Nama :
Sarah
NIM :
0901120186
Jurusan :
Ilmu Hubungan Internasional
Dosen : Saiman Akpahan S.IP, M.Si / Tito Handoko
S.IP
Mata Kuliah :
Sosiologi Politik
Pengantar Sosiologi Politik dan
Komponennya
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan penjelasan
sejarah dari sosiologi politik yang awalnya terdiri dari dua kajian ilmu yakni
ilmu Sosiologi dan ilmu Politik. Sejarah sebelum memiliki kajian tersendiri
akan dijelaskan dalam tulisan ini. Tulisan inipun akan menjelaskan komponen
sosiologi politik diantaranya: sosialisasi politik, partisipasi politik,
pengrekrutan politik dan komunikasi politik, berikut adalah penjabarannya.
Sejarah Sosiologi Politik
Pertama kalinya istilah
sosiologi diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798 – 1857), sosiologi dalam arti
singkat mempelajari tentang masyarakat yang dipandang dari satu sisi tertentu
yang akan diamati. Selain Comte masih ada Herbert Spencer (1820 – 1903) menambahkan
masyarakat sebagai unit dasar masih ada unit lain seperti keluarga, lembaga
politik, ekonomi, dan keagamaan). Saat ini sosiologi diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari kelompok sosial, yakni interaksi manusia dan interrelasinya[1].
Pemahaman yang paling sentral dari politik adalah penyelasaian dari
konflik-konflik yang disebabkan oleh manusia, atau proses yang mana masyarakat
membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan
tertentu, mengalokasikan sumber-sumber
dan nilai-nilai tertentu, atau dapat juga disebut berupa pelaksanaan kekuasaan
dan pengaruhnya dalam masyarakat. Pengertian yang lebih banyak digunakan dalam
ilmu politik adalah pendistribusian
kekuasaan.
Asal Mula dan Perkembangan Sosiologi Politik
Dalam bidang sosiologi
politik memiliki bapak pendiri yakni Karl Marx (1818 – 1883) dan Max Weber
(1864 – 1920). Sumbangan Marx diberikan dalam tiga bidang yakni teori umum,
teori khusus dan metodologi. Selain itu Marx juga mengembangkan “hal-hal yang
tidak bisa dielakkan secara historis (Historical
Inevitability)” Hegel dan Marx memiliki perbedaan yakni Marx mendasarkan
teorinya pada konflik materil dari kekuatan ekonomi yang saling bertentangan,
yang akhirnya menghancurkan sistem kapitalis dan menciptakan suatu masyarakat
tanpa kelas.
Selanjutnya ada Max Weber
yang melakukan kritik terhadap teori-teori Marx, Weber menyebutkan politik
sebagai sarana perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan politik, atau
perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik diantara
negara-negara maupun diantara kelompok. Menurut keyakinan Weber ada tiga tipe
legitimasi yang utama yaitu:
1.
Kewibawaan “hari kemarin yang kekal”
2.
Kewibawaan dengan keanggunan pribadi yang luar biasa.
3.
Dominasi kebijakan “legalitas”.
Dapat dikatakan dominasi legal, kharismatik, dan tradisional adalah murni
atau merupakan tipe-tipe ideal, karena satu sama lain sifatnya tidak eksklusif.
Namun demikian, menurut Rush dan Althoff, meskipun
politik itu memiliki batasan yang bermacam-macam, akan sangat membantu apabila
menganggap kekuasaan sebagai titik sentral dari studi politik. Batasan ini juga
disepakati oleh Duverger (1989) dan beberapa pakar lainnya. Dengan demikian
tampaknya kita menyepakati bahwa politik dibatasi sebagai "masalah
kekuasaan", dan tentunya kita pun sepakat pula membatasi ilmu politik
sebagai "ilmu tentang kekuasaan".
Dua pengertian, yaitu "sosiologi" dan
"politik" atau "ilmu politik" telah dipahami dengan baik.
Selanjutnya perlu dipahami apa itu "sosiologi politik", bagaimana
konsepsi dasarnya? Apakah pengertiannya merupakan gabungan dari pengertian
sosiologi dan pengertian politik atau memiliki pengertian tersendiri. Uraian
berikut akan memberikan pemahaman?
Mengacu pada pemikiran Duverger (1989), ada dua arti
mengenai "sosiologi politik". Pengertian pertama, menganggap
sosiologi politik sebagai "ilmu tentang negara", dan yang kedua, menganggap
sosiologi politik sebagai "ilmu tentang kekuasaan".
Mendefinisikan sosiologi politik sebagai ilmu negara
berarti menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada
hakikat dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari. Sosiologi politik dalam
pengertian ini berbeda dari sosiologi keluarga, sosiologi kota, sosiologi
agama, sosiologi etnik atau kelompok minoritas.
Pandangan ini menempatkan sosiologi politik di dalam
klasifikasi yang lain dari pengertian yang pertama, yaitu suatu yang didasarkan
bukan pada hakikat masyarakat yang dipelajari, tetapi pada jenis fenomena yang
ada dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, sosiologi politik dalam
pengertian ini berbeda tetapi sejajar dengan sosiologi ekonomi, sosiologi
kesenian, sosiologi agama dan lain sebagainya. Dari sudut pandang ini sosiologi
politik diartikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan dalam masyarakat".
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kekuasaan
dalam masyarakat yang bagaimana yang menjadi cakupan sosiologi politik. Apa
dalam setiap lapisan masyarakat atau dalam lingkup masyarakat tertentu?
Menjawab pertanyaan ini Duverger memberikan dua penjelasan. Penjelasan pertama
dilihat dari ukuran dan kompleksitas kelompok-kelompok sosial dan kedua dilihat
dari hakikat ikatan-ikatan organ isatorisnya.
Sementara itu dilihat dari ikatan-ikatan
organisatorisnya, masyarakat dapat dibedakan dalam masyarakat "swasta"
dan masyarakat "universal". Masyarakat swasta adalah
"kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan khusus dan rasa
solidaritas terbatas yang masing-masing kelompok sesuai dengan kategori
tertentu dari aktivias manusia". Termasuk dalam kategori masyarakat ini,
misalnya serikat buruh, organisasi olahraga, organisasi kesenian, perusahaan
komersial, organisasi-organisasi profesi dan organisasi-organisasi sosial
lainnya. Masyarakat universal adalah masyarakat yang meliputi dan melebihi
semua masyarakat-masyarakat swasta ini. Masyarakat universal adalah
"masyarakat yang memiliki kategori umum tertentu, tidak hanya didasarkan
pada kegiatan atau aktivitas tertentu saja". Tetapi juga, rasa solidaritas
lebih besar, lebih dalam, lebih mesra daripada masyarakat-masyarakat swasta.
Bagi sebagian penulis, kekuasaan dalam masyarakat
universal merupakan objek analisa sosiologi politik bukan kekuasaan di dalam
masyarakat swasta. Alasan bagi golongan ini adalah bahwa di dalam masyarakat
swasta, otoritas atau kekuasaan dianggap hanya memiliki hakikat teknis tidak
mempersoalkan masalah ketergantungan individuindividu dalam hubungan dengan
yang lain suatu hal yang justru merupakan dasar dari kekuasaan.
Secara sekilas pembedaan ini tampak sesuai dengan arti
populer dari "politik". Misalnya, jika kita membicarakan
pemimpin-pemimpin politik dan pemerintah berarti membicarakan otoritas dalam
masyarakat universal. Namun, jika dikaji secara mendalam perbedaan antara
masyarakat universal dan masyarakat swasta tidak bisa menjadi dasar bagi
definisi sosiologi politik. Pertama, pembedaan tersebut samar-samar sifatnya.
Rush dan Althoff, misalnya keduanya tidak sependapat
dengan pemikiran bahwa sosiologi politik adalah cabang dari sosiologi dan
dianggap sebagai ilmu politik. Keduanya hanya mengakui bahwa ada studi-studi
politik yang dilakukan oleh para sosiolog, seperti Marx Webwer, Mosca, dan
Pareto dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Rush dan Althoff,
sosiologi politik merupakan bidang subjek yang mempelajari mata rantai antara
politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik,
dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik. Menurutnya sosiologi
politik merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi
dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybrid inter-dicipliner.
Skema konsepsi tersebut dilandaskan pada empat konsep,
yaitu; sosialisasi politik, partisipasi, penerimaan atau perekrutan politik dan
komunikasi politik. Semua konsep itu sifatnya interdependent, bergantung satu
sama lain dan saling berpautan. Karenanya kita mendefinisikannya sebagai
berikut:
1.
Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana
seseorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat
persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksinya terhadap gejaiagejala
politik. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkugan kultural,
lingkungan politik dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang
bersangkutan. Juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap
politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting di
antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem
bisa berbeda sekali dengan sistem lainnya.
2.
Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai
pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktiviatas politik itu
bisa bergerak dari ketidak-terlibatan sama-pai dengan aktivitas jabatannya.
Oleh karena itu, partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam masyarakat- masyarakat
khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari konsep-konsep mengenai apa
itu politik dan alienasi serta peranan mereka dalam ketidak-terlibatan dan
keterlibatan mereka yang terbatas.
3.
Perekrutan politik adalah proses dengan mana
individu-individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu
jabatan. Perekrutan ini merupakan proses dua arah dan sifatnya bisa formal
maupun tidak formal. Merupakan proses dua arah karena individuindividunya
mungkin mampu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati oleh orang lain dan
kemudian bida menjabat posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi politik
ialah proses dimana informasi plitik yang relevan diteruskan dari sauatu bagian
sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan
sistem-sistem politik. Kejadian tersebut merupakan proses yang
berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran informasi di antara
individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkat masyarakat.
Sosialisasi Politik
Michael Rush dan Phillip
Althoff merupakan dua orang yang memperkenalkan teori sosialisasi politik
melalui buku mereka Pengantar Sosiologi Politik. Dalam buku tersebut, Rush dan
Althoff menerbitkan terminologi baru dalam menganalisis perilaku politik
tingkat individu yaitu sosialisasi politik.
Sosialisasi politik
adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik
yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala
politik. Sistem politik dapat saja berupa input politik, output politik, maupun
orang-orang yang menjalankan pemerintahan.
Fungsi sosialisasi menurut Rush dan Althoff
adalah:
1.
Melatih Individu
2. Memelihara Sistem Politik.
Sosialisasi
politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di
dalam sebuah sistem politik. Misalnya di Indonesia menganut ideologi negara
yaitu Pancasila. Oleh sebab itu sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi
diberlakukan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Ini merupakan proses pelatihan yang dilakukan negara terhadap warga
negaranya. Pelatihan ini memungkinkan individu untuk menerima atau melakukan
suatu penolakan atas tindakan pemerintah, mematuhi hukum, melibatkan diri dalam
politik, ataupun memilih dalam pemilihan umum.
Selain itu, sosialisasi
politik juga bertujuan untuk memelihara sistem politik dan pemerintahan yang
resmi. Apa jadinya suatu negara atau bangsa jika warga negaranya tidak tahu
warna bendera sendiri, lagu kebangsaan sendiri, bahasa sendiri, ataupun
pemerintah yang tengah memerintahnya sendiri ? Mereka akan menjadi warga negara
tanpa identitas, tentunya.
Dalam melakukan kegiatan sosialisasi politik, Rush dan Althoff menyuratkan terdapat 3 cara, yaitu:
Dalam melakukan kegiatan sosialisasi politik, Rush dan Althoff menyuratkan terdapat 3 cara, yaitu:
1. Imitasi
2. Instruksi
3. Motivasi
Imitasi. Melalui imitasi,
seorang individu meniru terhadap tingkah laku individu lainnya. Misalnya, Gus
Dur adalah anak dari K.H. Wahid Hasyim dan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama,
K.H. Hasyim Asy’ari. Gus Dur sejak kecil akrab dengan lingkungan pesantren dan
budaya politik Nahdlatul Ulama, termasuk dengan kiai-kiainya. Budaya tersebut
mempengaruhi tindakan-tindakan politiknya yang cenderung bercorak Islam moderat
seperti yang ditampakan oleh organisasi Nahdlatul Ulama secara umum.
Instruksi. Cara melakukan
sosialisasi politik yang kedua adalah instruksi. Gaya ini banyak berkembang di
lingkungan militer ataupun organisasi lain yang terstruktur secara rapi melalui
rantai komando. Melalui instruksi, seorang individu diberitahu oleh orang lain
mengenai posisinya di dalam sistem politik, apa yang harus mereka lakukan, bagaimana,
dan untuk apa. Cara instruksi ini juga terjadi di sekolah-sekolah, dalam mana
guru mengajarkan siswa tentang sistem politik dan budaya politik yang ada di
negara mereka.
Motivasi. Cara melakukan
sosialisasi politik yang terakhir adalah motivasi. Melalui cara ini, individu
langsung belajar dari pengalaman, membandingkan pendapat dan tingkah sendiri
dengan tingkah orang lain. Dapat saja seorang individu yang besar dari keluarga
yang beragama secara puritan, ketika besar ia bergabung dengan kelompok-kelompok
politik yang lebih bercorak sekular. Misalnya ini terjadi di dalam tokoh Tan
Malaka. Tokoh politik Indonesia asal Minangkabau ini ketika kecil dibesarkan di
dalam lingkungan Islam pesantren, tetapi ketika besar ia merantau dan menimba
aneka ilmu dan akhirnya bergabung dengan komintern. Meskipun menjadi anggota
dari organisasi komunis internasional, yang tentu saja bercorak sekular, ia
tetap tidak setuju dengan pendapat komintern yang menilai gerapak pan islamisme
sebagai musuh. Namun, tetap saja tokoh Tan Malaka ini menempuh cara sosialisasi
politik yang bercorak motivasi.
Agen Sosialisasi
Politik
Dalam kegiatan
sosialisasi politik dikenal yang namanya agen. Agen inilah yang melakukan
kegiatan memberi pengaruh kepada individu. Rush dan Althoff menggariskan
terdapatnya 5 agen sosialisasi politik yang umum diketahui, yaitu :
1. Keluarga
2. Sekolah
3. peer groups
4. media massa
5. pemerintah
6. partai politik
Keluarga, Keluarga merupakan primary group dan agen sosialisasi utama yang
membentuk karakter politik individu oleh sebab mereka adalah lembaga sosial
yang paling dekat. Peran ayah, ibu, saudara, memberi pengaruh yang tidak kecil
terhadap pandangan politik satu individu. Tokoh Sukarno misalnya, memperoleh
nilai-nilai penentangan terhadap Belanda melalui ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai.
Ibunya, yang merupakan keluarga bangsawan Bali menceritakan kepahlawanan
raja-raja Bali dalam menentang Belanda di saat mereka tengah berbicara.
Cerita-cerita tersebut menumbuhkan kesadaran dan semangat Sukarno untuk
memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya yang terjajah oleh Belanda.
Sekolah, Selain keluarga, sekolah juga menempati posisi penting sebagai agen
sosialisasi politik. Sekolah merupakan secondary group. Kebanyakan dari kita
mengetahui lagu kebangsaan, dasar negara, pemerintah yang ada, dari sekolah.
Oleh sebab itu, sistem pendidikan nasional selalu tidak terlepas dari pantauan
negara oleh sebab peran pentingnya ini.
Peer Group, Agen sosialisasi politik lainnya adalah peer group. Peer group masuk
kategori agen sosialisasi politik Primary Group. Peer group adalah teman-teman
sebaya yang mengelilingi seorang individu. Apa yang dilakukan oleh teman-teman
sebaya tentu sangat mempengaruhi beberapa tindakan kita, bukan ? Tokoh semacam
Moh. Hatta banyak memiliki pandangan-pandangam yang sosialistik saat ia bergaul
dengan teman-temannya di bangku kuliah di Negeri Belanda. Melalui kegiatannya
dengan kawan sebaya tersebut, Hatta mampu mengeluarkan konsep koperasi sebagai
lembaga ekonomi khas Indonesia di kemudian hari. Demikian pula pandangannya
atas sistem politik demokrasi yang bersimpangan jalan dengan Sukarno di masa
kemudian.
Media Massa, Media
massa merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Tidak perlu
disebutkan lagi pengaruh media massa terhadap seorang individu. Berita-berita
yang dikemas dalam media audio visual (televisi), surat kabat cetak, internet,
ataupun radio, yang berisikan perilaku pemerintah ataupun partai politik banyak
mempengaruhi kita. Meskipun tidak memiliki kedalaman, tetapi media massa mampun
menyita perhatian individu oleh sebab sifatnya yang terkadang menarik atau
cenderung ‘berlebihan.’
Pemerintah. Pemerintah merupakan agen sosialisasi politik secondary group.
Pemerintah merupakan agen yang punya kepentingan langsung atas sosialisasi
politik. Pemerintah yang menjalankan sistem politik dan stabilitasnya.
Pemerintah biasanya melibatkan diri dalam politik pendidikan, di mana beberapa
mata pelajaran ditujukan untuk memperkenalkan siswa kepada sistem politik
negara, pemimpin, lagu kebangsaan, dan sejenisnya. Pemerintah juga, secara
tidak langsung, melakukan sosialisasi politik melalui tindakan-tindakannya.
Melalui tindakan pemerintah, orientasi afektif individu bisa terpengaruh dan
ini mempengaruhi budaya politiknya.
Partai Politik. Partai politik adalah agen sosialisasi politik secondary group.
Partai politik biasanya membawakan kepentingan nilai spesifik dari warga
negara, seperti agama, kebudayaan, keadilan, nasionalisme, dan sejenisnya.
Melalui partai politik dan kegiatannya, individu dapat mengetahui kegiatan
politik di negara, pemimpin-pemimpin baru, dan kebijakan-kebijakan yang ada.
Partisipasi Politik
Secara umum definisi
Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih
pimpinan Negara dan secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Berikut beberapa definisi Partisipasi politik dari beberapa ahli:
Adapun pengertian
partisipasi politik menurut Michael Rush dan Philip Althoft yakni:
”Segala kegiatan warga negara yang
mempengaruhi proses pembuatan serta pelaksanaan kebijakan umum termasuk dalam
memilih pemimpin pemerintahan”.[2]
Dapat digolongkan sebagai
kegiatan partisipasi politik. Dalam hubungan dengan Negara-Negara baru
Samuel P. Hunington dan Joan Nelson dalam bukunya yang berjudul pembangunan
politik di negara-negara berkembang memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukan secara
eksplisit tindakan illegal dan kekerasan. Menurut mereka partisipasi politik
adalah:
“Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi – pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah, karena Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif,
terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif”.[3]
Kemudian Ramlan Surbakti
juga memberikan pengertian yang sejalan dengan pengertian partisipasi politik
diatas, yakni:
“Partisipasi politik
sebagai kegiatan warganegara biasa dalam mempengaruhi proses pembuata dan
pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut serta menentukan pemimpin pemerintahan”.[4]
Partisipasi politik
tersebut didefinisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan publik yang dilakukan oleh warga negara biasa. Lalu
kemudian Miriam Budiardjo mendefinisikan partisipasi politik tersebut sebagai
berikut:
“Partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu
dengan jalan memilih pemimpin negara, secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan negara. Kegiatan ini mencakup seperti memberikan suara
pada pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi salah satu anggota partai
atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan
pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya”.[5]
Dalam hal ini, Miriam
Budiardjo mendefenisikan partisipasi politik tersebut sebagai kegiatan individu
atau kelompok yang bertujuan agar masyarakat tersebut ikut aktif dalam
kehidupan politik, memilih pimpinan publik atau mempengaruhi kebijakan publik.
Bentuk Partisipasi
Politik secara Hirarkhis
Sumber: Rush dan Althoff, Sosiologi Politik, hal.124
Berdasarkan
beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap
partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan-kegiatan
sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan
partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa,
sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang
dilakukan oeh warga negara asing yang tinggal di negara yang dimaksud. Selain itu dalam partisipasi politik berarti dimungkinkan terdapat
hubungan antara pemerintah dan masyarakatnya. Kita ketahui bahwa yang berperan
melakukan kegiatan politik itu adalah warga negara yang mempunyai jabatan dalam
pemerintahan dan warga negara biasa yang tidak memiliki jabatan dalam
pemerintahan.
Ruang bagi partisipasi
politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai
perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi
politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan
di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara
dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang
ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New
Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa
Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi
politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia,
Portugal, dan Yunani).
Landasan Partisipasi
Politik
Landasan partisipasi
politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan
partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik
ini menjadi :
1.
kelas – individu-individu
dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
2.
kelompok atau komunal –
individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
3.
lingkungan –
individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
4.
partai – individu-individu
yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha
untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan
legislatif pemerintahan, dan
5.
golongan atau faksi –
individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara
satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku
atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang
tidak sederajat.
Mode Partisipasi
Politik
Mode partisipasi politik
adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke
dalam 2 bagian besar : Conventional dan Unconventional. Conventional adalah
mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode
partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan
1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan
sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan
perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan
terror.
Bentuk Partisipasi
Politik
Jika mode partisipasi
politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman,
maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik
menjadi :
1.
Kegiatan Pemilihan – yaitu
kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim
sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan
lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
2.
Lobby, yaitu upaya
perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
3.
Kegiatan Organisasi, yaitu
partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun
pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
4.
Contacting,
yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun
jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka,
dan
5.
Tindakan Kekerasan (violence). yaitu tindakan individu atau
kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara,
teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi
politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau
kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu,
penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk
partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap
fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam
klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk
partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik,
atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.
Pengrekrutan Politik
struktur politik sebagai susunan kekuasaan negara
secara kongkrit berisi lembaga-lembaga politik atau badan-badan politik.
Tiap-tiap lembaga atau badan politik menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu
sesuai tugas yang dimilikinya menurut ketentuan peraturan perundangundangan.
Agar lembaga atau badan politik dapat menjalankan fungsinya maka
jabatan-jabatan yang ada dalam lembaga atau badan tersebut harus diisi oleh
orang-orang yang memiliki kecakapan yang dipersyaratkan. Pengisian
jabatan-jabatan tersebut tentu saja harus melalui mekanisme tertentu yang
disebut dengan rekrutmen politik. Demikianlah keterkaitan antara struktur
politik, lembaga politik, dan rekrutmen politik yang antara satu dengan lainnya
mempunyai kaftan yang sangat erat dan sating mendukung.
Uraian di atas memberikan pengertian sederhana
mengenai rekrutmen politik, yaitu sebagai proses pengisian jabatan-jabatan pada
lembaga-lembaga politik, termasuk di dalamnya jabatan dalam birokrasi atau
administrasi negara/pemerintah dan partai-partai politik,. Penjelasan di atas
jugs memberikan gambaran bahwa rekrutmen politik merupakan tahap awal untuk
dapat berfungsinya suatu sistem politik. Jika proses rekrutmen politik berjalan
dan berhasil dengan baik, maka akan sangat memungkinkan sistem politik dapat
berfungsi dengan baik pula.
Dari penjelasan ini dapat diketahui, bahwa rekrutmen
politik memegang peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Karena
proses ini mennetukan orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem
politik negara itu melalui lembaga-lembaga politik yang ada. Dalam pada itu,
tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik sangat bergantung pada kualitas
rekrutmen politik. Kualitas ini dapat dilihat dari apakah proses ini dapat
menghasilkan orang-orang yang berkualitas atau tidak dan mendudukkannya pada
jabatan yang sesuai atau tidak. Ini semua sangat begantung pada pola-pola atau
mekanisme rekrutmen yang digunakan.
Dalam kepustakaan ilmu politik dikenal dua macam
mekanisme rekrutmen politik, yaitu rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam
model rekrutmen yang teruka semua warga negara yang memenuhi syarat tertentu
(seperti kemampuan, kecakapan, umur, keadaan fisik dan
sebagainya) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisiposisi yang
ada dalam lembaga negara/pemeirntah. Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan
biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar sudah teruji saja
yang akan berhasil keluar sebagai pemenang dalam kompetisi tersebut. Ujian
tersebut biasanya menyangkut visinya tentang keadaan masyarakat atau yang
dikenal sebagai platform politiknya serta nilai moral yang melekat dalam
dirinya, termasuk integritasnya. Sebaliknya dalam sistem rekrutmen yang
tertuutp kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang.
Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh masyarakat
biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil elite itu
sendiri.
Jabatan-jabatan Politik dan Administrasi
Telah disebutkan di atas, bahwa rekrutmen politik
adalah proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk
partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan
menjalankan kekuasaan politik. Jabatan-jabatan itu misalnya adalah Perdana
Menteri atau Presiders, anggota pemerintah atau gubernur negara bagian, anggota
dewan kotapraja setempat atau walikota, anggota dalam birokrasi nasional atau
birokrasi lokal dan pegawai negeri sipil, administrator negara bagian atau pejabat
pemerintah lokal. Di camping jabatan-jabatan itu bisa saja meluas sampai pada
personil partai yang tengah berkuasa dan hirarki pemerintah dalam masyarakat
totaliter.
Dengan demikian secara gars besar ada dua jenis
jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang telah memenuhi syarat melalui
rekrutmen politik, yaitu jabatan politis dan jabatna birokrasi. Pembahasan
terhadap kedua jenis jabatan ini cukup menarik dan penitng dari sudut panang
sosiologi poliitk. Hal ini dikarenakan antara satu sistem politik di suatu
negara dengan sistem politik di negara lainnya bisa berbeda dalam memandang
hubungan antara jabatan politis dengan jabatan administrasi. Sehingga hal ini
mengaburkan proses rekrutmen politik dalam mengisi jabatan-jabatan tersebut
apakah untuk jabatan politis atau jabatan administrasi. Kekakburan ini
disebabkan oleh ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemisahan jabatan politis
dengan jabatan administrasi. Misalnya, perekrutan politik pada negara-negara
atau masyarakat totaliter, seperti di Uni Sovyet, Eropa Timur, Republik Rakyat
Cina menjadi kabur, karena pembedan yang tidak jelas antara jabatan-jabatan
politis dengan administrasi (birokrasi). Demikian pula dalam masyarakat di
daerah, perbedaan antara politik dan administrasi tampaknya kurang berarti.
Bila kita cermati lebih jauh, ternyata hubungan antara
para politisi dan para pelaksana administrasi (birokrasi) dalam sejumlah sistem
politik mempunyai perbedaan. Ada yang berusaha memisahkan jabatan politik dan
birokrtasi dengan melembagakakn satu doktrin netralitas poitik dari para
administrator. Misalnya di Inggris, pegwai-pegwai sipil direkrut melalui badan
organisasi poliitk yang netral dan sekali diangkat, dengan menghindarkan
tingkatan kegiatan politik yang lebih tinggi dan dengan mengabdi secara tidak
memihak kepada setiap pemerintahan. Jadi pemerintahan bisa beranti-ganti,
partai-partai yang berbeda dapat memegang kekuasaan politik, akan tetapi para
pegawai sipil tetap berada dalam posnya. Sistem ini berbeda dengan di Amerika
Serikat, di sans partai yang berkuasa mengadakan perubahan personil secara
ekstensif pda eselon yang lebih tinggi dari dings sipil pada awal pemerintahan
barn. Sistem ini mneliputi perluasan pengawasan partai secara langsung terhadap
jabatan politik administratif. Fenomena ini sebagian besar didasarkan pada
ekyakinan, bahwa kontrol langsung terhadap jabatanjabatan administratif itu
perlu. Sebagian disebabkan oleh keyakinan historic bahwa pergantian personil
sedemikian secara admninistratif menguntungkan, dan sebagian lagi karena adanya
adanya tradisi bahwa jabatan administratif merupakan sarana absah untuk
memberikan rasa kesetiaan kepada partai. Namun hubungan erat antara partai yang
berkuasa dengan pars pemegang jabatan administratif itu terlihat paling jelas
dalam sistem politik totaliter, di mans doktrin dari suatu birokrasi politik
yang netral tidak hanya diharamkan, akan tetapi juga merupakan kontradiksi. Hal
ini tidak menutup pergantian personil, terutama sebagai akibat pembersihan akan
tetapi dalam sistem totaliter jelas tidak terhadap alternatif untuk
menggantikan jabatan.
Yang jelas fungsi perekrutan politik merupakan fungsi
penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui
penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri
untuk jabatan terentu dan sebagainya. Fungsi rekrutmen politik ini dapat juga
disebut fungsi seleksi kepemimpinan. Seleksi kepemimpinan dalam suatu struktur
politik dilakukan secara berencana dan teratur sesuai dengan, kaidah atau
norms-norms yang ads serta harapan masyarakat. Beberapa persyaratan diperlukan
untuk menduduki jabatan pimpinan balk persyaratan fisik, mental spiritual,
serta aspek intelektual. Seorang pemimpin diharapkan dapat memberikan
keteladanan kepada orang-orang yang dipimpin mengembangkan semangat untuk
berusaha mencapai kemajuan, serta mampu memberikan pengarahan kepada
orang-orang yang dipimpinnya.
Kondisi sosial ekonomi sampai batas-batas tertentu
juga sering menjadi bahan pertimbangan untuk mendukung segala kegiatan seorang
pemimpin yang terkadang harus berkorban secara pribadi, walaupun banyak juga
terjadi sebaliknya. Seorang pemimpin juga diharapkan dapat mengerti dan
menghayati aspirasi serta kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan
pemenuhan berbagai persyaratan tersebut, seorang pemimpin benar-benar dapat
diterima oleh masyarakat dan pada gilirannya akan mampu menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam segala program yang dilaksanakan. Seorang pemimpin sebagai
pendukung peran dapat muncul karena semata-mata sebagai pimpinan alam dan yang
dibina serta dikembangkan oleh sebuah sistem tertentu. Tetapi seorang pemimpin
yang balk dan berwibawa dipengaruhi oleh dua unsur tali, yaitu unsur bawaan dan
unsur binaan. Kharisma pemimpin memancarkan suatu wibawa.
Bentuk-bentuk Rekrutmen Politik, Dua cara khusus dalam
sistem perekrutan politik yaitu: seleksi pemilihan melalui ujian khusus serta
laihan. Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak sekali keragaman dan banyak
diantaranya memunyai implikasi penting bagi perekrutan politik. Salah satu
bentuk yang paling tertua dalam perekrutan politik adalah dengan penyortiran
atau penarikan undian. Cara ini dibuat untuk mencegah dominasi jabatan dan
posisiposisi berkuasa oleh orang atau kelompok individu tertentu. Suatu bentuk
yang hampir sama disebtu rotasi yaitu pergiliran.'Presiden dan Wakil Presiden
Dewan Federal Swiss memangku jabatan selama setahun dan tidak boleh langsung
dipilih untuk masa jabatan berikutnya. Demikian juga di Amerika Serikat,
seorang presiden hanya boleh memangku jabatan selama dua periode.
Bentuk perekrutan yang lain adalah dengan perebutan
kekuasaan dengan jalan menggunakan kekerasan. Penggulingan suatu rezim politik
apakah itu dengan coup d etat, revolusi, intervensi militer dari luar,
pembunuhan atau kerusuhan rakyat. Selain dari bentuk perekrutan yang biasanya
diasosiasikan dengan perubahan personil yang ekstensif terdpat juga cara lain
yang diasosiasikan dengan perekrutan yang berkesinambungan. Salah satunya
adalah Patronage yaitu bagian dari sistem penyuapan dan korupsi yang rumit.
Sistem ini merupakan metode yang cukup mapan untuk mempengaruhi pelaksanaan
kekausaan politik melalui pengontrolan terhadap hasil-hasil dari Pemilu. Karena
sisetm ini mengutamakan pembelian di mans orang-orang diubjuk dengan hadiah-hadiah
tertentu, maka sistem ini tidak selalu menjamin pengrekrutan pemegang
jabatanjabatan yang cocok balk secara politik maupun diukur dari kemampuannya.
Suatu bentuk lain adalah "Ko-opsi" (co-option), yaitu
pemilihan anggota-anggota barn atau pemilihan seorang ke dalam suatu badan oleh
anggota-anggota yang ada. Pemilihan ini didasarkan pada kualitas yang dimiliki
calon. Bentuk atau metode ini digunakan di Inggris dan Wales.
Rekrutmen
Politik dalam Sistem Politik Indonesia. Rekrutmen politik yang ada di Indoensia yaitu bisa
dilihat dari pengalaman yang ada selama perjalanan bangsa ini. Tampaknya
mekanisme yang terbuka bahkan semi terbuka masih merupakan sesuatu yang perlu
dipikirkan. Dalam beberapa pemilihan umum di Indonesia, misainya Lembaga
Pemilihan Umum memainkan peranan yang cukup besar dalam menyaring orang-orang
untuk dijadikan calon. Bisa saja calon-calon yang sudah disiapkan oleh partai
politik tidak dapat di setujui oleh LPU karena orang-orang tersebut mempunyai
latar belakang yang tidak mengenakkan dalam kehidupan politik di tanah air.
Misalnya, mereka yang pernah menjadi aktivis partai Masyumi atau mereka yang
menjadi organisasi massy yang diblacklist pemerintah atau mereka adalah
orangorang yang dikategorikan berseberangan dengan pemeirntah atau mereka yang
dianggap tidak setia terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
Tampaknya seseorang yang sudah memiliki cacat politik
dari kaca mats pemerintah akan sulit merehabilitasi dirinya. Salah satu
persyaratan yang tidak tertulis dalam proses rekrutmen politik di Indonesia
adalah bahwa mereka yang akan direkrut untuk mengisi jabatan (seperti Rektor,
Dekan, ketua partai dan lain sebagainya) adalah orang-orang yang harus dapat
bekerjasama dengan pemerintah atau orang yang mampu mengakomodasikan kehendak
pemerintah. Mengapa demikian? Dalam mekanisme politik di Indonesia selama tiga
dasa warsa terakhir ini, kita tidak dapat menyangkal bahwa konflik harus
diletakkan dalam tingkat yang sangat minimal, karena konflik selalu mengandung
konotasi yang negatif, seperti menghambat pembangunan atua merusak stabilitas
nasional. Dalam sistem politik yang demokratis, konflik merupakan suatu yang
dimungkinkan karena adanya perbedaan kepentingan serta sistem nilai.
Tingkat kompetisi dalam mengisi jabatan yang ada boleh
clikatakan masih cukup rendah karena mekansimenya yang kurang terbuka. Salah
satu fungsi partai politik yang berkaitan dengan salah rekrutmen. Akan tetapi
di Indonesia fungsi tersebut masih rendah kadar pelaksanaannya. Partai-partai
politik seperti PPP dan PDI tidak akan bermimpi untuk berebut jabatan-jabatan
seperti gubernur, bupati dan walikota. Kedua partai tersebut paling "banter"
hanya menyediakan calon pendamping saja. Karena peraturan yang ada, kedua
partai tersebut masih bersyukur jika dapat memegang jabatan wakil kedua dalam
lembaga perwakilan rakyat seperti MPR, DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat
II. Sekalipun di beberapa daerah pemilihan, kedua partai tersebut mampu menjadi
pemenang dengan memperoleh suara mayoritas, hal im tidak membawa konsekuensi
bahwa partai tersebut akan memegang jabatan eksekutif.
Komunikasi Politik
Komunikasi
politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai politik dengan
segala struktur yang tersedia, yakni mengadakan komunikasi informasi, isu dan
gagasan politik. Yang penting dalam komunikasi politik
adalah bagaimana partai politik dapat mengelola komunikais politik di internal
partai mereka sendiri, kemudian komunikasi politik dengan pihak luar. Komunikasi
politik adalah transmisi pengertian-pengertian politik tertentu melalui
penggunaan simbol-simbol.
Dalam pengertian
transmisi, terkandung makna untuk mengajak orang lain agar melakukan apa yang
diingini oleh penyampai informasi. Proses komunikasi politik adalah proses mentransfer
pemikiran-pemikiran politik. Dampak komunikasi politik adalah amat besar, seseorang dapat
terpengaruh akibat dari penyampaian komunikasi politik. Tujuan dari proses
komunikasi politik adalah membentuk opini publik atau pendapat umum.
Agen komunikasi politik:
-
Keluarga dan orang tua.
-
Lingkungan di luar rumah, peer
groups.
-
Media massa
Elemen-elemen di dalam komunikasi politik:
1.
Komunikator; seseorang atau
sekolompok orang yang secara sadar berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Tujuan utamanya adalah membentuk pendapat umum atau opini publik.
2. Message; setiap komunikator dalam bidang
apa saja, berusaha menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat melalui
simbol-simbol agar masyarakat mendukungnya.
3. Medium; setiap komunikator yang ingin
menyampaikan pesan, biasanya menggunakan media tertentu. Contohnya adalah orang
lain, kentongan, media massa (tertulis atau audio visual).
4. Receiver(s); orang yang menerima
pesan dari komunkator. Secara langsung maupun tidak langsung melalui suatu
media. Perbedaan penerimaan dapat ditentukan oleh perbedaan pendidikan dan
budaya.
5.
Respons(es); tanggapan dari penerima pesan atau masyarakat terhadap
pesan-pesan yang dilakukan oleh komunikator baik secara langsung atau tidak
langsung.
Jenis respons:
a.
Bersifat inisiatif;
masyarakat yang menggunakan komunikasi pada awalnya tidak mempunyai minat,
tetapi setelah mendengar pesan-pesan dari komunikator kemudian timbul minat.
Komunikator menjadi inisiator karena bisa menimbulkan inisiatif minat.
b. Konversi atau perubah; seorang inisiator yang baik bisa mengubah
pendapat awal dari suatu kelompok masyarakat.
c.
Yang memperkuat;
komunikator mampu memperkuat keyakinan masyarakat.
d.
Mengaktifkan; menjadi
pendengar yang aktif.
Jenis-jenis komunikasi politik:
1)
Face to face; antara individu atau sekolompok orang. Merupakan jenis komunikasi
nonformal. Opini publik dapat dibentuk dengan cara face to face contact
informal.
2) Struktur sosial non politik; misalnya keluarga, kelompok-kelompok
agama, kelompok-kelompok ekonomi.
3) Struktur-sturktur masukan politik; misalnya partai politik,
memberikan masukan kepada sistem politik.
4) Struktur keluaran politik; misalnya eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Ketiganya mengeluarkan produk-produk kebijakan.
5)
Media koumniasi politik;
misalnya surat kabar.
Opini publik adalah kegiatan dari komunikasi
politik. Opini
adalah ekspresi atau sekelompok orang mengenai suatu isu. Publik adalah
sekelompok orang yang memiliki:
-
Kepentingan yang sama.
-
Keterikatan atau terpengaruh
terhadap hal itu.
Opini publik menurut
Bernard Hennesy adalah kompleks preferensi terhadap suatu isu yang berkaitan
dengan umum yang dilakukan oleh sekelompok orang. Lima elemen opini publik:
-
Isu
-
Masyarakat yang memiliki
keterkaitan dan kepentingan
-
Kompleksitas preferensi
-
Ekspresi
-
Sejumlah orang membahasnya
Dua dimensi untuk melihat opini publik:
1.
Preferensi: mendukung atau
menolak
2.
Intensitas: sudah mengukur
seberapa jauh preferensi tersebut.
Tahap-tahap opini publik:
-
Disputes
-
Komunikator politik
-
Penilaian, dengan
memperlihatkan: (a). pertimbangan sosial atau keadaan sosial, dan (b). Feed
back.
Pengukuran opini publik:
-
Polling, biasanya memakai survey sample
-
Perwakilan
-
Menulis, membaca, mendegar
-
Straw Poll (tidak resmi)
Factor-faktor yang mempengaruhi opini
publik:
-
Sosialisasi politik, beserta
agen-agennya
-
Budaya politik
-
Ideologi negara dan agama
-
Struktur ekonomi dan strata social
-
Struktur negara
Referensi
Buku:
Budiardjo, Meriam. 2008. Dasa-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Duverger, Maurice. 1981. Sosiologi Politik. Jakarta: CV. Rajawali
Rush, Michael
& Phillip Althoff. 2005. Pengantar
Sosiologi Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Surbakti, Ramblan.
1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta:
Grasindo
Internet:
Basri, Seta. Budaya dan Sosialisasi Politik. http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/budaya-dan-sosialisasi-politik.html
diakses pada tanggal 6 Maret 2012.
Hidayat, Cecep. Komunikasi Politik dan Opini Publik. http://manshurzikri.wordpress.com/2009/12/13/komunikasi-politik-dan-opini-publik/.
Diakses pada tanggal 6 Maret 2012
Tianotak, Sunaryo. Partisipasi Politik. http://sunaryotianotak.blog.com/2011/02/11/partisipasi-politik/
diakses pada tanggal 6 Maret 2012
[2]
Michael Rush dan Philip Althoff, Pengantar
Sosiologi Politik. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2003), hal. 121.
[3] Samuel P. Huntington dan Nelson, Op. Cit., hal.
16-18.
[4] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1992), hal.118.
[5] Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1998), hal. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar