia dan uang.
Kubu kedua berpendapat bahwa prostitusi dapat
dimaknai sebagai keterampilan hidup atau bahkan sarana untuk pemberdayaan,
terutama bagi mereka yang tidak memiliki cara lain untuk produktif dalam
hidupnya yakni hidup dari menjual tenaga seksual. Jadi pilihan dari perempuan
untuk terlibat dalam prostitusi harus dianggap sebagai keputusan yang rasional
dan praktis, bukan sebagai kesadaran palsu. Pelacuran dalam situasi ini harus diperlakukan
sebagai suatu bentuk pekerjaan, yang berbeda dari perbudakan seksual di mana
perempuan kehilangan segala kemampuan untuk bertindak atas kehendak mereka
sendiri.
Perdebatan prostitusi memuncak di Jepang selama
tahun 1990-an. Diawali ketika publikasi tulisan kontroversial pada tahun 1993
tentang Sexwork yang
diedit oleh Delacoste dan Alexander. Dilema kalangan feminis Jepang juga
ditampilkan dalam teks ekspositori oleh Yukiko Tsunoda, pengacara feminis
terkemuka dalam membela perempuan didakwa sesuai dengan UU Pencegahan
Pelacuran. Dia menegaskan bahwa hak asasi manusia mereka harus dijamin secara
penuh, untuk mengakui tindakan prostitusi sebagai pekerjaan adalah masalah
lain. Pada waktu yang sama, Daizaburo Hashizume, seorang sosiolog agama kontemporer
dan pendidikan, memicu kontroversi dengan menyatakan bahwa peserta diskusi
terhadap prostitusi mengkritik eksploitasi dan subordinasi perempuan tidak
berhasil dalam membangun logika apapun untuk menolak prostitusi.
Argumennya muncul sebagai akibat dari bab berjudul "What’s Wrong with Prostitution?" dalam sebuah antologi
pertarungan feminis mengenai komersialisasi seks. Hal ini menciptakan
perhubungan untuk publikasi tanggapan kritis pekerja seks untuk argumen
perbudakan oleh non pekerja seks, dengan antologi I DECIDE to Sell or Not (2000) disunting oleh Goichi
Matsuzawa. Dalam buku ini, berbagai opini disajikan spesifik, sangat kritis,
analisis argumen kontemporer oleh nom pekerja seks, menunjukkan bahwa telah
dikembangkan melalui pihak ketiga pertimbangan nilai dengan tujuan politik dan
moral menghapuskan prostitusi sebagai presuposisi. Setelah buku ini,
kesenjangan besar antara persepsi menjadi jelas antara pekerja dan non pekerja
tentang sexwork di Jepang dan
tanggung jawab ditempatkan pada setiap tesis baru untuk membenarkan setiap
upaya untuk membujuk pembaca tanpa dasar bukti empiris. Dan terakhir dalam Research
on Perceptions of Women Working in Erotic Entertainment (2005), sebuah film
dokumenter penelitian kehidupan sosial pekerja seks.
Melalui tren tersebut, perdebatan prostitusi
kalangan feminis berkembang menjadi ekstrim serta menuju kompromi antara kubu
anti-prostitusi dan pro-sexwork. Terutama,
argumen untuk sexwork menyerukan
dekriminalisasi prostitusi, berbeda dari status pidana dalam yurisdiksi atau
legalisasi yang membuat pelacuran dan pelacur yang dikendalikan negara.
Dekriminalisasi prostitus harus diakui sebagai pekerjaan karena rentan terhadap
eksploitasi sehingga diberikan dasar untuk perlindungan hak asasi mereka dalam
praktek ekonomi dan hukum. Kedua kubu masing- masing mendapat manfaat dari
kejelasan analitis yang lebih besar yang diberikan oleh perbedaan berikut yakni
antara pelaksanaan kekuasaan oleh kekuatan eksternal dari sistem sosial dan
ekonomi di mana para agen yang terlibat tidak memiliki kontrol dan kemampuan
internal agen untuk bertindak di dalam
dan melawan sistem.
Dalam perdebatan feminis, Aoyama mencari jalan
tengah di mana dengan mengenali kedua kekuatan eksternal dan kemampuan internal
dari perempuan sebagai agen yang terlibat dalam prostitusi. Argumen persuasif
yang menyatakan bahwa apa prostitusi dan bagaimana hal itu harus diakui
tergantung pada konteksnya masing- masing. Aoyama menambah bukti dengan
memperkuat pengakuan terhadap kontingensi prostitusi. Argumen Aoyama untuk
'jalan tengah' dalam kasus ini kontras dengan argumen Julia O'Connell Davidson,
salah satu pendukung 'jalan tengah' yang meneliti perdagangan Iseks domestik
Inggris dan global.
Aoyama melanjutkan dengan terkait perbudakan seks
terhadap pekerja seks. Faktor-faktor paling signifikan adalah kondisi kerja dan
akses ke sosial sumber daya, terutama jaringan mereka dalam berhubunga. Dalam konteks
ini, setiap wanita tampak dan merasa
berbeda tergantung pada sudut pandang dirinya pada saat artikulasi pengalaman
tertentu. Umumnya keras pengalaman, lebih detail pengalaman responden semakin
lama jarak temporal untuk pengalaman, mereka diartikulasikan sebagai sesuatu
yang mirip dengan perbudakan. Di balik cerita-cerita tersebut ada banyak
pengalaman traumatis serupa yang tidak bertahan untuk berbicara.
Konsep social
death merupakan topik pembahsan Aoyama selanjutnya. Kemampuan pekerja seks
dalam memiliki kontrol atas situasinya akan berkurang, persepsi subjektif
tentang 'pekerjaan' secara bertahap menjadi negatif, dan beban emosi negatif
terhadap orang lain serta dirinya sendiri menjadi lebih berat karena bergerak
dari kiri ke kanan sepanjang sumbu dari 'kondisi kerja dan akses ke sumber daya
sosial' terhadap tingkat terendah. Pada akhir negatif dari kontinum, ada
'kehilangan jaringan' yang akan
meningkatkan ancaman terhadap kehidupan dan membuat agen merasa bahwa
dia tidak dapat melarikan diri dari eksploitasi dan kekerasan dan dengan
demikian berada dalam situasi perbudakan maka menjadi salah satu dari social death baik dalam persepsi nya
diri maupun terhadap hubungannya dengan orang lain. Social death pada akhirnya berdampak negatif dan identik dengan
perbudakan.
Social
death merupakan salah satu konsep utama yang digunakan
Julia O'Connell Davidson dalam Prostitution,
Power and Freedom (1998), di mana Julia meneliti makna dan praktek-praktek
dominasi dalam pelacuran meliputi wilayah politik, budaya, moralitas, ekonomi
dan yurisdiksi berdasarkan pada pengamatannya terhadap sejumlah varietas
transaksi global. O'Connell Davidson
mencari jalan tengah dalam perdebatan feminis dalam prostitusi berteori serta
bertujuan untuk membuat perubahan politik untuk kepentingan pekerja seks. Dia
berpendapat bahwa prostitusi lebih
dikonseptualisasikan sebagai suatu kontrak daripada sebagai pertukaran uang
untuk layanan seksual di mana klien mengambil alih kontrol tubuh pekerja seks.
O'Connell Davidson membedakan prostitusi sebagai institusi yang unik
diorganisasikan melalui sebuah kompleks yang berbeda dari hubungan kekuasaan.
Dengan cara yang sama, Julia tidak setuju dengan feminis radikal lainnya
terutama Susan Brownmiller, Catherine Mac Kinnon, Andrea Dworkin dan Kathleen
Barry, yang penuh semangat berpendapat bahwa setiap dan segala bentuk
prostitusi heteroseksual melalui pihak mendapatkan akses seksual kepada tubuh
perempuan yang merupakan dominasi laki-laki atas perempuan dan yang mirip
dengan hubungan tuan-budak. Argumen seperti mengabaikan sifat rumit dan kondisi
transaksi prostitusi yang menghasilkan beraneka ragam pengalaman subjektif dari
pelacur.
Social
death terjadi dalam gradasi memburuknya kondisi dan
kekurangan sumber daya sosial. Ini adalah ketika hal ini terjadi bahwa
sexworker beberapa langkah ke dalam situasi perbudakan. Untuk membuat kondisi
yang secara bertahap mengarah pada situasi perbudakan yang lebih mudah
terlihat, sangat penting untuk membatasi penggunaan konsep social death untuk situasi dan persepsi yang dipisahkan dari konsep
yang lebih umum dalam perspektif subjektif perempuan.
Aoyama melanjutkan terkait beragam pengalaman dari
pekerja seks. Aoyama pada
satu sisi berada pada kelompok yang mengatakan bahwa yang menjadi fokus adalah
pengalaman dan kebutuhan para wanita itu. Sementara itu dia tidak setuju dengan
kelompok lain yang mengatakan ‘melihat pelacur sebagai korban dari seksualitas
pria.’ Dia juga tidak memakai konsep ‘bebas memilih’
nya O’Neill karena ‘bebas
memilih’ menunjukkan kemampuan untuk memilih pilihan yang bebeda.
Narasi
dari wanita yang ‘memilih’ untuk bekerja di dalam industri seks memperlihatkan gambaran yang kompleks mengenai seksualitas,
identitas serta pengalaman hidup dari para wanita yang melewati ruang antar
gadis baik dan gadis nakal, diantara konformitas gender dan identitas seksual
dalam sebuah masyarakat konsumen yg berputar pada kekuatan, hak-hak, kebutuhan
dan aspirasi individual. Aoyama lebih
memilih kata ‘pekerja seks’ daripada ‘budak seks’ karena kebanyakan berdasarkan
dua penilaian; situasional dan futurisktik. Situasional, Aoyama menghormati responden-respondennya yang memiliki
persepsi bahwa prostitusi ialah pekerjaan. Futuristik berhubungan dengan
harapan bahwa mereka yang tidak berpartisipasi dalam memisahkan antara yang bekerja di dalam industri seks dari mereka yang tidak; mengubah
persepsi dengan
mengatakan menyediakan layanan seks adalah salah satu bentuk pekerjaan dan
tidak mempengaruhi martabat.
Sementara penilaian moral
tentang perdagangan layanan seks untuk uang adalah pelanggaran, penilaian ini
membuat pekerja seks terlihat buruk harga dirinya. Mereka juga dilabeli ‘menyimpang.’ Untuk melawan pelabelan itu,
Aoyama menggunakan
istilah pekerja seks dengan maksud bahwa pekerja seks bisa meningkatkan situasi
mereka sendiri jika mereka bekerja dan hak mereka diakui sah dalam masyarakat.
Berdasarkan
akumulasi pengetahuan yang terletak dalam segmen tertentu dari industri seks
lokal, didapat empat isu substantif mengapa mereka dekat dengan jantung dari industri seks global
kontemporer. Isu- isu substantif tersebut yakni : 1) dampak modernisasi
terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional; 2) Gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan tanggung jawab
selaras dengan makna sekualitas wanita; 3) globalisasi budaya
dan ekonomi dan 4) globalisasi migrasi.
Pertama, mengenai dampak
modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah rekayasa sosial nasional. Bagi masyarakat pertanian yang miskin di pedesaan, termasuk
sebagian besar keluarga responden Aoyama, transformasi industri mengakibatkan
perampasan sumber daya sosial yg melekat pada produksi pertanian, terutama
sistem hubungan komunal yg berpusat pada wanita dan pewarisan properti di utara
dan timur laut. Praktek-praktek politik dan ekonomi dari kebijakan pembangunan
Thailand yang tidak terpisahkan dengan tekanan dari berbagai lembaga eksternal;
World Bank, IMF, PBB, negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Tekanan
datang pada saat yang sama datang dari dalam, yaitu dari masyarakat yg berada
di starata sosial yang tinggi ke yang lebih rendah dalam bangsa Thailand,
berupa rekayasa sosial. Sebuah bagian integral dari tekanan ini adalah
bercita-cita menuju akses ke kekayaan sosial dan material, tidak hanya barang
dan uang tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan pertukaran budaya bagi bangsa
secara keseluruhan. Namun, ada kesenjangan antara apa yang dianggap perencanaan
untuk kemajuan bangsa dan apa yang dibutuhkan bagi mereka yang dirampas oleh
kondisi yang dibawa oleh pembangunan ekonomi itu sendiri. Kesenjangan ini ada
di bagian utama kesenjangan sosial. Perencanan tidak memadai membahas masalah
kehidupan nyata kelompok terget mereka, orang- orang hidup dalam kemiskinan. Rencana pembangunan
tidak bisa memasukan kebutuhan yang diperoleh dari pengalaman, pikiran,
perasaan dari orang-orang sampai di rencana, awal pembangunan kedelapan untuk
1997-2001 . Gadis-gadis dan wanita
muda yang berasal dari keluarga petani pedesaan yang terletak dalam
posisi sosial yang rendah membayar harga yang lebih
tinggi untuk bertahan hidup dalam kesenjangan. Rekayasa
sosial memiliki dampak yang besar, terutama pada kehidupan
generasi responden Aoyama yang lahir antara tahun 1960- an dan awal
1980-an.
Kedua,
terkait gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan
tanggung jawab selaras dengan makna sekualitas wanita.
Harapan sosial gender,
kewajiban dan tanggung jawab, sama dan sebangun dengan makna seksualitas
perempuan. Dimulai dengan gender, Aoyama fokus pada peran pusat perempuan dan peran praktek dalam kegiatan perekenomian di Thailand. Aoyama setuju bahwa perempuan Thailand merupakan tenaga
kerja yang tangguh dlm perekonomian Thailand secara formil dan
informal dan hasilnya mereka punya kehadiran yang kuat, pengaruh dan kekuatan aktual dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan professional dan administratif. Tapi
evalusi Aoyama untuk kesetaraan gender secara keseluruhan di
Thailand bertentangan dengan PBB sampai tahun 1990an, struktur sosio-ekonomi bangsa
ini terjalin dengan bentuk pelengkap yang tidak setara diferensiasi gender budaya daripada egaliter
dan
hal ini telah membantu
mempertahankan kemampuan khusus perenpuan dalam budaya. Aoyama menghubungkan diferensiasi sosial dengan sebagian besar kepercayaan Budha tertentu dan dengan garis keturuanan yang berpusat pada wanita. Kepercayaan dan norma-
norma tradisional
keturunan perempuan, terutama berakar pada budaya pertanian pedesaan, gender
dan link Thailand konsep sigender bagi seksulitas melalui peran ibu, orang
tua dan anak.
Ketiga,
terkait globalisasi
budaya dan ekonomi. Aoyama berpendapat bahwa ‘the unspeakability’ dari seksualitas
wanita adalah faktor yanga mencolok dalam bentrokan antara ekspresi budaya yang
spesifik dan budaya globalo yg dikomersialisaasikan dalam masyarakat modern
Thai. Argumen ini mengubungkan seksualitas terhadap hubungan kekuasaan terkait
isu yang tampaknya seksualitas pribadi ke kondisi ekonomi nasional thai selama
periode pertumbuhan intensif dari perdagangan bilateral dengan jepang antara
akhir 1980an dan awal 1990an. Ini lalu menyediakan latar belakang dari beberapa
responden penulis yg beremigrasi ke Jepang menyebabkan perbedaan di pengalaman
berdasarkan waktu, kondidsi bekerja dan ketersedian sumberdaya.
Keempat,
Migrasi perempuan muda dari daerah pedesaan di utara dan timur
laut Thailand, tidak hanya berhenti di Bangkok. Pada awal 1980-an,
migrasi dari Thailand ke Jepang mulai meningkat, yang pertama
sebagai migrasi 'hukum', seperti Thailand Migrasi Act
1979 dan Undang- Undang Ketenagakerjaan dan
Rekrutmen 1983 dimulai perekrutan yang dikendalikan dari luar
negeri. Rencana Pembangunan Sosial tahun 1977-1981 menekankan pengembangan
infrastruktur untuk distribusi sumber daya dan untuk mempromosikan
penyesuaian struktural ekonomi. Tetapi
pada tingkat ekonomi bilateral maupun politik hubungan, defisit
perdagangan Thailand ke Jepang, tumbuh sejak awal negara mulai
merencanaan pembangunan nasional, sudah sebesar 71,5% yang tidak bertahan dari total
defisit perdagangan nasional defisit pada tahun
1977. Pertemuan resmi antara Thailand dan Jepang diselenggarakan
di tengah-tengah ketidakseimbangan ekonomi dan delegasi Thailand
bahwa Jepang diminta bekerja sama dalam pemasaran dan promosi ekspor,
khususnya dengan industri kecil dan menengah di Thailand. Saat itu
di tahun ini, 1979, bahwa perusahaan multinasional berbasis
Jepang memulai pelatihan karyawan Thailand di Jepang. Perekrutan tenaga
kerja ilegal di Thailand, termasuk perempuan untuk prostitusi, tampaknya
telah menjadi sistematis dan diperbesar secara
bertahap dengan jeda waktu hanya beberapa tahun. Beberapa responden
Aoyama adalah di antara pencari kerja 'ilegal' dalam
periode ini yang bermigrasi melalui dilaporkan sebuah terorganisir rute perdagangan dari
Thailand. Namun demikian, itu tidak sampai tahun 1989 bahwa
jumlah migran Thailand, khususnya perempuan di Jepang melihat
peningkatan yang fenomenal. Pada tahun 1994, perempuan Thailand yang
bermigrasi ke Jepang terjadi peningkatan dengan skala besar. Namun, beberapanya
kembali lagi ke Thailand. Aoyama berpendapat bahwa bersifat umum yang dicatat antara migrasi mereka
yang berbeda budaya, politik dan ekonomi kondisi, termasuk mantan pekerja seks
atau perempuan Thailand di Jepang. Howard Becker memakai biculture sebagai simbol gagasan adaptasi.
Aoyama
menutup tulisannya dengan merumuskan simpulan. Perdebatan tentang prostitusi
yang telah membagi feminis ke dalam dua kubu dalam perkembangan terakhir. Satu
sisi berpendapat bahwa prostitusi perempuan dianggap sebagai bentuk perbudakan;
bahwa perempuan terlibat sebagai hasil
dari subordinasi patriarkal mengikat dan eksploitasi kapitalistik yang
menjauhkan mereka dari penghasil pendapatan lainnya. Sisi lain berpendapat
bahwa prostitusi harus diperlakukan sebagai suatu bentuk pekerjaan yang sah; sexwork
dianggap sebagai pilihan rasional. Dalam perdebatannya, muncullah
peningkatan argumen untuk sebuah jalan tengah yang menekankan pada sifat
kontingen prostitusi. Namun dalam perumusan jalan tengah juga tidak didapat
sebuah kesimpulan kompleks yang disebabkan tidak adanya pertimbangan yang
matang dari interaksi kompleks dari semua yang dapat dicapai dalam perdebatan. konsep
muncul Social death dalam gradasi memburuknya kondisi dan
kekurangan sumber daya sosial. Ini adalah ketika hal ini terjadi bahwa sexworker
beberapa langkah ke dalam situasi perbudakan. Untuk membuat kondisi yang secara
bertahap mengarah pada situasi perbudakan yang lebih mudah terlihat, sangat
penting untuk membatasi penggunaan konsep social
death untuk situasi dan persepsi yang dipisahkan dari konsep yang lebih
umum dalam perspektif subjektif perempuan. Berdasarkan akumulasi pengetahuan
yang terletak dalam segmen tertentu dari industri seks lokal, didapat empat isu
substantif mengapa mereka dekat dengan
jantung dari industri seks global kontemporer. Isu- isu substantif
tersebut yakni : 1) dampak modernisasi terhadap kehidupan individu di bawah
rekayasa sosial nasional; 2) Gender pengertian dari harapan sosial, kewajiban dan
tanggung jawab selaras dengan makna sekualitas wanita;
3) globalisasi budaya dan ekonomi dan 4) globalisasi migrasi. Empat isu
tersebut diorganisir pada responden Aoyama dari sisi bagaimana tahapan
karirnya, bagaimana kehidupannya dan apa efek yang timbul dalam faktor sosial
sekitar mereka. Dengan cara ini akan memudahkan dalam membentuk pemahaman
alasan hermeneutik dalam hasil studi ini.
***********