Reformasi ekonomi
dan politik telah melahirkan tuntutan baru. Masyarakat seolah-olah menginginkan
kedaulatan yang seharusnya menjadi menjadi miliknya dikembalikan setelah
dipinjam Presiden Soeharto dan aparatnya selama kurun waktu 32 tahun. Selain
tuntutan perubahan politik, masyarakat Indonesia merasakan bagaimana krisis
ekonomi menjadi parah karena ternyata hampir di seluruh aspek kehidupan terjadi
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pembangunan politik
adalah bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan, dimana pembangunan
itu diarahkan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang demokratis sehingga
terwujudnya suatu ketertiban politik. Pembangunan politik merupakan salah satu
aspek pembangunan nasional yang bisa dipandang sebagai wahana bagi aspek
pembangunan lainnya. Yang disebabkan oleh adanya saling keterkaitan, misalnya
pembangunan ekonomi dapat mendorong pembangunan politik serta bidang-bidang
lainnya.
Suatu Negara jika dari
segi ekonominya maju, akan mendorong kemajuan dalam bidang yang lain, sebab
dengan semakin makmurnya masyarakat, akan terciptanya suatu masyarakat yang
semakin maju. Pembangunan politik apabila dikaitkan dengan institusionalisasi,
suatu institusi itu dibentuk sebagai instrument demi tercapainya keteraturan
politik. Fokus pembangunan politik yaitu tumbuhnya institusi-institusi
baru dalam rangka memekarkan keteraturan politik. Dengan adanya keteraturan
politik maka akan terwujud suatu pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Membicarakan tentang
institusionalisasi tentunya kita haruslah terlebih dahulu mengetahui bagaimana
asal-usul timbulnya institusionalisasi. Perubahan sosial dalam suatu masyarakat
merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Masyarakat bergerak dari
tradisonal menuju ke arah modern. Sehingga timbul suatu perubahan pola pikir
masyarakat menjadi lebih demokratis. Modernisasi berefek pada timbulnya
kesadaran politik pada masyarakat, sehingga akan menjadikan tingginya tingkat
partisipasi masyarakat atau meningkatnya permintaan masyarakat terhadap
keuntungan. Institusi timbul untuk dalam rangka sebagai wadah-wadah
penyalur dari permintaan masyarakat.[1]
Namun permasalahan yang
kemudian muncul yaitu, di banyak Negara terjadi suatu ketidakteraturan politik
yang dikarenakan ketidakseimbangan antara tingkat institusional dengan tingkat
partisipasi. Minimnya tingkat institusional yang tidak dapat membendung akan
tingginya partisipasi dari masyarakat. Sangat menarik membicarakan tentang
pendekatan institusional dalam rangka untuk mencapai suatu ketertiban politik.
Studi Pembangunan Politik dapat membantu kita untuk memahami bagaimana
pendekatan institusionalisasi dalam menghadapi permasalahan yang ada di
masyarakat.
Gema reformasi
memang sangat keras karena setelah guncangan moneter yang dimulai dari Thailand
Juni 1997 membuat Indonesia harus menghadapi tekanan dalam mata uang rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Akhirnya pemerintah tidak sanggup menekan
harga dollar sehingga bulan September 1998 dilepas ke pasar yang akhirnya
menyebabkan ambruknya ekonomi Indonesia. Harga sembilan bahan pokok sampai
sekarang tidak stabil, bahkan cenderung meningkat. Penderitaan rakyat Indonesia
ini melahirkan kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi dan kerusuhan
yang akan banyak memakan korban rakyat tak berdosa.[2]
Reformasi
berlangsung setelah terjadi stagnan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru.
Politik dalam negeri secara bertahap diambil dari rakyat menuju kekuatan
eksekutif yang berpuncak di tangan presiden. Pada akhirnya, seluruh kekuasaan
itu berada di tangan Soeharto. Dalam kebijakan luar negeri pun partisipasi
rakyat baik melalui DPR maupun kalangan masyarakat seperti dunia akademis
tidak diberi tempat. Pengambilan kebijakan luar negeri menjadi tidak
demokratis.[3]
Politik luar negeri sebuah negara
merupakan perpaduan dan cerminan dari situasi sosial-politik, kondisi ekonomi,
dan kapabilitas militer domestik, yang dipengaruhi perkembangan yang terjadi di
lingkungan eksternalnya. Politik luar
negeri juga dipengaruhi oleh faktor sejarah dan persepsi elit pembuat
keputusan. Implementasi Doktrin Politik Luar
Negeri Bebas-Aktif memberikan ruang gerak yang luas bagi diplomasi Indonesia
bagi pencapaian kepentingan nasional. Doktrin ini mencitrakan Indonesia sebagai
sebuah negara yang bersahabat dan dapat berperan sebagai bridge builder.[4]
2.1.
Runtuhnya Orde Baru
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan
Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Agenda,
pola serta program pemulihan ekonomi sebenarnya telah diletakkan sejak pertama
kali dirumuskan suatu Memorandum Ekonomi yang merupakan lampiran dari Letter of
Intent (LOI) Pemerintah Indonesia kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada
akhir Oktober 1997. Program itu berjangka waktu 3 tahun. Kita tentu masih ingat
dengan jelas mengapa Memorandum Ekonomi itu berkali-kali harus direvisi dan
bahkan mengalami strengthening, yang tepatnya diterjemahkan sebagai "pengketatan".
Jika dipelajari sebab-sebab dan arah perubahan dari rangkaian LOI selama ini
akan segera terlihat bahwa proses pemulihan ekonomi sejauh ini memang ditandai
oleh "multiple equilibria".
Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi
Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia.
Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat
terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan
munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa.
Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998.
Pada saat itu terjadi peristiwa
Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat
bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya
Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang
gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi
aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet
Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk
Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU
Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Dalam perkembangannya, Komite
Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan
dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Ketika Habibie mengganti Soeharto
sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus
dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang
ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya,
kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e. masa depan perekonomian dan
kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang
berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi
dari masyarakat.
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa
Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini
tiga undang-undang tersebut.
·
UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
·
UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
·
UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang
terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat,
serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat
dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya
partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa
menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan
dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi
dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha
Penerbitan (SIUP).
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie,
berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden
yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan
lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha
Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie
mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum
tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET.
Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur
lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada
tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik
Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari
Partai Fretilin.
2.2. Reformasi Domestik
Gagasan reformasi sangat kuat disuarakan mahasiswa pada akhir 1997
dan awal 1998. Setelah selesai Sidang Umum 1998 yang melahirkan pasangan
Soeharto-BJ Habibie, gagasan reformasi semakin santer dalam masyarakat
akademis. Mahasiswa akhirnya mempelopori untuk menjadi gagasan slogan dalam
aksi unjuk rasa pro demokrasi-nya. Pada akhirnya, reformasi diartikan sebagai
usaha mendesak Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan pemerintah
penggantinya menurunkan harga-harga sembako.
Setelah turun dari jabatan presiden 21 Mei lalu, Soeharto
menyerahkan jabatannya kepada Wapres Habibie. Maka lahirlah kabinet reformasi
yang sampai sekarang masih dalam tahap transisi menjelang pemilu Mei 1999.
Setidaknya ada empat proses yang terjadi sebagai akibat kakunya Orde Baru dalam
menghadapi perubahan jaman. Eep Sefullah Fatah, menyebut faktor pertama adalah
sentralisasi. Dalam tahap reformasi terjadi lah era desentralisasi. Semula Orde
Baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang sentralistis sebagai cara untuk
mempertahankan stabilitas politik agar pertumbuhan ekonomi bisa terkejar. Namun
pada prakteknya sentralisasi melahirkan KKN.
Reformasi juga melahirkan corak yang belawanan dengan aliran
pemikiran Orde Baru yang menekankan otonomisasi. Apa yang otonomisasi ? Menurut
Eep, sejak awal kelahirannya Orde Baru berupaya meminggirkan masyarakat dari
proses pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara umum.
Reformasi melahirkan de-otonomisasi dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam
keputusan publik.
Orde Baru juga melahirkan unsur ketiga yakni personalisasi.
Kekuasaan yang memusat dan otonom kemudian dipersonalisasikan di tangan
Soeharto. Apapun keputusan politik harus sesuai dengan “petunjuk bapak
presiden”. Begitulah istilah yang sering digunakan menteri dalam menjelaskan
kebijakan pemerintah. Reformasi politik menjungkirbalikkan gagasan itu dengan
mendorong ke arah de-personalisasi dimana kekuasaan politik itu bukan berasal
dan hanya di tangan presiden tapi terutama di tangan rakyat yang bisa
disalurkan melalui partai-partai politik.
Selain tiga aspek di atas, Orde Baru juga harus menghadapi kritikan
rakyat karena kekuasaan kemudian menjadi sesuatu yang sakral, tak boleh
diganggu gugat dan tak terjangkau rakyat bawah. Dalam konteks ini kekuasaan tak
bisa salah, bebas dari kritik, tak bisa digugat apalagi dijungkirkan. Namun
dengan gelombang reformasi rakyat semakin terbuka bahwa kekuasaan presiden atau
jabatan apapun tak lain adalah amanah rakyat, bukan titisan dewa atau dari
langit.
2.3. Institusionalisasi
Institusionalisasi atau
yang biasa disebut kelembagaan adalah suatu proses terbentuknya suatu
institusi. Yang merupakan suatu hal yang baru yang berasal dari bentuk kegiatan
atau pola perilaku, yang kemudian diakui keberadaannya, dihargai, dirasakan
manfaatnya, dan seterusnya diterima sebagai bagian dari pola tindakan dan pola
lingkungan tertentu. Dalam prosesnya, suatu institusionalisasi itu terjadi
apabila pola perilaku tersebut semakin melembaga, semakin mengakar dalam
kehidupan lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu dalam proses
institusionalisasi ini, yang merupakan hal penting yaitu bukan kehadiran suatu
organisasi atau institusi sebagai wadahnya, melainkan hadirnya suatu pola
tingkah laku yang semakin melembaga. Dalam kaitannya dengan pelayanan masyarakat,
institusionalisasi terjadi apabila hasil dari tindakan pelayanan sosial itu
tidak berdampak sesaat saja bagi masyarakat melainkan terjadi dengan
berkelanjutan atau berkesinambungan, terstruktur dan merupakan bagian
integral dari pola aktivitas yang terlembagakan.
Institusi (lembaga)
merupakan suatu wadah-wadah penyalur dari permintaan masyarakat. Berwenang
dalam memberikan pelayanan masyarakat dan untuk keteraturan politik.
Bagaimanakah institusi itu bisa diperlukan? Dalam kehidupan bermasyarakat
terjadi suatu perubahan sosial, perubahan pola pikir menjadi semakin maju atau
yang disebut dengan modernisasi. Modernisasi ditandai dengan semakin
meningkatnya partisipasi politik atau permintaan masyarakat terhadap
keuntungan. Sehingga institusi diperlukan sebagai instrument dalam menciptakan
suatu keteraturan politik. Jika tidak ada institusi, mungkin suatu masyarakat
akan kacau karena adanya benturan-benturan kepentingan atau konflik.
Yang dimaksud dengan
Institusi yaitu seperti parpol, birokrasi, eksekutif, legislatif, yudikatif,
kelompok kepentingan, dan lain-lain. Stabilitas politik tergantung pada
perbandingan pelembagaan dan peran serta. Jika peran serta politik meningkat,
maka kompleksitas, otonomi, kemampuan adaptasi dan kesatuan dari
lembaga-lembaga politik masyarakat juga harus meningkat agar terciptanya
stabilitas politik. Jika tidak demikian maka akan timbul ketidakteraturan
politik. Artinya yang dikarenakan minimnya tingkat institusional dan tingginya
tingkat partisipasi. Hal itu juga bisa menimbulkan Praetorianisme, atau yang
disebut dengan masuknya golongan militer ke dalam ranah politik.
Mobilisasi masyarakat
bisa mengakibatkan frustasi dan agresi, namun tingkatannya tergantung dari
tuntutan peran serta dengan ada atau tidaknya lembaga-lembaga yang mengatur dan
mengantarai. Mobilisasi yang tanpa diikuti dengan tingkat pelembagaan yang
tinggi akan melahirkan suatu ketidakstabilan / ketidakteraturan politik.
2.4. Pendekatan
Institusionalisme
Institusionalisme
merupakan suatu paham yang melihat dari sudut pandang institusinya. Dalam kasus
ini institusinya bernama Direktorat Jenderal Pajak atau yang disingkat dengan
Dirjen Pajak. Institusi ini terbentuk dikarenakan keperluan / kepentingan
masyarakat yang bergerak dalam bidang pelayanan pajak. Dirjen Pajak ini
berwenang dalam mengelola pajak. Dan warga Negara diwajibkan untuk membayar
pajak. Hal ini diatur dalam konstitusi (UU)
Adapun hasil pajak yang
dibayar oleh warga Negara ke Dirjen Pajak tadi yaitu sebagai pendapatan
Negara, yang dimana pendapatan tersebut digunakan untuk keperluan pembangunan
Negara dan kesejahteraan umum. Uraian di atas menunjukkan suatu sistem,
dimana antar komponen-komponennya memiliki hubungan secara fungsional dan
memiliki tujuan yang jelas.
Jika salah satu
komponen dari sistem itu bermasalah, maka sistem itu tidak bisa jalan dan
otomatis tujuan akan terhambat. Begitu halnya dengan kasus ini, adanya
penyelewengan Dirjen Pajak. Yang mengakibatkan ketidakpercayaan lagi oleh warga
Negara terhadap Dirjen Pajak, sehingga warga Negara enggan untuk bayar pajak.
Dan pembangunan pun tidak tercapai. Komponen yang bermasalah dalam kasus ini
yaitu dari institusinya, maka diperlukan suatu perbaikan terhadap institusi,
atau Reformasi Dirjen Pajak. Reformasi yaitu mengubah atau membuat sesuatu
menjadi lebih baik daripada yang sudah ada.Reformasi bertujuan mengoreksi dan
membaharui terus-menerus dari penyimpangan yang telah ada. Agar terciptanya
suatu kestabilan, keteraturan, ketertiban, pembangunan politik.
2.5.
Reformasi Masa Pemerintahan
2.5.1. MASA
PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Di awal masa
pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.Akan
tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam
cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU)
yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Selain itu,
pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi
internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga
dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan
positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian
masyarakat internasional ini,
Habibie berhasil
memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk
mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan
kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank
Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk
mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan
bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis
legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional
yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada
dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan
pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi
mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat
Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih
tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal. Pemerintahan
Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri,
sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan
transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini
dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur
pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi
seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
Proposal ini,
oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998,
Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa
Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah
Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan
akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan
Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi
luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan
bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak
menentukan nasib sendiri (right of self-determination)
bagi masyarakat Timor Timur.
Namun, Australia
menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di
Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya
otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah
dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie
sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena
beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional
untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai
presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan
hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima
TNI pada masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata
masyarakat internasional maupun domestik.
Di mata
internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus
menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan
penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai
akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan
September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan
territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi
sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada
bulan Mei 1998.
2.5.2. MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID
Hubungan sipil
militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju
demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat
dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di
uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan
antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi
dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling
ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman
Wahid terjadipower struggle yang
intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk
menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.
Pasca reformasi,
ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik luar negeri Indonesia
cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh
Soekarno pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada peningkatan citra
Indonesia pada dunia internasional. Pada masa pemerintahannya, politik
internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat
mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang paling
menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan Australia.
Wahid memiliki
cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia
melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal
pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap
kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat,
Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya
dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain
isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam
kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Namun, sebagian
besar kunjungan – kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan,
dengan alasan yang absurd, Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan
Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan
tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri
Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha
yang telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia karena kurang adanya
implementasi yang konkrit.
2.5.3. MASA
PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih
memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar
negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama
ini Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam
mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi
Indonesia. Karena itu, Megawati mengupayakan sebuah
“mekanisme kerja” yang lebih solid dengan Komisi I DPR sehingga
diharapkan dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai
hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan
bertanggung jawab atas dasar prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat
diterapkan bipartisanship foreign policy yang
berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.
Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai
salah satu platform pemerintahan baru dalam membantu upaya pemulihan ekonomi
dan stabilitas keamanan di dalam negeri, Megawati lebih memprioritaskan diri
mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian
Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau
mungkin jutaan pengungsi dalam kondisi amat memprihatinkan. Dengan
kata lain, anggaran Presiden ke luar negeri lebih diperhemat dan dialokasikan
untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus
mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu
aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah koordinasi
Menteri Luar Negeri. Dan yang lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat
bahwa pemerintah Megawati memiliki sense of urgency dan sense of crisisyang
belum berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.
Namun masa pemerintahan presiden Abdurachman Wahid mewarisi
pemerintahan yang lemah dan diperburuk oleh kondisi keamanan yang tengah
diambang separatism atau communal violence. Dan pada akhirnya Megawati sebagai
presiden selanjutnya juga tak mampu membawa pemerintahan pada stabilitas yang
lebih besar kendati perpolitikan Megawati pada masa pemerintahannya jauh
memiliki temper serta filosofi politik yang jauh lebih
berkualifikasi dalam menjalankan konsiliasi nasional dan kohesi daripada
alternatif. Tapi sangat disayangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksa
dan mengkohenren admistrasinya. Hasilnya adalah perbaikan ekonomi yang tak jauh
lebih membaik dari sebelumnya
2.5.4. MASA
PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDOYONO
Bagaimanapun selama masa pemerintahan yang terdahulu SBY
telah berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan
menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya,
antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai
opportunities. Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan
mendayung di antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa
SBY adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’.
Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk
menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY.
Ini dilihat pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK
PBB, atau gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang
terdiri dari negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini).
Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:
·
terbentuknya kemitraan-kemitraan
strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).
·
terdapat kemampuan beradaptasi
Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan
perubahan-perubahan di luar negeri.
·
‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’,
artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bersedia
membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.
·
TRUST, yaitu:
membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony,
security, leadership, prosperity.
5
Hal dalam konsep TRUST ini kemudian menjadi sasaran PLNRI
di tahun 2008 dan selanjutnya.
Pak Banto terlihat menilai sangat positif kinerja dari PLNRI
SBY pada masa pemerintahannya yang terdahulu. Namun kemudian, ia pun
menyebutkan sisi kekurangan dari PLNRI SBY. Menurut beliau, PLNRI SBY kurang
bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di sini kita dapat
melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal,
jika secara konseptual PLN disebut sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan
domestik, seharusnya PLNRI bisa menjadi media penyelesaian masalah di dalam
negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap PLNRI SBY dengan sebutan: It’s
about Image. Karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra baik
Indonesia di luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.
Bagaimana implikasi reformasi politik domestik terhadap
kebijakan luar negeri ? Rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk
mendayagunakan kebijakan luar negeri sehingga melahirkan kemakmuran dan
kemajuan untuk seluruh lapisan masyarakat. Secara idiil, tujuan dari politik
luar negeri Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan
sosial.
Dari
empat reformasi yang sudah dilakukan rakyat Indonesia tampaknya bisa ditarik
empat agenda dalam reformasi politik luar negeri.
Pertama, perumusan kebijakan dan
pelaksanaan politik luar negeri tak lagi tersentralisasi di badan eksekutif
atau di tangan presiden. Dengan tema-tema hubungan internasional seperti hak
asasi manusia, demokratisasi, lingkungan hidup dan terciptanya masyarakat
madani, maka rakyat seluruhnya memiliki akses dalam memberikan pemikiran,
menilai dan ikut memikirkan arah kebijakan luar negeri. Soal hak asasi manusia
dicatat Budiarto Shambazy sebagai salah satu aspek penting dalam politik luar
negeri Indonesia di bawah Habibie seperti terlihat dalam kebijakan pemberian
otonomi lebih luas ke Timor Timur.
Begitu
politik luar negeri itu tersentralisasi dalam lembaga eksekutif, maka arahnya
tidak bisa dikritik lagi. Misalnya, politik pinjaman dana untuk pembangunan
ternyata di kemudian hari memberatkan masyarakat sehingga melahirkan utang
pemerintah sekitar 60 milyar dollar AS. Menurut Dr Hasjim Djalal, masalah
korupsi dan kolusi yang banyak dibicarakan kalangan domestik dan luar negeri
bisa mempengaruhi kredibilitas pemerintah sehingga politik luar negeri bisa
kurang efektif.
Kedua, agenda reformasi perlu
dilakukan agar politik luar negeri tidak lagi otonom dari perbuahan-perubahan
dan tuntutan masyarakat. Meminggirkan masyarakat dalam hal politik luar negeri
akan melahirkan langkah yang fatal terhadap kemajuan seluruh bangsa. Penilaian
yang meremehkan efek devaluasi Thailand dan peringatan dunia internasional
terhadap kebijakan ekonomi luar negeri pemerintah dan swasta mengakibatkan
terjadinya prahara moneter yang menyakitkan. Dengan kata lain, keputusan
pemerintah tidak otonom tetapi tergantung dari masukan masyarakat. Dr Moh Idris
Kesuma melukiskan bahwa politik luar negeri itu tak lain daripada perjuangan
seluruh bangsa Indonesia yang pada awalnya mempertahankan kemerdekaan dan
memperjuangkan pengakuan internasional.
Ketiga, dalam jangka mendatang tidak
perlu lagi keputusan penting dalam menghadapi era globalisasi ini diserahkan ke
tangan seorang presiden atau menteri. Karena kebijakan luar negeri pada
akhirnya akan berpengaruh terhadap seluruh lapisan masyarakat dari kota sampai
desa, maka pengambilan keputusan hanya di tangan satu orang dengan asumsi ia
serba tahu tentang politik luar negeri akan berakibat kehilangan kontrol.
Keempat, meskipun orientasi politik
luar negeri negeri sudah ditentukan bebas dan aktif serta landasan idiilnya
ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, namun dalam implementasinya jangan sampai
terjebak pada sakralisasi kebijakan. Politik luar negeri seperti halnya politik
dalam negeri bukanlah sesuatu yang sakral, yang suci, yang tak bisa diubah dan
dikemas dengan pendekatan baru. Desakralisasi kebijakan eksternal bisa
dilakukan jika masyarakat ikut berpartisipasi dalam memikirkan arah bangsa
Indonesia dalam memasuki abad ke-21 ini.
2.7. Dalam Kasus Dirjen Pajak
Terungkapnya kasus
mafia perpajakkan yang baru-baru ini terjadi di institusi yang bernama
Direktorat Jenderal Pajak membuat keresahan masyarakat. Hal itu tentunya
mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jenderal
Pajak. Dirjen pajak yang memiliki wewenang dalam mengelola pajak, telah
tercemar nama baik institusinya akibat ulah-ulah jajarannya yang melakukan
tindakan tercela berupa penggelapan pajak atau mafia pajak.
Dampak dari
penyelewengan pajak tadi yaitu mengakibatkan masyarakat enggan untuk bayar
pajak, hal itu dilihat dari adanya gerakan-gerakan boikot pajak yang diserukan
sejumlah kalangan, termasuk gerakan boikot pajak yang diorganisasi lewat
internet. Tak
bisa dibayangkan bagaimana jadinya Negara ini jika warga negaranya tidak mau
membayar pajak. Bukankah pajak merupakan salah satu pendapatan Negara. Jika
tidak ada yang bayar pajak, darimana Negara memperoleh pendapatan. Kalau tidak ada
pendapatan, bagaimana Negara melakukan pembangunan. Jelaslah penyelewengan
pajak sangat merugikan masyarakat maupun pemerintah.
2.8. Pembangunan Politik
Pembangunan politik sebagai bagian dari
modernisasi senantiasa melibatkan ketegangan dan konflik secara terus menerus
antara proses pembangunan dengan syarat-syarat agar system politik tetap pada
keadaannya. Ketegangan maupun konflik tersebut merupakan sesuatu inheren dalam
pembangunan, yang meliputi tuntutan akan persamaan, proses-proses diferensiasi
serta kebutuhan akan kapasitas yang lebih besar. Merupakan suatu ha yang biasa
bahwa setiap perubahan-perubahan pada dimensi persamaan, diferensiasi dan
kapasitas/kemampuan dalam pembangunan akan mempengaruhi budaya politik elite
dan massa, perubahan (smooth) dimana elite maupun massa terakomodasi dalam
budaya-budayanya. Hal ini menunjukkan dinamika modernisasi masyarakat. Krisis
mulai terjadi apabila budaya elite atau massa atau keduanya, menyebabkan
ketegangan-ketegangan yang inheren, misalnya antara dimensi kapasitas dengan
dimensi persamaan yang semakin membesar dan sangat terlihat sebagai suatu
ancaman utama pemerintah atau rakyat maupun kedua-duanya.
Pakar politik Lucien W.
Pye (Aspects of Political Development, pada Memajukan Demokrasi mencegah
disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik oleh Nicolaus Budi Harjanto)
memberikan dimensi/unsur dari pembangunan politik sebagai berikut :
“Pembangunan politik sebagai : pertambahan persamaan (equality) antara individu
dalam hubungannya dengan system politik, pertambahan kemampuan (capacity)
system politik dalam hubungannya dengan lingkungan, dan pertambahan pembedaan
(differentiation and specialization) lembaga dan struktur di dalam system
politik itu. Ketiga dimensi tersebut senantiasa ada pada “Dasar dan jantung
proses pembangunan”.
Menurut Pye, dimensi
persamaan (equality) dalam pembangunan politik berkaitan dengan Masalah
partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam Kegiatan-kegiatan politik, baik yang
dimobilisir secara demokratis maupun totaliter. Dalam unsur/dimensi ini
dituntut adanya pelaksanaan hukum secara universal, dimana semua orang harus
taat kepada hokum yang sama, dan dituntut adanya kecakapan dan prestasi serta
bukan pertimbangan-pertimbangan status berdasarkan suatu system sosial yang
tradisional. Dalam proses pembangunan, dimensi ini berkaitan erat dengan budaya
politik, legitimasi dan keterikatan pada system.
Sedangkan dimensi kapasitas (capacity) dimaksudkan sebagai kemampuan system politik yang dapat dilihat dari output yang dihasilkan dan besarnya pengaruh yang dapat diberikan kepada sistem-sistem lainnya seperti system sosial dan ekonomi. Dimensi ini berhubungan erat prestasi pemerintah yang memiliki wewenang resmi, yang mencerminkan besarnya ruang lingkup dan tingkat prestasi politik dan pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan umum dan rasionalitas dalam administrasi serta orientasi kebijakan. Sedangkan dimensi diferensiasi dan spesialisasi (differentiation and specialization), menunjukkan adanya lembaga-lembaga pemerintahan dan struktur-strukturnya beserta fungsinya masing-masing, yang terdapat pada sistem politik. Dengan diferensiasi berarti bertambah pula pengkhususan atau spesialisasi fungsi dari beberapa peranan politik di dalam sistem. Di samping itu diferensiasi melibatkan pula Masalah integrasi proses-proses dan struktur-struktur yang rumit (Spesialisasi yang didasarkan pada perasaan integrasi keseluruhan).
Sedangkan dimensi kapasitas (capacity) dimaksudkan sebagai kemampuan system politik yang dapat dilihat dari output yang dihasilkan dan besarnya pengaruh yang dapat diberikan kepada sistem-sistem lainnya seperti system sosial dan ekonomi. Dimensi ini berhubungan erat prestasi pemerintah yang memiliki wewenang resmi, yang mencerminkan besarnya ruang lingkup dan tingkat prestasi politik dan pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan umum dan rasionalitas dalam administrasi serta orientasi kebijakan. Sedangkan dimensi diferensiasi dan spesialisasi (differentiation and specialization), menunjukkan adanya lembaga-lembaga pemerintahan dan struktur-strukturnya beserta fungsinya masing-masing, yang terdapat pada sistem politik. Dengan diferensiasi berarti bertambah pula pengkhususan atau spesialisasi fungsi dari beberapa peranan politik di dalam sistem. Di samping itu diferensiasi melibatkan pula Masalah integrasi proses-proses dan struktur-struktur yang rumit (Spesialisasi yang didasarkan pada perasaan integrasi keseluruhan).
BAB
III
KESIMPULAN
Abad kemakmuran Asia yang sering didengung-dengungkan ternyata harus
mengalami revisi. Kemakmuran itu memerlukan tahap panjang lagi karena
penguasaan medan global ternyata telah membuat pembangunan yang ditopang
pertumbuhan cepat berakhir dengan kriris moneter. Oleh karena itu diperlukan
cara pandang baru dan kajian lebih mendalam apa yang jadi trend internasional
sehingga Indonesia sendiri bisa merumuskan kebijakan luar negeri dengan tepat.
Di sinilah mahasiswa dan pakar-pakar hubungan internasional bisa memberikan
sumbangan besar untuk mereformasi politik luar negeri yang selama ini jarang
tersentuh sehingga mengakibatkan terjadinya sakralisasi. Sudah waktunya
paradigma berpikir kita terhadap politik luar negeri diubah dengan sudut
pandang yang segar dan memberikan harapan baru.
Aspirasi Indonesia
untuk me- mainkan peran “pemimpin” tidak pernah pudar karena Indonesia merasa
memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki negara lain dan
posisi yang cukup strategis baik di kawasan maupun dalam percaturan
internasional. Indonesia menunjukkan kinerja positif di sektor politik dan
ekonomi domestik dan dalam kiprahnya di panggung global, walaupun dunia
internasional ten-gah menghadapi berbagai krisis.
Pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia beberapa pasca Orde Baru ini dilingkupi oleh
pemiki-ran Konstruktivisme, yaitu aspirasi mengubah lawan menjadi kawan, dan
kawan menjadi mitra melalui peran sebagai bridge builder. Untuk ke depan,
politik luar negeri Indonesia akan semakin aktif dan asertif. Kinerja positif
di atas menjadi modal berharga untuk mengimplementasikan aspirasi untuk
memainkan peran “pemimpin” tersebut.
Namun demikian
untuk dapat memainkan peran itu, situasi domestik perlu terus dijaga, sehingga
kredensial Indonesia di mata Internasional tetap positif. Selain itu aspirasi
untuk menjadi “bridge builder” ini perlu dilakukan secara cermat. Indonesia
perlu memfokuskan perannya pada isu/sektor-sektor tertentu saja dimana
Indonesia memiliki kapasitas yang memadai, dan menghindari godaan untuk
terlibat terlalu dalam pada terlalu banyak isu internasional sehingga mengalami
over-reach.
Institusionalisasi
(kelembagaan) adalah suatu proses terbentuknya suatu institusi. Yang merujuk
pada proses pelembagaan suatu sistem. Dalam kaitannya dengan pelayanan
masyarakat, institusionalisasi terjadi apabila hasil dari tindakan pelayanan
sosial itu terjadi dengan berkelanjutan atau berkesinambungan, terstruktur
dan merupakan bagian integral dari pola aktivitas yang terlembagakan
Institusi (lembaga)
merupakan suatu wadah-wadah penyalur dari permintaan masyarakat. Berwenang
dalam memberikan pelayanan masyarakat dan untuk keteraturan politik. Institusi
diperlukan sebagai instrument dalam menciptakan suatu keteraturan politik. Jika
tidak ada institusi, mungkin suatu masyarakat akan kacau karena adanya
benturan-benturan kepentingan atau konflik. Karena semakin modern masyarakat
maka partisipasi akan semakin meningkat.
Institusionalisme
merupakan suatu paham yang melihat dari sudut pandang institusinya. Pendekatan
ini mengesampingkan teori, melihat fakta sebagai sesuatu hal yang diterima
secara benar, dan menyebar seperti common sense di dalam ilmu politik.
Metodologi yang digunakan yaitu pengamatan untuk mendeskripsikan dan memahami
dunia politik di sekitarnya dalam pengertian non-abstrak (nyata)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Dodd. C.H.1986. Pembangunan
Politik. Jakarta: Bina Aksara
Leifer, Michael, Indonesia’s Foreign Policy.London: George Allen&Unwin.
Jurnal:
Annesya, Devania, 2010, “Politik Luar
Negeri Indonesia Pasca Orde Baru”, diakses dari: http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/politik-luar-negeri-indonesia-pasca-orde-baru/
pada tanggal 07 Desember 2010.
Dewi Fortuna Anwar dan Harold Crouch,
Foreign Policy and Domestics Politics.
Pramudito,
2010, “Reformasi Hubungan Luar Negeri”, Diakses dari: http://bataviase.co.id/node/88308, Pada
tanggal 07 Desember 2010.
Soesastro, Hadi, “Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Konteks Pemulihan
Ekonomi Nasional” http://www.pacific.net.id/pakar/hadisusastro/000425.htm, diakses pada tanggal 7 November 2011
Wirengjurit, Dian, “Agenda Reformasi Politik Luar Negeri”, Diakses
Dari: http://buletinlitbang.dephan.go.id/index1.asp?vnomor=6&mnorutisi=6,
pada tanggal 07 Desember 2010.
Internet:
http://wwwsumardideddy.blogspot.com/2010/05/makalah-pembangunan-politik-dalam.html diakses pada tanggal 5 November 2011
[1]
http://wwwsumardideddy.blogspot.com/2010/05/makalah-pembangunan-politik-dalam.html diakses tgl 5 November 2011
[2] Asep Setiawan, 2009,
“Agenda Reformasi Politik Luar Negeri Indonesia”, diakses dari: http://theglobalpolitics.com/?p=52 tanggal
07 Desember 2010.
[3] Ibid, Asep Setiawan
[4] “Arah
Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilu 2009”, diakses dari: http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/61-september-2009/584-arah-politik-luar-negeri-indonesia-pasca-pemilu-2009.html
pada tanggal 07 Desember 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar