Tugas Individu ke 3
Nama :
Sarah
NIM :
0901120186
Mata Kuliah :
Studi Masyarakat Melayu
Dosen : Ahmad
Jamaan S.IP, M.Si
Masyarakat Melayu Myanmar dan
Philipina
Pendahuluan
Dunia Melayu secara etnografis dan
historiografis mencakup keseluruhan kawasan Nusantara di Asia Tenggara ini, di
mana juga termasuk Thailand bagian Selatan (Pattani), Malaysia keseluruhannya,
tambah Berunai di Kalimantan Utara, lalu Indonesia keseluruhannya (minus NTT,
Maluku dan Papua, yang masuk ke dalam kelompok etnografik non-Melayu), dan
Filipina (khususnya pribumi Melayu Filipina termasuk Moro di bagian Selatan).
Jika diluaskan lagi, belahannya ada di Madagaskar, Afrika
Selatan, Srilanka, Birma, bahkan di Campa, Kambodia dan Vietnam.
Melayu
Di Myanmar dan Filipina
Secara kenegaraan dalam bentukan
kontemporer seperti sekarang ini, dunia Melayu mencakup lima negara di Asia
Tenggara ini: Thailand, Malaysia, Berunai, Indonesia dan Filipina. Tan Malaka
dari Indonesia, Jose Rizal dari Filipina dan Tuanku Burhanuddin dari
Semenanjung Melayu, bahkan masih sebelum Perang Dunia Kedua, sudah mengimpikan
sebuah negara Melayu Raya yang mencakup seluruh kawasan Melayu itu. Dan impian
ini bukan tidak bermakna ke masa depan, sekurangnya dalam bentuk konfederasi atau
Negara Persemakmuran (commonwealth) Melayu. Munculnya belakangan ini
gagasan Dunia Melayu Bersatu, atau Melayu Sedunia Bersatu, adalah simptomatis
yang denyutnya makin menuju ke arah terealisasinya impian itu ke masa depan.
Secara kultural, suku-suku Melayu
yang tali pengikatnya adalah adat dan agama Islam, karenanya juga terbagi ke
dalam yang berorientasi sinkretik dan yang sintetik itu. Uraian makalah ini
lebih terfokus kepada dikotomi atau bahkan polarisasi dari orang Melayu yang
sesama Islam tetapi berbeda orientasi budayanya, yakni di mana yang satu
berorientasi sinkretik dan yang satu lagi berorientasi sintetik. Kecuali itu,
ada gerak isyarat yang makin dirasakan ke arah pan-Melayu masa depan yang
menjadikan Selat Melaka bukan lagi garis pemisah, tetapi justeru jembatan
penghubung antara kedua rumpun Melayu yang selama ini dipisahkan oleh sejarah
politik yang berbeda.
Secara ideal-konsepsional tidak
mungkin terjadi konflik maupun kontroversi antara adat dan agama, karena adat
secara a priori telah menyatakan tunduk dan menyesuaikan diri kepada
agama. Dan ini dibuhul dalam adagium di atas: ABS-SBK – Adat Bersendi Syarak,
Syarak Bersendi Kitabullah. Bahwa dalam praktek terjadi konflik dan kontroversi
antara adat dan agama, tentu saja ranahnya bukan lagi ranah
ideologis-filosofis “das Sollen,” tetapi adalah ranah
sosiologis-empiris “das Sein,” yang wajar terjadi karena proses
perpaduan yang belum selesai antara dua konsep yang datang dari dua filosofi
dan dua pandangan hidup yang berbeda, kemudian berakulturasi dan bersenyawa
dalam masa yang relatif juga panjang ke belakang.
Konsep ABS-SBK inilah yang
mempertemukan seluruh dunia Melayu utara Laut Jawa (Luar Jawa) di mana juga
termasuk kawasan dunia Melayu di Pattani (Thailand Selatan), Malaysia dan
Filipina. Inti dan sekaligus pusat-jala dari budaya Melayu itu adalah adagium
ABS-SBK ini yang sifatnya adalah sintetik itu. Karenanya juga, tidaklah
diharapkan orang Melayu dalam artian sintetik ini menganut berbagai macam agama
selain Islam, seperti yang biasa terjadi dalam masyarakat Jawa yang sinkretik
dan pluralistik tadi. Bagi orang Melayu, alternatif yang tersedia hanyalah:
Islam atau bukan-Islam, dan tidak: Islam dan bukan-Islam.
Alternatifnya bukan this and that, tetapi either this or
that. Ini sejalan dengan ajaran Islam sendiri, yang kalau sudah sampai
kepada masalah aqidah, pilihannya adalah pilihan alternatif either-or: “Bagi
kamu agama kamu, dan bagi kami agama kami.” (Al Kāfirūn 6). “Bagi kami amalan
kami, dan bagi kamu amalan kamu” (Al Baqarah 139).
Budaya Melayu yang sintetik
kebetulan memilih submissi adat kepada syarak, sehingga yang diikuti adalah
petunjuk syarak atau Islam itu. Orang Melayu, karenanya, adalah orang Islam.
Dia berhenti menjadi orang Melayu ketika atau kalau dia keluar dari Islam,
untuk sebab apapun. Namun, dalam pergaulan kemanusiaan yang sifatnya
pluralistis antar-agama dan antar-bangsa, yang dikedepankan
adalah tasāmuh (toleransi) dan saling
mengenal (ta’āruf) serta saling kerjasama secara multilateral, bahkan
global, bagi kebaikan dan kedamaian sesama umat manusia (Al Ĥujurāt 13).
Karenanya, Islam menekankan, “tidak ada paksaan dalam agama” (Al Baqarah 256)[1].
Raja Alaungpaya dari dinasti
Konbaung memulihkan seluruh daerah untuk orang-orang myanmar pada tahun 1758. Kebanyakan
orang melayu yang meetap di Myanmar adalah melayu Kedahan, karena Kedah pernah
menjadi penguasa yang sangat kuat di Asia Tenggara. Melayu Burma berbicara
dialek Kedah-Perlis, etnis melayu memiliki budaya muslim sejak abad ke 15. Di
Kawthaung kota selatan Myanmar banyak ditemukan mesjid, termasuk mesjid Pashu.
Melayu Burma adalah muslim Sunni, tetapi karena berasal dari mashab Syafi’i,
sedikit berbeda dari mashab hanafi.
Referensi
http://www.keretaunto.web.id/2011/04/dunia-melayu-dalam-dialektika.html
diakses pada tanggal 30 Oktober 2011
http://melayuonline.com/ind/article/read/985/melacak-sejarah-diaspora-dan-upaya-mempersatukan-melayu-sedunia
diakses pada tanggal 30 Oktober 2011
org/wiki/Orang_Melayu_Myanmar diakses pada tanggal
30 Oktober 2011
[1]
http://www.keretaunto.web.id/2011/04/dunia-melayu-dalam-dialektika.html
diakses pada tanggal 30 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar