Selasa, 08 Mei 2012

Non-Western International Relation Theory Perspective on and Beyond Asia


Tulisan ini merupakan suatu critical review dari buku Non-Westren International Relation Theory Perspective on and Beyond Asia Edited by Amitav Acharya dan Barry Buzan. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2010 oleh Routledge, New York dengan ISBN 0-203-86143-4. Buku ini terdiri dari sembilan bagian isi yang terdiri dari jurnal-jurnal yang sebagian besar penulisnya merupakan akademisi-akademisi Asia seperti; Navnita C. Behera Professor dari Departemen Pendidikan Politik Universitas Delhi, India. Selain itu juga ada Chaesung Chun yang termasuk dalam Asosiasi Profesor di Departemen Hubungan Internasional Universitas Nasional Seoul, Korea Selatan serta akademisi-akademisi lainnya. Saya akan melakukan analisa terhadap buku Non-Westren International Relation Theory Perspective on and Beyond Asia dimulai dari bagian satu hingga bagian sembilan. Berikut ini adalah penjabarannya.

Why there’s No Non-Western International Relation Theory an Introduction yang ditulis oleh Amitav Acharya dan Barry Buzan, secara keseluruhan menjelaskan mengenai apa sebenarnya penyebab dari tidak adanya kemunculan teori-teori Hubungan Internasional di kawasan Asia. Acharya dan Buzan menyertakan fokus penilaian terhadap kawasan Asia pada bagian pertama dari isi buku ini, yaitu menurut mereka Asia merupakan tempat tumbuhnya konsentrasi baru dalam perkembangan teori hubungan internasional kontemporer. Selain itu mereka juga menimbang dari perspektif sejarah yang panjang mengenai hubungan internasional yang jauh berbeda dengan barat. Acharya dan Buzan juga mejabarkan mengenai tujuan dari penulisan buku adalah untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran non-barat kepada masyarakat barat dan sebagai tantangan bagi akademisi non-barat untuk menghentikan dominasi dari teori hubungan internasional barat.

Menurut saya, dibagian pertama dari isi buku ini telah menjawab pertanyaan mengenai apa tujuan dari penulis dalam menulis buku ini serta fokus dari penulisan. Selanjutnya, bagaimana cara penyampaian penulis?. Menurut pendapat saya, cara penulis dalam menyampaikan maksud dari tulisannya secara keseluruhan mudah dimengerti dan menggunakan bahasa yang formal serta bentuk penulisan yang formal pula. Target pembacanya adalah para akademisi-akademisi hubungan internasional, baik yang berada dibarat maupun non-barat.

Pada bagian kedua dari isi buku yaitu mengenai Why is There No Chinese International Relation Theory? yang ditulis oleh Yaqinq Qin, secara keseluruhan berisi tentang penjabaran sejarah China dalam perkembangan disiplin hubungan internasional. Yaqinq Qin membagi tiga tahapan dalam proses perkembangan teori hubungan internasional di China, yaitu tahap pra-teori, tahap pembelajaran dan yang terakhir adalah tahap penciptaan teori. (1) tahap pra-teori adalah tahap dimana belum adanya kesadaran dari para akademisi China untuk menyatukan pemikiran mereka menjadi suatu paradigma teori yang sistematis. Tetapi, sekitar tahun 1953-1989 China mulai menunjukkan perkembangan ketika didirikannya Departemen Studi Diplomatik di Universitas Renmin. (2) tahap pembelajaran dimana China menunjukkan kesadaran dalam peningkatan dalam jumlah akademisi serta analisis-analisis kritis dalam teori-teori sebelumnya. (3) tahap penciptaan teori, meskipun begitu China masih saja belum memiliki pondasi yang matang serta teori-teori baru yang diciptakan masih mengadopsi konsep barat.

Selain pembagian tahap-tahap perkembangan teori hubungan internasional di China, Yaqinq Qin juga menjabarkan faktor-faktor yang menyebabkan kenapa tidak adanya teori hubungan internasional di China kedalam tiga faktor yaitu; (1) kurangnya kesadaran China terhadap konsep Internasionalisme karena sistem yang berlaku di China selama 2000 tahun menekankan bahwa China merupakan pusat dari pemerintahan dan keberadaan Negara lain bukanlah sesuatu yang penting. (2) adanya dominasi teori hubungan internasional barat di China yang menyebabkan sekolah hubungan internasional di China sangat kental dengan pemikiran-pemikiran barat. (3) terdapat perbedaan pemikiran antara konsep yang dianut China yaitu konfusius dengan pemikiran barat.

Menurut pendapat saya, secara keseluruhan tulisan dari Yaqinq Qin telah dijabarkan dengan baik dan disertai dengan penjelasan yang memperkuat argumen-argumennya. Tetapi Yaqinq Qin tidak menyertakan karya-karya tulis berupa jurnal atau buku China yang berkaitan tentang perkembangan studi hubungan internasional di China. Selain itu, karena tulisan ini diterbitkan pada tahun 2010 dimana China teah menjadi negara raksasa di dunia khususnya di kawasan Asia harusnya menambah deretan dari poin-poin potensi munculnya teori-teori hubungan internasional di China.

Pada bagian ketiga yaitu mengenai Why are There No Non-Western Theories of International Relations? The Case of Japan yang ditulis oleh Takashi Inoguchi. Inoguichi dalam tulisannya menjawab pertanyaan tentang adanya teori hubungan internasional dari Jepang  yaitu flying geece pattern”. Selain itu Inoguichi juga memuji teori proto-kontruktivis dalam hal pembentukan identitas Jepang. Alasannya, karena Jepang adalah negara hegemoni regional yang gagal di masa lalu serta ditambah dengan lemahnya hipotesis positivitik dalam kajian sosial, dan dalam mebangun teori HI di Jepang cenderung menggambarkan kerja yang menuju keputusasaan. Dalam paparannya, Takashi Inoguchi membagi tiga bagian pembahasan dengan kurun waktu tertentu yakni  (1) perkembangan studi HI di Jepang tahun 1868– 2005, (2) fokus pada 3 penulis (Nishida Kitaro, Tabata Shigejiro and Hirano Yoshitaro) sebelum tahun 1945 dan (3) dasar penelitian terdahulu pengamatan empiris dalam studi hubungan internasional di Jepang termasuk pendekatan, orientasi dan kontribusi dari ketiga tokoh yang disebut sebelumnya.

Inoguichi memadatkan pikiran utamanya terhadap perkembangan teori hubungan interasional di Jepang kedalam enam poin, yaitu : (1) para akademisi Jepan telah mengembangkan tradisi metodologi yang berbeda dengan metodologi barat dimana studi hubungan internasional Jepang mengakomodasi tradisi yang berbeda disetiap disiplin seperti; diplomasi, hukum internasional dan lain-lain. (2) para akademisi hubungan internasional Jepang pada umunya adalah golongan yang tidak pernah dijajah oleh barat. (3) para akademisi hubungan internasional  Jepang mengoperasikan metodologi yang berbeda dengan lebih fokus pada legasi historis dan budaya. (4) adanya insulasi dimana Jepang menyerap suatu peradaban yang tinggi mulai dari tulisan, agama, senjata, institusi dengan memilih dan menyaring. (5) terjadi sentralisasi yang cenderung berubah dan ditinggalkan untuk sistem lainnya. (6) adanya perbedaan karakater yang terfokus pada angkutan dan pasar.

Menurut pendapat saya, penjabaran oleh Takashi Inoguichi sangat baik. Inoguichi menyertakan perspektif sejarah Jepang serta tokoh-tokoh studi hubungan internasional di Jepang. Tetapi, menurut saya Inoguichi lebih melihat pada perspektif Jepang pada masa lalu daripada Jepang dengan keadaan yang baru pada saat ini. Ada kemungkinan bahwa bukan hanya teori “flying geece pattern” saja yang dilahirkan Jepang, mengingat pesatnya perkembangan para sarjana-sarjana Jepang pada saat ini.

Pada bagian keempat mengenai Why is There No Non-Western International Relations Theory? Reflections on and from Korea yang ditulis oleh Chaesung Chun. Pada awal tulisannya, Chun menyatakan bahwa para sarjana Korea memiliki pemikiran tersendiri dalam menganalisa politik regional karena nilai akan moral telah tertanam kuat dalam diri mereka. Tetapi, mereka kurang memahami konsep ilmu sosial positif sehingga mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem internasional modern. Chun juga menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan politik di Korea, yaitu; (1) adanya pengaruh dari Amerika Serikat yang semula sangat besar dan mulai melemah dan berkurang. (2) keinginan para sarjana Korea untuk mengembangkan teori hubungan internasional yang masih sangat minim. (3) bertambahnya institusi-institusi penelitian, asosiasi akademis dan kelompok-kelompok pelajar yang aktif mempublikasikan tulisan mengenai kritikan-kritikan terhadap tema-tema hubungan internasional.

Chun juga menyertakan faktor-faktor ketertinggalan teori hubungan internasional di Korea, yaitu; tertinggalnya prestasi akademik dalam teori-teori, adanya pengadopsian secara langsung terhadap teori-teori barat sebagai produk jadi, teori hubungan internasional barat secara langsung atau tidak langsung telah meminggirkan posisi dan sejarah dari negara-negara dunia ketiga, kompleksnya realitas hubungan internasional di kawasan Asia dan tidak semua teori barat dapat diterapkan secara langsung di Korea.

Secara umum, Chaesung Chun telah menguraikan dengan baik perkembangan hubungan internasional di Korea. Dimulai dari perspektif sejarah Korea yang telah dijajah oleh China dan Jepang, setelah itu secara tiba-tiba Korea dihadapkan dengan posisi sistem internasional yang sepenuhnya tidak dapat dimengerti oleh Korea. Akan tetapi, saya melihat bahwa terdapat kekurangan dari tulisan Chaesung Chun yaitu tidak adanya disertakan potensi-potensi yang dimiliki oleh Korea untuk melahirkan teori-teori hubungan internasional yang baru dan bebas dari wacana barat.

Pada bagian kelima mengenai Re-imaginaing IR in India yang ditulis oleh Navnita Chada Behera. Dalam tulisannya, Behera membagi perkembangan studi hubungan internasional di India menjadi dua bagian yaitu; India klasik dan India kontemporer. Hubungan Internasional di India, tradisi sejarah dan filsafat politik masuk kedalam silabus studi hubungan internasional sementara di barat tidak memiliki kepekaan terhadap budaya sehingga ide-ide yang terkait dengan metafisik dianggap tidak rasional. Pada tahun 1947 Nehru mulai membentuk karakter-karakter politik India. Lalu mulai bermunculan para tokoh-tokoh pemikir India seperti Kautilya yang pemikirannya telah mendahului pemikiran tradisi realis didalam studi hubungan internasional dalam Arthashastra, jauh sebelum munculnya karya-karya Machivelli.

Bagaimana dengan perkembangan studi hubungan internasional yang baru di India?. Banyak masukan-masukan kritis yang datang dari masyarakat adat, gerakan sosial dan kelompok pelajar terhadap konsep hubungan internasional di India. Salah satunya adalah Ashis Nandy dengan konsep barunya yaitu; modernitas, dampak psikologis dari kolonialisme serta sifat dasar sistem negara modern yang semuanya masuk kedalam perhatian studi hubungan internasional yang baru di India.

Tulisan Navnita Chada Behera secara keseluruhan dijabarkan dengan penjelasan yang baik. Akan tetapi sama seperti Chaesung Chun, Behera juga tidak menyertakan potensi-potensi apa saja yang dimiliki oleh India untuk melahirkan teori hubungan internasional yang baru. Karena yang saya dapat tangkap dari tulisan Behera adalah meskipun India telah memperbaharui konsep dari studi hubungan internasional tapi tetap saja tidak terlepas dari wacana-wacana teori barat.

Pada bagian keenam mengenai Southeast Asia: Theory Between Modernization and Tradition yang ditulis oleh Alan Chong. Dalam tulisannya penulis membagi tahapan-tahapan penulisannya menjadi empat bagian yaitu; (1) hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara sebagai sebuah kategori kolektif. (2) kaitan modernisasi hubungan internasional Asia Tenggara dan negara-negara lemah dengan melihat kondisi wilayah Asia Tenggara yang tidak stabil.(3) pembatasan terhadap modernisasi hubungan internasional di Asia Tenggara. (4) pencerahan terhadap kemungkinan adanya teori non-western. Selain itu penulis juga mengemukakan dua alasan kenapa tidak adanya teori non-barat yang muncul dalam kawasan Asia Tenggara, yaitu; adanya anggapan bahwa konsep modernisasi akan menghapuskan tradisi dan juga para akademisi di Asia Tenggara pada umumnya menggunakan teori barat dalam menganalisa  keadaan di kawasan Asia Tenggara.

Alan Chong juga menyertakan pendapat dari Leifer mengenai masalah-masalah dasar yang dimiliki oleh Asia Tenggara yang menurutnya merupakan masalah internal yang muncul dari konflik etnis dan ekonomi yang diperburuk oleh tindakan melintasi perbatasan. Leifer mengemukakan lima kepentingan nasional yang utama di kawasan Asia Tenggara yaitu; (1) pertahanan, keamanan dan urusan luar negeri, (2) ekonomi nasional dan internasional, (3) strategi pembangunan nasional dan persatuan nasional, (4) kebijakan energi dan sumber daya alam, (5) ilmu pengetahuan, teknologi dan industri.

Menurut pendapat saya, Alan Chong menggambarkan konsep modernisasi sebagai salah satu penghambat dari perkembangan hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara. Saya setuju dengan penulis yang mengatakan bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang rawan akan konflik dan cenderung labil dengan isu-isu pertahanan. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa banyaknya para akademisi hubungan internasional di Asia Tenggara saat ini bukan suatu yang mustahil akan membawa Asia Tenggara sebagai pusat dari studi hubungan internasional kontemporer di Asia. Saya mengakui bahwa tidaklah mudah untuk melahirkan sebuah teori yang dapat diakui dan dipergunakan secara universal, namun saya percaya bahwa kawasan Asia Tenggara memiliki banyak potensi untuk mewujudkan hal tersebut.

Pada bagian ketujuh mengenai Perceiving Indonesia Approaches to International Relations Theory yang ditulis oleh Leonard C. Sebastian dan Irma G. Lanti. Penulis  menyertakan sumber-sumber teori hubungan internasional di Indonesia kedalam lima poin, diantaranya; (1) keragaman adat dan budaya yang melahirkan budaya politik. (2) para akademisi peneliti kajian hubungan internasional. (3) kuatnya pengaruh islam di Indonesia. (4) perilaku-perilaku politik dari pemimpin Indonesia sebagai sumber teori. (5) adanya perbaikan terhadap kurikulum studi hubungan internasional di Indonesia.

Selain menjabarkan mengenai sumber-sumber teori hubungan internasional di Indonesia, penulis juga menguraikan potensi-potensi apa saja yang dimiliki oleh Indonesia dalam melahirkan teori hubungan internasional yang dapat terlepas dari konsep-konsep barat. Indonesia memiliki tiga potensi besar dalam mewujudkan hal tersebut, diantaranya; (1) Indonesia merupakan negara islam terbesar di dunia sehingga memungkinkan ruang lingkup untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin diantara negara-negara islam yang lain. (2) Indonesia mempunyai peran-peran yang penting dalam beberapa organisai atau gerakan-gerakan seperti Gerakan Non Blok, ASEAN, OKI dan lain-lain. (3) Indonesia memilki sumber daya alam serta sumber daya manusia yang melimpah, hanya perlu penanaman konsep berfikir maju bagi sumber daya manusia Indonesia agar Indonesia dapat sejajar dengan negara-negara mandiri lainnya.

Secara keseluruhan penulis telah menjabarkan sumber-sumber teori hubungan internasional di Indonesia serta potensi-potensi yang dimiliki oleh Indonesia untuk melahirkan teori hubungan internasional non-barat. Namun saya berfikir bahwa penulis cenderung memposisikan budaya politik jawa diperingkat teratas dalam sumber-sumber teori hubungan internasional di Indonesia. Sejauh pengetahuan saya, meskipun etnis jawa termasuk dalam etnis terbesar di Indonesia serta telah mengalami peradaban kuno akan tetapi sebaiknya jangan lupa bahwa etnis diluar jawa juga memberikan kontribusi bagi kemajuan Indonesia.

Bagian kedelapan mengenai International Relations Theory and The Islamic Worldview yang ditulis oleh Sharbanou Tadjbakhsh. Dalam tulisannya, Sharbanou mengungkapkan bahwa pandangan islam dapat memberikan suatu pemikiran terhadap generalisasi dari sebuah teori hubungan internasional yang berkembang pada saat ini. Menurutnya, islam memiliki visi tersendiri dalam konteks hubungan internasional. Oleh karena itu, terlalu dini untuk menilai bahwa pandangan islam tidak berpengaruh terhadap perkembangan teori hubungan internasional barat.

Sikap islam dalam teori hubungan internasional adalah tegas normatif yaitu dimana ilmu bukanlah  hanya sebuah refleksi tentang apa yang ada tetapi juga tentang apa yang harus dilakukan. Kontribusi yang diberikan oleh para akademisi-akademisi islam serta para pemimpin-pemimpin islam belum dapat ditafsirkan sebagai salah satu dari perspektif teori hubungan internasional.

Secara keseluruhan saya dapat mengerti maksud dari penulis mengenai adanya pertentangan-pertentangan pandangan islam terhadap teori-teori hubungan internasional barat. Tetapi ada satu poin yang saya kurang setuju mengenai pendapat penulis yang menyatakan bahwa islam belum mampu untuk mengatasi hegemoni-hegemoni dari teori hubungan internasional barat. Karena sejauh yang saya ketahui para akademisi islam telah banyak berkontribusi dalam perkembangan studi hubungan internasional. Fakta yang tidak terelakkan bahwa islam pernah menjadi penguasa daratan Asia, Afrika bahkan Eropa dan juga banyak para akademisi islam yang telah melahirkan konsep-konsep hubungan internasional seperti negara, pemimpin, hubungan antar negara dan lain-lain.

Bagian kesembilan mengenai World History and Development of Non-Western International Relations Theory yang ditulis oleh Barry Buzan dan Richard Little. Pada bagian ini penulis berpendapat bahwa untuk mengembangakan teori-teori hubungan internasional  perlu merangkul sejarah-sejarah dunia. Penulis juga berpendapat bahwa untuk beberapa saat akan ada baiknya  jika menggeser sejarah Eropa dan terfokus pada sejarah dunia timur. Penulis juga menambahkan pendapat dari Sachsenmaier yang menyatakan bahwa sudah lama ada  kecenderungan untuk berpikir secara Eropa atau Eurocentric dan telah ada upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap teori barat yang menjadi bagian terpenting dalam identitas politik di banyak negara.
Menurut pendapat saya penulis telah melahirkan suatu wacana baru yaitu berfikir diluar Eropa. Penulis mulai berfikir bahwa dunia timur, khususnya Asia telah berubah menjadi suatu kawasan yang telah maju dalam pemikirannya serta perlu adanya konsep-konsep baru mengenai teori-teori hubungan internasional non-barat yang dapat menambah deretan panjang dari teori-teori hubungan internasional dunia. Akan tetapi, penilaian saya terhadap tulisan ini adalah tulisan ini hanya  sekedar tulisan. Pada realitasnya adalah hingga saat ini fokus perhatian para akademisi hubungan innternasional mulai dari menganalisa keadaan kawasannya masih menggunakan teori barat. Jadi dapat dikatakan bahwa belum adanya kesiapan matang bagi para akademisi hubungan internasional untuk berfikir diluar Eropa.

Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa buku buku Non-Westren International Relation Theory Perspective on and Beyond Asia Edited by Amitav Acharya dan Barry Buzan merupakan sumber referensi yang bagus bagi para akademisi-akademisi hubungan internasional. Saya menilai bahwa buku ini dapat  memberikan pola-pola pemikiran baru bagi para akademisi hubungan internasional untuk mulai mengembangkan teori-teori hubungan internasional. Selain itu, buku ini dapat memacu para akademisi-akademisi hubungan internasional non-barat untuk menciptakan teori hubungan internasional kontemporer yang dapat digunakan dan diakui secara universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar