This paper based on “International Institution, Globalization and Democracy: Assessing the Challenges” essay which written by William D. Coleman and Tony Porter. The content is about democracy and its challenge, developed critique of Held’s notion of cosmopolitan democracy and also reviewing institutional developments in the international system. Then, they seek the problem of institutional variation along developed criteria for democracy that can be practically applied to the different institutions.
***
Realisme merupakan teori besar yang sangat mempengaruhi politik internasional dengan menolak konsep demokrasi dan globalisasi. Hal ini disebabkan dalam pandangan kelompok realis, konsep demokrasi dan globalisasi akan mengurangi peran negara karena memberikan peran penting bagi aktor non negara untuk turut ambil bagian dalam isu-isu internasional. Coleman dan Porter mengemukakan pendapat mereka terkait hal tersebut, yaitu: pertama, penelitian pada tingkat negara-bangsa telah menunjukkan bahwa institusi-institusi demokrasi menjadi sangat penting dalam usaha-usaha legitimasi pemerintah. Pasalnya, jika demokrasi terbentuk maka akan diperlukan pembuatan keputusan yang supranasional serta penting untuk diketahui apakah dasar-dasar legitimasi yang mungkin ada dan apakah dasar-dasar tersebut relevan dengan nilai-nilai demokrasi. Kedua, keuntungan dari demokrasi seperti yang dikemukakan oleh Elster,”keuntungan demokrasi jangka pendek harus juga diimbangi dengan keuntungan jangka panjang”. Ketiga, nilai-nilai yang dihubungkan dengan praktek demokrasi harus diselenggarakan dengan baik, seperti melaksanakan hak-hak dasar dan politik warganegara.
Konsep globalisasi merujuk pada proses dimana batas-batas dari hubungan sosial menjadi lebih bersifat otonomi baik itu dari segi waktu dan jaraknya. Dimulai dari individu-individu, komunitas-komunitas hingga organisasi-organisasi yang ada pada saat ini merupakan hasil dari perubahan situasi dan kondisi sosial dan tempat dari lingkungan global. Jangkauan dalam proses globalisasi baik dibidang ekonomi, ekologi, militer serrta budaya yang biasanya melewati batas-batas territorial, merupakan salah satu tantangan dalam proses globalisasi bagi pemerintah untuk dapat menyesuaikan diri.
Hubungan Ekonomi, Batasan-Batasan Politik dan Legitimasi
Reinicke (1998) menyatakan bahwa terdapat ketidakcocokan antara ekonomi dan politik-geografi, ”politik-geografi didefinisikan sebagai kelanjutan dari pasar-pasar yang saling terstruktur sedangkan ekonomi-geografi biasanya berdasarkan fungsi dari pasar itu sendiri yang semakin bertambah…”. Untuk menyeimbangkan keduanya maka diperlukan keterlibatan warganegara dalam proses politik yang pada tahap selanjutnya mengakibatkan timbunya elemen-elemen lain dari demokrasi, khususnya akuntabilitas. Menurut Woods (1999),”masalah yang biasa terjadi dalam akuntabilitas adalah pada faktanya, para partisipan-partisipan tidak secara penuh mewakili suatu populasi dalam pembuatan kebijakan sehingga tidak mempengaruhi suatu keputusan”. Tanpa adanya perwakilan yang sesuai dan disertai transparansi dalam proses kebijakan, kemungkinan akan menambah perluasan ketidakcocokan antara proses input dan proses output.
Kebanyakan dalam permasalahan-permasalahan politik kerapkali ditujukan kepada pemerintah yang secara teknis berperan penting dalam hal tersebut. Untuk mencapai kebijakan yang supranasional dapat mengandalkan teknologi informasi dan pakar ilmu pengetahuan. Adanya kekurangan-kekurangan kemampuan dari anggota-anggota parlemen dan perwakilan yang lain, pada dasarnya memberikan peluang atau kesempatan bagi individu-individu ‘non-expert’ untuk ikut ambil bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan sebenarnya hal ini juga merupakan tantangan bagi pemerintah dalam proses demokrasi.
Menurut Porter (1999),”kepercayaan terhadap teknik ilmu pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan merupakan salah satu tantangan demokrasi, hal ini dikarenakan tumbuhnya kewenangan privat yang menjadi sangat penting”. Mengapa kewenangan privat menjadi penting dalam proses pembuatan kebijakan dan menjadi salah satu tantangan dalam demokrasi ?. Hal ini dikarenakan baik dari segi norma-norma, praktek-praktek dan peraturan-peraturannya berasal dari institusi privat yang kemungkinan dapat mempengaruhi keadaan sosial dan ekonomi suatu masyarakat.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam essay “International Institution, Globalization and Democracy: Assessing The Challenges” Coleman dan Porter menyertakan pendapat David Held dalam bukunya yang berjudul “Democracy and The Global Order” tahun 1995 yang menyinggung konsep dari demokrasi kosmopolitan. Ada empat poin utama yang dikemukakan oleh Held, yaitu; otonomi, pembagian kekuasaan, demokratisasi hukum publik dan demokrasi kosmopolitan.
Konsep otonomi menurut Held pada dasarnya bersifat abstrak dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang jelas dan nyata dari suatu institusi. Pengembangan implikasi dari institusi melalui otonomi yaitu dengan membedakan atau memisahkan bagian-bagian kekuasaan dalam tujuh poin, yaitu; tubuh institusi, kesejahteraan, budaya, asosiasi masyarakat, ekonomi, hubungan koersif dan pengendalian kekerasan, serta tingkat kelegalan dan pengaturan institusi. Timbul tiga permasalahan yang dikemukakan oleh Held. Pertama, Held mengidentifikasikan bagian-bagian dari institusi yang biasanya behubungan dengan pemahaman individu pada tingkatan internasional. Kedua, Held menekankan pada hukum dan hak-hak yang jauh melebihi batas dari kegiatan-kegiatan yang biasanya diterapkan pada tahap internasional. Menurutnya, institusi-institusi yang muncul dalam kegiatannya tidak berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah ada sebelumnya, misalnya; penjaminan terhadap hak-hak dasar warganegara lebih diperluas dari perjanjian mengenai hak-hak dasar individu yang telah ada sebelumnya. Tetapi menurut saya pribadi, tidak semua institusi yang memperluas penjaminan hak-hak dasar warganegara. Saya mengambil contoh European Union atau Uni Eropa, dapat dilihat dari pasal 51 dan pasal 52 dalam Piagam bahwa terdapat ketetapan-ketetapan memiliki batasan-batasan yang utuh dari perjanjian-perjanjian yang telah ada sebelumnya . Jadi dapat dikatakan bahwa institusi-institusi internasional yang ada khususnya Uni Eropa bukanlah merupakan perpanjangan hukum atau membentuk suatu kekuatan yang baru. Ketiga, jaringan-jaringan kekuasaan yang mulai ‘overlapping’.
Held juga mengemukakan kenapa penekanan-penekanan pada hak-hak saja tidaklah cukup sebagai dasar dari demokrasi pada tahap global. Pertama, konsep mengenai hak-hak pada dasarnya bersifat statis untuk diterapkan diberbagai isu-isu yang spesifik yang menentukan kehidupan modern pada tahap global. Kedua, adanya perdebatan-perdebatan yang berlangsung secara terus-menerus terkait dengan hak-hak. Pedebatan tersebut tidak pernah berakhir karena adanya pandangan bahwa seharusnya hak-hak warganegara berdasarkan hukum-hukum yang telah terkodifikasi saja.
Susunan-Susunan Institusi dan Pendekatan Alternatif dari Praktek Demokrasi
Pada dasarnya, suatu institusi mempunyai kelemahan-kelemahan yang menimbulkan efek-efek bagi jawaban terhada tantangan demokrasi. Pertama, karakter-karakter dan keseriusan terhadap tantangan demokrasi disebabkan karena kurangnya tingkat kemampuan untuk menemukan solusi-solusi untuk merubah pengaturan institusi-institusi yang berdasarkan pada adanya kecenderungan untuk gagal. Kedua, adanya ketidakmampuan untuk melakukan perluasan praktek demokrasi karena tidak adanya ide-ide atau inovasi yang baru dari institusi.
Coleman dan Porter menguraikan dua bagian dari pendekatan, pertama melakukan spesifikasi kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menilai prinsip-prinsip demokrasi yang nyata pada level domestik. Kedua, mengklarifikasi kemampuan dari kriteria-kriteria tersebut. Sebelum kriteria-kriteria dijabarkan, ada baiknya menjabarkan prinsip-prinsip demokrasi terlebih dahulu, yaitu:
• Transparansi. Dapat ditingkatkan melalui penempatan dokumen-dokumen kebijakan atau laporan-laporan lain dalam sebuah situs resmi.
• Keterbukaan. Konsep keterbukaan merujuk pada kebebasan untuk ikut berpartisipasi, masalah-masalah yang dihadapi biasanya meliputi adanya pembatasan-pembatasan akses secara permanen.
• Kualitas Wacana. Wacana yang dimaksud adalah pemisahan proses kebijakan dari mekanisme politik, proses demokratisasi politik dan peran utama dalam legitimasi.
• Perwakilan. Diidentifikasikan pada aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan.
• Keefektivan. Perdebatan mengenai tindakan bersama semata-mata menjadikan kepentingan-kepentingan menjadi tidak jelas.
• Keadilan dan Kejujuran. Merujuk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar keadilan. Peraturan-peraturan yang didasari atas nilai-nilai keadilan sangat dibutuhkan untuk menyokong proses demokrasi dan untuk menghindari kegagalan.
Selanjutnya kriteria-kriteria yang dimaksud oleh Coleman dan Porter diatas, diantaranya:
• Fungsi-fungsi dari elemen-elemen sistem politik domestik baik itu kelompok kepentingan, eksekutif, birokrasi, konstitusi dan lain-lain.
• Elemen pelengkap yang lain yang berdasarkan standar penilaian dan ukuran yang dapat dilihat dari perbedaan-perbedaan kebutuhan demokrasi.
• Penyelenggaraan nilai-nilai abstrak dari demokrasi yang menjadi indikator penting dalam melakukan analisa terhadap suatu institusi.
• Adanya pengaturan terhadap ketegangan yang terjadi diantara criteria-kriteria tersebut.
Pengaturan Keuangan Global
Terdapat dua kategori yang berbeda dalam pengaturan keuangan global, pertama meliputi fokus pada ‘prudential regulation’ yaitu pengaturan-pengaturan yang menjadi sasaran untuk membatasi keuangan suatu perusahaan yang mungkin gagal atau terkena krisis finansial. Kedua, memajukan ‘financial liberalization’ yaitu pengurangan hambatan-hambatan yang berasal dari layanan pendanaan dan keuangan. Pada awal 1970-an timbul ketidakstabilan keuangan yang mengakibatkan kemacetan pada Bretton Woods Monetary, hal ini dikarenakan adanya pemindahan kewenangan yang muncul dalam rezim internasional. Pada tahun 1971 The Group of Ten (G-10) membentuk Eurocurrency Standing Committee yang mulai tahun 1974 dikenal dengan nama Basle Committee on Banking Supervision (BCBS). Analisa mereka mengenai resiko keuangan internasional berkontribusi untuk mengembangkan pengenalan terkait praktek dan tanggapan terhadap resiko-resiko keuangan internasional.
Pada tahun 1999 kewenangan supranasional berhadapan dengan pertumbuhan resiko-resiko keuangan instansi di sektor industri. Meskipun banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait dengan kemampuan dari instansi untuk memisahkan diri dari krisis finansial pada 1990, terdapat sedikit keraguan mengenai kekuatan kewenangan global selama tiga dekade terakhir. Kejadian penting dalam pertumbuhan kewenangan di tingkat regional adalah dengan kemunculan NAFTA yang dalam mengembangkan keuangan dan investasinya sangat kuat dan dapat diteladani. Pada akhirnya IMF memulai untuk memajukan ‘financial liberalization’ pada 1990 melalui teknik dan laporan kebijakan.
Transparansi merupakan tindakan yang sesuai terhadap karakter isu-isu spesifik karena fokus pada transparansi institusi publik. Dalam keterbukaan untuk transparansi dan perwakilan, isu-isu ini didominasi oleh G-10 yang merupakan kelompok-kelompok industri yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat. Dalam kualitas wacana, bagian institusi dari isu-isu ini mengurangi kesempatan-kesempatan yang muncul karena timbulnya isu-isu politik secara signifikan, contohnya; mendistribusikan resiko-resiko dan harga-harga pasca krisis. Keefektivan menjadi poin yang dipertimbangkan selama beberapa dekade terakhir, karena ciri dari rezim prudensial telah dikurangi kapasitasnya untuk memajukan peraturan-peraturan yang kuat. Financial Stability Forum (FSF) merupakan institusi utama dari hasil perdebatan yang didominasi oleh negara-negara G-7. Akhirnya G-7 dirombak menjadi G-20 pada September 1999 meskipun begitu usaha-usaha kedepan tetap dikontrol oleh G-7.
Sektor Pertanian
Pada tahun 1994 Perjanjian Marrakesh membagi kebijakan-kebijakan pertanian kedalam tiga kelompok. Pertama, semua bentuk tindakan-tindakan yang mengubah tarif-tarif dan negara anggota menyetujui proses pengurangan serta menjamin akses ke pasar-pasar. Kedua, perjanjian memberikan tingkatan pengurangan-pengurangan serta menjamin akses ke pasar. Ketiga, semua tindakan-tindakan yang berupa dukungan domestic dinilai berdasarkan pada tingkatan perubahan perdagangan mereka.
Pada 1962 FAO dan WHO bersama-sama mendirikan The Codex Alimentarius Commission (CAC) untuk menetapkan standar keamanan pangan internasional dan untuk memajukan praktek kejujuran dalam perdagangan pangan dunia. Perjanjian yang dilakukan antara CAC dan WTO pada tahun 1994 untuk menggunakan standar Codex, selanjutnya mencoba memperkuat standar pangan internasional melalui penambahan regulasi-regulasi nasional terhadap keamanan pangan. Persekutuan antara CAC dan WTO menambahkan pengaturan standar untuk menetapkan bahwa segala tindakan-tindakan harus diadopsi berdasarkan penilaian terhadap resiko-resiko kesehatan manusia.
CAC menyetujui hal tersebut pada tahun 1997 serta menggabungkan empat pedoman dasar kedalam prosedur manual. Kemudian CAC memindahkan kekuatan ilmiah dasar untuk menyusun standar-standar prosedur penilaian dalam proses pengaturan. Ketika isu-isu mengenai keamanan pangan muncul, pemerintah secara langsung terlibat dalam penelitian dan untuk mendemonstrasikan produk-produk mereka aman. Dibawh rezim SPS-CAC yang baru, kerjasama ini akan menjadi lebih penting dalam penetapan standar-standar keamanan pangan. Meskipun tiap-tiap negara mempunyai hak untuk menjadi perwakilan di komite WTO, namun tetap saja tidak dapat berpartisipasi secara efektif. Terdapat 61 negara yang terdaftar sebagai perwakilan komite pertanian pada awal 1999, termasuk beberapa negara berkembang diantaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar