1. Jelaskan
mengapa UE mengembangkan kebijakan Forest
Law Enforcement and Trade (FLEGT) di Indonesia melalui EC-Indonesia FLEGT Support Project?
Jawab:
FLEGT adalah singkatan untuk Forest Law Enforcement,
Governance and Trade – atau terjemahan bebasnya adalah Penegakan Hukum Dibidang
Kehutanan, Tata Kelola dan Perdagangan, merupakan respon masyarakat Uni Eropa terhadap
masalah penebangan liar dan perdagangan ilegal produk hasil hutan yang terjadi
secara global. Penebangan liar dan perdagangan produk hasil hutan ilegal
merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan
lingkungan di negara-negara berkembang, dan menambah
kemiskinan masyarakat pedesaan yang hidupnya tergantung kepada hasil hutan.
Kerugian akibat hilangnya pendapatan negara berkembang diperkirakan antara Euro
10 – 15 milyard per tahun. Rencana aksi
FLEGT mengusulkan tindakan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas negara
berkembang untuk mengendalikan penebangan liar, dan pada saat yang sama
mengurangi perdagangan produk hasil hutan ilegal antara negara-negara tersebut
dengan Uni Eropa. Penebangan liar pertama kali mengemuka sebagai masalah global
dalam tahun 1988 yaitu dalam pertemuan para menteri luar negeri yang tergabung
dalam kelompok G8, khususnya mengenai rencana aksi kehutanan. Dalam bulan April
2002, komisi Eropa menyelenggarakan seminar internasional untuk membicarakan
bagaimana negaranegara Uni Eropa seharusnya memberantas penebangan liar. Pada
pertemuan puncak dunia pembangunan yang berkelanjutan (the World Summit on
Sustainable Development - WSSD), di Johannesburg dalam tahun yang sama, Komisi
Eropa telah menyampaikan komitmennya yang kuat untuk memberantas penebangan
liar dan perdagangan hasil hutan ilegal. Komitmen ini direfleksikan dalam Rencana
Aksi FLEGT yang diadopsi pada bulan Mei 2003.
Tujuan FLEGT SP adalah untuk mempromosikan peran
dari hutan Indonesia dalam pembangunan
berkelanjutan dan berkeadilan. Maksud FLEGT
SP adalah untuk mendukung dan mengajak
Pemerintah Indonesia, pihak Swasta dan masyarakat sipil untuk menciptakan kondisi-kondisi pendukung yang tepat dan
kondusif untuk menurunkan perdagangan kayu illegal dan pelaksanaan pemanfaatan hutan yang
tidak lestari di sektor kehutanan.
Perbaikan Undang-Undang Kehutanan dan Penegakkannya.
Perbaikan Tata Kelola Sektor Kehutanan
melalui peningkatan akuntabilitas dan transparansi. Berkurangnya
perdagangan hasil hutan dan digalakkannya perdagangan legal. Digunakannya
sistem silvikultur hutan daat ini sebagaimana dinilai dari informasi yang ada
dan sistem yang sepatutnya oleh pemangku kepentingan. Koordinasi kegiatan dan
penhubungan FLEGT antara donor, organisasi internasional lain (misalnya ASEAN)
dan pemerintah Indonesia.
EC-FLEGT dan Dinas Kehutanan menggelar konsultasi
publik di aula Bappeda Kapuas Hulu, beberapa hari waktu yang lalu. Konsultasi
tersebut dihadiri Provincial Coordinator EC-Indonesia Flegt Support Project,
Thadeus Yus dan Database Spesialist Flegt, Manjela Eko, Dinas Kehutanan dan
instansi lainnya di Kabupaten Kapuas Hulu.
Ketika ditemui seusai kegiatan konsultasi publik, Provincial Coordinator EC-Indonesia Flegt Support Project, Thadeus Yus mengatakan konsultasi publik ini dalam rangka menyusun program kerja untuk tahun ketiga EC-Indonesia FLEGT Support Project.
“Sebagaimana seperti dilakukan hari ini yaitu konsultasi publik adalah meminta input dari masyarakat khususnya dari kabupaten. Memang kita menyusun program kerja ketiga FLEGT ini dari bawah dimulai kabupaten. Dan kemudian, hasil konsultasi ini akan dibawa ke tingkat propinsi hingga pusat untuk disahkan sebagai program kerja sama,”terang Thadeus.
Lebih lanjut Thadeus mengatakan konsultasi publik dalam menyusun progam kerja sama ini juga akan dilaksanakan di tiga kabupaten lainnya. Yaitu Kapuas Hulu, Sintang dan Melawi.
“Kami tidak ingin adanya image bahwa FLEGT ini program kerjanya disusun berasal dari Uni Eropa. Tetapi kami menginginkan program tersebut berasal dari daerahnya masing-masing,”tegas Thadeus.
Ketika ditemui seusai kegiatan konsultasi publik, Provincial Coordinator EC-Indonesia Flegt Support Project, Thadeus Yus mengatakan konsultasi publik ini dalam rangka menyusun program kerja untuk tahun ketiga EC-Indonesia FLEGT Support Project.
“Sebagaimana seperti dilakukan hari ini yaitu konsultasi publik adalah meminta input dari masyarakat khususnya dari kabupaten. Memang kita menyusun program kerja ketiga FLEGT ini dari bawah dimulai kabupaten. Dan kemudian, hasil konsultasi ini akan dibawa ke tingkat propinsi hingga pusat untuk disahkan sebagai program kerja sama,”terang Thadeus.
Lebih lanjut Thadeus mengatakan konsultasi publik dalam menyusun progam kerja sama ini juga akan dilaksanakan di tiga kabupaten lainnya. Yaitu Kapuas Hulu, Sintang dan Melawi.
“Kami tidak ingin adanya image bahwa FLEGT ini program kerjanya disusun berasal dari Uni Eropa. Tetapi kami menginginkan program tersebut berasal dari daerahnya masing-masing,”tegas Thadeus.
Disinggung isu program kerjanya, Thadeus mengatakan
program kerjanya tidak jauh dari program FLEGT sebelumnya. Sifatnya hanya
tinggal melanjutkan saja. Seperti perlindungan dan pengamanan kawasan hutan di
Kabupaten Kapuas Hulu. “Jika bisa, kami menginginkan menimalisir terjadinya
Ilegal Logging. Tidak hanya itu, diharapkan kami juga mampu berbuat khususnya
dalam mengelola tata kelola hutan yang baik,”ujarnya.
Dalam mewujudkan tata kelola hutan yang baik, kata Thadeus, memerlukan kerja sama yang baik antar instansi terkait permasalahan kehutanan dalam menjaga hutanya dilihat dari kondisi daerahnya masing-masing. Dan pusat informasi kehutanan (pusinfohut). Tidak hanya itu, pemberdayaan masyarakat hutan dan sekitarnya pun tengah dilakukan oleh pihak FLEGT.
“Dan kami telah melakukan tersebut dengan memberikan pelatihan. Baik itu karet maupun gaharu. Selain itu, kami juga melakukan peningkatan potensi desa. Dan terakhir ini, kami membantu mereka dalam kapasitas bagi aparat desa untuk membuat peraturan desa. Sekali lagi, ini disesuaikan oleh aturan-aturan setempat,”kata Thadeus.
Dalam mewujudkan tata kelola hutan yang baik, kata Thadeus, memerlukan kerja sama yang baik antar instansi terkait permasalahan kehutanan dalam menjaga hutanya dilihat dari kondisi daerahnya masing-masing. Dan pusat informasi kehutanan (pusinfohut). Tidak hanya itu, pemberdayaan masyarakat hutan dan sekitarnya pun tengah dilakukan oleh pihak FLEGT.
“Dan kami telah melakukan tersebut dengan memberikan pelatihan. Baik itu karet maupun gaharu. Selain itu, kami juga melakukan peningkatan potensi desa. Dan terakhir ini, kami membantu mereka dalam kapasitas bagi aparat desa untuk membuat peraturan desa. Sekali lagi, ini disesuaikan oleh aturan-aturan setempat,”kata Thadeus.
Isu lainnya dalam diskusi konsultasi publik ini
ialah mengenai adanya konflik sumber daya alam. Maka dari itu, kata Thadeus,
pihaknya telah menyikapi dengan cara mendorong kepada pemerintah daerah untuk
dapat mengantisipasi konflik tersebut. Dan hal itu telah terbentuk dengan
adanya sebuah forum. Yakni Forum Resolusi Konflik. Forum ini berada di tingkat
kabupaten dengan melibatkan instansi terkait. Sementara permasalahan
pusinfohut, Thadeus mengatakan seiring zaman merupakan zaman transparansi, maka
Dinas Kehutanan memberikan sebuah terobosan baru. Dimana di dalam pusinfo
tersebut, masyarakat akan mengetahui secara jelas jumlah maupun cara terkait
permasalahan kehutanan.
“Maka jika masyarakat ingin mengetahui secara jelas dan pasti khususnya mengenai permasalahan kehutanan, mereka bisa datang ke pusinfohut yang dalam waktu dekat ini akan diresmikan,”terangnya. Disinggung kegiatan Hari Tanam Nasional pada 28 November yang akan datang, Thadeus mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dalam hal ini. Bahkan pada saat itu juga, pihaknya bersama Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu akan melakukan Lauching pusinfohut Kabupaten Kapuas Hulu.
Di tempat yang sama, Database Spesialist Flegt, Manjela Eko mengatakan kegiatan konsultasi publik dijadikan sebagai sarana meminta masukan dari publik untuk menyusun program kerja tahun ketiga EC-Indonesia FLEGT Support Project. Selain itu, Eko mengatakan pihaknya sekaligus mensosialisasikan program kerja yang telah maupun tengah dilaksanakan di tengah masyarakat oleh pihaknya. Tidak hanya itu, pihaknya juga tengah menyusun rencana kegiatan pada tahun 1 Maret 2009 hingga 28 Februari 2010.
“Disini kami dapat masukan dari kawan-kawan. Dan masukan ini akan dibicarakan ke tingkat yang lebih tinggi Yaitu propinsi dan pusat,”ujarnya.
“Maka jika masyarakat ingin mengetahui secara jelas dan pasti khususnya mengenai permasalahan kehutanan, mereka bisa datang ke pusinfohut yang dalam waktu dekat ini akan diresmikan,”terangnya. Disinggung kegiatan Hari Tanam Nasional pada 28 November yang akan datang, Thadeus mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dalam hal ini. Bahkan pada saat itu juga, pihaknya bersama Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu akan melakukan Lauching pusinfohut Kabupaten Kapuas Hulu.
