Selasa, 08 Mei 2012

Why Is There No Non-Western International Relations Theory?: Reflections on and from Korea


Tulisan ini merupakan summary yang membahas mengenai ketiadaan teori hubungan internasional non-Barat, yang berasal dari Korea. Summary ini bersumber pada karangan Chaesung Chun, yang berjudul Why is there no non-Western international relations theory?: Reflections on and from Korea, yang terdapat di dalam buku Non-Western International Relations Theory: Perspectives on and beyond Asia (Editor: Amitav Acharya dan Barry Buzan).
Pada awal tulisannya ini, Chaesung Chun menyatakan bahwa para sarjana Korea memiliki pemikiran tersendiri dalam menganalisa politik regional dan hubungan antar dinasti, nilai moral tertanam sangat kuat dalam diri mereka. Akan tetapi mereka kurang memahami konsep ilmu sosial positif. Sehingga Korea mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem internasional modern dalam masa transisi (1876-1910).
Chun menyatakan bahwa kesulitan beradaptasi ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena tradisi dan norma kekuasaan kaisar menjadikan para sarjana Korea sulit memahami sistem internasional modern, terutama konsep persamaan kedaulatan dan politik non intervensi. Kedua, adanya kesenjangan antara nilai-nilai normatif dan hukum dari suatu sistem internasional, dengan kenyataan yang terjadi di dunia internasional. Invasi yang terjadi terhadap teritorial Korea, membuktikan bahwa hukum tidak bisa menjamin kedaulatan pada saat itu. Ketiga, Korea mengadopsi sistem negara modern bertepatan dengan masa imperialis barat. Bagi para imperialis, kedaulatan nasional hanya milik negara kuat, dan keadaan Korea pada saat itu tidak memungkinkan untuk dianggap sebagai negara berdaulat. Hal ini dibuktikan dengan sia-sianya perwakilan Korea pada Konferensi Perdamaian Den Haag (1907) dan Versailles (1919), karena yang dihadapi dalam pertemuan tersebut adalah negara-negara imperialis.
Sejak tahun 1945 Korea yang bebas dari jajahan Jepang dan imperialis Barat yang menjajah sebelum Jepang, mulai menjalankan hubungan internasionalnya, sehingga diakui sebagai negara berdaulat oleh masyarakat internasional. Masa awal studi HI di Korea Selatan, ditandai dengan berkurangnya pengaruh akademisi Jepang dan bertambahnya dominasi karya ilmiah pemikiran barat. Dan sejak tahun 1950, para sarjana Korea menggunakan teori-teori Barat untuk menganalisa hubungan internasional yang terjadi di Semenanjung Korea. Kurangnya jumlah intelektual dan drastisnya perkembangan studi HI, serta pecahnya Perang Korea membuat para sarjana Korea mulai berpikir bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, seperti pembangunan negara, pembagian wilayah teritorial, dan kebijakan luar negeri.
Sejak kemerdekaan hingga berakhirnya Perang Korea (1945-1953), Korea masih tetap berada di bawah pengaruh akademis Jepang dan Amerika. Sehingga, para sarjana Korea mulai mengembangkan diri dan mendirikan lembaga Korean Political Science Association (KPSA) tahun 1953. Organisasi ini adalah organisasi akademis terbesar Korea di bidang ilmu pengetahuan politik. Studi HI pertama kali dipelopori oleh Universitas Nasional Korea dan kemudian diikuti oleh institusi pendidikan lainnya. Dan pada tahun 1956, jurusan HI di Korea pertama kali muncul di Universitas Nasional Seoul. Selain itu, juga ada Asosiasi Studi Internasional Korea yang mengorganisasi ilmuwan politik internasional di Korea.
Kebanyakan sarjana Korea merupakan lulusan doktor dari akademi Amerika Serikat, sehingga sangat dipengaruhi nilai-nilai liberal. Hal ini juga mempererat hubungan antara Korea Selatan dan Amerika. Perspektif realis yang merupakan perspektif dominan dalam studi hubungan internasional pada masa tersebut, menjadi pembahasan yang umum dibicarakan dalam tulisan-tulisan para sarjana Korea. Kajian-kajian yang dibahas meliputi kebijakan luar negeri, kebijakan keamanan, lembaga-lembaga internasional, dan teori hubungan internasional.
Walaupun pengaruh pemikiran barat masih ada, sarjana Korea berusaha untuk membuat karya ilmiah sendiri, seperti yang dilakukan oleh Lee Yong-Hee dengan bukunya A General Theory of International Politics in Relation with its Historical Aspects. Buku tersebut membahas HI dari sudut pandang penulis berdasarkan sejarah dan kondisi internasional Korea. Selain itu, jurnal-jurnal seperti Korean Political Science Review (KPSR) dan Korean Journal of International Studies (KJIS) juga diterbitkan untuk membahas tentang hubungan internasional secara umum, seperti hubungan Korea dengan Amerika dan Jepang, modernisasi, serta teori-teori HI. Pengaruh teori barat, khususnya realisme, terus dominan dalam karya-karya ilmiah sarjana Korea, sehingga mereka tetap menggunakan teori-teori barat dalam menganalisa kondisi hubungan internasional Korea.
Pada tahun 1970-an, jumlah sarjana HI Korea semakin bertambah, dan behavioralisme tumbuh menjadi salah satu pembahasan dalam studi HI Korea. Munculnya behavioralisme di Korea merupakan pengaruh yang dibawa doktor-doktor HI lulusan Amerika Serikat, karena behavioralisme juga berkembang di Amerika Serikat.
Realisme dan behavioralisme menjadi teori dominan karena kondisi Korea pada saat itu berada dalam Perang Dingin, sehingga membuat para ahli HI membuat penelitian empiris dalam menganalisa studi tentang keamanan. Ditambah lagi dengan meningkatnya kepedulian terhadap ekonomi politik internasional dalam menangani krisis minyak di pertengahan 1979-an, serta perkembangan hubungan ekonomi dan perdagangan. Para sarjana tetap menggunakan teori-teori barat, namun telah dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di Korea Selatan pada masa tersebut. Perkembangan teori HI di Korea seperti teori interdependensi, teori rezim, dan teori kritis telah mempengaruhi pemikiran sarjana HI di Korea. Berbagai perubahan dan peristiwa yang terjadi di dunia internasional pada 1970-an dan 1980-an sangat berpengaruh bagi para sarjana Korea.
Sejak akhir 1980-an, banyak perubahan yang terjadi di Korea Selatan. Berakhirnya Perang Dingin juga telah banyak mengubah pemikiran para sarjana hubungan internasional Korea Selatan. Adanya pembagian kekuasaan juga menentukan masa depan Korea Utara dan Korea Selatan. Selain itu, globalisasi yang diharapkan membantu perkembangan malah membuat Korea Selatan jatuh kedalam krisis finansial pada tahun 1997. Pada akhirnya, Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan teknologi informasi maju, yang menjadi penyebab para ahli mulai berfokus pada perkembangan internet, komunikasi, dan budaya yang memengaruhi proses politik domestik dan internasional.
Menurut Chun, perubahan politik yang terjadi di Korea belakangan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti: (i) pengaruh Amerika Serikat, yang semula sangat besar terhadap perpolitikan Korea, mulai berkurang dan melemah; (ii) keinginan para sarjana Korea untuk mengembangkan teori-teori HI yang masih sangat kecil, mungkin ini dikarenakan para sarjana Korea ini merupakan kaum post-positivis, yang terkenal dengan pengembangan teorinya berdasarkan dengan nilai-nilai dan pandangan yang berkembang di tempat mereka; serta (iii) bertambahnya institusi-institusi penelitian, asosiasi-asosiasi akademis, dan kelompok-kelompok pelajar, seperti “Korean Politicial Science Association (KPSA), Korean Association of International Study (KAIS), The Twenty First-Century Politicial Science Association, Korean Peace Research Institute, The Sejong Institute, The Institute for Far Eastern Studies,” (hlm. 74) yang aktif mempublikasikan tulisan yang mengkritik tema-tema HI, sehingga muncul teori-teori HI baru yang lebih cocok diterapkan di Korea. Walaupun demikian, banyak juga dari mereka yang menggunakan teori-teori HI dari sarjana Amerika untuk diaplikasikan di Korea.

