Tugas Individu ke 4
Nama :
Sarah
NIM :
0901120186
Mata Kuliah :
Studi Masyarakat Melayu
Dosen : Ahmad
Jamaan S.IP, M.Si
Masyarakat Melayu Thailand dan
Vietnam
Thailand
Orang melayu Islam di Thailand dapat kita lihat dari bentuk
tubuh dan wajah mereka yang agak berbeda dengan orang Thailand kebanyakannya.
Menurut Hamka kalau kita berjumpa di Makkah saat melaksanakan Haji, kita tidak
dapat membedakan antara Melayu Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei,
Philipine, Mindanao dan Singapura. Orang Melayu Thailand adalah
penduduk asli yang meneroka tanah air mereka dan bukan pendatang seperti orang
China dan Tamil dari India di Malaysia yang didatangkan untuk kepentingan
penjajah ketika itu. . Orang Melayu Islam di Thailand tidak mendapatkan keistimewaan
seperti ini di Phuket.
Kebebasan beragama cukup terjamin dengan adanya sejumlah
masjid untuk orang Islam. Ceramah agama bebas dilakukan. Pendidikan agama atau
sekolah pondok para guru dan biaya buku serta pakaian sekolah murid dibayar
oleh pemerintah. Sejauh ini nampaknya cukup demokratis di Phuket. Artinya pajak
yang dibayar oleh ummat Islam Phuket dikembalikan ke rakyat dalam bentuk
infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan bantuan lainnya.
orang Melayu Islam di Thailand dipaksa atau terpaksa menerima
Thailand secara utuh. Nama-nama mereka adalah nama-nama orang Thailand. Mereka
menggunakan bahasa dan tulisan Thailand sebagai amalan harian.
Disekolah-sekolah -termasuk sekolah pondok- mereka harus menyanyikan lagu
kebangsaan Thailand. Keadaanya hampir sama dengan orang Cina di Indonesia,
dimana mereka harus berbicara dengan bahasa Indonesia, menggunakan tulisan
Indonesia (Melayu), menukar nama menjadi nama ke Indonesiaan, sejarah kedekatan
mereka dengan penjajah seperti menjadi mata-mata, rasa nasionalisme dan
sebagainya akan di ungkit disaat mereka tidak lagi meng Indonesia.
Kata orang Melayu Islam Thailand, kalau mereka tidak menggunakan nama,
bahasa dan tulisan Thailand dalam amalan keseharian, maka mereka akan dituduh
tidak nasionalis, ingin merdeka dan sebagainya.
Tulisan Arab Melayu yang pernah menjadi simbol kesatuan Islam
Melayu Nusantara seperti di Zaman Syeikh Daud Al-Fathani, Ar-Raniri, Ahmad
Khatib Minangkabawi, Palimbani dan sebagainya sepertinya hilang atau
dihilangkan secara sitematik. Keadaannya hampir sama dengan di negara asia
tenggara lainnya. Padahal tulisan Arab Melayu
menurut penulis adalah simbol kesatuan Nusantara yang pernah bersatu dibawah
kesatuan ulama melayu Silam yang tidak dibedakan berdasarkan negara -karena
memang belum lahir negara-negara seperti saat ini-. Walaupun kesatuan Nusantara
beberapa kali gagal dalam sejarahnya, namun semangatnya menurut saya tidak
hilang dan masih subur. Harapan penulis kedepan Nusantara atau alam melayu atau
asia tenggara akan menjadi seperti kesatuan Eropah saat ini yang memiliki mata
uang yang sama, kerjasama dibidang pendidikan, pertahanan, ekonomi, kesehatan
dan infrastruktur lainnya. Karena sekuat apapun negara yang ada di Nusantara
saat ini, seperti juga negara-negara Arab -menurut penulis-, ia tidak akan bisa
menjelma sebagai negara “kuasa besar” seperti USA, Soviet Union dll, kalau
tidak bersatu antara satu dengan lainnya seperti kesatuan Eropa sekarang.
Vietnam
Campa, menurut literatur Cina bernama Lin Yi, yang muncul
pada tahun 192 Masehi, terletak di bahagian tengah negeri Vietnam sekarang,
antara Gate of Annam (Hoanh Son) di utara dan Sungai Donnai di selatan.
Penduduk Lin Yi bertutur dalam bahasa Cam dari rumpun Austronesia. Sejak awal
Lin Yi merupakan negeri yang takluk pada Cina dan membayar upeti kepadanya.
Nama “Campa” disebut (dan dipakai) pertama kali dalam dua buah inskripsi bahasa
Sanskerta, satunya bertarikh 658 yang ditemui di bagian tengah Vietnam dan satu
lagi ditemui pada tahun 668 di Kampuchea.
Ajaran agama yang dianut masyarakat Campa pada abad kelapan
dan sembilan adalah Budha Mahayana yang sampai ke Campa melalui sami yang
datang dari Cina. Hubungan dengan Nusantara bermula ketika terjadi rompakan
besar-besaran oleh orang Jawa pada penghujung abad kelapan. Dan hubungan itu
menjadi lebih baik dalam bentuk hubungan perdagangan dan persahabatan. Pada abad ke sembilan terjadi peralihan orientasi Campa dari
Cina ke India. Mulai zaman ini tamadun Campa termasuk sistem sosial, keagamaan
dan lain sebagainya, dipengaruhi oleh Budaya India yang beragama Hindu dan
Budha. Pada 939 muncul kekuatan baru di wilayah ini yakni Dai Viet (kemudian
menjadi Vietnam), dan mulai sejak itu terjadi peperangan yang berkepanjangan
antara Vietnam dan Campa, dan pada 982 Vietnam berhasil menghancurkan ibu
kerajaan Indrapura, dan raja Campa memindahkannya jauh ke selatan yakni ke
Vijaya (Binh Dinh sekarang), bahkan pada 1044 Dai Viet (Vietnam) berhasil
menduduki kota Vijaya dan membunuh rajanya. Berbagai usaha pernah dilakukan
raja-raja Campa untuk membalas dendam dan menyerang Vietnam, tapi kenyataannya
pada setiap penyerangan, justru Vietnam semakin dapat memperbesar wilayahnya
dan mencaplok Campa. Pernah kerajaan Campa kembali pada kejayaannya dalam waktu
singkat, ketika diperintah oleh Che Bong Nga (1360-1390), karena dia berusaha
mengembalikan wilayah yang dirampas Vietnam, dan dia memerintah dengan cukup
adil dan berjaya memerangi lanun.
Pada 1471 raja Vietnam Le Thanh Tong menyerang Campa secara
besar-besaran, dan menghancurkan Vijaya, membunuh lebih 40.000 penduduk,
mengusir lebih dari 30.000 lainnya dari bumi Campa, dan bahkan menghancurkan
apa saja sisa-sisa kebudayaan Campa yang dipengaruhi Hindu/Budha, dan kemudian
menggantikannya dengan kebudayaan Cina/Vietnam. Dengan kemenangan Le Thanh Tong
pada 1471 itu, maka tamatlah riwayat Kerajaan Campa belahan utara, khususnya
Indrapura, Amarawati dan Vijaya. Selanjutnya yang bertahan adalah sisa-sisa kerajaan Campa
belahan selatan Kauthara dan Panduranga yang diperintahi oleh Bo Tri Tri dan
pengganti-penggantinya. Kerajaan Campa mulai menerima kebudayaan Melayu serta
Islam yang masuk melalui pelabuhan Panduranga dan Kauthara, dan meningkatkan
hubungan dengan tanah Melayu dan Nusantara, dikabarkan raja Campa bernama Po
Klau Halu (1579-1603) sudah memeluk Islam, bahkan telah menghantar tentaranya
untuk membantu Sultan Johor di Semnenanjung Tanah Melayu untuk menentang
Portugis di Melaka tahun 1511.
Namun sayang sekali lagi raja Nguyen dari Vietnam menaklukan
Kauthara (1659) dan Panduranga (1697). Raja Panduranga terakhir Po Cei Brei
terpaksa mengungsi meninggalkan negerinya bersama ribuan pengikutnya menuju
Rong Damrei di Kampuchea. Pada 1832, Penguasa Vietnam Minh Menh melakukan
pembunuhan besar-besaran terhadap sisa-sisa terakhir penduduk Campa Panduranga,
merampas seluruh sawah ladang mereka, dan memasukkan wilayah Panduranga menjadi
bagian Vietnam. Dan hal itu menandai lenyapnya Sisa Kerajaan Campa terakhir
dari peta bumi untuk selamanya, walaupun kebudayaan dan etnik Campa tetap
berlanjut tapi sudah berada di pengungsian yakni Kampuchea.
Kehadiran Orang Campa dan Melayu di Kampuchea
Kehadiran Orang Campa dan Melayu di Kampuchea
Seperti telah diuraikan sebelumnya, ramai orang Campa yang
meninggalkan tanah airnya karena desakan Nam tien atau pergerakan orang-orang
Vietnam ke selatan. Untuk menyelamatkan diri mereka hijrah ke Kampuchea. Di
Kampuchea mereka bertemu dengan kelompok Melayu yang datang dari Nusantara.
Terjadilah akulturasi budaya karena persamaan agama, dan rumpun bahasa
Austronesia, ke dalam masyarakat baru yang disebut Melayu-Campa atau Jva-Cam.
Kehadiran masyarakat Melayu di Kampuchea bermula sejak
beberapa abad sebelumnya. Sumber-sumber Khmer menyebutkan bahwa dalam abad ke
7, kaum Jva telah menghuni beberapa wilayah Khmer yang datang sebagai pedagang,
pelaut dan tentara laut. Semasa abad ke 15 hubungan dunia Melayu dan Kampuchea meningkat
dari segi ekonomi dan agama. Ramai pedagang dan penyebar agama tiba di
Kampuchea. Menurut sumber-sumber Melayu di Kampuchea, kebanyakan orang Melayu
berasal dari Borneo, Jawa, Sumatera, Singapura, Trenggano dan Patani. Bahkan
untuk waktu-waktu tertentu ketua-ketua Melayu telah menjalin kerjasama dan
saling membantu dengan Raja-raja Khmer.
Gelombang migrasi masyarakat Campa di Kampuchea adalah
selepas 1471 ketika Vietnam menduduki Vijaya, gelombang berikutnya selepas 1697
ketika Vietnam menduduki Panduranga, dan terakhir karena mengalami siksaan luar
biasa pada 1832. Migrasi Campa berlaku karena melarikan diri dari penghancuran
Vietnanm, sedang migrasi Melayu dari Nusantara terjadi karena perdagangan dan
penyebaran agama Islam. Dan kedua etnik berbeda asal usul ini bersatu dalam
satu agama yakni Islam di negeri asing bernama Kampuchea. Kedua suku ini karena
persamaan nasib, dan persamaan agama, akhirnya bekerjasama dan bercampur
sehingga melahirkan etnik baru yang disebut Melayu-Campa. Oleh penguasa Khmer
masyarakat Melayu-Campa ini dipersilahkan untuk berdiam di wilayah Oudong (ibu
nregara Khmer waktu itu), wilayah Thbaung Khmum, Stung Trang dan daerah-daerah
Kompot, Battambang dan Kampung Luong sekarang ini.
Masyarakat Melayu-Campa membentuk satu komuniti khusus yang
dikenali sebagai ”Cam-Jva”. Perkataan ”jva” berasal dari perkataan ”Jawa” yang
ditafsirkan masyarakat Kampuchea sebagai semua masyarakat Melayu dari manapun
asalnya. Mungkin mereka berasal dari Pulau Jawa, Sumatera atau mana-mana negeri
di Semenanjung Tanah Melayu dan Patani. Istilah ”cam” merujuk kepada penduduk
yang berasal dari kerajaan Campa yang pada zaman dahulu terletak di tengah
Vietnam sekarang. Karena kedua-dua masyarakat Melayu dan Cam menganut agama
Islam dan tergolong di dalam kelompok linguistik Austronesia, maka masyarakat
Khmer menggolongkan mereka kepada kelompok ”Cam-Jva” atau ”Melayu-Campa”.Pada
tahun 1874 penduduk Melayu-Cam berjumlah 25.599 orang. Sepuluh persen penduduk Phnom
Penh adalah Melayu-Cam. Di daerah-daerah pemukiman Melayu-Campa ini banyak kita
temui Masjid dan surau, serta tempat pendidikan agama. Kebanyakan Melayu-Campa
bekerja sebagai peladang, nelayan, peternak lembu dan peniaga yang handal,
sebahagian lainnya berkhidmat selaku kaki tangan kerajaan, mulai dari pegawai
peringakat kampung chumtup, mekhum, mesrok dan chaway srok, bahkan juga ada
yang berkhidmat sebagai tentara dan memegang jabatan politik.
Keseluruhan membuktikan bahwa masyarakat Melayu-Cam telah
benar-benar merasa Kampuchea sebagai negara bangsanya sendiri tanpa terkecuali,
dan telah memberikan kesetiaannya kepada Kampuchea, termasuk ketika penjajahan
Perancis. Sebaliknya pemerintah Khmer tidak menganggap Melayu-Cam sebagai
pendatang dan orang asing, tapi warga negara bukan pribumi, sebagaimana banyak
warga semacam itu lainnya. Kampuchea merdeka dari jajahan Perancis tanggal 9 Nopember 1953,
di bawah kepala Negara Norodom Sihanouk. Namun sayangnya masyarakat Melayu-Cam
tidak disebutkan dari sudut etniknya, yakni etnik Melayu-Cam, tapi disebut
Khmer Islam, sebutan yang dipopulerkan hingga ke hari ini.
Belakangan kelompok-kelompok minoriti yang dilindungi di
kawasan Pays Montagards du Sud (PMS) yang merangkumi Kontum, Pleiku, Ban
Methuot, Djing dan Dalat yang terdapat di Vietnam Selatan, dihapuskan dan
seluruhnya dianggap masyarakat Vietnam. Hal yang sama juga dialami oleh
sisa-sisa minoriti Cam di Vietnam dan Khmer Krom (masyarakat Khmer yang berdiam
di Vietnam Selatan). Oleh sebab itu, masyarakat Melayu-Cam di Kampuchea
berusaha berjuang bersama masyarakat PMS di Vietnam dan orang-orang Khmer Krom,
membentuk perikatan yang disebut FULRO (Front Unifie de Lutte des Races
Oprimees atau Barisan Pembebasan Ras-ras Tertindas). FULRO merangkumi gabungan Front
de Liberation du Champa (Barisan Pembebasan Campa), Front de Liberation du
Kampuchea Krom (Barisan Pembebasan Kampuchea Krom) dan Front de Liberation du
Kampuchea Nord (Barisan Pembebasan Kampuchea Utara).
Ahli jabatan kuasa FULRO terdiri dari Presiden Chau Dara dan
dua orang naib presiden: Y. Bham Enoul (seorang Rade dari Ban Methuot) dan Po
Nagar (seorang tentara Kapuchea yang berasal dari Kompong Cam, yang di kalangan
Islam dikenali dengan Les Kosem). Les Kosem seorang tentara payung terjun
Kapuchea, yang pada tahun 1970 dilantik menjadi general, dia merupakan pimpinan
Mulayu-Cam yang berpengaruh dalam angkatan tentara dan politik Khmer. Pada masa
pemerintahan Lon Nol, nasib Melayu-Cam agak lebih baik, karena kepercayaan dan
berbagai posisi diberikan pada Melayu-Cam dan FULRO. Les Kosem ditunjuk menjadi
mediator dalam menyelesaiukan berbagai konflik intern Muslim dan perwakilan
Kapuchea ke berbagai negara Muslim. Tapi setelah kejatuhan Kampuchea ketangan
Khmer Rouge, Les Kosem melarikan diri ke Malaysia dan meninggal di Kuala Lumpur
tahun 1976.
Semasa rezim Pol Pot dari Khmer Rouge (1975-1979),
beribu-ribu orang Kampuchea telah diseksa dan dibunuh karena diyakini
bekerjasama dengan rezim Lon Nol dan karena alasan agama yang dianutnya.
Seperti diketahui bahwa Khmer Rouge adalah penganut ajaran Komunisme radikal,
dan menghalang kebebasan beragama. Melayu-Cam yang beragama Islam merasakan
penderitaan yang amat sangat berat. Masyarakat Melayu-Cam dan Khmer Islam
dipaksa meninggalkan tradisi keagamaan mereka, nama yang memiliki konotasi
Islam, dihapuskan, Masjid dan madrasah tidak difungsikan atau dikurangi
jumlahnya, kebiasaan-kebiasaan agama lainnya dihapuskan. Al-Qur’an dan
bacaan-bacaan keagamaan lainnya dimusnahkan. Budaya dalam bentuk
aktifiti-aktifiti, pakaian, makanan dan asesoris Islam lainnya dilenyapkan,
termasuk nama dan gelaran keagamaan.
Pada tanggal 17 April 1975, pasukan khusus Khmer Rouge yang
disebut Angkar, telah melakukan pencarian dan penyisiran diikuti penyiksaan
terhadap siapa saja yang mereka curigai mengikut Lon Nol. Pada 20 Mei 1975, Pol
Pot telah melakukan diskriminasi sosial berdasarkan pilihan politik dan
agamanya, sehingga yang ada hanya dua pilihan: ”ikut Pol Pot atau menolak Pol
Pot”. Mereka yang dianggap menolak Pol Pot mengalami nasib yang tidak pernah
terjadi dalam sejarah umat manusia, yakni pembantaian besar-besaran.
Diperkirakan antara satu sampai tiga juta rakyat telah
dibunuh atau mati karena kekurangan makanan, satu juta diantaranya adalah
Melayu-Campa. Dan lebih kurang enam juta lainnya mengalami trauma berat karena
ketakutan yang sangat berat. Umat Islam karena alasan ideologi dan keagamaan
serta merupakan ”kaum pendatang” merupakan umat paling menderita, mereka
dipaksa berpisah dengan kaum sesama umat Islam, atau diusir ke hutan dan gunung
atau bagi yang mampu ada yang melarikan diri ke Luar Negeri, yang paling banyak
lari ke Kelantan (Malaysia), Vietnam dan Thailand serta negara-negara barat.
Walaupun Kher Rouge hanya memerintah selama empat tahun, tapi akibatnya dari aspek budaya, banyak rakyat Khmer Islam dan Melayu-Camp yang sudah tidak kenal agamanya, tidak pandai tulis baca Arab dan Campa. Pol Pot berhasil mengikis habis identitas keislaman dan Ke-Campa orang-orang Melayu Campa.
Walaupun Kher Rouge hanya memerintah selama empat tahun, tapi akibatnya dari aspek budaya, banyak rakyat Khmer Islam dan Melayu-Camp yang sudah tidak kenal agamanya, tidak pandai tulis baca Arab dan Campa. Pol Pot berhasil mengikis habis identitas keislaman dan Ke-Campa orang-orang Melayu Campa.
Barulah setelah kejatuhan rezim Pol Pot dan diperintah oleh
Hun Sen dan Raja Sihanouk, masyarakat Melayu-Cam/Khmer Islam kembali merasakan
sedikit kemerdekaan beragama. Masjid sudah mulai difungsikan kembali demikian
juga madrasah-madrasah. Masyarakat Islam diletakkan di bawah majlis yang terdiri
dari enam orang yang dilantik oleh raja. Majlis Agama Islam Kampuchea (MAIK)
dipimpin oleh seorang Changvang (mufti), sekarang dijabat oleh Uztadz
Kamaruddin Yusof, dibantu oleh dua orang Pembantu Mufti (sekarang Uztadz Yusof
Kadir dan Uztadz Arsyad), dilengkapi dengan tiga orang Penasehat (sekarang YB
Math Ly, YB Tol Loh dan YB Ismail Osman). Di setiap kampung terdapat seorang
pemimpin spritual bergelar Hakim. Di daerah Trea (Kompong Cham) ditubuhkan
sekolah Madrasa Hafiz al-Qur’an, kemudian diikuti Sekolah Dubai di KM 9 Pnomh
Penh, Darul Aitam di Pochentong, Serkolah Ummul Kura di Chrouy Metrei. Madrasa
Hajjah Rohimah Tambichik di Nohor Ban dan Ma’had al-Muhammady di Beng Pruol.
Sebenarnya sebelum rezim Kher Rouge memerintah Kampuchea, banyak pelajar
Kampuchea melanjutkan pelajarannya ke Malaysia, Thailand Selatan, Egypt, Arab
Saudi dan Kuwait.
Saat ini solidaritas dari badan-badan Islam Internasional,
dan umat Islam antara bangsa telah muncul, karena nasib umat Islam di Kampuchea
yang begitu menyedihkan. Rabithah Alam Islami di Mekah, Konferensi
Negara-Negara Islam (OIC) dan lain sebagainya telah menyalurkan berbagai
bantuan, mulai dari pengiriman mushaf Al-Qur’an sampai bantuan rehabilitasi
Masjid dan melakukan advokasi (pembelaan) nasib umat Islam tersebut.
Lembaga-lembaga keagamaan, seperti Jema’ah Tabligh dan Darul Arqam serta
Regional Islamic Da’wah Council of South East Asia And Pacific (RISEAP) dari
Malaysia mendatangkan guru dan pendakwah/ulama serta melakukan berbagai
kunjungan silaturrahmi. Saat ini sudah dikukuhkan 320 buah kampung orang Islam,
110 diantaranya terdapat di propinsi Kompong Cham, juga sudah dipulihkan
fungsinya dan direhabilitasi bangunannya sebanyak 270 masjid dan surau, dan
dikikuhkan 600 orang Tuan dan Hakim. Propinsi lainnya yang juga kuat umat
Islamnya adalah Propinsi Battambang dan Kampot.
Di Kampuchea terdapat empat persatuan Umat Islam: yakni
Samakum Islam Kampuchea (Persatuan Islam Kampuchea) di bawah kepimpinan YB Math
Ly. Samakum Khmer Islam Kampuchea (Persatuan Khmer Islam Kampuchea) dipimpin
oleh YB Wan Math. Samakun Islam Preah Reach Anachakr Kampuchea (Persatuan Islam
Kerajaan Kampouchea) di bawah pimpinan YB Ahmad Yahya, Dan Samakum Cham Islam
Kampuchea (Persatuan Cam Islam Kampuchea) diketuai guru bernama Guru Zain yang
tinggal di Prek Pra. Kedua-dua istilah: Khmer Islam dan Cam sama-sama diterima
dan dipakai secara resmi. Selanjutnya juga ada Yayasan seperti Cambodian Muslim
Development Foundation dan Combodian Islamic Development Community. Dan tentu
saja tidak boleh dilupakan adalah organisasi intelektual Muslim Kampuchea
Cambodian Muslim Intelectual Alliance (CMIA) yang menyelenggarakan acara kita
saat ini.
Adapun tokoh-tokoh Islam Kampuchea yang terkenal karena
posisinya yang dekat dengan pantadbiran antara lain: YB Math Ly (ahli parlemen,
timbalan Perdana Menteri dan bekas Menteri Pendidikan). Onkha Othman Hassan
(ahli parlemen, penasehat Perdana Menteri), YB Ahmad Yahya (Ahli parlemen), HE
Ismail Yusoff (ahli parlemen), YB Ismail Osman (Ahli parlemen dan timbalan
menteri di kementrian Hal Ehwal Kepercayaan dan Agama). YB Zakariyya Adam Osman
(timbalan Menteri di Kementrian Hal Ehwal Kepercayaan dan Agama).
Hubungan Budaya Melayu Campa dan Asia Tenggara
Seperti sudah disebutkan, terdapat dua etnik yang menyatu di
Kampuchea, yakni Melayu-Cam. Orang Kampuchea menyebut mereka dengan ”Cam-Jva”.
Istilah ”jva”, yang berasal dari perkataan Jawa. Walaupun di Kampuchea istilah
”Jva” tidak di maksudkan hanya untuk orang Jawa, tapi seluruh orang Melayu atau
Nusantara, termasuk Semenanjung Tanah Melayu dan Patani. Sedang ”Cam”, atau
Cham berasal dari etnik atau (kerajaan lama) Campa.
Kalau orang Melayu merantau dari Tanah Melayu atau Nusantara,
maka orang Cam mengungsi secara besar-besaran dari tanah asal mereka di bagian tengah
Vietnam sekarang, dan keduanya yang kebetulan berasal dari rumpun bahasa yang
sama yakni Austronesia, dan belakangan mempunyai agama yang sama, yakni Islam,
maka kedua etnik tersebut dengan cepat menyatu dan melahirkan etnik Jva-cam
atau Melayu–Campa.
Walaupun orang Kampuchea tidak dapat membezakan orang Melayu,
tapi dari kalangan Melayu sendiri, membagi Melayu menjadi tiga kategori: (1)
Orang Jva Krabi (dalam bentuk tulisan Chhvea Krabei) menunjukkan orang Melayu
yang berasal dari Pulau Sumatera, khususnya Minangkabau. Krapi dalam bahasa
Kampuchea berarti “Kerbau”, diperkirakan menggunakan istilah Jva Krabi, karena
konon kabarnya dahulu kala kerbau orang Minangkabau menang melawan kerbau yang
dibawa dari Jawa. (2) Orang Jva Ijava (Chhvea iava), maksudnya orang Melayu
yang berasal dari Pulau Jawa. (3) Orang Jva Malayu (chhvea Malayou),
menunjukkan orang Melayu yang datang dari negeri-negeri Semenanjung Tanah
Melayu dan Patani.
Hijrahnya orang Melayu dari Nusantara, dalam rangka berdagang
atau karena mereka anak maritim yang senang mngembara dilautan lepas,
diperkirakan setelah masuknya Islam di Nusantara, sehingga mereka ikut membawa
Islam ke Kampuchea. Proses imigrasi itu diperkirakan berlangsungabad ke 13 dan
14. Orang Melayu telah memainkan perannya yang besar dalam mengajarkan Islam di
Kampuchea. Raja Khmer sering memberi gelaran kepada tokoh-tokoh Islam, seperti
”Onkha To Koley”, berasal dari Ukana To’ Kali. Koley berasal dari kata Kalih
(bahasa Melayu) atau Kadi (bahasa Arab yang berarti Hakim). Gelaran ”Onkha
Reachea Mu Sti”, berasal dari Ukana Raja Mufti. Mufti (bahasa Arab berarti
pemberi fatwa), sedang ”Onkha Reachea Peanich”, berasal dari Ukana Raja
Sampatti, senopati (bahasa Jawa yang berarti perwira) yang bertanggug jawab
dalam bidang perniagaan dan ekonomi.
Pada akhir abad ke 16, sumber-sumber Khmer menyebutkan
terdapat dua tokoh Melayu-Cam, bernama Po Rat atau Cancona (berasal dari Cam)
dan Laksmana (dari Melayu), yang berbakti pada Raja Ram I (Ram dari Joen Brai
(1594-1596), kedua mereka ini dikenal sebagai pemimpin tentara yang sangat kuat
dan handal, dan dipercaya memadamkan berbagai pemberontakan dan diantar
memimpin ekspedisi ke berbagai wilayah. Sebagai balas jasa, Raja Khmer
menghadiahkan wilayah Thbaung Khum untuk mereka jadikan sebagai tempat tinggal
keturunan dan masyarakat Islam lainnya.
Menjelang abad ke 17, orang Melayu berhasil mengislamkan raja
Khmer Ramadhipati I (Cau Bana Cand) (1642-1658), diperkirakan masuk Islamnya
Raja Ramadhipati I ini karena kuatnya lobbi dan pengaruh Islam di istana,
sehingga hanya dengan ikut Islam, kekuasaan raja tersebut akan dapat bertahan.
Raja Ramadhipati I merupakan satu-satunya raja Khmer yang masuk Islam sampai
masa belakangan. Untuk
zaman akhir ini, Malaysia merupakan negara Melayu yang sangat giat melaksanakan
pengakajian masalah Campa dan kaitannya dengan Dunia Melayu, pengkajian itu
dilakukan bersama Ecole Francaise d’Extreme Orient, sehingga sejarah Kerajaan
Campa dan kaitannya dengan Melayu, dapat dibuka tabir rahasianya yang terbenam
bersama lenyapnya Kerajaan Campa itu. Dan khusus bagi Indonesia, sebenarnya
Campa merupakan wilayah budaya yang mempunyai tempat istimewa – khususnya pada
masa klasik, zaman Majapahit dan Sriwijaya, di mana wilayah pergaulan budayanya
sampai ke daerah Campa – perdagangan dan pertukarangan budaya berjalan sangat
intensif. Bahkan dalam ceita lama, dikatakan bahwa seorang puteri Cantik Campa
bernama Gayatri telah dipersunting oleh raja muda Singosari, menunjukakan
bagaimana hubungan itu telah terjalin sejak lama.
Untuk masa hadapan, perlu diperkuatkan lagi kerjasama
akademik antara Indonesia dan Malaysia bagi menubuhkan penggalian khazanah
lama, pengkajian Hubungan Melayu-Campa dan Dunia Melayu, dalam kerangka
persepahaman dunia, dalam kerangka kerjasama umat Islam sedunia.
Referensi
http://bonehsarumpun.blogspot.com/2009/02/sejarah-melayu-campa.html
diakses pada tanggal 5 November 2011
http://sejarahmelayu.wordpress.com/
diakses pada tanggal 5 November 2011
minta data masyarakat multikultural yang lengkap :)
BalasHapusbenyuk keanekaragamanya gimana,sistem ideologinya,masalah yang timbul akibat adanya multikultural di thailand,trus lembaga yang menangani masalah itu siapa aja?
Agen JUDI DOMINO Terpercaya di Indonesia
BalasHapus