Di tempat yang sama, Database Spesialist Flegt, Manjela Eko mengatakan kegiatan konsultasi publik dijadikan sebagai sarana meminta masukan dari publik untuk menyusun program kerja tahun ketiga EC-Indonesia FLEGT Support Project. Selain itu, Eko mengatakan pihaknya sekaligus mensosialisasikan program kerja yang telah maupun tengah dilaksanakan di tengah masyarakat oleh pihaknya. Tidak hanya itu, pihaknya juga tengah menyusun rencana kegiatan pada tahun 1 Maret 2009 hingga 28 Februari 2010.
“Disini kami dapat masukan dari kawan-kawan. Dan masukan ini akan dibicarakan ke tingkat yang lebih tinggi Yaitu propinsi dan pusat,”ujarnya.
Banyak negara anggota Uni Eropa yang telah membantu dalam
mengatasi masalah perdagangan kayu ilegal. Beberapa negara telah mengembangkan
kebijakan pengadaan produk kayu untuk keper luan umum, sementara beberapa
negara lainnya member ikan bantuan
melalui kerjasama bilateral dalam bidang kehutanan untuk mengatasi masalah
penebangan liar. Rencana Aksi FLEGT
menawarkan peluang kerjasama melalui upaya-upaya tersebut. Negara-negara Uni
Eropa dapat mengambil langkah positif, termasuk:
• pengembangan
kebijakan pengadaan barang untuk kepentingan umum yang diharapkan dapat menjamin
bahwa hanya kayu legal saja yang boleh dipasok. Peraturan baru Uni Eropa telah mengklarifikasi
bahwa kebijakan pengadaan dapat menjelaskan proses produksinya apabila hal ini berkaitan
dengan produk utama yang disebut dalam kontrak pengadaan. Sebuah buku pegangan
Komisi Eropa mengenai prosedur pengadaan yang ramah lingkungan (A European
Commission Handbook on Green Procurement), yang dikeluarkan dalam pertengahan tahun
2004, memberikan petunjuk bagaimana negara anggota dapat menyertakan
masalah legalitas ketika melakukan pembelian kayu impor;
• membantu inisiatif sektor swasta yang mendorong perusahaan
untuk menggunakan caranya masingmasing dalam melakukan penebangan secara benar dan
legal serta melakukan pembelian kayu legal. Praktek-praktek semacam ini dapat
dilengkapi oleh audit pengadaan yang independen;
• kajian mengenai kriteria lingkungan dan sosial untuk uji
kelayakan yang dilakukan untuk investasi oleh Badan Kredit Ekspor (Export
Credit Agencies) dan lembaga-lembaga pendanaan umum lainnya, dan
dukungan terhadap pengembangan kriteria oleh investor swasta. Prosedur
penyaringan yang dilakukan seharusnya dapat menjamin bahwa dana masyarakat
tidak digunakan untuk mendukung kegiatan sektor kehutanan yang ilegal;
• pengujian kemungkinan untuk menerapkan undang-undang
pelanggaran kriminal yang ada,
seperti undang-undang
pencucian uang atau penyuapan, untuk diproses lebih lanjut seperti kejahatan kriminal
lainnya, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan penebangan liar;
• koordinasi pendanaan dari negara donor untuk kegiatan
kehutanan dengan kegiatan FLEGT, untuk menjamin bahwa FLEGT merupakan bagian dari pembangunan
sektor kehutanan berkelanjutan yang lebih luas;
• jaminan bahwa berbagai peraturan dan perundangan,
statistik dan pengawasan daerah perbatasan merupakan kegiatan yang telah sesuai
dan saling mengisi satu sama lain.
Dampak kegiatan FLEGT
Dengan menerapkan Rencana Aksi FLEGT diharapkan dapat
diperoleh dampak di dalam maupun di luar Uni Eropa. Untuk memperoleh pengertian
yang lebih baik, Komisi Eropa telah menugaskan untuk mengkaji dampak dari
usulan skim lisensi secara sukarela (voluntary licensing scheme) yang dapat
menjamin bahwa hanya kayu legal saja yang memasuki pasar Eropa . Hal ini
termasuk:
• dampak dari perdagangan kayu dan industri pengolahan
kayu di negara-negara anggota Uni Eropa;
• dampak dari alur perdagangan kayu yang terjadi antara
negara mitra yang potensial dengan Uni Eropa;
• kelembagaan, pengembangan kapasitas dan aturan tambahan
yang diperlukan serta biaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan Rencana Aksi;
• dampak lingkungan dan sosial yang dapat terjadi di
beberapa negara mitra terpilih.
2. Jelaskan
upaya-upaya yang dilakukan Cina untuk masuk ke pasar ASEAN, dimulai dengan
diusulkan FTA dengan ASEAN pada tahun 1995?
Jawab :
Perjanjian perdagangan bebas antara
negara-negara Asean dan China mulai berlaku
tanggal 1 Janauri 2010. Perjanjian
tersebut sebenarnya telah
ditandatangani pada tahun 2002. Pemerintah tampaknya tidak akan mengundur
berlakunya atau pelaksanaan perjanjian
ACFTA tersebut. Indonesia sebagai penandatangan akan tetap komit terhadap
perjanjian, tidak ada penundaan, kata Wakil Menteri Perdagangan. Pemerintah
Indonesia akan meminta pengertian China untuk memberikan pengecualian terhadap
industri tertentu. Sehubungan dengan rencana perdagangan bebas tersebut ada
sekitar 303 produk industri Indonesia yang akan meminta perlindungan dari
pemerintah, termasuk produk baja dan tekstil.
Disamping itu penerimaan Pemerintah
R.I diperkirakan mungkin akan turun sampai Rp. 15 triliun pada tahun 2010.
Sebabnya adalah penurunan tarif bea masuk untuk barang-barang yang
diperdagangkan menjadi 0%. Seberapa jauh dampak perdagangan bebas antara Asean
dan China yang menyangkut industri Indonesia. Tidak dapat dielakkan Indonesia
harus memperkuat daya saing guna menaikkan posisi tawar produk-produk lokal.
Pemerintah sudah mengindentifikasi beberapa sektor manufaktur yang bakal
terkena dampak terparah. Untuk produk-produk primer, Indonesia cenderung tetap
kuat. Dalam usaha untuk memperkuat daya saing barang-barang Indonesia,
perbaikan infrastruktur mutlak perlu untuk mencegah biaya ekonomi tinggi. Bea
masuk sebanyak 2.528 pos tarif dari 17 sektor industri akan dibebaskan mulai 1
Januari 2010 pada tahap II untuk skema
normal track 1 (NT). Hal itu menjadi konsekuensi yang harus dijalankan
Indonesia dan 10 negara lainnya, terkait implementasi perjanjian perdagangan
bebas (free trade agreement/FTA) Asean-China.
Seluruh komoditas pertanian di luar
kategori sensitive products (SP) akan
dihilangkan bea masuk impornya menjadi 0%. FTA itu juga menjadi jalan masuk
produk pangan impor. Dengan hilangnya hambatan tarif itu, Pemerintah berjanji
tetap melindungi pasar “303 Produk Industri Dilindungi”, Republika, 16Desember
2009. “Penerimaan Bakal Hilang Rp. 15 Triliun”, Kompas, 17 Desember 2009. “Perkuat Daya Saing, Naikkan Posisi Tawar di
FTA”, Media Indonesia, 26 Desember 2009. domestik melalui pengetatan hambatan
nontarif. Instrumen nontarif tidak saja penting sebagai tambahan prasyarat teknis
untuk menangkal serbuan produk impor. Tetapi juga melindungi masyarakat dari
wabah penyakit pangan dan hewan. Jika sebelum sertifikasi bebas penyakit itu
dianggap sebagai inefiensi dan pembengkakan biaya oleh pengusaha, prosedur
karantina saat liberalisasi pasar menjadi penting.
Potensi kerugian yang dialami
industri manufaktur nasional sebagai dampak dari implementasi perjanjian
Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) diperkirakan mencapai Rp. 35 triliun
per tahun. Nilai yang sangat besar tersebut hanyalah potensi kerugian yang
bakal diderita oleh tujuh sektor manufaktur yakni industri petrokimia,
pertekstilan, alas kaki dan barang dari
kulit, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta besi dan baja. Perkiraan
potensi kerugian tersebut merupakan hasil kajian Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (ISEI). Sesuai dengan skema normal track 1 (NT 1) perjanjian ACFTA
tahap II, sebanyak 2.528 pos tarif dari 17 sektor industri akan dihapuskan bea
masuknya pada 1 Januari 2010. Berdasarkan kajian pemerintah dan usulan dunia
usaha, dari total pos tarif itu sebanyak 314 pos tarif (12,4%) akan direnegosiasi
melalui modifikasi tarif dan kompensasi. Dari 314 pos tarif tersebut,
pemerintah hanya akan merenegosiasikan 87 pos tarif sektor pertekstilan dari
total pos tarif NT 1 yang dihapuskan bea masuknya sebanyak 838 pos tarif. Dari
752 pos tarif produk elektronik dalam NT 1 hanya tujuh pos tarif yang akan
diubah, sedangkan dari 350 pos tarif besi dan baja, pemerintah hanya akan
merenegosiasi 189 pos tarif.
Benny menambahkan saat ini terdapat
536 pos tarif produk pertekstilan dalam skema NT 1 yang sangat sensitif (lemah
daya saingnya) jika bea masuknya dihapus menjadi 0%, seperti kain tenun dan
serat nilon. Didorong atas sengitnya persaingan bisnis yang bakal terjadi
pascapemberlakuan ACFTA 1 Januari 2010, Asosiasi Pengusaha Indonesia (API)
menyatakan keberatan dengan membeberkan latar belakang perjanjian tersebut. API
mengusulkan kepada pemerintah agar mengkaji ulang jangka waktu
penurunan/penghapusan tarif bea masuk produk-produk yang tergabung dalam normal track (NT 1 dan 2) hingga tahun 2012.
Adapun produk-produk yang tergabung dalam
sensitive track (ST) dan high
sensitive track (HST) tentu jangka waktunya disesuaikan lagi.“Lindungi Pasar
Domestik Sejak Dini”, Media Indonesia, 24 Desember 2009. “Potensi kerugian
akibat ACFTA capai Rp 35 triliun”, Bisnis Indonesia, 23 Desember 2009. Usul itu
dengan berbagai pertimbangan, antara lain mayoritas permesinan tekstil dan
produk tekstil (TPT) di Indonesia sudah usang, industri perlu meremajakan
permesinannya agar mampu bersaing. Untuk itu, pemerintah meluncurkan program
restrukturisasi permesinan. Usul lain, pasokan energi listrik dari PLN belum
memenuhi standar perindustrian, baik jam nyala maupun kualitas listriknya, sehingga
efisiensi produksi rendah. Penyerapan tenaga kerja di industri TPT sangat besar
sehingga bila terjadi masalah, akan
memengaruhi mata rantai kegiatan ekonomi. API juga meminta pemerintah untuk memperkuat country of
origin (COO).
Kemudian, menekankan pada perundingan Asean selanjutnya bahwa pentingnya
persetujuan secara bersama antar anggota Asean sebelum melakukan FTA dengan
negara lain. Benny mengatakan, Standar
Nasional Indonesia (SNI) perlu dioptimalkan, khususnya bagi produk-produk yang
akan masuk ke Indonesia. Selanjutnya, untuk pembahasan FTA dengan negara mana
pun, asosiasi dan industri hendaknya dilibatkan dalam sosialisasinya. Untuk
meningkatkan daya saing produk-produk nasional, ada juga usul dari kalangan
industri untuk segera mereformasi sektor infrastruktur, khususnya untuk tarif
dasar listrik (TDL), biaya-biaya di pelabuhan, dan transportasi dari/ke pelabuhan.
Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) juga harus tepat waktu 25 hari, seperti kebijakan China terhadap
industrinya. Diperlukan domestic full
service alliance. Artinya, dalam rangka mempertahankan usahanya, industri
nasional perlu melakukan konsorsium. Misalnya, sektor TPT nasional untuk
pembelian batu bara, fiber, benang, dan sebagainya, agar dilakukan secara
bersama. Sejumlah produk industri yang dinilai memiliki daya saing rendah dan
sulit bersaing dalam AC-FTA akan tetap dilindungi dengan tarif bea masuk (BM)
2,5%-3%. Kebijakan pemerintah tersebut dilakukan untuk mengurangi dampak
negatif dari pemberlakuan perjanjian
liberalisasi pasar Asean-China yang semestinya diikuti dengan penghapusan BM sejumlah produk yang masuk
dalam skema normal track 1 (NT-1). Keputusan ini diambil dalam rapat maraton
lintas tujuh instansi yang selesai pada Sabtu dini hari.
Ketujuh instansi yang terlibat
yakni Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan,
Departemen Kehutanan, Departemen “Perlu Kebijakan Pro Industri”, Kompas, 17
Desember 2009. Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM). “Secara makro kami sepakat bahwa fungsi tarif masih
dibutuhkan untuk melindungi industri dalam negeri, khususnya bagi produk yang
berdaya saing rendah”, kata Sekretaris Jenderal Depperin Agus Tjahajana
Wirakusumah. Menurut jadwal, kesepakatan ACFTA tahap II dalam skema NT 1
(normal track 1) akan menghapus 6.682 pos tarif BM bagi 17 sektor. Penghapusan
ini berlaku efektif mulai 1 Januari 2010.
Agus menekankan tidak semua cabang
industri manufaktur bermasalah terhadap daya saing sehingga tidak semua produk
perlu dilindungi dengan tarif. Berdasarkan rapat terakhir itu, ungkap Agus,
terdapat lima kategorisasi produk industri yang terklasifikasi membutuhkan
perlakuan berbeda dalam menghadapi ACFTA. Pertama, produk industri yang berdaya
saing lebih tinggi daripada China. Kedua, kelompok produk yang mempunyai daya
saing sedang. Ketiga, kategori produk yang memiliki daya saing lemah. Keempat,
kelompok produk yang berdaya saing sangat lemah. Kelima, kategori produk yang
berdaya saing setara dengan China. “Untuk produk industri yang dianggap kuat
(berdaya saing lebih tinggi, sedang dan
sepadan dengan China) yang ditunjukkan dengan data perkembangan daya saing
dalam 5 tahun terakhir, go ahead (silakan jalan terus)”, paparnya.
Namun, bagi produk industri yang
berdaya saing lemah, pemerintah akan mengajukan
modifikasi tarif dari semula 0% menjadi 2,5%-3% atau tetap
mempertahankan BM produk itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada tahun
sebelumnya. Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian Agus Tjahajana
Wirakusumah mengatakan modifikasi dan penundaan implementasi penurunan bea
masuk menjadi jalan terakhir untuk melindungi industri dari potensi injury akibat dampak berantai pasar bebas
ACFTA. “Ini dibenarkan karena sesuai dengan isi kesepakatan Asean Trade In
Goods Agreement (ATIGA) Artikel 23 bahwa anggota Asean dapat menggunakan haknya
jika menemukan hambatan atas implementasi pembebasan tarif BM melalui modifikasi
tarif secara temporer maupun penundaan”, jelasnya. Terkait dengan hal itu,
sebanyak 314 pos tarif produk berdaya saing lemah, dari 2.528 pos tarif,
diusulkan diubah dalam perundingan Asean
China. Perubahan itu dilakukan melalui dua cara, yakni modifikasi dan
penundaan-penurunan bea masuk “Produk berdaya saing rendah tetap dilindungi”,
Bisnis Indonesia, 15 Desember 2009. Dalam kategori NT 1 (normal track). NT 1
adalah jadwal penurunan tarif bea masuk yang mulai bergulir pada 20 Juli 2005
dan menjadi 0% pada 1 Januari 2010. Ke-314 pos tarif produk yang akan
dilindungi itu berasal dari sembilan sektor manufaktur dan IKM . Hal ini
ditetapkan setelah pemerintah mengkaji perkembangan daya saing 314 produk itu
dalam 5 tahun terakhir. Kajian itu juga menyimpulkan empat rekomendasi jadwal implementasi
tarif. Pertama, implementasi tarif untuk kelompok produk berdaya saing kuat
sesuai jadwal 1 Januari 2010. Kedua, kelompok berdaya saing sedang ditunda dari
2010 menjadi 2012. Ketiga, untuk kelompok produk berdaya saing lemah
penghapusan tarif diundur menjadi 2018. Keempat, untuk produk berdaya saing sangat
lemah terpaksa diimplementasikan pada 2010.
Pemerintah akan menjadikan Standar Nasional
Indonesia (SNI) sebagai salah satu senjata untuk mencegah membanjirnya barang
impor dari Cina setelah diterapkannya perdagangan bebar ACFTA. SNI ini
dipandang mampu menjaga kualitas barang yang masuk. Deputi Menko Perekonomian
Bidang Perindustrian dan Perdagangan, Edy Putra Irawadi, berpendapat penerapan
SNI membuat kualitas barang yang masuk ke dalam negeri akan terjaga. Barang
makanan atau minuman yang sudah kedaluarsa tiga bulan tidak boleh lagi melintas
perbatasan. Begitu juga dengan barang lainnya. Edy menyebutkan persyaratan SNI
juga berlaku pada semua produk elektroik. “Sebetulnya SNI ini tergantung
kitanya. Sama seperti kalau kita memegang pisau. Jika di tangan tukang kue maka
jadi kue, tapi berbeda kalau di tangan penjahat. Jadi intinya, kita harus
selektif memilih mana yang terbaik untuk kita”, ujarnya. Edy akan bekerja keras
mengawasi SNI.
Dia bakal menjalin kerja sama
dengan BP POM. Di samping itu, pemerintah juga akan menerapkan kebijakan lain
untuk melindungi industri lokal. “SNI hanya salah satu yang termasuk dalam
syarat peredaran barang”, tegasnya. Syarat lainnya, Edy melanjutkan, ada dalam
ketentuan label dan isi nutrisi yang harus dikandung sebuah produk. Barang Cina
yang masuk ke Indonesia memang kerap dicurigai kualitasnya. Penerapan SNI ini
diharapkan dapat mengurangi serbuan produk impor dari negara Tirai Bambu itu. “FTA
Asean-China jalan terus”, Bisnis Indonesia, 16 Desember 2009. Ketua Komisi VI
DPR, Airlangga Hartarto, tampaknya tak setuju dengan penerapan SNI sebagai
solusi mengatasi dampak perdagangan bebas dengan Cina. Dia mengatakan SNI bukan
merupakan senjata yang ampuh untuk melindungi produk industri lokal. “SNI hanya
standar industri yang berlaku untuk seluruh produk”, katanya. Menghadapi ACFTA,
Airlangga menegaskan, perlu adanya
deregulasi pelabuhan tujuan impor barang. Kemudian, sambungnya, perlindungan
konsumen dengan labelisasi barang yang dimengerti masyarakat Indonesia secara
umum. “Yang jelas Bahasa Inggris tidak cukup”, ujarnya.
Di sisi lain, Airlangga menyatakan,
harmonisasi tarif dari hulu ke hilir serta peninjauan tarif yang akan
diturunkan juga mesti diberikan pemerintah. “Kalau hanya ditinjau kurang dari
350 pos tarif dari total tarif yang ada, terlalu sedikit”, kritiknya. Menteri
Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengakui sektor industri manufaktur
kemungkinan akan merasakan dampak yang cukup buruk dari pemberlakuan
perdagangan bebas. Sehingga, dia memandang, perlu dilakukan berbagai langkah
antisipasi. Salah satu kebijakan ke depan yang sekiranya cukup mendesak, yakni
revitalisasi industri manufaktur. Meski, hal ini sangat sulit dilakukan di
tengah kompetisi yang cukup ketat. “Ini berarti tidak hanya sekadar memberikan
insentif atau juga perbaikan dari infrastruktur, dari sisi governance juga dibutuhkan supaya tidak
menimbulkan ekonomi biaya tinggi”, jelasnya. Menkeu mengingatkan keberhasilan
pembangunan industri tidak hanya sekadar dari sisi kebijakan fiskal. Tapi,
harus dilihat pula dari sisi reformasi dan
akselerasi pembangunan infrastruktur terutama listrik dan jalan. “Karena
itu adalah dua faktor yang sangat penting dan memengaruhi struktur biaya dari industri
manufaktur”, pungkasnya.
Sektor industri manufaktur di
Indonesia yang pernah menjadi tumpuan pembangunan perekonomian, selain
sebagai penyerap tenaga kerja terbesar
dan penyumbang devisa lewat kinerja ekspornya, kini terbilang menurun. Sebagaimana
dicatat Biro Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2009 ekspor manufaktur
Indonesia merosot hampir 25 persen dari total 60,831 miliar dollar AS menjadi
45,632 miliar dollar AS. Penurunan ini juga menurunkan total ekspor nonmigas
sebesar 18,31 persen. Bahkan, dalam perhitungannya, Depperin juga memperkirakan
penurunan nilai ekspor “SNI Cegah Banjir Produk Cina”, Republika, 28 Desember
2009. 12 industri manufaktur unggulan, seperti industri pengolahan kelapa sawit
mentah (CPO), besi baja, otomotif, elektronika, pengolahan karet, pulp dan kertas,
serta industri peralatan listrik sebesar 7,33 persen sepanjang tahun 2009.
Sementara realisasi impor Indonesia dari China selama semester pertama 2009
angkanya tidak kalah menakjubkan. Impor elektronika dari China sudah mencapai
30 persen atau senilai 300 juta dollar AS, 37 persen dari 57 juta dollar AS
tekstil dan produk tekstil (TPT), 60 persen mainan anak-anak dari total 17 juta
dollar AS, 14 juta dollar AS atau 50 persen produk alas kaki, belum lagi dalam
bentuk produk makanan dan minuman.
Selama ini, penetrasi perdagangan
China ke negara-negara lain tidak lepas dari kemampuan produksi domestik,
selain adanya penerapan subsidi ekspor (tax rebate) 13 persen-17 persen oleh
Pemerintah China sendiri. Pada sisi lain, Indonesia masih dihadapkan pada lemahnya
penguasaan teknologi, masih rendahnya kualitas SDM, tingginya tingkat suku
bunga perbankan, dan disorganisasi struktur yang kian menyebabkan daya saing
produk Indonesia, khususnya manufaktur, kian menurun. Dalam World
Competitiveness Yearbook 2006-2008, daya saing Indonesia turun ke peringkat 51
dari 55 negara. Sementara dari World Economic Forum, daya saing Indonesia
menduduki peringkat ke-54, di bawah negara-negara lain dalam kawasan Asia
Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
3. Jelaskan
mengenai persetujuan WTO tentang GATT, GATS, TRIPs, dan Dispute Settlements?
Jawab:
World Trade Organization (WTO) atau
Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu
satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah
perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui
suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional
sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negaranegara anggota.
Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam
pelaksanaan kebijakan Perdagangannya. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1
Januari 1995. Persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan telah membuat aturan-aturan
untuk sistem ini. Sejak tahun 1947-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai
perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional
tertinggi. Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana
pada tahun 1947 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan
disepakati oleh beberapa negara saja dan upaya-upaya pengurangan tarif.
Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan
multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (Trade Round)”, sebagai upaya untuk mendorong
liberalisasi perdagangan internasional. Sebagai upaya mewujudkan cita-cita
perbaikan ekonomi dunia yang hancur akibat perang dunia ke II.
Amerika Serikat mempelopori di selenggarakannya konfresi internasional
diadakan di Bretton Woods, New Hampsire, AS pada tangga 22 Juli 1947. Konfrensi
yang kemudian di kenal dengan konfrensi
Bretton woods di hadiri oleh 44 perwakilan negara. pertemuan selama 22
negara tersebut akhirnya melakukan
Havana Charter yang berisikan perjanjian
Internasional Monetary Fund
(IMF), namun karena kongres AS sebagai
inisiator International Trade Organisation (ITO) gagal mencapai kesepakatan
tentang bentuk organisasi dan sistem operasi ITO, maka pembentukan ITO pun
dibubarkan dan kemudian sebagai gantinya di bentuk General on Tarif and Trade (GATT) pada 1947.(Hatta, 2006: 53-56).Dalam
perjalanannya, GATT telah melakukan beberapa perundingan pertama di lakukan di
Geneva, Switzerland (1947), kemudian
Annency (France 1948) Torguay, Switzerland (1950), Geneva Switzerland (1956),
Dillon round, Geneva (1960-1961), Kenedy round, Geneva (1964-1967), Tokyo
round, Geneva (1973-1979) dan terakhir Uruguay Round Marrakesh (1986-1994).
Perundingan terakhir inilah yang dianggap salah satu perundingan yang paling
menentukan perkembangan GATT di masa yang akan
datang. Putaran Uruguay merupakan putaran perundingan yang berlangsung
paling lama dan mencangkup segi-segi pengaturan yang lebih luas.
Di sana tidak hanya dibicarakan
mengenai masalah tarif dan non tarif saja tetapi juga masalah-masalah lain
yang di golongkan sebagai aspek non
trade seperti, hak atas kekayaan intelektual, dan kepentingan negara-negara
miskin yang harus di perhatikan. Kemudian pada putaran terakhir ini pula
disahkan persetujuan untuk membentuk sebuah organisasi perdagangan yang di
sebut World Trade Organization (WTO
(Alfonso, 1989:18-28). Dalam proses
perumusannnya terdapat
pertentangan mengenai pembentukan organisasi ini sendiri. Amerika Serikat lebih
menghendaki pendekatan kontraktual daripada pendekatan organisasional. Hal ini
di karenakan para delegasi AS mungkin khawatir bahwa apabila ada usulan untuk
mendirikan organisasi internasional maka kongres akan menolak keseluruhan
hasil Uruguay Round seperti juga kongres
menolak hasil konfrensi Havana untuk mendirikan International Trade
Organization (ITO). Sedangkan dari pihak negara-negara berkembang terdapat
kekhawatiran bahwa dengan adanya organisasi baru ini minimal akan terdapat
tindakan-tindakan yang hanya akan menguntungkan negara maju dan kuat sehingga akan sangat merugikan negara-negara
berkembang dan lemah.
Kemudian akan di khawatirkan pula
bahwa WTO hanya akan merupakan alat dan sarana untuk memaksakan kehendak serta
kebijaksanaan dari negaranegara maju dan kuat saja. Namun secara umum negara-negara
berkembang memang menghendaki adanya suatu institusi perdagangan internasional
yang kuat dalam arti dapat mengamankan secara seimbang antara hak dan kewajiban
serta antar kepentingan negara-negara anggota. Dengan adanya
pertentangan-pertentangan antara negaranegara maju dan negara-negara
berkembang, akhirnya pada tanggal 14 Januari 1994 perjanjian pembentukan WTO di
bentuk memenuhi tujuannya dalam meningkatkan standar hidup, menjamin
tersedianya lapangan kerja, pertumbuhan pendapatan riil dan permintaan yang
tinggi dan stabil, perluasan produksi barang dan jasa, sekaligus mengoptimalkan
pengggunaaan sumberdaya yang ada sesuai
dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Sekaligus melindungi dan melestarikan
lingkungan serta meningkatkan cara-cara dalam melakukannya sehingga sesuai
dengan kebutuhan dan keperluan dari berbagai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
berbeda. Kemudian di sebutkan pula bahwa dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut,
maka di lakukan perjanjian-perjanian yang di tujukan untuk mengurangi tarif dan
hambatan perdagangan lainya, serta menghapus
perlakuan diskriminasi dalam perdagangan internasional.
Selain pencapaian tujuan, WTO juga
di bentuk untuk menjalankan beberapa fungsi yang dalam pasal III persetujuan
pembentukan WTO di sebutkan bahwa organisasi ini di bentuk untuk menjalankan
fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Membantu pelaksanaan pengadministrasian, serta meningkatkan pencapaian
tujuan perjanjian pembentukan WTO dan perjanjian multilateral lain yang terkait
dengan WTO.
2. Sebagai forum negosiasi antar
negara anggota berkenaan dengan hubungan perdagangan diantara mereka.
3. Sebagai forum penyelesaian
sengketa diantara anggota
4. Melakukan pemantauan terhadap
kebijakan-kebijakan perdagangan anggotanya
5. Menjalin kerjasama dengan IMF
dan World Bank serta organisasi lainnya demi
terciptanya pembuatan kebijakan ekonomi global yang lebih baik.
Pada tahun-tahun awal, Putaran
Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tarif.
Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun
1960-an) dibahas mengenai tarif dan persetujuan anti dumping. Putaran
Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tarif secara progresif.
Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea
impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tarif
rata-rata atas produk industri turun
menjadi 4,7%. Pengurangan tarif, yang berlangsung selama 8 tahun,
mencakup yakni semakin tinggi tarif, semakin luas pemotongannya secara
proporsional (Paul R.Krugman, 1944: 196-198).Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo
gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan
produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards”
(emergency import measures).
Meskipun demikian, serangkaian
persetujuan mengenai hambatan non tarif telah muncul di berbagai perundingan,
yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan
WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5tahun.
Putaran tersebut hampir mencakup semua
bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan
berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa
perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada
akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami
kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil
yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu
paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk dari negara berkembang,
penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan
reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi
peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia (Fokus WTO 1995:
67-68).
Pada tahun-tahun awal, Putaran
Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tarif.
Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tarif dan
Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement). Putaran Tokyo (1973-1979)
meneruskan upaya GATT mengurangi tarif secara progresif. Hasil yang diperoleh
rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara
industri utama, yang mengakibatkan tarif rata-rata atas produk industri turun
menjadi 4,7%. Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang
berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru
mengenai “safeguards” (emergency import
measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non
tarif telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus
menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.Selanjutnya adalah Putaran
Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay
memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang
perdagangan.
Pada saat itu putaran tersebut
nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay
membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT
pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan
pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2
tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk
terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa,
dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan
perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi
aturan perdagangan di seluruh dunia (Kartadjoemena, 1998:4).
Persetujuan-Persetujuan WTO
Hasil dari Putaran Uruguay berupa
The Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes),
keputusan dan kesepakatan. Persetujuanpersetujuan dalam WTO mencakup barang,
jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama
liberalisasi. Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:
1. Barang/ goods (General Agreement
on Tariff and Trade/ GATT)
2. Jasa/ services (General
Agreement on Trade and Services/ GATS)
3. Kepemilikan intelektual
(Trade-Related Aspects of IntellectualProperties/ TRIPs)
4. Penyelesaian sengketa (Dispute
Settlements)
Persetujuan-persetujuan di atas dan
annexnya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor di bawah ini:
1) Pertanian
2) Sanitary and Phytosanitary/ SPS
3) Badan Pemantau Tekstil (Textiles
and Clothing)
4) Standar Produk 5)
Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs)
6) Tindakan anti-dumping
7) Penilaian Pabean (Customs
Valuation Methods)
8) Pemeriksaan sebelum pengapalan
(Preshipment Inspection)
9) Ketentuan asal barang (Rules of
Origin)
10) Lisensi Impor (Imports
Licencing)
11) Subsidi dan Tindakan
Imbalan (Subsidies and Countervailing
Measures)
12) Tindakan Pengamanan (safeguards) (http://www.centad.org
/disputes_dis_02.asp, diakses pada tanggal 13 nopember 2010).
Struktur WTO
Badan tertinggi dalam struktur WTO
adalah Ministerial Conference (MC) yaitu
pertemuan tingkat menteri perdagangan negara anggota WTO yang diadakan sekali
dalam dua tahun. Ministerial Conference
ini mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atas semua hal-hal yang
dirundingkan ditingkat bawah dan menetapkan masalah-masalah yang akan
dirundingkan dimasa mendatang. Struktur dibawah Ministerial Conference adalah
General Council (GC) yang membawahi 5 badan yaitu :
1. Council For Trade in Goods
(CTG) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan barang,
yang membawahi berbagai komite ditambah Kelompok Kerja (Working Group) serta
badan yang khusus menangani masalah texstil dan pakaian jadi yaitu Textiles
Monitoring Body (TMB). Komite dibawah
CTG adalah Komite Market Access, Komite
Agriculture, Komite Sanitary and Phytosanitary, Komite Rules of Origin, Komite
Subsidies and Countervailing measures, Komite Custom Valuation, Komite
Technical Barriers to Trade, Komite Antidumping Practices, Komite Import
Licencing dan Komite Safequard.
2. Council For Trade in Services
(CTS),Council For Trade in Services hanya membawahi satu committee
yaitu Committee Trade in
Financial Services ditambah dengan tiga Negotiating Group (NG) yaitu NG on Maritime Transport Services, NG. On
Basic Telecommunication dan NG on Movement of Natural Persons ditambah lagi
dengan satu Working Party (WP) yaitu WP
on Professional Services.
3. Council For Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (Council For TRIPs.)
4. Dispute Setlement Body (DSB).
5. Trade Policy Review Body (TPRB).
Disamping itu terdapat pula empat
Komite yang karena sifat dan subtansinya pengawasannya berada dibawah Ministerial Conference dan General Council
yaitu: (1) Komite Trade and Environ ment; (2) Komite Trade and Development; (3)
Komite Balance of Payments dan (4)
Komite Budget-Finance and Administration. Sedangkan dibawah General
Council terdapat pula dua buah Komite dan badan internasional yang menangani
perjanjian-perjanjian yang sifatnya plurilateral yaitu (1) Komite Trade in Civil Aircraft dan (2) Komite
Government Procurement, International Dairy Council dan International Meat Council. Hubungan-hubungan
perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Perjuangan negara-negara berkembang untuk
memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional
telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan
dengan negara-negara lainnya.
Perdagangan internasional sangat
menentukan dalam menciptakan kemakmuran
seluruh bangsa. World Trade Organization
(WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat
menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui
ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. Melalui WTO, diluncurkan suatu bentuk perdagangan dimana kegiatan
perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Pada
prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana untuk
mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini.
Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas
tersebut, World Trade Organization (WTO)
memberlakukan beberapa prinsip yang
menjadi aturan World Trade Organization (WTO), yang terpenting di antara
prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Prinsip Perlindungan Melalui
Tarif, Prinsip National Treatment, Prinsip
Most Favoured Nations, Prinsip Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip Larangan
Pembatasan Kuantitatif.
Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar
utama WTO yang menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan
atas dasar nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar
yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan
perdagangan. (Jackson, 1995: 187).
Prinsip-Prinsip Dasar WTO
Di dalam perkembangannya, WTO
memiliki 5 (lima) prinsip dasar GATT/WTO yaitu :
1. Perlakuan yang sama untuk semua
anggota (Most Favoured Nations Treatment
(MFN).Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua
komitmen yang dibuat atau ditandatangani dalam rangka GATTWTO harus
diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO (azas non
diskriminasi) tanpa syarat. uatu negara
tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu
negara dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan berdasarkan prinsip MFN,
negara-negara anggota tidak dapat begitu
saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang
diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor
dari mitra dagang negara anggota lainnya.
2. Pengikatan Tarif (Tariff
binding) Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara
anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau
tarifnya harus diikat (legally bound).
Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan untuk menciptakan “prediktabilitas” dalam
urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota
tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif
bea masuk.
3. Perlakuan nasional (National
treatment) Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa
suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara
produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk
melakukan proteksi. Jenisjenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini
antara lain, pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan
yang mempengaruhi penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi,
distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan
campuran, pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri. negara anggota
diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan
lokalpaling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
4. Perlindungan hanya melalui
tarif. Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan
atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.
5. Perlakuan khusus dan berbeda
bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential Treatment for
developing countries – S&D).Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara
berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan
menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki
ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara
berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO. GATT/WTO mengatur
berbagai pengecualian dari prinsip dasar seperti :
1. Kerjasama regional, bilateral
dan custom union. Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk
membentuk kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan
komitmen tiap-tiap anggota WTO yang tergabung dalam kerjasama perdagangan
tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO lain yang tidak
termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.
2. Pengecualian umum. Pasal XX GATT
1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan perdagangan dengan
alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan ;importasi
barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan
barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.
3. Tindakan anti- dumping dan
subsidi. Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan
pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada
perusahaan-perusahaan yang terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan
subsidi.
4. Tindakan safeguards. Pasal XIX
GATT 1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk mengenakan
kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang
merugikan industri dalam negeri.
5. Tindakan safeguard untuk
mengamankan balance of payment. Melarang masuknya suatu produk yang terbukti
mengandung penyakit berbahaya atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. (Steger, 2003: 2).85
Latar Belakang Negoisasi TRIMS
Dalam perkembangan awalnya,
penanaman modal asing secara langsung mulai tampak pada masa penjajahan
(kolonialisme). Penanaman modal pada waktu itu berlangsung dalam bentuk
pergerakan manusia (investor) bersama modalnya dari negara Eropa ke Asia,
Afrika, dan Amerika selatan. Umumnya modal yang di tanamkan tersebut ditujukan
untuk mengeksploitasi kekayaan melimpah di negara-negara tersebut. Pemerintah
penjajah biasanya membuat suatu kebijakan yang menarik bagi para investor
asing. Mereka juga memberikan perlindungan dan jaminan bahwa para investor dan
harta bendanya dapat tunduk kepada aturan pengadilan negara penerima di mana
para investor tersebut menginvestasikan modalnya. Perlindungan investasi pada
waktu itu tidak merupakan masalah yang penting. Umumnya para penguasa (pemerintahan
penjajahan) telah menjadikan masalah perlindungan investor sebagai salah satu
bagian kebijakannya di wilayah negara jajahannya. Karena itu kebutuhan investor
akan perlindungan hukum internasional tidaklah penting.
Setelah berakhirnya perang dunia II yang di
ikuti lahirnya negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika selatan yang
memerdekakan dirinya, para investor mulai memfokuskan perhatiannnya kepada
pembangunan kembali negara-negara baru tersebut. Mereka berupaya mencari
syarat-syarat yang menguntungkan di dalam usaha penanaman modalnya, dalam masa
ini terjadi suatu masa baru di mana para investor dan pemerintah negara-negara
baru tersebut membuat suatu kesepakatan mengenai penanaman modal yang tertuang
di dalam suatu perjanjian. Para investor mulai berupaya mencari aturan-aturan
yang mengatur penanaman modal asing di tingkat bilateral, regional atau
internasional. Penanaman modal asing terjadi sebelum perang dunia II. Pada masa
itu Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menetapkan standa-standar
internasional untuk perlindungan penanaman modal asing. Standar-standar
perlindungan penanaman modal ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan negara-negara
maju dan para investor. Fokus utama dari standar tersebut adalah mengenai
status orang asing. Standar ini di terapkan terhadap berbagai aspek hukum
mengenai penanaman modal dan perlindungan modalnya.
Termasuk di dalamnya adalah
peraturan mengenai perlindungan hak-hak milik pananam modal asing, dan
perlidungan apabila terjadinnya pemberontakan atau kekacauan. Negara maju berpendapat bahwa pengaturan-pengaturan yang
dibuat oleh mereka harus ditaati oleh semua negara. Mereka menyebut bahwa
pengaturan-pengaturan tersebut sebagai standar minimum yang harus diterapkan
secara internasional (international
minimum standard). Standarstandar perlakuan tersebut juga dimasukkan di dalam
perjanjian-perjanjian bidang perdagangan. Untuk memastikan agar standar-standar
tersebut mengikat., negara-negara maju berupaya melaksanakan standar-standar
tersebut melalui tekanan-tekanan politik atau bahkan kadang kala melalui
intervensi militer. William A. Fennel and
Joseph W. Tyler, Perlakuan yang cenderung lebih menguntungkan investor asing
ditentang keras oleh beberapa negara Amerika latin. Salah seorang ahli hukum
yang menentang standar internasional ini
adalah Carlos Calvo. Calvo adalah seorang ahli hukum dan menteri luar negari
Argentina. Menurut Calvo, orang asing tidak dapat menuntut hak perlindungan
yang lebih besar. Pendapat ini menjadi standar yang digunakan dan diterapakan
oleh sebagian besar negara berkembang dalam upaya mereka mengatur penanaman
modal asing. Mereka berpendapat bahwa penanaman modal asing di suatu negara
tunduk kepada hukum di negara tersebut, termasuk perlindungan dan ganti rugi
manakala negara penerima menasonalisasi penanaman modal asing. Begitu pula
manakala suatu sengketa timbul dari adannya suatu perjanjian penanaman modal
asing.
Dalam keadaan tersebut sengketa
harus di selesaikan menurut hukum nasional negara penerima investasi.
Pengadilan yang mengadili sengketa itu pun harus pengadilan nasional dari
negara penerima investasi (penerima PMA). Dengan semakin banyak lahirnya
negara-negara baru di Asia dan Afrika, peran negara-negara ini di dalam
menyuarakan kepentingan dan keprihatinan mereka mengenai penanaman modal cukup
penting. Negaranegara ini mengemukakan pendapatnya dengan mengedepankan aspek kedaulatan negara. (Maskus and Eby,
1997: 451.) Mereka berpendapat standar internasional di bidang penanaman modal
sebagaimana diperkenalkan negara-negara maju selama abad ke-19 tidaklah sesuai
dengan aspirasi negara-negara ini. Upaya negara berkembang kepentingan dan kebutuhan
mereka untuk meningkatkan pembangunannya melalui PMA di lakukan antara lain
melalui PBB. Hasil yang cukup penting dari upaya ini adalah dikeluarkannya
resolusi majelis umum PBB mengenai Resolusi pertama (the permanent sovereinnty
resolution) mengakui hak setiap negara untuk secra bebas memanfaatkan kekayaan
alamnya sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Resolusi ini juga menegaskan bahwa
perjanjian penanaman modal yang dilakukan oleh negara-negara berdaulat secara
bebas harus di hormati dengan itikad baik.
Pada umumnya, persyaratan penanaman modal dapat di golongkan kedalam dua
bentuk. Pertama, persyaratan masuk (entry requirement) kedua, persyaratan
operasional (operasional requirement).
Kebijkan negara menunjukkan bahwa pada umumnya negaranegara menerapkan kedua
bentuk persyaratan tersebut sebagai syarat untuk masuknya modal asing
kenegaranya. Pada tahap pertama, yaitu
persyaratan masuk (entry requirement), biasanya badan penanaman modal
dari negara penerima memeriksa apakah apakah usulan atau proposal penanaman
modal asing sesuai atau cocok dengan tujuan-tujuan pembangunan negaranya.
Pertimbangan lainnya adalah, apakah
proposal tersebut memberikan keuntungan kepada negara penerima. Karena itu
manakala, negara penerima setelah menerima dan memeriksa suatu proposal PMA
beranggapan bahwa proposal tersebut tidak memenuhi persyaratan kebijakan
penanaman modal nasionalnya, maka pemerintah tersebut dapat menolak permohonan
penanaman modal. Sebaliknya, manakala pemerintah negara penerima beranggapan bahwa
suatu usulan PMA memenuhi persyaratan untuk masuknya suatu penanaman modal,
maka negara yang bersangkutan akan menerapkan persyaratan yang kedua yaitu,
persyaratan operasional atau persyaratan pelaksanaan (operational atau
performance requirement). Ruang lingkup persyaratanpersyaratan ini cukup luas
bergantung kepada tujuan atau kebijakan masingmasing-negara.) Dengan
diterapkannya persyaratan ini, negara
penerima akan memastikan bahwa PMA akan memberikan keuntungan maksimum kepada
pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, PMA akan di gunakan sebaikbaiknya untuk
membangun atau memenuhi rencana perekonomian negaranya.
Semua persyaratan ini lebih
banyak dan lazim di praktekkan oleh
negara penerima. Upaya ini di lakukan dengan alasan untuk memelihara kedaulatan
atau pengawasan negara terhadap PMA.
Setiap usulan penanaman modal yang tidak memenuhi tujuan dari negara
penerima atau usulam PMA yang di duga akan membahayakan tujuan pembangunan
negaranya, maka negara tersebut akan menolak masuiknya PMA. Semua upaya atau
kebijakan tersebut adalah sah. Pada prinsipnya hukum internasional memberikan
kekuasaan hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap kegiatan,
termasuk didalamnya adalah kegiatan perdagangan atau ekonomi di wilayahnya.
Jangka waktu penanaman modal di negara penerima biasanya cukup lama, karena
pertimbangan waktu inilah yang juga menjadi latar belakang mengapa negara
penerima mengatur ruang lingkup PMA. Langkah ini perlu guna mengantisipasi
akibat-akibat yang mungkin timbul di kemudian hari dari PMA melalui berbagai
kebijakan atau persyaratan.
Kewenangan negara penerima untuk mengatur
masuknya PMA hanya tunduk kepada perjanjian internasional yang di tandatangani oleh negara yang bersangkutan
(Sornarajah, 1989 :100-104) Pengakuan atas hak ini sangat penting bagi negara-
negara, khususnya negara sedang berkembang. Hak tersebut di perlukan untuk
mengatur dan mengawasi masuknya PMA kedalam wilayahnya. Hukum internasional
berperan penting dalam penanaman modal, peranan hukum ini cukup luas seperti
penyelesaian sengketa yang timbul antara dua negara, yakni antara negara penerima dengan negara dari para
investor. Adalah hak berdaulat setiap
negara untuk mengontrol setiap PMA dari manapun asalnnya yang menanam
modal dalam negara tersebut. Pandangan negara-negara maju terhadap TRIMS adalah
bahwa TRIMS tersebut telah memaksa mereka mempertimbangkan faktor-faktor
non-ekonomis di dalam rencana penanaman modal mereka. Dalam pandangam mereka
TRIMS telah menjadi rintangan bagi perdagangan.
Negoisasi TRIMS dan Putaran Uruguay
Negoisasi mengenai TRIMS merupakan
salah satu agenda penting selama putaran Uruguay. Agenda ini menarik perhatian
cukup serius dari para perunding, khususnya para perunding dari negara maju dan
negara berkembang. Namun demikian dalam perundingan agenda TRIMs ini mereka tidak mempunyai pengalaman atau
pengetahuan memadai mengenai apa yang di maksud dengan TRIMs. Negoisasi di
bidang TRIMs adalah merupakan salah satu perundingan yang paling sulit selama
putaran Uruguay. Konflik antara negara maju dan
negara berkembang terjadi selama perundingan Uruguay ketika membahas
masalah TRIMs. Beberapa negara maju (industri) beranggapan, TRIMs bertentangan
dengan berbagai aturan di dalam pasal GATT sedangkan negara berkembang pada
umumnya berpendapat, upaya-upaya penanaman modal (Trade Investment Meausures) TRIMs dibuat
bukan untuk merintangi perdagangan. Upaya penanaman modal ini ditujukan untuk
memenuhi tujuan pembangunan negara berkembang termasuk tujuan industrialisasi
dan pembangunan. Negara-negara berkembang berpendapat agar negara-negara maju
memberikan kesempatan-kesempatan yang lebih luas dan kebebasan kepada negara
berkembang untuk mempertimbangkan tujuan pembangunannya. Agenda penanaman modal
memuat hal-hal berikut:
1) Negoisasi hanya di batasi kepada
upaya-upaya penanaman modal yang mempengaruhi perdagangan (TRIMs).
2) Deklarasi mengakui pasal-pasal
GATT dapat di terapkan terhadap TRIMs.
3) Perundingan di perlukan guna
membentuk pengaturan di masa depan yang mengatur TRIMs guna mencegah dampak
yang merugikan terhadap perdagangan (Mashayekhi and Gibbs, 1999: 33-6).
Perjanjian WTO Mengenai TRIMs
Perundingan mengenai
perjanjian TRIMs, tidak berjalan dengan
mulus, perjanjian TRIMs merupakan hasil kesepakatan antara negara maju dan negara
berkembang. Perjanjian tersebut juga mengakomodasikan kepentingan negara
berkembang. Perjanjian membolehkan negara berkembang untuk tidak menerapkan
ketentuan-ketentuan perjanjian untuk sementara waktu. Perjanjian TRIMs memuat
dan menegaskan isi perjanjian TRIMs yaitu:
1. Pasal I perjanjian menyatakan
bahwa perjanjian hanya terkait dengan perdagangan di bidang barang (yang
terkait dengan penanaman modal). Pasal ini dengan jelas menyatakan dengan
keinginan negara berkembang yang menginginkan agar pengaturan di bidang ini
tidak memuat aturan baru atau tambahan.
2. Pasal 3 menyatakan bahwa semua pengecualian
yang termuat dalam GATT akan tetap berlaku terhadap ketentuan pasal-pasal
perjanjian TRIMs, seperti misalnya perlindungan lingkungan.
3. Pasal 4 secara khusus untuk
negara sedang berkembang. Pasal ini membolehkan negara-negara untuk tidak
melaksanakan ketentuan pasal 2, sepanjang sesuai ketentuan pasal 3 dan deklarasi mengenai upaya-upaya
perdagangan yang diambil guna tujuan penyeimbang neraca perdagangan.
4. Pasal 5 mensyaratkan negara
anggota untuk menotifikasi kepada dewan perdagangan barang ( the Trade in goods council) dalam jangka
waktu 90 hari setelah berlakunya perjanjian WTO. Pasal 5 juga mensyaratkan
negara-negara anggotanya untuk menghapuskan semua TRIMs dalam jangka waktu 2
tahun untuk negara maju, 5 (lima) tahun untuk negara berkembang dan 7 (tujuh)
tahun untuk negara miskin.Negara berkembang dapat pula memohon perpanjangan
waktu transisi apabila mereka menghadapi masalah dalam melaksanakan perjanjian
TRIMs. pasal ini juga memuat suatu ketentuan khusus yang membolehkan penerapan
TRIMs terhadap perusahaan-perusahaan baru selama jangka waktu transisi apabila
hal ini di pandang perlu agar tidak merugikan perusahaan yang telah ada dan tunduk
kepada ketentuan perjanjian TRIMs
5. Pasal 6 memuat kewajiban
transparansi di dalam menerapakan perjanjian TRIMs. Pasal ini mensyaratkan
kewajiban notifikasi kepada sekretariat WTO mengenai publikasi adanya TRIMs,
termasuk TRIMs yang diterapkan oleh pemerintah daerah atau pejabat-pejabat
TRIMs yang memiliki kewenangan di bidang kebijakan penanamana modal di dalam
wilayah kekuasaannya.
6. Pasal 7 memuat pembentukan badan
baru, yaitu the committee on trade
related investment measures. The committee
bertugas memonitor pelaksanaan komitmen negara anggota berdasarkan
perjanjian TRIMs ini dan melaporkannya setiap tahun kepada the council f or trade in Goods.
7. Pasal 8 terkait dengan
penyelesaian sengketa TRIMs. Pasal ini memberlakukan pasal GATT. ketentuan penyeleseaian
sengketa ini kemudian mengacu pada pula pada annex 2 mengenai the dispute settlement understanding. Pasal 9
menyatakan bahwa the council for trade
in goods akan meninjau perjanjian TRIMs dalam jangka waktu 5 tahun sejak
berlakunya perjanjian. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mengusulkan dan mempertimbangkan
ketentuan mengenai kebijakan investasi (Fennel and Tyler, 1995: 2003).
Arti Penting Perjanjian TRIMs
Hasil dari negoisasi putaran
Uruguay, memiliki arti penting yaitu :
1) Dimasukkannya
penanam modal dalam perjanjian WTO, belum pernah ada aturan atau perjanjian
yang sebelumnya memuat penanaman modal dikaitkan dengan perdagangan. Perjanjian penanaman modal TRIMs juga suatu
aturan baru yang mengikat mayoritas negara di dunia. Berlakunya perjanjian ini
untuk pertama kalinya memperkuat asumsi dan kenyataan bahwa terdapat hubungan
yang erat antara perdagangan dan penanaman modal.
2) Berhasilnya
perundingan mengenai penanaman modal dalam putaran Uruguay telah menciptakan
suatu lembaga baru, yaitu WTO dengan badan khususnya”committee on TRIMs”. Badan
khusus ini bertugas mengawasi dan menjamin liberalisasi penanaman modal asing
secara langsung (foreign direct
investment) FDI. Hal ini
merupakansumbangan penting bagi perkembangan hukum internasional di bidang
penanaman modal. Seperti di ketahui, sebelum tahun 1995, belum ada lembaga
internasional yang menangani secara khusus masalah TRIMs. Selain itu pula, peran
WTO mengenai masalah ini memiliki prosedur penyelesaian senngketa yang akan
menangani sengketa-sengketa di antara negara anggota apabila salah satu
anggotanya melanggar perjanjian TRIMs atau komitmen di bidang penanaman
modalnya. Pembentukan dan keberadaan WTO tidak saja menangani masalah aturan
penanaman modal tetapi juga dalam jangka panjang akan memastikan bahwa
kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati akan dihormati dan ditegakkan.
3) Perjanjian
TRIMs memberikan sumbangan penting terhadap pembangunan penanaman modal. Karena
itu perjanjian TRIMs, meskipun aturannnya singkat dan sederhana, namun
perjanjian tersebut sebenarnya membuka jalan lebih lanjut untuk pembahasan
aturan yang lebih baik di masa depan.
4) Perjanjian
TRIMs membantu negara anggota untuk lebih transparansi dalam kebijakan hukum
penanaman modalnya. Hal ini akan membentuk suatu kondisi yang lebih terbuka dan
dapat diduga serta kepastian hukum bagi investor asing untuk melakukan usahanya
di negara anggota WTO lainnnya.
5) Perjanjian
TRIMs memberi ketentuan yang berimbang diantara kepentingan negara maju dan
negara berkembang. Perjanjian ini, di pandang dari sudut kepentingan negara
berkembang memberi keleluasaan kepada negara berkembang untuk melaksanakan
perjanjian. Perjanjian mensyaratkan 5 (lima) tahun dan (7) tahun bagi negara
berkembang dan negara miskin untuk dapat melaksanakan perjanjian secara penuh.
Perjanjian yang memberikan jangka waktu transisi ini menunjukkan bahwa WTO
mempertimbanngkan kedudukan negara berkembang dan miskin dalam pelaksanaan
perjanjian TRIMs.
6)
Di masukkannya prosedur penyelesaian
sengketa dalam perjanjian TRIMs merupakan suatu perkembangan baru dalam hukum internasional (Stern, 1993 :418).
Perekonomian
China Masa Kepemimpinan Deng Xioping
Deng Xioping adalah salah satu
pemimpin Republik Rakyat China (RRC) yang sangat berpengaruh. Deng adalah salah
satu perancang bagi kemajuan China dalam bidang ekonomi terutama setelah Deng
melaksanakan kebijakan “pintu terbuka”
yang merupakan momen penting bagi China untuk membuka diri bagi dunia luar.
Selain kebijakan “pintu terbuka” Deng juga membuat kebijakan “lompatan jauh
kedepan”. Deng juga mengkritik Revolusi kebudayaan yang di lakukan Mao Zedong
di mana dirinnya juga menjadi korban. Mao menuduh Deng Xioping di tuduh sebagai
kapitalis. Selama revolusi kebudayaan Deng
di gulingkan dari kekuasaan dan di kirim bekerja di pabrik traktor di profinsi Jiangxi. Kemenangan kubu
Deng Xioping membuka jalan bagi kebijakan ekonomi politik baru bersifat
terpusat dan ketat.
Pemerintahan baru RRC di bawah Deng
Xioping mengkritik terhadap pemikiran-pemikiran dan kebijakan ekonomi yang
identik dengan terpusat.Ketika Deng memimpin negara China Deng melakukan reformasi dari pedesaan. Lahan
kelompok petani dibagi-bagikan kepada masing-masing kepala rumah tangga, para petani mulai diupah setiap akhir tahun
berdasarkan seberapa banyak mereka menanam di lahan pertanian yang mereka
miliki, mereka di izinkan untuk memilih tanaman apa yang akan ditanam.para
petani juga diizinkan untuk menyimpan hasil panen, selain itu Deng juga
mengizinkan petai untuk menanam tanaman tambahan dan menjualnya. Deng melepas
monopoli negara untuk membeli dan menjual produk pertanian dan menghapus batas
harga untuk sebagian besar produk pertanian, sehingga para petani dapat
memasang harga sendiri atas bahan pangan yang mereka jual. Para petani merasa
bersemangatkarena pendapatan mereka naik 15 persen. Dengan semua perubahan dan
kebebasan ekonomi baru itu, para petani menjadi makmur, dan pada akhirnya
memiliki banyak uang dan pilihan untuk kehidupan mereka.
Sebagian petani menanam lebih banyak lagi, dan
sebagian berhenti bertani.Toko-toko kecil, dan pabri-pabrik pengolahan makanan
di pedesaan China seiring di perbolehkannya para petani meninggalkan ladangnya.
Mulai dari toko makanan hingga membuat
suku cadang mobil tumbuh di
negara China. Reformasi yang di lakukan Deng memperbaiki kehidupan masyarakat
China. Deng memajukan China melalui langkah yang berhati-hati setelah melakukan
perubahan di bidang pertanian Deng mulai melakukan reformasi Industri dengan
membangun zona- zona ekonomi khusus. Wilayah-wilayah China yang pada masa
kepemimpinan Mao Zedong membuat undang-undang anti bisnis namun pada masa
kepemimpinan Deng Xioping menggantinya dengan pajak yang rendah dan aturan
usaha yang di permudah bagi pabrik-pabrik yang membuat barang-barang yang akan
di jual keluar negeri. Perusahaan-perusahaan asing yang menghadapi hambatan
besar untuk melakukan bisnis di sebagian besar wilayah China, di dorong untuk
membangun pabrik-pabrik dam mempekerjakan ribuan pekerja China untuk menghasilkan barang-barang yang
akan di kirim ke luar.
zona-zona ekonomi khusus
pertamatama dibangun di propinsi Fujian, propinsi Guandong dengan upah buruh
yang rendah. Dengan upah buruh yang rendah dan mudahnya perizinan membuka usaha
di wilayah China menyebabkan banyak investor yang tertarik untuk mendirikan
usahanya di China. Sehingga puluhan
pabrik di bangaun di Zona-zona khusus. Deng juga mendorong masyarakat pedesaan untuk berani berbisnis. Deng
melakukan reformasi secara bertahap
dengan memberikan otonomi khusus kepada badan-badan usaha milik negara(
BUMN) untuk memilih produk mana yang akan di produksi. Pemerintah mulai
mengubah lahan pertanian menjadi lokasi industri yang luas untuk mempekerjakan
ribuan rakyat China. Pemerintah menawarkan kebebasan pajak dan berbagai kemudahan
lainnya bagi para investor dan membangun infrastruktur dan jaringan telepon
yang mendukung kelancaran investor.
Perekonomian China pasca Deng
Xioping
Setelah era Deng Xio ping berakhir,
menan dakan suatu era baru didalam kehidupan politik China yaitu berakhirnnya
kepemimpinan Deng Xio Ping yang digantikan oleh
perdana menteri Jiang Zemin.
Prioritas pemerintah China di periode ini adalah meningkatakan kegiatan ekonomi
dengan segala cara menginngat tingginya tingkat populasi penduduk China yang
berkembang setiap tahunnya. Lainnya
adalah menjaga tinggkat pertumbuhan ekonomi agar tetap berda pada tingkatan
yang diperlukan untuk menunjang stabilitas politik sosial. Secara keseluruhan,
kebijakan ekonomi menuntut hak-hak perusqahaan untuk dapata me miliki
pengaturan manejen sendiri
(self-manejement) penggabunngan
mekanisme ekonomi deangan intervensi administrasi pemerinntahan. Usaha-usaha
yang dilakukan pemerin tah ini merupakan upaya menejemen yang lebih baik darai pada ekonomi dengan sistem
terpusat (sosial). Dalam menyikapi mekanisme pasar global. Dalam perkembangan
ekonomi masa reformasi di china,
pemerintah melakukan penyesuaian dalam industrialisasi. Dalam repelita ke- 6 (tahun
1981- 1980) pembangunan di daerah Zona Ekonomi Khusus dan Kota terbuka
(open cities) untuk mengimplementasikan perdagangan luar negeri dan strategi
investasi yang merupakan pelopor informasi untuk negara yang membangun upaya
baru untuk memperbaiki produksi dan bisnis raksasa dapat bersaing dengan luar
negeri.
Pada repelita ke-6 yang dimulai
pada tahun 1981, secara khusus nilai gross output industri dan pertanian
meningkat 4% pertahunnya dan konsumsi perkapitamasyrakat kota dan ,pedesaan
mmeningkat. Dengan kemajuan yang diperoleh pada periode ini angka pertumbuhan
yang lebih cepat diharapkan tercapai pada repelita ke-7. Pada repelita
ke-7 (1986-1980), China melanjutkan
usaha untuk mempromosikan investasi
asing yang dinamakan moderinisasi infrastruktur dan men dorong perkembangan
barang-barangkonsumen manufaktur dan perumahan., dan pada repelita ke-8 (1991-1995), pemerintah China menekankan
pada pertum buhanekonomi melalui 100 modernisasi pertanian, energi,
transportasi, perekonomian dan industri elektronik beserta peningkatan
pengetahuan dibidang teknologinya karena
China juga membutuhkan menejemen ketrampilan dan teknologi modern untuk
meningkatkan produktifitas dalam kuatnya
persaingan in ternasional.
Hal ini dapat direalisasikan
deangan melanjutkan kebijakan pintu terbuka dan meningkatakan kerjasama ekonomi
dengan negar-negara lain. Selanjutnnya pada Repelita ke-9 (1996-2000) China
mencari metode baru pertumbuhan baru yaitu pertumbuhan yang menekankan
efisiensi. Ratarata pertumbuhan ekonomi pertahun sepanjang repelita ke-8 yang berakhir pada tahun 1995 mencapai 12%,
perekonomian China sementara mengalami pertumbuhan pesat, dapat dikatakan
menghadapi inflasi yang tinggi karena kenaikan harga barang. Melihat hal ini
pemerintah China mengubah arah kebijakannya menuju pertumbuhan yang stabil yang
menjadi prioritas utama untuk menekan inflasi
melalui Repelita ke-9 dan selama periode Repelita ke-9, China mengalami kestabilan ekonomi dalam
resesi ekonomi dan perdaganmgan di luar negeri. Secara langsung reformasi
ekonomi China berdampak pada terjadinya liberalisasi dan perkembangan kekuatan
yang produktif yang membawa peningkatan pada pertumbuhan yang pesat pada
perekonomian China dalam globalisasi (Rong, 1994 :225-228).
Kebijakan Ekonomi Luar Negeri China
Kebijakan ekonomi luar negeri China
selama ini sering berubah mengikuti perubahan-perubahan strategis dan prioritas
China terhadap negara lain. Pada tahun 1950-an, China banyak melakukan
perdagangan dengan negara-negara Eropa
timur yang berideolgi komunis. Pada tahun 1960-an samapai awal 1970-an, patner
dagang China bertambah sesuai dengan
strategi politik luar negerinya untuk mengimbangai unisoviet di negara-negara
berkembang. Pada akhir tahun 1970 dan 1980-an banyak dipengaruhi oleh strategi
politik luar negeri open door policy dengan
tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi China. Open door policy
merupakan strategi politik luar negeri China untuk melakukan modernisasi
ekonomi dan untuk menjaga lingkungan agar tetap kondusif dalam
usaha pembangunan ekonomi dan untuk memperluas pasar bagi produk
ekspornya (ekspor led growth).
Strategi penerapan kebijakan
ekonomi China adalah outward working.
Semenjak 1978 China melakukan beberapa pembaharuan dengan mulai membuka diri
terhadap investasi luar negeri. Dalam perdagangan luar negeri China juga
mengembangkan spesialisasi dan keuntungan komparatif terhadap ekspor di pasar
dunia. Bahkan hubungan ekonomi luar negeri China ditangani oleh suatu badan
dalam dewan negara yang khusus menangani hubungan luar negeri China, yaitu
Ministri of forein trade and economic cooperation. Sebagai negara kekuatan ekonomi baru, China
dituntut untuk terus memperkuat perekonomiannya sebagai upaya untuk menjaga
daya saingnya dalam perekonomian global sejak melakukan kebijakan terbuka pada
akhir tahun 1970-an, China senantiasa melakukan berbagai kebijakan ekonomi sehingga
mencapai pertumbuhanekonomi yang cepat. Pilihan China pun tertuju pada
kebijakan yang menekankan suatu kebangkitan yang menjunjung tinggi perdamaian.
China sangat menyadari bahwa untuk
mencapai suatu pertumbuhan yang menjunjung tinggi perdamaian, tidaklah mudah
dan merupakan tugas yang cukup berat bagi negara dengan populasi yang demikian
besar tersebut. Sehubungan dengan hal ini, China menyadari bahwa terdapat
3 tantangan yang mendasar berkaitan
dengan pertumbuhan ekonomi dan soasial. Pertama
tantangan akan sumber daya, khususnya sumberdaya energi. Kedua,
tantangan yang berasal dari bidang ekosistem, dan yang ketiga tantangan yang
datang dari isu-isu lain seiring dengan upaya China mengkordinasikan
pertumbuhan ekonomi dan sosial. Seperti tantangan dimana sejalan dengan upaya
China ingin mempercepat pertumbuhan GDP,
China juga harus mengupayakan pertumbuhan sosial. Sebagai contoh, sebagaimana
upaya China ingin meningkatkan teknologi guna meningkatkan kemampuan
industrialisasi, China juga harus dihadapkan dengan maslah penambahan tenaga kerja. Contoh lainnya
adalah, sebagai usaha untuk tetap
menjunjung tinngi keadilan serta mempersempit celah dalam bidang
pendapatan (gap income) yang berlebihan,
pemerintah China harus tetap mengusahakan vitalitas sosial dan peningkatan
efisiensi (Guo Guang Huan, 1985/1986:1-4)
Keanggotaan China Dalam WTO
Di era perdagangan bebas hampir
semua negara berusaha untuk meningkatkan kapabilitas negaranya dengan cara meningkatakan
pertumbuhan ekonomi negarannya. Salah satu cara yang di tempuh oleh negara
tersebut adalah dengan melakukan aktivitas perdagangan internasional dimana
terjadi aktivitas ekspor dan impor barang keluar batas negara. Di dalam
melakukan perdagangan internasional yang didasarkan pada prinsip perdagangan
bebas, negara-negara yang terlibat dalam proses perdagangan ini sering
mengalami hambatan yang dapat di temui ketika negara tersebut harus berhadapan
dengan hukum suatu negara yang tidak sesuai dengan aturan hukum dagang di
negara lain.
Maka dalam rangka menjalin suatu
kondisi perdagangan yang adil dan saling menguntungkan semua pihak, negara maju
yang di prakarsai oleh AS mengajukan untuk di bentuknya suatu organisasi
perdagangan dunia (World Trade
Organisation). WTO di harapan dapat berfungsi sebagai organisasi perdagangan
yang mampu menciptakan suatu kondisi perdamaian. Berdasarkan pertimbangan akan
keuntungan-keuntungan yang akan di peroleh maka China berkeinginan untuk
bergabung menjadi anggota WTO. Meskipun China mengalami hambatan ketika ingin
bergabung dengan WTO, namun setelah melakukan berbagai penyesuaian akhirnya
China berhasil mewujudkan keinginannnya untuk bergabung dengan WTO. Keuntungan
yang ingin di capai China menjadi anggota WTO untuk meningkatkan
industrialisasinya secara cepat, ekspor yang tinggi, mendapatkan modal dari
luar yang cukup besar melalui investor, serta masuknya teknologi maju.
Pertumbuhan Industri China
China melakukan transisi ekonomi
secara bertahap, melalui tahapan tersebut terbukti merupakan kunci sukses
transisi ekonomi bagi negara China. Bagi China, reformasi merupakan cara
pendorong pertumbuhan sosial namun tentunya harus dilandasi oleh kondisi
politik dan sosial yang stabil. Setelah lama menutup diri dari perdagangan perdagangan internasioanal, China kini
membuka perekonomian domestiknya dan siap bersaing dengan dunia internasional.
China kini tumbuh menjadi kekuatan besar dikawasan Asiapasifik bahkan di dunia.
Tak dapat dipungkiri bahwa kemunculan China sebagai kekuatan ekonomi baru
benar-benar membuat perubahan yang besar khusunya dibidang ekonomi. Langkah
reformasi yang diambil China benarbenar berhasil meningkatkan posisi China
dalam kancah internasional(http://www.china.org.cn/english /features/investment/36684.htm).
4. Jelaskan
analisa saudara mengenai efektifitas IMF, Bank Dunia dan ILO?
Jawab :
Penelitian ini membahas tentang
efektivitas peran IMF dalam membantu Argentina memulihkan perekonomiannya pada
periode tahun 1998-2003 di mana terjadi krisis berkepanjangan yang melumpuhkan
perekonomian negara tersebut. Argentina yang di awal tahun 1990-an di bawah pemerintahan
Presiden Menem berhasil keluar dari krisis setelah mengiktui saran dari IMF,
kembali jatuh pada krisis berkepanjangan yang mengalami puncaknya pada tahun
2001. Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan atas efektivitas IMF dalam
melaksanakan perannya membantu Argentina, dan negara-negara lain, untuk keluar
dari permasalahan yang serupa. Dalam menjawab permasalahan ini diggunakan dua
pendekatan yaitu rasionalisme dan neoliberalisme.
Pendekatan rasionalisme menjelaskan
relasi Argentina dengan IMF, sedangkan neoliberalisme menjelaskan tentang
bentuk-bentuk program yang telah disiapkan oleh IMF untuk Argentina yang secara
umum terangkum dalam Washington Consensus. Dari sudut pandang kaum rasionalis,
efektivitas organisasi akan berjalan searah dengan kepatuhan anggota menerapkan
peraturan yang telah ditetapkan, yang jika demikian seharusnya IMF tergolong
efektif karena Argentina telah menerapkan seluruh seruan IMF sesuai dengan yang
tertulis dalam letter of intent (LOI) yang telah disepakati keduanya. Namun
dalam permasalahan di Argentina ini, ini hal tersebut tidak cukup. Ada faktor
lain berupa hasil implementasi program-program IMF yang harus dipertimbangkan.
Dari kerangka pemikiran yang demikian, penulis mengambil hipotesis bahwa IMF
masih kurang efektif dalam menjalakan perannya di Argentina, dan bahwa desain
kebijakan IMF yang sarat akan nilai neoliberal tersebut tidak dapat
diaplikasikan untuk menangani permasalahan yang dihadapi Argentina.
Jika merujuk pada LOI, IMF telah
menetapkan target-target dari setiap program yang harus dipenuhi oleh Argentina
selama jangka waktu yang telah ditetapkan, yang biasanya berkisar antara satu
sampai tiga tahun. Dari data-data yang berhasil didapatkan, penulis menemukan
bahwa sebagian besar target yang telah ditetapkan tidak berhasil dicapai oleh
Argentina. Dari enam indikator hasil (reformasi struktural, stabilitas ekonomi,
kontrol laju inflasi dan moneter, privatisasi dan kontrol kapital, restriksi
dan pengetatan fiskal serta liberalisasi pasar), hanya dua indikator yang
berhasil memenuhi target, yaitu privatisasi dan kontrol modal serta
liberalisasi pasar. Di akhir tulisan dimpulkan bahwa efektivitas IMF masih
kurang dalam menjalankan perannya di Argentina karena terbukti masih rendahnya
daya capai atas target yang telah ditetapkan. Namun demikian, hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa desain kebijakan IMF masih dapat diaplikasikan dalam membantu
suatu negara keluar dari permasalahan ekonomi yang serupa seperti yang dialami
oleh Argentina, hanya saja harus diikuti dengan pertimbangan lain seperti
jangka waktu pelaksanaan yang lebih panjang agar hasilnya maksimal.
Begitu banyak efektifitas yang
dilakukan oleh ILO apalagi menyangkut perdagangan yang berhubungan dengan
perburuhan yang terus menerus. WB melalukan peminjaman yang terus berskala
untuk menunjang perekonomian negara yang bersangkutan.
hai. trimakasih bacaan yang bermanfaat untuk referensi tugas makalah akhir ujian saya.
BalasHapus