Sejarah Perspektif Teori HI di Korea
Perkembangan HI di Korea berbeda dengan perkembangan HI di negara-negara barat, yang melahirkan banyak sekali perspektif teori HI. Perkembangan teori dan praktik HI di Eropa sangat dipengaruhi oleh hubungan antarnegara dalam sebuah sistem internasional modern. Sedangkan di Korea, praktik HI sangat dipengaruhi oleh pertentangan antarkelas, yaitu antara tatanan tradisional Korea dengan peradaban dan pengaruh modernisasi dari barat, serta perkembangan politik yang berkembang di kawasan Asia.
Peradaban Korea kuno mengenal prinsip dinasti dalam perpolitikannya. Bentuk pemerintahan dinasti menimbulkan adanya hierarki yang muncul dari persaingan antarkerajaan Korea dan juga kerajaan dari Cina. Ada dua periode politik regional yang pernah terjadi pada era Korea kuno, yakni perkembangan politik abad ke 14 ketika dinasti Chosun di semenanjung Korea, dan perkembangan politik ketika dinasti Ming di Cina daratan yang muncul sebagai kekuatan baru akibat dari kemunduran peradaban Mongolia. Dinasti-dinasti yang ada di Korea ini tidak hanya memiliki konflik dengan dinasti yang ada di Cina, tetapi juga dengan kerajaan yang ada di bagian utara semenanjung Korea. Pada era ini, praktik-praktik seperti pencaplokan dan penaklukan masih dianggap sebagai proses yang sah, karena masing-masing kerajaan belum memiliki kedaulatan. Pada ketika itu, juga dikenal  adanya sistem internasional yang bersifat anarkis. Karena dinasti Korea memperluas wilayahnya dengan menggunakan kemampuan militer.
Sejak akhir abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-19, tatanan Sino-centris dan sistem kekaisaran yang universal mendominasi perkembangan politik di kawasan Asia Timur Laut” (hlm. 75). Sehingga Korea menjadi bagian terbesar dari kekaisaran Cina.  Walaupun terjadi invasi Korea oleh Jepang pada tahun 1599, yang memaksa Chosun (pemimpin Korea) meminta pertolongan pada Cina. Sejarah HI di Asia Timur pada umumnya dan Korea pada khususnya, sangat mendekati pandangan kelompok realis.
Chun mengatakan bahwa memang sulit mencari pemikir HI dari sarjana-sarjana Korea ketika itu. Hal ini merupakan akibat adanya ketidakkomitmennya masyarakat Korea, karena di satu sisi tatanan sosial yang lama masih diberlakukan, sedangkan di sisi lain masyarakat tradisional mengalami transisi menuju prinsip-prinsip kehidupan modern. Setelah mendapat invasi dari Jepang, kedaulatan nasional menjadi isu terbesar dalam proses pembentukan negara Korea. Setelah lepas dari imprealisme Cina, Korea menjadi sebuah negara yang berdaulat di bawah kekuasaan Chosun. Dan selanjutnya, negara-negara Eropa dan Amerika mulai berdatangan ke Korea untuk berdagang dan tujuan lainnya.
Sejak tahun 1897, Korea telah menjadi negara merdeka. Akan tetapi Korea kembali dijajah oleh Jepang hingga tahun 1910. Penjajahan kembali oleh Jepang ini, menjadikan rakyat Korea yang pada awalnya hanya bertolak pada bentuk kekuasaan politik Cina, kemudian mulai membuka pikiran mereka terhadap konsep “negara modern yang berdaulat ala Eropa”. Pada periode 1880-an ke atas Korea seolah menjadi rebutan dua negara, Cina dan Jepang.
Tahun 1890-an menjadi awal bagi Jepang untuk menaklukan semenanjung Korea yang semula berada di bawah pengaruh Cina. Banyaknya kepentingan-kepentingan global di Korea bermula dari tahun 1897, ketika Chosun yang semula memegang kekuasaan di Korea harus menyerah pada perebutan negeri Korea atas kekuatan-kekuatan besar diantaranya kekuatan-kekuatan dari Barat seperti Inggris dan Rusia. Nasib Korea kemudian menjadi tidak jelas ketika akhirnya peta kekuatan di Asia Timur menjadikan Jepang sebagai kekuatan baru dengan kemampuannya dalam mengalahkan Rusia pada tahun 1905 yang juga dengan mudahnya Jepang menguasai Korea tanpa mendapat perlawanan dari negara-negara yang semula bersaing memperebutkan semenanjung Korea (pada sekitar tahun 1880an, Inggris pernah menduduki pelabuhan pelabuhan Port Hamilton di Selatan Korea, tujuannya adalah melawan Rusia dengan kemampuan angkatan lautnya, para pemikir hubungan internasional Korea tidak bisa memahami kebijakan luar negeri illegal yang dilakukan bangsa lain di negeri mereka).
Awalnya para sarjana-sarjana Korea kurang memahami konsep kedaulatan nasional. Konsep Balance of Power yang telah diaplikasikan dalam sistem kenegaraan Korea, memberi petunjuk bagi sarjana Korea dalam memahami hubungan internasional model Barat. Istilah “The Law of All Nations”, yang dikembangkan oleh sarjana Hukum Internasional Barat, Wheaton, diadopsi oleh bangsa Korea menjadi salah satu gagasan terbentuknya kesetaraan kekuasaan bagi bangsa Korea terhadap bangsa lain.

Faktor-Faktor Ketertinggalan Teori HI di Korea
Adapun faktor-faktor  keterbelakangan teori-teori HI di Korea dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.   Tertinggalnya prestasi akademik dan filosofis dalam teori-teori, karena karya-karya akademik di bidang politik khususnya HI baru berkembang setelah adanya pengenalan terhadap HI modern.
2.   Teori-teori barat diadopsi sebagai produk jadi tanpa adanya proses seperti yang terjadi di barat itu sendiri.
3.   Teori-teori HI dari barat secara langsung atau tidak langsung telah meminggirkan posisi dan sejarah dari negara-negara dunia ketiga.
4.   Realitas HI di Asia sangat kompleks selalu ada kombinasi beberapa prinsip pengorganisasian dan struktural imperatif dan hal tersebut membutuhkan pemahaman bagi negara-negara di Asia Timur untuk mengatasi beberapa masalah pada saat yang sama, baik secara intelektual maupun praktis.
5.   Bentuk  fundamental untuk menentukan nasib orang-orang Korea sering
berasal dari tingkat global.
6.   Tidak semua teori-teori barat dapat secara langsung diterapkan di Korea. Hal ini dikarenakan teori makro (grand teori) seperti asumsi-asumsi neorealisme dan neoliberalisme bahwa aktor berdaulat dan berkompeten harus berperilaku dan berfikir dengan rasional dan strategis.
7.   Bidang sejarah dan HI dalam dunia akademis di Korea, biasanya dipisahkan. Bidang sejarah memiliki pendekatan sendiri dan asumsi-asumsi teoritis dari orang-orang di bidang HI. Namun, tanpa menggabungkan sejarah dan teori, pembangunan akan sulit memiliki teori yang tepat. (Elman 2001; Kim 2005).
8.   Pertukaran pendapat atau melaksanakan dialog di antara para akademisi di negara-negara Asia Timur agak kurang. Sarjana  HI di Korea, Cina, dan Jepang memiliki pendekatan yang berbeda-berbeda mengenai konsepsi tentang kegunaan teori Barat. Tanpa percakapan sistemik di kalangan sarjana di wilayah yang sama, akan sangat sulit untuk memiliki teori IR regional yang koheren.

Muncul beberapa pertanyaan, yaitu mengapa kita membutuhkan teori-teori HI non-Barat untuk menjelaskan realitas yang terjadi di dunia non-Barat? Bukankah teori bersifat universal? Apakah kita memerlukan sejumlah teori yang berbeda untuk negara-bangsa yang berbeda? Jika tidak, teori apa yang dapat menjelaskan permasalahan yang terjadi baik di Barat maupun non-Barat?
Chun menjelaskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai berikut:
1.   Teori-teori HI diinduksi dari realitas sejarah. Jika teori HI tertentu mencerminkan sejarah suatu wilayah tertentu, maka itu adalah teori spasial terbatas dan hal ini juga berlaku untuk dimensi temporal.
2.   Setiap teori memiliki sebuah penjelasan dan dimensi normatif. Dari perspektif teori kritis, sulit bagi teoretikus untuk memiliki nilai bebas dari teori agenda, atau orientasi teoritis.
Teori HI barat telah sangat membantu dalam menjelaskan realitas HI di Korea, khususnya realisme dan studi keamanan (Ikenberry dan Mastanduno 2003; Alagappa 2003). Sebagai kawasan di Asia Timur yang telah ditandai dengan adanya keseimbangan kekuatan dan kompetisi keamanan, teori tentang keseimbangan kekuasaan, hegemoni, dilema keamanan dan transisi kekuasaan sangat membantu. Dalam kasus terakhir, masa lalu masih tumpang tindih terhadap realitas historis dan dimensi waktu yang menyulitkan konfigurasi struktural dari tatanan regional, dan pencampuran prinsip-prinsip pengorganisasian yang berbeda dari HI. Selain itu, masalah kedaulatan yang sangat kompleks karena kesatuan kedaulatan teritorial belum sepenuhnya didirikan di Cina dan Korea. Begitu pula di Jepang juga dibatasi oleh konstitusi pasifis pasca-perang terutama dalam urusan militer.

Kemudian, asumsi yang dibuat oleh teori Barat, terutama neorealisme dan
neoliberalisme yaitu penyelesaian negara-bangsa yang fungsional dibedakan (seperti-unit), tidak dapat secara seragam diterapkan untuk HI di Asia Timur.Yang dibutuhkan adalah ide segar tentang sifat unit atau instansi. Dengan memiliki banyak ide dan prinsip-prinsip pengorganisasian ganda, maka dapat mengemukakan teori dari segi sifat setiap kejadian. Di sisi lain, pemikiran non-Barat termotivasi oleh kekhawatiran atas klaim. Politik dan otonomi ekonomi dari dominasi negara maju, persamaan kedaulatan antara negara-negara, menerima bantuan dan mengubah status quo, yang dianggap sebagai pelestarian eksploitasi oleh barat sehingga dunia yang berbeda muncul untuk masa depan. Jika tidak dapat membangun argumen yang tepat mengenai standar meta-etis terhadap penilaian atas kebenaran atau kelengkapan dari dimensi teori normatif masing-masing, perdebatan analitis akan terus ada tanpa adanya penyelesaian yang nyata, yang mendasari
konflik antara teori, khususnya di antara teori-teori barat dan non-barat.
Sekarang kita mulai hidup dalam masa transisi dalam memerangi terorisme dan intervensi politik ke negara lain serta urusan domestik dalam proses 'perluasan kebebasan'. Jika AS berhasil untuk mengatur standar dengan nilai-nilai dan kekuasaan materialnya sendiri, maka gagasan kedaulatan nasional akan sangat berubah. Jika teori masa depan hanya mencerminkan fenomena terbaru yang terjadi terutama di AS dan di negara-negara barat yang maju, terbatas dalam ruang dan waktu, maka dunia non-Barat akan tetap  tidak berdaya bukan hanya dalam politik internasional nyata, tetapi juga dalam bidang teori. Tidak akan mudah untuk memiliki sebuah teori yang memiliki dimensi yang komprehensif, baik secara geografis dan historis, untuk berurusan dengan dunia yang maju dan dikembangkan oleh dunia.
dalam kerangka teori yang koheren. Tidak seperti modernitas, yang menyekat
dunia, proyek postmodern dalam bidang HI harus termasuk realitas dan pengetahuan dari dunia non-barat. Tantangan bagi akademisi non-barat adalah untuk memberikan kontribusi untuk perkembangan  teori postmodern HI, atau teori politik postmodern global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar